Aluna's Story [Discontinue]

Bởi Kai_naivy

306 48 62

[Terdapat beberapa kata kasar dan adegan kekerasan. Harap bijak dalam membaca!] [JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN... Xem Thêm

|| PROLOG ||
CHAPTER : 01
CHAPTER : 02
CHAPTER : 03
CHAPTER : 04
CHAPTER : 05
CHAPTER : 06
CHAPTER : 07
PENTING!!!

CHAPTER : 08

16 1 0
Bởi Kai_naivy

Hallooo, long time no see

Masih ada yg nungguin cerita ini ngga?
Engga ada? Oke gapapa🙂

Let's Go! Semoga kalian masih inget alurnya

Kalo lupa, baca ulang beberapa chapter sebelumnya

💕Happy Reading💕

────────

•••

Sepulangnya dari belanja, Aluna berniat ke kamarnya untuk berganti baju. Namun belum berapa langkah menaiki anak tangga, Bi Siti menghentikan langkahnya.

"Tadi ada paket, Non."

"Dari siapa?"

"Enggak tau, tadi ada di depan gerbang."

Deg

Aluna menelan salivanya kasar. Rasanya de javu mengingat paket berisikan foto yang terdapat bercak darah waktu itu.

"P-paketnya di mana, Bi?"

"Udah ada di atas meja belajar Non tadi."

"Oke, Bi. Makasih, ya? Kalo gitu Luna ke kamar." Setelahnya Aluna bergegas menuju kamarnya, dan benar saja. Paket yang disebut Bi Siti tadi ada di atas meja belajarnya.

Aluna menarik napasnya dalam-dalam. Rasanya ia trauma mendapat pake dari orang tak dikenal lagi.

Aluna mengambil paket itu dan tak lupa juga mengambil cutter di lacinya. Ia duduk di tepi kasur dengan pandangan tak lepas dari paket di tangannya itu.

"Sebenernya gue trauma buka paket begini," lirihnya pelan.

Ting!

Aluna mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya. Keningnya mengernyit heran mendapati nomor asing kembali mengechatnya.

08****
Buka paketnya cantik
Jangan diliatin aja

Aluna meremang dibuatnya. Sepertinya ia tahu siapa pengirim paket ini, tapi dari mana sosok itu tahu bahwa ia hanya menatapi paket di tangannya ini?

Aluna tak membalas chat itu. Jantungnya berdebar, takut isinya tak jauh beda dari paket yang pernah diterimanya dulu. Menyeramkan.

Ting!

08****
Buka
Atau mau gue yang bukain?

Aluna melihat chat itu dari notifnya. Ia semakin meremang, dari mana sosok itu tahu?

Aluna menggeleng pelan lalu meletakkan paket itu. "Enggak, nanti aja bukanya. Gue nggak sanggup sekarang."

Akhirnya Aluna memilih untuk menyimpan kotak paket itu di bawah tempat tidurnya. Setelah dipastikannya aman, barulah ia menghela napas lega. Tidak lega sepenuhnya, namun cukup membuat jantungnya tak berdebar kencang seperti tadi.

Saat tubuh Aluna menghilang dibalik pintu kamar mandinya, sosok yang sedari tadi terus mengintainya tersenyum miring.

"Lo salah Aluna. Lo udah mancing gue. Jangan salahin gue untuk malam ini."

•••

"Barang kesukaan dia apa?"

"Buku paling cocok."

"Masa buku sih? Buku apa coba?"

"Kamus misalnya? Denger-denger dia mau kuliah di luar sih nanti, tapi gak tau pastinya iya atau nggak."

Aluna merengut sedih sambil menunduk. "Ninggalin gue dong?"

Keenan tertawa di seberang telepon sana. "Lo udah kayak istri mau ditinggal suami."

"Do'ain aja, Kak. Yaudah ini enaknya hadiah apa?"

"Ya kata gue tadi, buku atau sejenisnya. Pokoknya barang yang berguna buat dia, pasti dia terima."

"Yang berguna buat dia?" beo Aluna. "Kalo jaket atau hoodie berguna gak sih?"

"Berguna, lah."

"Kalo headband?"

"Bisa juga."

"Mmm ... oke deh. Ntar lo atur tempatnya bisa, kan?"

"Bisa-bisa, gampang itu mah."

"Oke deh, thanks, ya! Sorry ganggu waktunya malam-malam."

"Sans, kalo gitu gue tutup. Tidur, jangan begadang."

"Apaan? Baru juga jam 8."

"Ya bagus, Auriga suka cewek yang tidurnya cepet."

"Ah masa?!" tanya Aluna tiba-tiba semangat.

Di seberang telepon sana, Keenan menahan tawanya. Padahal itu hanyalah bualannya saja. "Iya, udah sana tidur."

"Owkey! Buenas noches!"

"Ha? Bahasa apaan tuh?"

"Spanyol! Dah ya mau tidur!"

Tutt! Tutt!

Aluna mematikan panggilan sepihak dan masuk ke dalam kamarnya. Tak lupa ia menutup pintu balkonnya dan bersiap ingin tidur.

Namun baru saja ingin merebahkan tubuh, Aluna teringat sesuatu. "Baru inget paketnya belum gue buka. Buka sekarang atau besok, ya?"

"Sekarang aja lah." Aluna menyibak selimut yang sebelumnya menutupi setengah tubuhnya, lalu turun dan mengecek di bawah tempat tidurnya.

Keningnya mengernyit heran. Paket itu menghilang. "Lho? Kok nggak ada?"

"Cari ini, Cantik?"

Deg

Jantung Aluna rasanya berhenti berdetak. Suara itu kembali hadir menyapa indera pendengarannya. Aluna menutup matanya, perlahan ia menghembuskan napas dan berusaha menenangkan pikirannya. Mungkin suara itu hanyalah halusinasinya saja.

"I'm here girl."

"Open your eyes. Let's open this package together."

Aluna menggeleng pelan. Posisinya masih membelakangi sumber suara itu. Ia menahan tangis karena ketakutan jika tebakannya benar.

"Open your eyes, Sweetie."

Aluna kembali menggeleng pelan. Matanya terpejam kuat dengan kedua tangan menutupi telinganya. Rasa takut semakin menghantui dirinya.

"Open your eyes and face your nightmare."

Jleb!

"HAH!"

Aluna terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bahkan tangannya juga ikut berkeringat dingin. Matanya menatap sekeliling kamarnya yang temaram, hanya satu sumber pencahayaan yaitu lampu tidur.

Aluna memejamkan matanya sejenak, lalu menyandarkan punggung di headbord. Beberapa kali ia menarik napas panjang agar kembali tenang.

"Just dream?" monolognya. "Tapi kenapa terasa nyata?"

Aluna mengusap wajahnya kasar. Sungguh menyeramkan mimpinya barusan. Ia terbangun karena di dalam mimpi itu ia ditusuk oleh sesosok misterius yang menyelinap ke rumahnya beberapa hari lalu.

Seketika Aluna meraba perutnya sendiri. Aman. Tak ada yang sakit. Aluna menghela napas lega, lalu detik kemudian ia menatap pintu yang mengarah pada balkon kamarnya.

Gadis itu beranjak dari kasurnya dan menuju pintu itu, berniat untuk memeriksa bahwa pintu yang terhubung dengan balkon itu aman terkunci.

Usai memeriksa dan memastikan sudah terkunci, Aluna teringat akan kotak paket yang disimpannya di bawah tempat tidur.

Kaki jenjangnya melangkah menuju kasur. Aluna menelan salivanya sendiri. Tiba-tiba ia teringat mimpinya barusan. Kotak paket itu menghilang dari tempat seharusnya, lalu suara sosok misterius itu terdengar dari arah belakangnya.

Aluna menggeleng pelan. Berusaha menepis segala rasa takutnya. "Enggak papa, Lun. Tadi cuma mimpi, bukan apa-apa," monolognya.

Aluna berjongkok untuk melihat kotak paket itu dan ternyata masih ada. Aluna menghela napas pelan, tangannya terulur meraih kotak paket itu. "Ya emang siapa yang mau ngambil sih, Lun?" gumamnya sambil kembali berdiri dan duduk di tepi kasur.

Tak lupa mengambil cutter untuk membuka paket, lalu gadis itu siap untuk melihat isi paket tersebut.

Jujur saja perasaan Aluna mulai tak nyaman sejak memegang paket itu.

Lalu benar saja, saat paket itu terbuka, Aluna langsung menghempaskan begitu saja sambil membekap mulutnya menahan teriakan.

Aluna memejamkan matanya, masih dengan tangan membekap mulutnya, air matanya mulai luruh. Bau busuk mulai tercium dari kotak itu. Tikus mati akibat sayatan benda tajam bersama dengan beberapa surat bertinta merah yang kemungkinan itu adalah darah.

Aluna terisak pelan. Tubuhnya bergetar. Apalagi ini?

Kepalanya terasa berat, dan perlahan ia tak sadarkan diri dalam keadaan pingsan.

Dan lagi, sosok misterius itu tersenyum miring di balik topengnya saat melihat Aluna kehilangan kesadarannya. "Ini baru awal, masih banyak permainan lainnya."

•••

Aurel dan Abbay merasa keheranan dengan sikap Aluna hari ini. Gadis itu lebih banyak diam daripada berceloteh seperti biasanya. Wajahnya pun pucat dan matanya sedikit bengkak. Saat ditanya pun ia hanya menjawab kurang tidur dan mood-nya sedang buruk.

"Mau nitip nggak, Lun?" tanya Aurel saat setelah bel istirahat berbunyi.

"Air sama roti," jawab Aluna seadanya.

"Oke."

"Are you okay?" tanya Abbay memastikan.

"I'm fine. Cuma kurang tidur," jawab Aluna meyakinkan.

Abbay menghela napas. "Yaudah, gue tinggal, ya?"

"Iya." Setelahnya Abbay menyusul Aurel yang menunggu di depan kelas.

Aluna menghela napas kasar. Ditelungkupkannya kepalanya di atas meja. Rasanya menyeramkan mengingat kejadian semalam.

Anehnya, kotak itu menghilang saat ia membuka mata. Kamarnya pun ia kunci, jadi bibi tidak mungkin bisa masuk. Lalu siapa yang membersihkan kotak itu?

Kepalanya terasa sakit memikirkannya.

"Bangun."

Aluna mengangkat kepalanya. Senyumnya perlahan mengembang melihat sosok di hadapannya. "KAK AURIGA?!"

"Enggak usah teriak," balas Auriga datar. Tangannya meletakkan kantong plastik berisikan air mineral dan beberapa roti. "Dari Aurel," lanjutnya.

Aluna masih tersenyum lebar. "Aduh, repot-repot nganterin. Makasih!"

"Hmm."

"EHH! BENTAR!" Aluna menahan lengan Auriga sambil berdiri, tiba-tiba saja ia oleng jika Auriga tak menahannya.

"Are you okay?"

Jantung Aluna berdebar kencang saat mendengar suara Auriga yang terdengar khawatir. Ia menggeleng pelan, kepalanya terlalu sakit. "Pusing."

Auriga menghela napas pelan lalu menggendong Aluna ala bridal style.

"Eh? Ini mau ke mana?" tanya Aluna pelan.

"Diem."

Aluna pun hanya bungkam. Gendongan Auriga cukup membuatnya nyaman, namun sakit di kepalanya tak kunjung mereda.

"Kalo sakit nggak usah sekolah," ujar Auriga seraya menurunkan Aluna di salah satu ranjang UKS.

Aluna diam tak menyahut. Kepalanya terlalu sakit. Melihat Aluna hanya memejamkan mata, Auriga menghela napas dan mengambil kursi kemudian mendudukinya. Setelahnya Auriga mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang.

Samar-samar Aluna mendengar suara ribut-ribut di sekitarnya, ia pun membuka matanya perlahan dan mendapati Abbay dan Aurel di sebelahnya.

"Lo nggak papa?"

"Masih pusing? Ini makan dulu baru minum obat."

Aluna hanya menggeleng merespon kekhawatiran kedua temannya. Saat menyadari ada Keenan di sana, Aluna berusaha mendudukkan tubuhnya dengan dibantu oleh Aurel.

"Kak Keenan, semalem kita ada telponan nggak?"

Keenan mengernyit heran saat Aluna melontarkan pertanyaan itu padanya. Ia melirik Auriga yang berdiri di sebelahnya. "Enggak ada. Kita nggak pernah telponan, Lun," jawab Keenan.

"Hah?" Aluna jadi bingung sendiri. Jelas-jelas semalam sebelum tidur ia sempat teleponan dengan Keenan untuk membahas kado yang cocok untuk Auriga.

Masa iya gue mimpi? batin Aluna. "Kita beneran nggak pernah teleponan?" tanya Aluna memastikan.

"Iya, Lun. Tukeran nomor doang abis itu udah," jawab Keenan lagi. Ia juga merasa heran pada Aluna.

"Ngelindur lo nih, rebahan lagi gih," saran Abbay sambil membantu Aluna untuk kembali berbaring.

"Kalian keluar aja, Luna biar gue sama Abbay yang urus," ujar Aurel pada kedua kakak kelasnya itu.

Tanpa berucap sepatah kata, Auriga langsung keluar begitu saja, membuat Keenan melotot lalu mengucapkan kata pamit sebelum menyusul Auriga.

Aluna memijat pelipisnya. Kepalanya semakin terasa sakit dengan fakta yang baru saja ia ketahui.

Jelas-jelas kemarin saat pulang berbelanja dengan Karamel ia mendapatkan paket lalu malamnya muncul sosok misterius itu. Aluna dan Keenan semalam juga tak berteleponan, lalu mimpi itu dimulai dari mana?

Aluna benar-benar tak tahu dari mana mimpi semalam dimulai karena semua terjadi begitu nyata. Mulutnya ingin bercerita namun rasanya terkunci rapat. Ia takut tak ada yang percaya.

"Kalo ada masalah cerita, Lun. Seenggaknya kita tau sedikit apa yang lo alamin," ucap Aurel.

"I'm fine, cuma pusing," alibi Aluna yang tak semuanya bohong.

"Kalo ada apa-apa cerita, ya, Lun. Kita bakal bantu lo sebisa mungkin," kata Abbay, dibalas anggukan oleh Aluna.

"Thanks all."

•••

"Supir lo kok lama banget, ya, Lun?"

Sejak lima belas menit lalu Aurel terus mengulang pertanyaan yang sama setiap lima menit sekali. Aluna menghela napas pelan, tubuhnya masih lemas dan kepalanya pun masih terasa sedikit sakit.

"Sini senderan di bahu gue lagi aja." Aurel menarik pelan kepala Aluna agar kembali bersandar di bahunya. Gadis itu berdecak pelan karena supir Aluna tak biasanya terlambat seperti ini.

"Lun, Lun, tuh mobil supir lo!" Aurel mengeraskan suaranya saat melihat mobil sedan yang sering dipakai mengantar jemput Aluna.

Aluna mengangkat kepalanya lalu mengikuti arah pandangan Aurel. Benar, itu mobil supirnya. Aurel memapah Aluna menuju mobilnya.

"Makasih, Rel," ucap Aluna saat dirinya sudah berada di bangku belakang mobil.

"Sama-sama. Hati-hati di jalan, jangan lupa istirahat!" balas Aurel sebelum menutup pintu mobil.

Mobil sedan itu pun melaju pergi, meninggalkan Aurel yang masih terdiam di tempatnya sambil melambaikan tangan.

Di dalam mobil, Aluna memijat pelipisnya. Aluna menatap sang supir yang tak biasanya mengenakan masker, bahkan supirnya hanya diam.

"Tumben pake masker, Pak?" tanya Aluna membuka pembicaraan.

"..."

Aluna mengernyit heran. Tak biasanya pertanyaannya diabaikan seperti ini.

"Tumben telat jemputnya, Pak. Ada kendala, ya, di jalan?" Aluna kembali bertanya, namun masih tak ada jawaban.

Kini Aluna jadi was-was sendiri. Ia parno jika mengingat kejadian semalam. "Bapak lagi sakit tenggorokan, kah? Pertanyaan Aluna kok dikacangin?"

Tiba-tiba mobil menepi ke bahu jalan yang kebetulan keadaan sekitarnya sepi. Aluna menelan salivanya seraya menegakkan punggungnya. "K-kenapa berhenti, Pak?"

"We meet again, Sweety."

Tubuh Aluna langsung menegang saat sosok yang sejak tadi diajaknya bicara berbalik badan menatapnya. Tidak, itu bukan supirnya. Itu sosok semalam yang menghantuinya.

"S-siapa lo?!" Aluna meraih gagang pintu mobil, berusaha kabur namun semakin panik saat pintu itu tak mau terbuka.

"Calm down, Sweety. Gue mau main-main sebentar." Masih dengan masker yang menutupi setengah wajahnya dan juga kacamata hitam, sosok itu berpindah ke belakang, tepat di samping Aluna.

Aluna memejamkan matanya erat, merapatkan dirinya ke pojok pintu, menjauhi sosok itu. Tanpa diminta air matanya luruh, membuat sosok di dekatnya itu mendengus pelan.

"Baru segini aja lo udah nangis, gimana nanti? Masih banyak permainan lainnya Aluna."

Aluna menggeleng pelan, matanya masih terpejam rapat dan basah karena air mata. "Tolong, jangan ganggu gue," lirihnya serak.

"Buka mata lo!" titah sosok itu tanpa menghiraukan lirihan Aluna barusan.

Aluna menggeleng pelan, membuat sosok itu geram lalu mengeluarkan sebuah cutter dari saku celananya. "Buka mata lo atau cutter ini bakal nyentuh muka lo?"

Ancaman itu semakin membuat Aluna bergetar, ia terisak pelan. Perlahan ia membuka mata, manik matanya langsung menatap cutter yang ditodongkan sosok itu padanya.

Srettt!

Dalam satu tarikan sosok itu membuat Aluna dalam dekapannya. Gadis yang ketakutan itu hanya bisa diam dan pasrah, kepalanya terasa semakin berat dengan tubuh yang kian bergetar.

"Gue nggak bisa nyentuh abang lo atau istrinya langsung, jadi lo sebagai gantinya. Aland bakal hancur kalo liat adeknya begini."

Merasa tak ada perlawanan, sosok itu melonggarkan dekapannya dan menangkupkan wajah Aluna. "Ck! Pake pingsan lagi, nyusahin aja."

Aluna pingsan dalam ketakutannya. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, apakah sosok itu akan mengembalikannya pulang atau justru melanjutkan aksi jahatnya.

•  D I S C O N T I N U E D  •

30 April 2022

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

1.7M 121K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
289K 13.1K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1.3M 116K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...