RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

4 || Hujan dan Kisahnya

332 81 92
By Aniwilla

㋛︎

Hujan.

Apakah tidak lelah terus jatuh pada bumi? Apakah tidak lelah terus dicaci karena hadirnya dianggap merepotkan? Hujan hanya dinantikan saat kemarau. Hujan dingin, banyak rasa sakit saat hujan.

Lantas hujan.

Bisakah ajari aku menjadi setegar hujan, yang terus jatuh pada bumi meski kadang tak diinginkan.

-R E C A K A-

.
.
.

㋛︎

Malam ini gelap sekali. Awan hitam berkumpul menutupi birunya langit malam. Angin terus berembus kencang menusuk kulit. Suara petir mulai bergemuruh, kilatnya sesekali menerangi jalan yang gelap. Namun hujan tak kunjung turun, hanya tetes-tetes gerimis yang membasahi bumi.

"Males pulang, kayaknya mau hujan," ujar Gata sembari memainkan ponsel.

"Gata! Buku lo taro tas," sahut Janu dan memberikan setumpuk buku paket dan buku catatan milik Gata.

Beberapa sampah coca-cola dan snack sebelumnya menghiasi meja yang berada di ruangan depan rumah Janu, tapi kini sudah bersih karena Janu cepat-cepat membereskannya, tidak seperti Gata dan Alfa yang hanya sibuk bermain ponsel setelah kegiatan belajar bersama, Janu sang Tuan rumah malah sibuk membersihkan sendiri sampah bekas mereka dengan teliti tanpa terlewat satu kotoran pun.

Janu tidak betah melihat rumah berantakan.

"Rajin banget lo, Nu," kata Gata yang melihat Janu mengusap meja dengan kanebo yang sudah dibasahi.

"Lo aja yang males, udah numpang makan, ngeberantakin rumah orang. Bukannya bantu beberes malah main hape," sambung Alfa.

"Ngaca lo, kambing! Lo bantuin Janu juga enggak!" kata Gata menendang bahu Alfa dan meliriknya sinis.

"Kalian sama aja! Gak usah saling ngatain," sahut Janu. "Gak bermaksud ngusir, tapi mendung tuh, mau pulang kapan?"

"Entar aja, Nu. Nunggu deres," sahut Alfa masih sibuk dengan gamesnya.

"Tolol emang nih anak. Di mana-mana orang nunggu reda, ini malah nunggu deres," ujar Gata.

"Berisik lo komen mulu kayak netizen," sembur Alfa dan hanya dibalas juluran lidah oleh Gata.

"Mau makan dulu gak?" tawar Janu.

"Pakek ditanya, ya maulah." Gata bangun dari baringnya. Kemudian tersenyum ketika melihat Andin--Ibu Janu-- yang menghampiri mereka dengan senyuman manis bertengger di bibir. Gata jadi paham darimana senyuman manis nan lembut milik Janu, ternyata dari Andin, ibunya sendiri.

"Kalian belum pulang? Makan bareng dulu, yuk, sebelum pulang," tawar Andin ramah masih dengan senyuman kapitalismenya.

"Boleh Tante, kebetulan Gata tadi bilang belum makan dari pagi," sahut Alfa yang langsung mendapat lirikan sinis dari Gata.

Andin tertawa renyah menanggapi. Wanita anggun yang terlihat sudah berumur itu kemudian mengelus rambut putranya penuh sayang. "Ada tumis cumi asin pedas kesukaan kamu, lho."

Janu tersenyum lebar mendengar perkataan yang dilontarkan Andin untuknya. "Wah, Mah! Kalo gitu jangan ajak Gata sama Alfa makan bareng, nanti mereka ketagihan terus numpang makan di sini terus."

Andin tertawa kecil. "Tenang aja. Mamah masaknya banyak tadi, jadi kamu gak bakal kehabisan. Mamah tau kamu suka banget soalnya."

Janu mencium pipi Andin kilat. "Mamah emang terbaik, sih."

Andin mengusap kepala anaknya dan menepuk bahu Janu pelan. "Yaudah buruan makan sana, ajak temen kamu. Papah laper tuh katanya, gak mau nunggu lama."

Janu menoleh ke arah Gata dan Alfa. "Lo pada mau makan gak? Sebelum gue abisin?"

"Duluan, nanti gue nyusul," sahut Alfa yang fokus pada layar ponsel.

Janu hanya mengangguk pelan dan berjalan bersama Andin menuju ruang makan.

Sementara Alfa masih fokus pada ponselnya membuat Gata menatap laki-laki itu penasaran. "Kenapa lo?"

"Bunda gue nanyain Yuna, dia belum pulang katanya," jawab Alfa seadanya.

"Lah? Emang ke mana tuh anak?"

"Gak ngerti, mana di luar mau ujan." Alfa berusaha menghubungi Yuna, namun ponsel gadis itu bahkan tidak aktif. "Btw, iri gak sih lo sama kehidupan Janu?"

Dahi Gata mengernyit bingung. Lantas terdengar suara tawa dari ruang makan yang berasal dari Janu dan Papahnya, membuat Gata paham atas perkataan Alfa. Sejenak laki-laki itu menghela napas, terdengar berat. "Kenapa? Lo iri?"

Alfa tersenyum miring. "Dikit."

Gata tersenyum kecil. Kemudian menatap ponselnya yang hanya menunjukkan layar hitam. Matanya berubah menjadi sendu kala menatap Janu yang tengah asik bergurau dengan kedua orang tuanya di meja makan, dan kembali melirik Alfa yang masih bertukar pesan dengan Bundanya.

"Gue iri gak ya? Pengen pindah planet."

Ini hanya perasaan Gata, atau memang hanya Gata yang kedinginan karena hujan malam ini.

-𖧷-

Dafi keluar dari kantor polisi setelah 8 jam menunggu interogasi. Tungkainya berhenti ketika dua netra hitam sendu milik Dafi menatap awan pekat yang berarak di atas sana. Hujan mulai berjatuhan rintik-rintik membuat laki-laki itu mendesah pelan. Ia memutuskan untuk menunggu hujan reda dan duduk pada bangku yang tersedia di depan kantor polisi. Dafi menyampirkan tudung jaket hitam yang ia kenakan untuk menutupi kepala, dua tangannya ia tenggelamkan ke dalam saku jaket. Malam ini, Dafi pikir hanya kebisuan seperti biasa yang menemani.

"Gimana hasilnya?" tanya laki-laki dengan hoodie putih yang tiba-tiba sudah ada di hadapan Dafi. Rambutnya sedikit basah terkena air hujan, wajahnya yang tampan terlihat datar.

Dafi mendongak. Menemukan Cio dengan tatapan yang selalu bisa mengusik relung jiwa Dafi. "Gak tau."

Cio mendecih pelan. Wajah ramahnya mendadak tegas di depan Dafi. "Lo gak jadi di penjara lagi gara-gara masih di bawah umur?"

Dafi diam. Laki-laki itu sudah cukup paham alasan di balik Cio yang selalu berharap Dafi mendekam di dalam sel-sel jeruji besi. Dendam Cio rasanya tak akan bisa luntur meski dengan waktu dan ribuan kata maaf.

"Waktu itu hujan. Lo inget?" Tatapan Cio menerawang lurus ke depan. Mencoba membelah memori kelam masa lalu yang ia miliki saat itu dan membuat hidupnya berada di pusaran takdir menyedihkan seperti sekarang. "Gue selalu mikir, kenapa hujan selalu ngasih kenangan yang buruk?"

Dafi diam-diam menyetujuinya di dalam hati. Kenapa harus hujan? Kenapa setiap hujan hanya memori menyedihkan yang terlintas?

"Tapi gak papa. Yang namanya pembunuh tetep pembunuh," ujar Cio dan melirik Dafi sebentar. "Nanti juga ada waktunya gue bisa masukin lo ke lapas."

"Mau sampai kapan lo benci sama gue?" tanya Dafi. Menatap Cio menuntut penjelasan. Karena kalau boleh jujur, Dafi lelah dengan hidupnya. Lelah karena bayang-bayang masa lalu, lelah ditemani sepi yang terus membiru, lelah dituding banyak orang atas kesalahan yang bahkan tidak dia perbuat. Dan lelah dengan ketidak normalan yang ia miliki saat ini.

Kali ini Cio menolehkan kepalanya, benar-benar menatap Dafi. "Kapan ibu gue bisa pulang dan masakin anaknya lagi?"

Dafi membisu. Pertanyaan dengan jawaban mudah, namun begitu menyakitkan bagi keduanya.

"Gak akan pernah," ujar Cio dengan suara parau. "Jangan tanya sesuatu yang sebenarnya lo udah tau jawabannya, Daf."

"Gue gak ngebunuh ibu lo, Cio."

"Terus apa?"

Dafi menggeleng pelan. Sesak itu kembali datang menghantam. "Gue gak bisa jelasin ke lo."

"Terserah kalo gitu. Gue tetep anggep lo yang udah ngebunuh ibu." Cio berbalik. Mengangkat tudung hoodie untuk menutupi kepalanya dan berlari menembus hujan. Meninggalkan Dafi yang kini kembali sesak kehabisan napas menatap kepergian Cio.

Dafi merogoh tasnya dengan gerakan cepat dan tangan bergetar. Lantas menempelkan sebuah oxycan yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi. Berkali-kali Dafi tekan alat bantu napasnya itu, namun tetap tak berfungsi.

Dafi dengan kesal melempar oxycan itu ke tengah jalan. Suasana hujan yang semakin deras membuat Dafi semakin tak bisa bernapas, degup jantungnya begitu cepat tak bisa ia atasi. Tangannya yang masih bergetar hebat kembali merogoh tas.

Dan menemukan tempat obat berwarna kuning berukuran kecil.

Satu butir.

Dua butir.

Tiga butir.

Dafi terus memasukkan obat berbentuk pil berwarna putih itu ke dalam mulutnya tanpa air. Dirasanya belum tenang, Dafi kembali mengambil butir keempat.

Tangan Dafi yang hendak memasukkan obat keempat itu tiba-tiba berhenti. Mata Dafi melirik sebentar mendapatkan tangan seseorang yang tengah menahannya.

"Berhenti!" kata Yuna dan menatap Dafi dengan wajah khawatir. "Napas, Daf! Yang lo butuh napas, bukan obat itu!"

Dafi menyentak tangan Yuna. "Gue gak bisa napas tanpa obat ini!"

Yuna kembali menarik tangan Dafi sehingga obat yang digenggam laki-laki itu terjatuh. Kemudian ia memberikan oxycan sebagai gantinya. "Pakek ini! Lo bisa overdosis kalo minum itu kebanyakan."

Dafi dengan cepat menggunakan oxycan pemberian Yuna sebagai alat bantu napasnya. Tak lama napasnya mulai teratur, raut wajahnya kembali tenang seperti sebelum Cio menghampirinya. Kemudian sesak itu berganti menjadi sakit di bagian hati Dafi.

"Sejak kapan lo punya serangan panik?" tanya Yuna hati-hati

Tak ada jawaban. Dafi masih sibuk menenangkan dirinya sendiri.

Yuna berdecak kesal. "Kebiasaan banget kalo gue tanya gak pernah langsung dijawab," ujar Yuna dan mengalihkan pandangannya ke depan, di mana hujan masih senantiasa menemani.

"Apa karena Cio?" tanya Yuna asal tebak.

Dafi melirik sinis. "Lo ngapain di sini?"

"Nungguin lo lah," jawab Yuna cepat. "Kan udah gue bilang, kalau orang tua lo emang gak bisa dateng biar gue aja yang nemenin lo." Yuna kemudian ikut duduk di samping Dafi.

"Emangnya lo siapa?"

"Gue bidadari," jawab Yuna. "Ngeliat kondisi lo kayak tadi lo pikir gue tega ngebiarin lo ke kantor polisi sendirian. Mana tanpa didampingi orang tua lagi."

"Gue gak mau buat mereka khawatir," jawab Dafi, kemudian memasukkan obat penenangnya ke dalam saku.

"Yaudah makan dulu!" Yuna menyodorkan bingkisan berisi nasi goreng yang ia bawa pada Dafi. "Biar gak kena serangan panik lagi."

Dafi menatap bingkisan itu tidak minat. "Buat lo aja."

"Gue udah," jawab Yuna dan meletakkan bingkisan berisi nasi goreng itu di atas pangkuan Dafi karena laki-laki itu tak kunjung menerimanya. "Udah dua kali lo kambuh, lo butuh tenaga. Makan!"

"Kenapa sih ganggu gue mulu?"

"Elonya caper tiap ada gue. Yang pertama dibully diem aja, kedua pingsan di depan kantor kepala sekolah, sekarang mau coba nelen banyak pil. Ya jiwa bidadari gue meronta-ronta ngeliat lo kayak gitu," jelas Yuna panjang lebar. "Lo juga belum jawab pertanyaan gue. Kenapa bisa kambuh?"

"Lo tadi liat Cio?" tanya Dafi lagi membuat Yuna mendesah pelan karena Dafi selalu mengalihkan pembicaraan.

Yuna mengangguk pelan. "Iya, pas dia pergi. Gue gak tau apa yang dia omongin sampe ngebuat lo kayak gitu."

"Gara-gara hujan," jawab Dafi dengan tatapan kosong.

Kening Yuna mengerut. "Maksud lo?"

Dafi menatap Yuna sebentar. "Gue kambuh karena hujan."

"Terus yang di depan kantor kepala sekolah?"

"Karena merasa disudutin," jawab Dafi lagi, menatap nasi goreng yang ada di pangkuannya dengan hambar. "Aneh kan? Sekarang lo bisa pergi. Gue bukan manusia normal."

Yuna tersenyum berusaha menenangkan keadaan. "Gak ada manusia yang normal, Daf. Mereka semua sama, bedanya ini hidup lo, bukan hidup mereka. Mereka nganggep lo aneh karena mereka gak tau apa yang lo lagi hadapin."

Dafi tersenyum miris mendengar penuturan Yuna. "Jangan kasih gue kata-kata mutiara, gue gak butuh."

"Baiklah," ujar Yuna dengan intonasi yang berbeda dari sebelumnya. Laki-laki bernama Khadafi Baswara itu bahkan lebih dingin dari hujan. "Yang lo butuh itu makan sama napas." Yuna kemudian merogoh tas ransel dan menemukan ponselnya dalam keadaan mati total. Gadis itu menepuk dahinya pelan dan menggerutu.

"Mampus gue! Si Alfa kepala batu bakal ngoceh lagi nih."

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-

.
.
.


Gaje banget gasi?

Tangerang, 13 Oktober 2021

Continue Reading

You'll Also Like

4.5K 631 51
"kalau aku pergi maka cerita kita udah selesai dan kamu harus bahagia Tanpa aku." _____________________ Kisah tentang seorang pemuda si penyuka mawar...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.5M 546K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
Damaged✔ By alin.

General Fiction

8.1K 774 44
"Lo pikir gampang, jadi orang baik?" ㅡJan, 2019.