Chicago, Amerika serikat Illinois.
Ⓢ︎Ⓔ︎Ⓒ︎Ⓡ︎Ⓔ︎Ⓣ︎ Ⓜ︎Ⓤ︎Ⓡ︎Ⓓ︎Ⓔ︎Ⓡ︎Ⓔ︎Ⓡ︎
"Sempit sekali negara ini," ucap Vallen yang nyatanya berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Males banget kalau harus ketemu dengan mereka," ucap Vallen dengan sinis. Ia masih tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Julie dan orang-orang tadi.
Ya... Walaupun semuanya tidak salah. Tapi, baginya harga diri lebih ia utamakan daripada yang lain. Ia juga bukan orang yang kekurangan.
Vallen memilih untuk duduk di bangku panjang dekat dengan taman di sekitar tempatnya berada saat ini. Lalu, ia mulai membuka tas kecilnya dan mengambil sebuah ponsel. Jarinya mulai menari-nari di atas layar kaca itu dan sesudahnya ia memutuskan untuk menelepon seseorang.
"Hallo?" ucap orang diseberang telepon.
"Come here quickly. I don't want to wait," ucap Vallen dengan nada dingin.
"Kau—"
Tut!
Tanpa menunggu orang yang diteleponnya menyelesaikan perkataannya, ia pun segera menutup sambungan telepon tersebut.
Menghela nafas sebentar kemudian ia melihat sosok yang sangat dikenalinya dari kejauhan. Sepertinya orang itu melihatnya? Vallen berdecak kesal kemudian mengetikkan sebuah pesan singkat di ponselnya dan mengirimnya pada seseorang.
"Aku sangat kesal melihat orang-orang itu," sinis Vallen.
Tak lama kemudian, sesuai dugaan Vallen, orang yang tadi ternyata benar-benar menghampirinya. Vallen tidak ingin langsung melihatnya dan ia lebib memilih untuk menatap lurus ke depan.
"Kau mengingkari janjimu?" tanya orang itu dengan datar.
Valle menoleh dan menatap sekilas orang itu. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan berdiri menghadap sang lawan bicara.
"Sungguh? Aku?" tanya Vallen dengan suara yang sedikit angkuh.
"Aku tau semuanya."
"Sure? Dan aku juga tahu semuanya, Mr. Adzriel."
Adzriel terdiam sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Saat Adzriel hendak berbicara, ternyata Vallen lebih dulu membuka suara.
"Kau mengawasinya, dan kau pasti tahu semuanya. Ya, aku tahu dimana letak cctv berbentuk microchip itu," ucap Vallen yang membuat Adzriel tersenyum miring.
"Kau melihatnya?" remeh Adzriel. "Sepertinya aku telah salah menilaimu."
"Kenapa kau disini?" tanya Vallen.
"Kembalilah."
"Ya?"
"Kau masih punya hubungan kerja denganku."
"Aku sudah dipecat, Tuan."
"Benarkah?" kekeh Adzriel. "Aku bos-nya," ucapnya.
"Yeah, I know. But, aku yang akan mengundurkan diri kalau begitu," ucap Vallen.
"Kau lupa? Katamu ini adalah impianmu."
"Dan aku telah mengubahnya."
"Kau sungguh tidak kompeten! Kau melanggar kontrak kerja dengan agensiku."
"Aku? Tidak kompeten? Bukankah itu seharusnya pernyataan untuk dirimu?"
Bertepatan saat Vallen berucap seperti itu, tiba-tiba saja tiga buah mobil dark-black datang dan tepat berhenti di pinggir jalan tepat keduanya sedang berbicara.
"Aku akan membayar semuanya. Kau tak perlu khawatir," remeh Vallen kemudian ia membuka pintu salah satu mobil yang ada di depannya saat ini.
Adzriel menatap tajam kepergian Vallen dan ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
Sebelum kepergian mobil tersebut, Vallen membuka kaca mobil tersebut dan berbicara pada Adzriel.
"Fokus dan jangan lengah." Itulah kata terakhir yang diucapkan Vallen. Setelah itu ketiga mobil tadi segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Siapa dia?" tanya Adzriel dengan tatapan dingin. "Dia jelas bukan orang sembarangan."
Adzriel berdecak kesal kemudian memilih pergi dari tempat ia berada saat ini.
Adzriel sebenarnya hanya ingin menahan Vallen supaya tidak berhenti dari agensinya. Dan ia tidak mempermasalahkan biaya penalti atas pelanggaran kontrak tersebut.
Jika, dipikir-pikir Vallen sebenarnya mengalami kerugian yang sangat besar. Tapi, ia berani mengambil resiko? Berarti gadis itu bukan orang yang dapat diremehkan.
Gadis itu punya status dan kedudukan yang cukup tinggi.
Terbukti dengan tiga buah mobil sekaligus yang datang menjemputnya tadi. Seperti seorang putri dari keluarga konglomerat yang sedang dijaga ketat!
Tanpa, sadar sebenarnya Adzriel tidak benar-benar tahu latar belakang keluarga seorang Vallen Flavia R.
============
Di dalam mobil kini terasa sepi walau ada dua insan manusia di dalamnya. Tidak ada yang membuka suara diantara keduanya. Mereka adalah Vallen dan Raymond, yang tadi datang menjemputnya.
Setelah beberapa menit berlalu, barulah salah satu dari keduanya bersuara.
"Kau membawa mereka, Ray?" tanya Vallen dan hanya direspon dengan deheman oleh Raymond.
"Suruh saja mereka kembali," ucap Vallen, lagi.
"Kalau begitu kenapa kau repot-repot menyuruhku membawa mereka?" kesal Raymond, tak habis pikir dengan jalan pikiran Vallen.
"Ya, kau tahu kan aku hanya ingin terlihat keren di depan orang angkuh tadi," ucap Vallen sembari pikirannya kembali tertuju pada Adzriel.
"Cih! Untung tidak ditanya kakek yang aneh-aneh tadi, gara-gara aku membawa mereka."
"Emang kakek lihat?"
"Menurutmu? Kau kira mereka aku bawa darimana?" Vallen hanya nyengir kuda. Ia baru ingat bahwa para orang-orang yang mengendarai dua mobil di belakang tadi adalah orang-orang kakeknya.
Dan pastinya mereka ada di sekitar kakeknya, apalagi saat ini ada sesuatu yang sedang mereka dibicarakan, sepertinya.
"Oke, aku minta maaf," ucap Vallen.
"Kau perintah saja mereka sendiri," tegas Raymond yang membuat Vallen mengerucutkan bibirnya kesal.
Tanpa pikir panjang ia mengambil sesuatu di dashboard mobil. Lalu, ia membuka jendela mobil tersebut.
Click!
Dorr!
Dorr!
Suara tembakan tiba-tiba saja terdengar cukup nyaring. Dan penyebabnya adalah Vallen.
Ya, gadis itu menembakkan peluru senjata api ke udara, dua kali. Semua orang-orang yang dibawah penguasaan kakek Vallen tahu bahwa itu tanda harus mundur.
Dan saat ini tidak ada pertarungan atau hal apapun. Jadi, otomatis orang suruhan Raymond tadi sudah mengerti bahwa tembakan tersebut menyuruh mereka untuk mundur atau pergi.
"Selesai."
Vallen kembali menyimpan senjata api tersebut. Ia sekarang sedang fokus menatap ke depan bersamaan dengan Raymond yang sedari tadi juga harus fokus menyetir.
"Kau tahu aku masih ingat saat kau pergi bersama bos-mu ke mansionnya," ucap Raymond dengan santai.
"Apa?! Apa yang kau tahu?!" kesal Vallen.
"Kau sudah tahu semuanya atau belum?" tanya balik Raymond.
"Ck, kau tahu kan aku mabuk!"
"Sudahlah aku tidak ingin mengungkit hal itu, masa lalu kotor," ucap Vallen dengan nada yang sengit.
Ia jadi teringat kejadian itu! Sangat menjijikkan. Apalagi sepertinya tubuhnya hampir tidak suci lagi. Vallen tidak tahu ia akan sebodoh itu saat mabuk.
"Salahmu."
"Ck, aku bahkan tidak ingat menanyai kabar Vallove waktu itu," sesal Vallen sembari mengingat-ingat hal yang sudah ia lalui.
"Dia baik-baik saja."
Vallen mengernyitkan keningnya karena mendengar perkataan yang keluar dari mulut Raymond. Kemudian matanya sedikit memicing ke arah sang lawan bicara.
"Apa yang kau lihat?" tanya Raymond karena merasa aneh dengan tatapan Vallen padanya.
"Tidak," respon Vallen, cepat. "Aku sepertinya harus menanyakan pada sahabatku itu apa dia sudah punya kekasih?" racau Vallen.
"Untuk apa? Dia sangat sibuk untuk hal-hal seperti itu," sinis Raymond.
"Hei! Mengapa kau marah?!"
"Aku tidak marah," ucap Raymond kembali menstabilkan nada suaranya.
"Yasudah, kau lebih baik diam."
"Kau yang diam."
"Aku punya kedudukan lebih tinggi daripada kamu, Ray."
"Iya, si paling bos di keluarga ini."
"Dan kau si paling banyak tingkah kalau membahas soal Vallove."
Raymond menatap Vallen tajam dan memilih untuk tidak mendebat Vallen lagi. Ia terlalu malas seperti ini. Sangat kekanak-kanakan bukan?
Raymond masih sadar bahwa dirinya adalah pria dewasa yang masih waras. Bukan seperti gadis disampingnya yang pikirannya tidak pernah berkembang!
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah mewah yang sangat luas. Hampir mirip sebuah mansion, namun nyatanya ini hanyalah rumah.
Vallen segera keluar dari mobil dan berjalan angkuh meninggalkan Raymond yang barusaja keluar dari mobil.
"Cih, gadis tidak tahu diri!" geram Raymond.
"Aku masih mendengarnya, Ray," ucap Vallen dengan santai sembari melipat tangannya di dada.
"Buang saja alat pendengarmu itu," suruh Raymond karena ia tahu telinga Vallen sedang memakai sebuah alat persis seperti earphone bentuknya. Hanya saja kegunaannya kali ini adalah untuk mempertajam pendengaran.
Ya, alat itu biasa dipakai untuk orang-orang yang tidak ingin ketahuan saat menguping. Dengan alat itu, kita bisa mendengar hingga jarak 30 meter, walau suara yang di dengar sangat kecil.
"Makanya bicara di depanku, jangan di belakangku."
Ⓢ︎Ⓔ︎Ⓒ︎Ⓡ︎Ⓔ︎Ⓣ︎ Ⓜ︎Ⓤ︎Ⓡ︎Ⓓ︎Ⓔ︎Ⓡ︎Ⓔ︎Ⓡ︎
Vallen Flavia R.
Raymond Rodriguez
Selasa, 6 Desember 2022
—Malam yang tenang saat hanya bunyi rintikan hujan yang terdengar. Saat sebuah ketenangan tercipta yang sangat disukai, namun kesunyian itu haruskah juga berarti?
TBC.