NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47.4K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE

Bab 3. Sang Penolong

1.4K 171 11
By Diarysna

Selepas ashar, seperti permintaan dari Bu Nyai Fatma, Ning Una sudah selesai memanaskan motor matic-nya yang terparkir di halaman komplek Sayyida Al-Hurra.

"Mau keluar, ya, Ning? nitip sego kucing ikan teri-nya angkringan tenda biru, sih." Tsania mencuat dari balik lawang aula dengan mimik muka sedikit memelas.

"Ning Una mau nganter Ibu, mbok?" Retno santriwati dari Cilacap yang menyahut.

Una mengulum senyum.

"Eh iya po? Ya, wis gak jadi, deh." Tsania nyengir, minta maaf lalu kembali ke dalam aula dengan langkah cepat.

Tak berselang lama, Bu Nyai Fatma keluar dari ndalem. Menyapa Una, lantas mengajaknya berangkat.
Di atas motor, beliau berbisik. "Mbok sekalian beli lauk buat nanti malam."

Una tersenyum di balik kaca helmnya."Nggih."

Bu Nyai sudah hafal betul kebiasaan santri-santrinya yang kalau sore suka mencari lauk buat makan nanti malam. Mengingat santri putri tidak boleh keluar dari pondok selepas Maghrib, kecuali karena beberapa alasan seperti pulang kuliah kemalaman, ke puskesmas dan hal lain yang urgent.

Di sepanjang jalan depan pesantren yang dipenuhi berbagai macam toko, warung makan sampai angkringan, sudah mulai berseliweran santri baik putra maupun putri.

Ada yang jalan kaki, ada juga yang naik motor. Una mengenali beberapa santri putri yang memakai jas warna biru dongker.

Jasnya komplek tahfidzh putri Asiyah.

Ah, hampir tiap komplek pesantren memiliki seragam almamater-nya sendiri. Namun, hanya beberapa komplek yang memang selalu kompak, tiap keluar pakai seragamnya.

Komplek Sayyida Al-Hurra punya jas warna hijau army, dan mereka juga selalu kompak memakainya tiap keluar. Tapi kali ini, Una tidak mengenakannya karena sedang dijemur.

Ada puluhan komplek di pesantren Al-Dalhar, dan setiap komplek dipimpin oleh pengasuhnya masing-masing.

Kompleknya juga bermacam-macam. Mulai dari komplek santri SMP, SMA, Mts, MA. Ada juga komplek Takhasus, mahasiswa, Tahfidhz, salaf, dan lain-lain.

Dengan pimpinan tertinggi pesantren sekarang yakni Mbah K.H Manan Dalhar Al-Hafidhz (putra bungsu pendiri pesantren) berada di madrasah Huffadzh 1. Komplek paling prestisius, dan terletak di pusat, bersebelahan dengan masjid Jami'.

Pusatnya para santri penghafal Al-Qur'an terbaik di pesantren yang sanadnya sampai ke Rasulullah saw.

Sanad Al-Qur'an dan Qiro'ah sab'ah di Al-Dalhar jelas, akarnya dari K.H Munawwir Krapyak, yang merupakan satu-satunya kyai yang memiliki sanad tersebut di Indonesia.

"Ke ATM dekat alkid, aja, kalau, gitu," saran bu nyai Fatma.

Karena beberapa ATM terdekat penuh, mau tak mau harus mencari ATM lain menuju ke arah alun-alun kidul.

Sepanjang jalan, bu nyai bercerita tentang banyak hal, mulai dari jalanan yang sekarang dipenuhi toko, padahal zaman dulu sepi banget. Sampai cerita tentang kisah masa muda abahnya Una, yang pada akhirnya membawanya pada kisah seorang yang tak terpisahkan darinya, yakni Badri.

"Sayangnya, baik aku maupun abahmu ndak pernah tahu lagi kabar Mas Badri semenja ia boyong. Ia seperti menghilang."

Una hanya menimpali sesekali. Kisah persahabatan Abah dengan kyai Badri itu selalu berhasil membuat Una terharu. Apalagi, Abah sering sekali menceritakan kisah itu, dan setiap kali beliau bercerita, Una selalu menemukan kesedihan dan kerinduan yang berenang di mata Abah.

Sosok Kyai Badri yang diceritakan abah juga begitu berkesan di hati Una. Gadis itu kemudian tumbuh dengan kekaguman yang besar pada sosok Kyai Badri muda.

Seorang pemuda yang Abah katakan sebagai sosok sederhana, ramah, pemalu, dan cerdas. Meski Una tak pernah melihat Kyai Badri secara langsung, tapi lewat cerita-cerita Abah, ia merasa begitu dekat dan mengenal sosok itu.

Jika boleh jujur, Kyai Badri muda kemudian menjadi sosok laki-laki yang Una dambakan. Baginya, lelaki seperti itu sudah sangat langka di zaman sekarang.

Kecintaan abah pada sosok Badri itu kemudian bisa dilihat ketika beliau menamai anak pertamanya dengan nama Muhammad Badri.

"Nah itu ATM-nya," tunjuk Bu Nyai ke arah ATM di sisi jalan yang begitu sepi.

Setelah motor menepi, Bu Nyai segera masuk ke bilik ATM, mengeluarkan sekeping kartu dari tas kecilnya. Sementara itu, Una menunggu di luar, dengan helm yang masih terpasang.

Jalanan sekitar sini begitu lengang, jadi tak aneh melihat ATM ini begitu sepi bahkan tanpa ada penjagaan dari tukang parkir.

Tak berselang lama, terdengar suara rantai sepeda yang menepi. Una hanya menengok sekilas saja. Sekelebat bayangan seorang pemuda dengan tas di punggungnya tengah berdiri mengantri.

Gadis itu mengedarkan mata bulatnya lagi ke sekitar, dan tak sedetik pun melirik ke arah Sang Pemuda. Una lebih memilih untuk memperhatikan jalanan, sembari sesekali membuka ponselnya.

Hening. Terdengar sayup-sayup suara kendaraan dari jauh.

"Monggo, Mas." Suara Bu Nyai terdengar ramah.

"Nggih, Bu."

Una segera menengok dan langsung memasukan ponselnya ke dalam saku ketika melihat Bu Nyai sudah berjalan ke arahnya sembari berkata. "Udah, yuk!"

Mereka pun mulai beranjak, menarik gas perlahan dan meninggalkan sepeda pemuda itu terparkir sendiri di sana.

Langit mulai menguning. Jarak yang cukup jauh menyita banyak waktu.

Kurang lebih perjalanan lima belas menit menuju pondok, namun karena mampir dulu, bu nyai ingin membeli beberapa kebutuhan ndalem di mini market, dilanjutkan membeli beberapa lauk di angkringan.

Bu Nyai juga membeli beberapa lauk untuk Una, dan Una tak bisa menolak.

Mereka kemudian sampai di pondok setelah hampir empat puluh menit perjalanan. Petang hari jalanan selalu macet. Orang-orang baru pulang beraktifitas.

Langit sudah semakin gelap saat Una hendak menyiapkan mukena untuk sholat maghrib berjama'ah di aula.
Tapi tiba-tiba saja Faros, sang ketua keamanan datang dan memberitahu gadis itu.
"Ning Una di-timbali Ibu."

Tanpa pikir panjang, Una pun segera bergegas turun ke ndalem. Begitu tiba di sana, ia langsung dibuat kaget saat Bu nyai Fatma bilang dengan raut wajah risau. "Ibu lupa ambil kartu ATM-nya tadi."

"Ya Allah!" Desis Una. "Terus, pripun, Bu?"

"Ndak tahu."

Setelah sempat diskusi beberapa saat, dan hampir tak menemukan solusi tercepat. Akan lebih memungkinkan kartu ATM itu selamat jika ada petugas parkir di sana (yang bisa aja dititipkan oleh orang yang menemukannya).

Karena khawatir ATM itu ditemukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, Ibu bertanya pada Una. "Takutnya ada yang mbobol ATM-nya, piye, yo? Apa saldonya bisa diamankan dulu, nduk?"

"Setahu saya, hubungi Costumer Service bank-nya, Bu. Nanti kartu ATM-nya dibekukan sama pihak bank."

"Diblokir, gitu?"

"Nggeh, Bu," jawab Una.

"Terus kalau diblokir, bikin laginya gimana? Susah, ndak?"

"Setahu saya harus buat laporan kehilangan dulu, Bu. Ke kantor polisi."

Mendengar itu, bu nyai tampak mendesah lesu. Raut wajahnya masih kentara gelisah. Una yang tak tega, dan seolah ikut merasakan kegelisahan yang melanda hati Bu Nyai-nya itu, kemudian tiba-tiba memberi sebuah usulan. "Pripun kalau saya cari dulu ke sana mawon, Bu? Siapa tahu masih ada."

"Udah mau maghrib loh, Nduk. Belum lagi kalau udah keburu diambil orang."

"Ndak apa-apa, Bu."

Setelah diam beberapa detik menimang, Bu Nyai Fatma kemudian mengizinkan.

"Kalau perlu ajak teman, Naora, Faros mbuh sopo, pokoknya jangan sendirian, udah mau maghrib."

"Nggih."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Una langsung bergegas naik tangga menuju kamarnya. Meraih kunci motor, dompet, dan helm.

Lengang.

Naora masih di kampus, Zahieq juga masih mandi di atas, dan Tsania katanya sedang keluar membeli sego kucing.

Una kemudian turun menuju parkiran, di sana, kebetulan ia melihat Retno yang masih sibuk muroja'ah di teras aula.

"Mbak Retno sibuk, ndak? Bisa temenin aku sebentar?"

"Boleh, ke mana, Ning?"

"Ke ATM."

"Ya, udah aku siap-siap dulu."

"Maaf, agak cepet, nggih," seru Una dengan raut wajah gelisah.

Tak lama keduanya pun bergegas menuju parkiran. Beberapa santri sampai dibuat heran demi melihat mereka begitu tergesa menaiki motor.

"Mau ke mana, Ning? Udah mau maghrib, loh," teriak Faros dari balkon. Sayang, Una tak sempat mendengarnya karena ia sudah melesat menuju gang komplek.

🍀🍁🌸

Langit semakin gelap dan Una tetap menarik gas motornya. Melewati jalanan yang sudah tak seramai tadi.

Angin menampar kaca helmnya, meniup pucuk kerudung hitam bermotif kaligrafi-nya hingga berkelebat di udara.

Retno memilih diam setelah tadi Una menjelaskan kronologi-nya.

"Hati-hati, Ning. Banter banget, loh, iki."

"Maaf." Una sadar telah melesat begitu kencang, bahkan tidak membiarkan ada kendaraan di hadapannya. Semua disalip.

Ah, terlalu banyak spekulasi dan harapan di kepalanya saat ini.
Melihat raut wajah bu nyai tadi sudah membuat hatinya diliputi kesedihan dan kegelisahan. Beliau sudah seperti ibu-nya sendiri.

Namun di hatinya yang terdalam, Una merasa semua usaha ini akan sia-sia belaka. Mustahil menemukan kartu ATM itu.

Hampir satu jam lebih sejak kartu itu tertinggal. Dengan kondisi bilik ATM yang sepi hampir gak ada harapan

Apa belum diambil orang?

Apalagi tempatnya begitu sepi!

Una nyaris mengeluh. Semakin lama dipikirkan justru semakin membuat ia pesimis. Meski sekuat tenaga ia berusaha menumbuhkan harapan, tapi tetap saja selalu kalah oleh logika yang berjalan.

Dedup jantungnya semakin tak karuan ketika tempat yang dituju sudah semakin dekat.

Dari jarak yang berangsur terpangkas, di antara langit yang mulai remang, kening Una lekas terlipat seketika.
Samar-samar terlihat olehnya sebuah sepeda yang terparkir sendirian.

Bola matanya sedikit membelalak saat sadar ada seseorang yang tengah duduk di emperan depan bilik ATM.

'Mungkinkah dia pemuda tadi?'

Pemuda di sana seketika berdiri ketika melihat Una yang mulai menepikan motornya.
Gadis itu tergesa melepas helm, mengaitkannya pada gagang spion.

Retno ikut turun dengan tampang bingung mengekor di belakang Una yang melangkah cepat menghampiri sang pemuda.

"Alhamdulillah. Ini punya ibunya sampeyan, ketinggalan tadi," ujar pemuda itu tampak lega. Senyumnya mengembang ramah.

Una sempat terpana beberapa saat karena masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

Di hadapannya kini, sosok pemuda berwajah tampan dengan alis tebal dan lesung pipit, berpakaian sederhana yang terlihat letih kusut masih berusaha untuk tersenyum dengan ramah.

Jemari Una bergetar demi meraih kartu ATM yang diserahkan sang pemuda.

"Alhamdulillah, Ya Allah, matur nuwun sanget, Mas."

Pemuda itu menelan ludah, tetap tersenyum meski tubuhnya terasa begitu lelah. Namun di lain sisi, matanya jelas terpana demi melihat apa yang ada di hadapannya sekarang.

"Alhamdulillah ketemu, nggih, Ning?" Retno mendekat ke arah Una dengan sedikit malu-malu.

Una tersenyum lega, mengangguk.

Pemuda di hadapannya menahan napas, senyuman gadis itu menyedot semua perhatiannya, tapi ketika sadar, ia buru-buru mengalihkan matanya. Beristighfar dalam hati.

"Sampeyan dari tadi nunggu di sini?" Suara lembut gadis itu masih tercekat, tak percaya. Mengecek kembali kartu ATM.

Ada yang menarik dari cara bagaimana Una yang hanya sesekali melirik ke arah lawan bicaranya.

Menghindari kontak mata.

Pemuda di hadapannya itu kini tersenyum lagi, mengalihkan pandang ke sekitar. Sama-sama canggung.

Retno justru yang diam-diam terus memperhatikan sang pemuda sambil tersenyum malu-malu.

"Ya Allah, sekali lagi matur nuwun, Mas. Kalau bukan karena sampeyan mungkin kartu ini udah hilang." Una benar-benar telah kehabisan kata-kata.

Pemuda di hadapannya yang sadar akan situasi tersebut lantas mengangguk. "Sami-sami, Mbak. Udah mau maghrib, kalau begitu saya pamit duluan, nggih ..."

"Eh sebentar!" potong Una berusaha menghentikan langkah pemuda itu yang mulai membalikan tubuh. Ia kemudian tergesa meraih dompetnya. Mencari beberapa lembar. Sayangnya, ternyata tak ada selembar pun uang besar di sana.

Una berbisik pada Retno. "Mbak Retno bawa dompet?"

"Wah ndak, Ning."

Gadis itu pun buru-buru bilang. "Tunggu, Mas, saya ambil uang ke ATM dulu."

"Buat apa?"

"Sebagai ucapan terimakasih saya."

"Loh, ndak usah, Mbak," tolak sang pemuda dengan kaget.

"Tunggu sekedap, mawon!" Una memohon sebisa mungkin. Tak ada waktu, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, ia bergegas masuk ke bilik ATM.

Lengang, hanya terdengar suara klakson dari kejauhan. Retno juga cuma bisa membisu, tampak terlampau canggung untuk bicara.

"Masnya baru pulang ngampus, ya?" Akhirnya, setelah terasa semakin canggung, Retno memberanikan diri untuk bertanya.

"Ah, nggih."

"Di mana kuliahnya, Mas?"

Pemuda itu ramah menjawab tempat ia kuliah.

"Subhanallah! itu, kan jauh banget, Mas." Retno tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya ketika sadar jika pemuda di hadapannya itu ke sana bolak-balik pakai sepeda.

Pemuda itu hanya tersenyum malu-malu.

"Memang pulangnya ke mana?"

"Ke pondok."

Kali ini Retno hanya mengangguk pelan, takut dikira terlalu bawel jika terus bertanya.

Pemuda itu mendadak seperti tersadarkan saat melihat awan hitam berarak menutupi pendar terakhir cahaya matahari. Ia menghela napas dengan perlahan.

Apa yang sedang dia tunggu? pikirnya.

Ah, dia ikhlas. Tak terbesit sedetik pun dalam hatinya untuk mengharap imbalan dari perbuatannya tersebut.

"Maaf, nggih, Mbak, saya harus segera pulang."

"Lho?" Retno terkejut saat melihat pemuda itu hanya tersenyum dan mulai menaiki sepeda othel-nya.

"Loh, Mas tunggu sebentar!" Teriak Retno sekali lagi, memandang bergantian sosok pemuda itu dan Una yang masih di dalam bilik ATM. Tampak ada masalah di sana.

"Nggak apa-apa, Mbak. Bilang sama temannya, matur nuwun."

Tak lama, pemuda itu pun benar-benar hilang memacu pedal dan membuat roda itu bergulir menembus cahaya lampu jalanan yang mulai berpendar.

Una yang baru saja keluar dari bilik ATM berangsur heran saat sadar bahwa dirinya sudah tak menemukan sosok pemuda itu di tempat semula.

"Mas tadi mana, Mbak?"

"Udah pergi, Ning," jawab Retno dengan tampang serba salah.

"Pergi?!" seru Una dengan intonasi kaget. Setelah sempat terdiam, Ia kemudian mendesah lirih. "Ya Allah."

Gadis itu kemudian berlari tergesa ke arah jalan, berharap masih bisa menemukan sosok itu yang mungkin belum terlalu jauh.

"Maaf, Ning."

Setelah tahu usahanya sia-sia, Una akhirnya menghela napas sekali lagi, kakinya diseret lemas ke arah Retno, lantas tersenyum simpul. "Ndak apa-apa."

Adzan maghrib hampir berkumandang, keduanya pun mau tak mau segera menaiki motornya, tentunya sambil terus mengawasi sekitar.

Sepanjang jalan pulang, hati Una yang memang sensitif dan mudah merasa tersentuh itu dikepung berbagai macam perasaan: kagum, sedih, bersalah, dan terharu. Semua seolah menyatu menyakiti pikirannya.

Angin berkelebat kencang menerbangkan sudut jilbabnya. Cahaya temaram kota menerangi keramaian yang mulai berdenyut.

Adzan telah berkumandang beberapa menit lalu.

Ya Allah, Kau pertemukan aku dengan seseorang yang begitu yakin akan kehendak-Mu. Begitu kuat pendiriannya karena percaya pada kuasa-Mu. Begitu yakin pengharapannya karena tahu Kau tak pernah mengecewakan hamba-Nya.

Ia yang menunggu dengan yakin sang pemilik akan kembali. Bahkan jika tak kunjung kembali, mungkin ia akan tetap yakin dan menunggu lebih lama lagi.

Ya Allah, aku malu. Sedang aku, seseorang yang Kau titipkan ilmu-Mu. Seseorang yang Kau titipkan ayat-ayat-Mu, justru menjadi orang yang hampir putus asa. Orang yang berkecil hati. Orang yang meremehkan kuasa-Mu. Astaghfirullah...

Tak terasa titik air mata membusai di sudut mata Manunal Ahna.

Hampir sepanjang jalan ia mengucap istighfar. Pemuda itu benar-benar mengajarkannya bagaimana ber-husnudzon kepada Allah. Berbaik sangka pada Allah.

Setelah dirasa hatinya mulai membaik, Una memberhentikan motornya di depan sebuah angkringan tenda biru di sekitar pondok.

Gadis itu tiba-tiba berniat untuk menggunakan semua uang yang tadi diambil dari ATM-nya untuk membeli macam-macam lauk dan sego kucing untuk teman-teman asramanya. Sisanya, nanti mungkin bisa digunakan untuk membeli macam-macam cemilan di mini market untuk kemudian dibagikan di asrama.

"Mbak Retno makasih, nggih sudah mau nemenin."

"Ih apa, sih, Ning. Santai, aja."

"Mbak Retno mbok mau beli apa, monggo bebas. Aku yang bayar. Sekalian beli buat temen-temen juga."

"Wah seriusan? Makasih banyak, loh, Ning, jadi enak."

"Sami-sami." Una tersenyum lembut. Hatinya tak berhenti membatin.

Ini uang sampeyan, Mas. Pahalanya juga untuk sampeyan.

🌺🌹☘️

Minta dukungannya dengan klik Vote dan Komennya, ya ^_^
Salam cinta untuk semua pembacaku ❤️ ttd : Diarysna

Continue Reading

You'll Also Like

333K 10K 81
(Fixed/Fan-TL) Top idol group Stardust, whose members disappear like dust. The group that used to have seven members ends with four members... "Is...
80.5K 3.6K 164
Mo Chen traveled to the Collapse World and obtained a character strategy simulator. In simulation after simulation, he conquered the conquerable char...
58.8K 1.4K 40
standalone ~ mafia siblings series "You can't make me stay here! I will get an emancipation." I yell. Flashbacks of the gun in my hand, the almost-de...
59K 1.4K 34
โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€ you got me down on my knees it's getting harder to breathe out . . . โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€ ๐‘ฐ๐‘ต ๐‘พ๐‘ฏ๐‘ฐ๐‘ช๐‘ฏ . . . ๐œ๐ก๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฌ๐ญ๐ฎ๐ซ๐ง๐ข๐จ๐ฅ๐จ ha...