NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE

Bab 4. Wasiat

1.3K 164 3
By Diarysna

Dalam rangka syukuran naik haji abah dan umi-nya Haikal-lurah santri komplek Al-Manshuriyyah-, ia menyuruh para santri untuk mayoran, yakni masak-masak kemudian makan bersama di atas selembar daun pisang atau nampan besar.

Cak Haikal yang lagi di kampung kemudian mengirim uang ke rekening Alvin.

"Buat bocah-bocah mayoran," ucapnya dalam telepon.

Mereka yang berjumlah lima belas orang kemudian saling membagi tugas.

Ada yang bagian belanja bahan-bahan, ada yang membuat nasi, ada yang buat sambal dan lain-lain.

Kafa baru selesai shalat dhuha sekaligus menghafal sebuah hadits Shohih Bukhori beserta matan dan sanad-nya di masjid jami'.

Hal tersebut tidaklah semudah menghafal matan atau bunyi hadis-nya saja. Kemudian Kafa menemukan teknik sendiri untuk mempermudahnya. Setelah menghafal matan, ia membagi penghafalan sanad menjadi tiga bagian.

Pertama, nama-nama perawinya. Kedua, bentuk naql (perpindahannya) seperti menggunakan kalimat hadatsana atau a'n, sami'tu, dan lain-lain. Ketiga, coba ingat-ingat dan menggabungkan antara nama perawi dan naql yang dipakainya.

Kafa nyaris tak bisa membayangkan bagaimana kecerdasan dan kerja keras seorang ahli hadits yang bisa menghafal ratusan ribu hadits beserta sanad-nya.

Itu baru hafalan matan dan sanad, belum ilmu alat lainnya mulai dari ilmu mustholahul hadits, takhrij dan dirasah sanad, jarh wa ta'dil, ilmu thuruq fahmil hadits, nahwu shorof dan masih banyak lagi.

Tapi, karena pemuda itu sudah niat sejak awal menjadikan perjuangan tersebut sebagai bentuk mahabbah kepada Rasulullah saw, maka ia tak pernah merasa terbebani sedikit pun.

Bukankah cinta membuat kita tunduk pada sang kekasih? Semua yang mendatangkan marahnya adalah yang kita benci, dan semua yang mendatangkan senyumnya adalah yang kita sukai.

Kafa teringat sebuah sya'ir dari qasidah berjudul alfa sholaloh. Bunyinya.

رب أنزلنا بفردوس معه ، مالنا إلا لحب من غرام

Tuhan, tempatkan kami di surga firdaus bersamanya (Rasulullah saw), kami tak memiliki (bekal) apapun kecuali cinta yang menggelora

Kafa kini berjalan santai. Tiba di asrama, ia langsung disuruh ke dapur belakang pondok untuk masak nasi, karena Kafa terkenal dengan spesialis nasi pulen-nya.

Cekrek.

Kafa menoleh.

"Foto dulu Kaf, buat dokumentasi," seru Reza yang baru selesai memotret dengan hp-nya.

"Welah, ono dokumentasinya segala."

"Buat laporan ke Cak Haikal." Reza terkekeh pelan."Nih lihat." Ia kemudian menunjukan hasil fotonya itu kepada Kafa yang hanya dibalas gelengan kepala.

Idham yang baru pulang belanja bahan-bahan sambal langsung berseru ketika melihat Kafa berada di dapur.

"Syaikhona al mukarrom al musnid Kafa kok disuruh masak nasi. Ngawur koe, Za! beliau itu tugasnya mimpin doa nanti."

"Tenan, yo?" Kafa pura-pura hendak pergi.

"Weh becanda-becanda. Kalau gak Kafa siapa lagi yang masak nasi. Masa Reza, masak air aja sering gosong dia."

"Air gosong ki kepiye?" Balas Reza tak terima."Emang, ya, Idham ini logikanya udah kena "

Mereka bertiga pun tertawa.

Celotehan-celotehan dan gelak tawa itu terdengar selama proses memasak.

"Bentar lagi Cak Haikal mau wisuda terus boyong. Fix, sampeyan jadi lurah santri anyar, Kaf," kata Idham tiba-tiba, ia kini sibuk memotong bawang untuk dibuat sambal.

"Ndak, lah. Aku itu anak baru, Dham. Masih banyak yang lebih senior."

"Yo nggak gitu, bukan masalah senior. Sampeyan, kan sekarang yang paling menguasai ilmu, dan paling dekat dengan Pak Kyai juga." Reza setuju dengan Idham, ikut nimbrung.

Kafa memang menjadi santri paling berkembang, entah itu dalam keilmuan maupun dari kedekatannya dengan Kyai Busyro dan keluarga ndalem.

Sekali lagi, adab dan akhlak luhur Kafa pada setiap orang membuatnya begitu dicintai dan disegani. Ketakzimannya kepada para Masyaikh membuatnya mendapatkan perhatian dan kepercayaan.

Kafa juga begitu tawadhu', meski pun seluruh santri komplek tahu kalau dia yang paling menguasai berbagai macam ilmu, bahkan Pak Kyai sendiri juga sudah tahu tentang prestasi-nya yang kerap mendapatkan juara lomba MQK baik tingkat kabupaten maupun provinsi.

Ah, tiba-tiba Kafa teringat tentang telepon dari Ibu-nya semalam. Ibu mengatakan sesuatu tentang wasiat Abah yang belum Kafa ketahui. Juga tentang map berwarna cokelat yang abah titipkan padanya, dan meminta agar dijaga jangan sampai hilang.

Kafa selalu membawa map itu setiap mondok, dan selalu ia simpan dengan hati-hati di lemarinya. Meski begitu, Kafa tak tahu isi dalam map itu. Karena Abah hanya memintanya untuk menjaganya. Sekarang, ia tahu apa alasannya itu. Map itu berisi sesuatu yang mungkin penting, dan mungkin bukan haknya abah.

'Maaf Ibu kelalen, Nang. Sebelumm wafat, selain berwasiat agar kamu mondok di Jogja, Abah juga berpesan, titip salam untuk Pak kyai Mahrus, Bu nyai Nur, dan Bu nyai Siti Fatma. Sekalian, berikan map cokelat yang dulu Abahmu titipkan ke kamu.'

Banyak sekali komplek di pondok Al-Dalhar, jadi Kafa tidak tahu nama-nama yang Abah sebutkan itu pengasuh komplek mana.

"Dham, sampeyan tahu Pak Kyai Mahrus, Bu Nyai Nur sama Bu nyai Siti Fatma, ndak?"

"Tahu, lah," jawab Idham yang memang sejak Mts sudah mondok di sini,"Pak Kyai Mahrus Dalhar dan Bu Nyai Nur itu ayah dan ibunya Bu nyai Fatma. Beliau berdua sudah meninggal. Kalau Bu Nyai Fatma itu yang sekarang jadi pengasuh komplek Sayyida Al-hurra."

Kafa mengangguk-angguk.

"Ada apa emang, Kaf?" Reza yang bertanya ikut penasaran.

"Ndak, almarhum Abahku dulu tinggal di ndalem beliau-beliau. Sebelum wafat, abahku wasiat untuk menyampaikan salamnya pada mereka."

"Oalah," imbuh Reza,"Mau aku temenin sowan ke komplek Sayyida Al-hurra?"

"Wis ketebak," sahut Idham pura-pura menggelengkan kepala.

"Opo toh, Dham!"
Reza menimpuk pundak Idham dengan peci. Kafa dan Idham hanya terkekeh.

"Kalau mau sowan ke sana kira-kira jam berapa, nggih?" Tanya Kafa lagi. Ia sebenarnya agak ragu, melihat gapura komplek putri saja, ia malu apalagi masuk ke sana.Tapi demi menyampaikan amanah Abah, ia harus siap.

"Jangan pas waktu ngaji, pasti rame. Biasanya sepinya siang-siang pas anak-anaknya lagi pada kuliah," jawab Reza.

"Oh begitu, ya," sahut Kafa mengangguk lagi, lalu ia kembali bertanya,"Besok siang bisa temenin aku, Za?"

"Insyaallah bisa," jawab Reza mantap.

Idham mendecih, membuat pundaknya kembali mendapatkan keplakan kopiah.

"Kalau nanti dia jelalatan timpuk aja, Kaf."

"Dikit-dikit gak apa-apa, toh, Dham. Siapa tau ada yang kecantol," tukas Reza kemudian."

Idham mendesis.

"Wis-wis bubar!" Teriak Idham lagi sambil beranjak mengambil sambalnya yang sudah jadi.

Kafa dan Reza tertawa.

---

Begitu selesai makan-makan, Kafa tampak fokus membaca sebuah buku di genggamannya. Buku yang belum sempat ia selesaikan.

Buku tersebut berisi prosa puisi karya seorang penyair legendaris abad ke 20. Penyair asal Lebanon yang hijrah ke Amerika. Ya, dia adalah Kahlil Gibran. Dan buku yang Kafa baca sekarang adalah salah satu karyanya yang fenomenal.

Pemuda itu memang tak pandai merangkai kata, namun ia cukup tertarik terhadap syair dan puisi. Hampir semua koleksi bukunya adalah kumpulan puisi. Mulai dari karya penulis dunia seperti Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, hingga maestro-maestro Indonesia seperti Chairil Anwar, W.S Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail dan masih banyak lagi.

Kafa menghela napas panjang. Salah satu petikan kalimat di atas kertas itu kemudian membuatnya tertegun.

"Perempuan yang dianugerahi keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran nyata yang bisa kita pahami hanya dengan cinta, dan bisa kita sentuh hanya dengan kesucian."

Perempuan seperti itu?

Ah, entah kenapa laju pikiran Kafa justru tersangkut pada kejadian beberapa waktu lalu. Kejadian yang mempertemukannya dengan seseorang.

Gadis dengan wajah sebening pagi. Seindah pendaran rembulan.

Bayangan yang sejak awal berusaha ia lupakan.

Kafa takut amal kebaikannya saat itu berkurang karena timbul hasrat lain dalam dirinya. Meski sebagai manusia biasa, ia tetap tak bisa menampik kenyataan bawah gadis yang ditemuinya saat itu adalah gadis paling indah yang pernah ia lihat sepanjang hidup.

Entah kenapa tiba-tiba bayangan gadis ATM itu kembali menelusup piikirannya. Kafa mengingat bagaimana gadis itu tak berani menatapnya.

Ah, meski berhadapan, pandangannya selalu ke arah lain.

Ia seperti seorang gadis yang jarang berinteraksi dengan lawan jenis.

Kaku, sama seperti dirinya.

Lebih dari itu, Kafa seperti dapat merasakan pancaran ilmu, wibawa, dan keluhuran adab dari gerak-geriknya.

Rasa malu itu seperti menjaga semua keindahan fisiknya dalam kemuliaan.

Kafa tersadarkan.

"Astaghfirullah, kenapa tiba-tiba teringat lagi," gumamnya menyesal dan berusaha memikirkan hal lain.

☘️🍁🌱

Meski usianya telah memasuki usia sepuh, sisa ketampanan pada gurat-gurat tegas rahangnya masih tampak kokoh.

Rambut putihnya meranggas, namun tubuhnya masih cukup tegap dan berisi. Pundaknya lebar penuh wibawa. Sorot matanya tajam terasah ilmu dan pengalaman.

Kyai besar Surabaya, pimpinan pesantren modern Bahrul Falah, merangkap ketua Nahdiyyin Surabaya, sekaligus rektor Universitas Bahrul Ulum. Seorang kyai ahli fiqh di Jawa Timur.

Kyai Kafabihi Ahmad menyesap kopinya. Kacamata silinder-nya mengkilap diterpa cahaya laptop. Di balik tubuhnya, ratusan kitab fiqh, tafsir dan hadis berjejer rapih dalam sebuah rak berlapis kaca.

"Besok Abah jadi ke Jogja?"

Suara lembut seorang wanita itu hanya dibalas deheman kecil.

"Mampir ke Al-Dalhar, ndak?" Kini, wanita berbalut mukena itu berjalan dan duduk pelan di tepi kasur, menghadap ke arah suaminya.

"Insyaallah, Mi."

"Kalau bisa disempatkan, Bah. Udah lama Una ndak dijenguk," ujar Ummi Nafis.

Kyai Kafabihi hanya mengangguk. Matanya masih tertumpu pada tulisah-tulisan di laptopnya.

Ummi Nafis melipat mukenanya dengan hati-hati, sesekali ia melirik suaminya yang tak bergeming menghadapi laptop.

"Abah masih nyari keberadaan sahabat Abah yang bernama Badri itu, ya?"

Lelaki itu akhirnya menoleh, tak lama hanya sekilas. Setelahnya, seraya menyandarkan punggung pada kursi, ia berkata lemah. "Aku kira dengan kecanggihan teknologi ditambah luasnya relasiku akan lebih mudah menemukan keberadaannya."

"Dan hasilnya, puluhan tahun juga belum ketemu, toh."

Kyai Kafabihi hanya mendesah lirih. Pertanyaan besar dalam hidupnya itu belum pernah bisa dijawab, 'ke mana Badri? Kenapa ia menghilang?'. Puluhan tahun di sela kesibukannya, Kyai Kafabihi terus mencari keberadaan sahabatnya itu. Puluhan tahun pula pencariannya tak menuai hasil. Bahkan tak ada kemajuan sama sekali.

"Anak kita udah nikah semua, Bah. Kecuali Una, hanya tinggal Una yang tersisa. Tapi dia ndak mungkin harus menunggu sampai Mas Badri ditemukan, kan. Lagi pula, bagaimana jika ternyata anak Mas Badri itu perempuan juga."

Janji itu mungkin semakin mustahil untuk ditepati. Una semakin beranjak dewasa, sebaliknya, belum ada tanda-tanda ia bisa menemukan Badri dalam waktu dekat. Sebenarnya, Kyai Kafabihi sudah mulai menyerah, lelaki itu mulai berfikir realistis dan akhirnya menyetujui pendapat Bu Nyai Fatma tentang perjodohan Una dengan anak sulungnya, Dzakwan.

Mungkin itu adalah langkah yang tepat. Belum lagi Bu Nyai Fatma begitu berharap jika kelak Una menjadi menantunya.

Silaturrahim itu harus tetap memanjang, meski tidak dengan Badri.

🍀🌱🍂

Minta dukungannya dengan klik Vote dan Komennya, ya ^_^
Salam cinta untuk semua pembacaku ❤️ ttd : Diarysna

Continue Reading

You'll Also Like

Alina By ihidethisapp

General Fiction

1.5M 38.2K 75
The Lombardi family is the most notorious group in the crime world. They rule both the American and Italian mafias and have many others bowing at the...
Ice Cold By m

General Fiction

2.3M 85.4K 50
[boyxboy] Wren Ridley is always two steps ahead of everyone, or so he thinks. His life seems out of his control when he starts having feelings for so...
419K 16.6K 48
Vikram, a senior officer, prioritizes his duty above all else, much like his father, ACP Rajendra. He has three siblings: one is an officer, and the...
101K 5.3K 28
Hooked onto drugs, no family, no guidance or sanity until she met HIM. Cover Creds: @Triceynexttdoor ❤️ -BLICKY.