NALLAN 2

Oleh salsha_writer

1M 164K 178K

Bisa langsung baca tanpa baca Nallan 1 β€’β€’β€’ [Rank 1 : #mom] Mei, 2022. [Rank 6 : #spiritual] Mei, 2022. [Rank... Lebih Banyak

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
BAGIAN 58
AYO BACA INI

Bagian 10

17.3K 2.6K 2.2K
Oleh salsha_writer

Pasti kalian lagi rebahan😌








___HAPPY READING___







Sesampainya Nalla di rumah. Ia memberikan Arsyad pada Lila. Lalu berlari ke kamarnya.

Lila panik, begitu pun Asmi dan beberapa asisten yang kini berada diruang tengah. Mereka saling menatap satu sama lain, melihat Nyonya mereka yang tampak sedang tidak baik-baik saja.

Tak lama kemudian, Vian datang. Lalu mendekat ke arah beberapa asisten yang sedang kebingungan.

"Vian, ada apa atuh?" tanya Asmi dengan wajah penuh penasaran.

Vian menggeleng, lalu menghela napas, "Tolong Arsyad jagain aja dulu, Nyonya ada masalah sedikit."
jawab Vian menenangkan mereka.

Lila menatap Arsyad dengan sedih, "Sayang, kamu gak papa, kan?" Lila pun langsung memeluk Arsyad penuh sayang.

"Oh iya, Tuan muda apa sudah pulang?" tanya Vian.

Lila dan Asmi saling melirik lalu menggeleng.

"Tuan muda belum pulang." jawab Lila yang semakin cemas.

Vian menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia ikut cemas. Lalu saat berbalik badan, ia menahan kaget, begitupun dengan para asisten.

"T-tuan muda?" Vian menatap tak percaya. Lalu ia segera mendekat ke arah Alan yang berjalan seperti menahan kesakitan.

Wajah Alan penuh luka. Sudut bibirnya yang berdarah, keningnya juga berdarah, beberapa lebam di sekitar pipi dan hidungnya juga tampak mengeluarkan darah.

"TUAN!" para asisten ikut mendekat ke arah Alan.

Di hadapan Alan, mereka saling menahan kaget, sementara Lila, ia membawa Arsyad pergi dari hadapan Papanya.

"Tuan, ayo kita ke rumah sakit." Vian memegang bahu Alan, berniat membawa laki-laki itu.

Alan menyentak pelan tangan Vian, lalu menggeleng dan memijit pelipisnya karena pusing. "Gak, gak usah. Saya baik-baik aja."

"Tapi Tuan, luka Tuan tampak parah, bisa-bisa Tuan infeksi." ujar Asmi yang begitu tak tega.

Alan menggeleng lagi.

Lalu perlahan, tangannya turun dan menatap satu persatu orang di hadapannya dengan mata sayu, "Di mana Istri saya?" tanyanya.

Vian dan para asisten saling menatap dan terdiam.

"Kamu udah antar Nalla ke sana kan? Tapi kenapa tadi Arsyad masih sama Lila?"

Pertanyaan Alan membuat Vian menunduk, lalu berusaha mencari kalimat yang tepat agar Tuannya ini tidak cemas dan gelisah.

"T-tadi ada masalah sedikit, Tuan. Nyonya Nalla meminta pulang, tapi s-saya tidak tahu kenapa." jawab Vian terbata-bata.

Alan menyipit, lalu terdiam sejenak. "Di mana Nalla?"

"Di kamarnya, Tuan." jawab Asmi.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Alan bergegas menuju kamarnya walaupun dengan hati-hati karena seluruh tubuhnya terasa sakit.

Sesampainya di depan pintu kamar, perlahan ia membuka pintu. Ia melihat Nalla tengah duduk di atas ranjang dan membelakanginya.

Alan masuk ke dalam kamar dan menutup perlahan pintu itu.

Ia menatap Istrinya lagi.

Namun, ia menahan kaget saat punggung Nalla tampak gemetar seperti sedang menangis.

"Nalla." Alan kaget, lalu segera mendekati Nalla dan duduk di sampingnya.

Nalla pun menatap Alan dan ikut menahan kaget karena melihat wajah suaminya.

Alan meraba-raba wajah Nalla dengan begitu cemas dan khawatir. "Apa yang terjadi!"

Dengan cepat, Nalla menyapu air matanya. Lalu menatap Alan lebih khawatir. "Aku ambilin kotak P3K dulu." baru saja Nalla berdiri, tangannya ditarik oleh Alan.

Kini mereka saling menatap.

"Jawab, aku. Siapa yang udah buat kamu kayak gini?" tanyanya lagi.

"Mas, luka kamu bahaya loh. Darahnya masih keluar____"

"Nalla, jawab...kamu kenapa?"

Nalla terdiam sesaat, lalu menunduk.

Perlahan, Alan mengangkat dagu perempuan itu dengan lembut, lalu ditatapnya kedua bola mata Nalla. "Kalo kamu gak akan jawab, aku juga gak akan obati luka aku."

Nalla tertegun saat menatap manik mata Alan. Mata laki-laki itu berkaca-kaca.

Alan benar-benar sangat khawatir.

Detik berikutnya Nalla memeluk tubuh Alan dengan tangisannya yang begitu tampak ketakutan. Alan kini menahan kaget.

"Sayang, kamu kenapa?" Alan kini memeluk Nalla lebih kuat lagi, berkali-kali ia mencium puncak kepala perempuan itu.

"Mas..." Nalla semakin tak ingin lepas dari pelukan Alan, "Aku hampir di lecehkan,"

Alan terdiam kaget.

"Kamu tau kan, Yoza klien aku kemarin? Di restoran tadi, gak tau kenapa sewaktu aku lagi ditoilet, ada dia. Terus..." Nalla menangis kembali, tak bisa menyelesaikan ucapannya.

"Tenang, Sayang. Ada aku. Ayo, lanjut." ujar Alan yang tampak sudah mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangan.

"D-dia mengatakan hal yang gak penting, terus waktu aku mau pergi, dia narik pinggang aku, dan ingin mencium aku."

Alan melonggarkan pelukannya. Menatap Nalla, menahan kaget dengan apa yang baru saja di sebutkan oleh Istrinya.

"A-apa?"

Nalla masih terisak dalam tangisannya. Ia kini membuka high heels nya dan melemparkannya ke sembarang arah. Lalu kedua kakinya ia naikan ke atas ranjang dan kembali memeluk sang suami sambil kembali menangis.

Alan menatap kosong ke depan. Tangannya terkepal kuat, bisa-bisanya Pria itu melakukan hal kurang ajar dan berani menyentuh Istrinya.

"Aku gak akan biarin orang itu selamat." ujar Alan.

Nalla berhenti menangis, lalu ia mendongak ke atas, menatap Alan khawatir. "Mas, tolong jangan. Luka kamu masih___"

"Gak Nal, aku gak peduli sama luka aku. Kamu Istri aku. Aku gak akan biarin siapapun yang berani nyentuh kamu!"

Nalla kembali memeluk suaminya. Namun, ia tak menangis kali ini. Ia berdoa dalam hati, agar suaminya baik-baik saja di mana pun nanti.

Alan kini merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan segera menelpon Vian.

"Iya, Tuan muda?"

"Besok batalkan semua pertemuan dengan para pembisnis. Ada hal yang lebih penting yang harus saya urus." ujarnya pada Vian.

Mendengar itu, Nalla mendongak kembali, menatap suaminya.

"Baik, Tuan muda."

Alan langsung mematikan ponselnya, lalu melempar asal ke atas ranjang.

"Mas, kenapa kamu membatalkan pertemuannya?" tanya Nalla yang masih setia memeluk suaminya.

Alan tak menjawab, ia menatap Nalla dengan intens, lalu mencium pelan pipi perempuan itu.

"Aku takut kamu kenapa-kenapa." ujar Nalla lagi.

Alan memilih membaringkan Nalla di tempat tidur, lalu ia ikut tidur sambil memeluk Nalla.

"Tenangin diri kamu, jangan cemas lagi dan jangan mikirin apa yang udah terjadi tadi, biar besok laki-laki brengsek itu yang bakal aku urus." jelas Alan sambil terus memainkan rambut Istrinya.

Nalla kini bangun dari tidurnya, ia duduk, sementara Alan masih dalam keadaan berbaring.

"Bentar ya." ucap Nalla yang kini beranjak pergi menuju ke lemari dan mengambil kotak P3K di sana.

Ia kembali naik ke atas ranjang dan duduk di samping Alan yang berbaring. "Udah, kamu tidur aja, aku bakal obati semua luka kamu."

Alan mengangguk tersenyum.

Lalu selama Nalla mengobatinya, Alan terus menatap wajah Nalla.
Sesekali tangan jahilnya menarik pinggang Nalla mendekat.

"Sekarang kan udah tenang. Ayo cerita, kamu kenapa bisa kayak gini?" tanya Nalla pada akhirnya.

Alan masih diam dan terus mengusik, kaki, pinggang serta tangan Nalla.

"Mas, ayo jawab."

Alan kini menatap langit-langit kamarnya. Lalu menghela napas. "Aku tadi lembur, terus pas aku mau pulang, aku lihat perempuan diseret paksa sama preman dan di bawa ke semak-semak..."

Nalla menutup mulutnya, menahan kaget.

"Terus, jalanan itu sepi banget. Mau gak mau aku turun dari mobil dan menyelamatkan dia, alhasil aku yang dipukuli sama mereka."

Nalla berkaca-kaca, lalu mencium pelan pipi Alan. Ia berterima kasih pada Tuhan karena suaminya dalam kondisi selamat.

"Perempuan itu, gimana?"

Alan kini menatap Nalla. "Dia ternyata karyawan baru di perusahan aku."

"Ha? Serius? Kok kebetulan banget ya..." ucap Nalla tak menyangka.

"Aku lihat baju dia robek, terus aku kasih jas kerja aku ke dia."

"Aku bangga banget sama kamu, Mas." Nalla menatap haru pada suaminya.

Alan meraih tangan Nalla, lalu mencium pelan tangan itu.

"Jangan lupa kamu besok kasih uang untuk karyawan kamu, kasihan dia. Takutnya ada yang luka___"

"Gak perlu lah." potong Alan.

"Harus!" paksa Nalla.

Alan akhirnya mengangguk, mengalah pada Istrinya.

Alan menepuk pelan tempat di sampingnya. "Ayo, bobo sini."

Nalla menggeleng, "Kamu kan belum makan."

"Aku gak lapar."

"Bohong."

"Iya, serius."

"Jadi..." Nalla menunduk, menahan sedikit rasa sedihnya, "Kita gak jadi pergi ya?" lirihnya.

Alan langsung duduk, menahan kaget. "Oh, iya. Kamu sama Arsyad  belum makan ya?"

Nalla memaksakan senyumnya.

Alan langsung mengambil ponselnya lalu menelpon seseorang.

"Halo, Pak Alan. Apa tadi ada masalah? Kenapa Istri anda pergi sebelum makanannya datang?"

"Bisa bawakan semua makanan itu ke rumah saya, sekarang."

"Bisa, Pak."

"Saya, tunggu."

Alan segera memutuskan sambungan teleponnya, lalu melirik ke arah Nalla sambil menaikan sebelah alisnya.

"Lapar kan?" tanya Alan menggoda.

Detik berikutnya, Nalla memeluk suaminya itu se-erat mungkin hingga mereka terjatuh bersama-sama di ranjang.









***











Alan sudah mendapat nomor Yoza. Ia dan para bodyguard juga sudah berhasil menemukan di mana rumah pria itu. Dengan bantuan Nalla, Alan mendapatkan semua yang berhubungan dengan Yoza.

Pukul delapan pagi, mobil Alan berjalan menuju ke sebuah tempat di mana kabarnya pria itu berada di sana.

Namun, Alan kembali mendapat telepon dari salahsatu bodyguard yang berpencar di tempat lain.

Kini, pria itu sedang pergi.

Tangan Alan terkepal, lalu ia mengatakan pada semua bodyguardnya agar segera menemukan orang itu.

Mobil Alan kini terus berjalan, mengikuti arahan bodyguard yang berpencar tersebut. Di mana mereka sedang mengikuti Yoza.

Tak lama kemudian, Alan kembali mendapat telepon dari salah satu bodyguardnya.

"Ada info?"

"Tuan, dia ada di daerah perkebunan teh Jalan lintas timur."

"Tetap di sana dan pantau terus." jawab Alan tegas.

Setelah itu, Alan segera mengatakannya pada sopir dan mobil itu pun melaju menuju ke tempat tujuan.

Tak memakan waktu lama, Alan dan pasukannya sudah tiba di tempat. Dari dalam mobil, ia menatap Yoza yang kini sedang duduk sendirian di kursi daerah perkebunan teh.

Sekelilingnya tampak sepi. Para pekerja di kebun itu juga sedang bekerja di daerah yang cukup jauh dari tempat Yoza sekarang.

"Tuan, sepetinya ini kesempatan bagus. Selagi tak ada orang di sekitarnya." ujar salahsatu bodyguard.

Alan mengangguk mengerti. Lalu ia menatap ke mobil yang ada di belakang mobilnya, di mana mobil itu berisi pasukan lainnya.

"Jangan keluar sebelum saya perintahkan." ucap Alan di telepon yang terhubung pada salahsatu bodyguard di belakang mobilnya.

"Baik, Tuan."

Alan menatap lagi ke sekitarnya. "Kalian tetap di mobil."

Sebenarnya mereka khawatir jika Alan keluar sendirian. Namun, mereka tak berani membantah.

Kini Alan keluar dari mobil, dengan baju santai dan celana selutut.

Ia berjalan mendekat ke arah Yoza yang kini sedang asik bermain ponsel.

Mendekat...

Mendekat...

Dan,

Bugh!

Alan menendang kaki orang itu, lalu dengan kaget Yoza langsung berdiri dan menatapnya menyipit.

"Si-siapa?" tanyanya yang sudah mulai panik.

Gantian, sekarang Alan yang duduk di kursi itu.

"Lagi ngapain?" tanya Alan basa-basi.

"Maaf, kita kenal?" tanya lagi Yoza.

Alan tersenyum miring, lalu menggeleng. "Saya SKSD."

"Hah?"

"Duduk sini, Bro." ajak Alan.

Yoza melihat kanan dan kirinya. Ia merasakan ke anehan.

Untung saja Alan sudah mengatur posisi mobil yang agak jauh dari tempat ini, namun bisa memantau dari dalam mobil.

"Siapa ya?" tanya lagi Yoza.

"Saya orang daerah sini, pengen tanya-tanya aja." jawab Alan.

Dengan bodohnya Yoza percaya. Ia pun duduk di samping Alan mengantarkan nyawanya.

"Kerja di mana?"

"Di kantor,"

"Perusahaan apa?" tanya lagi Alan.

"Ya, intinya di kantor."

Alan menahan tawa. Namun, rahangnya mengeras seketika, tangannya menahan kepalan.

"Anak udah berapa?"

"Saya gak punya anak dan baru pisah sama Istri."

Alan mangut-mangut mengerti. "Kenapa cerai?"

Yoza terdiam.

"Mukulin Istri?"

Yoza tersentak kaget. Lalu menatap Alan dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu siapa?" Yoza berdiri.

Alan menggerakan rahangnya, lalu ikut berdiri dan langsung menarik kerah Yoza kasar dan kuat hingga cowok itu melotot, menahan kaget.

"BERANI KAMU NYENTUH ISTRI SAYA!" Alan menarik kerah Yoza dan langsung menghantam perut laki-laki itu.

Bugh!

Yoza tersungkur ke tanah.

Namun, Alan belum puas. Ia kembali menarik Yoza dengan kasar, dan...

Bugh!

Kali ini rahang Yoza menjadi sasaran. Hingga sudut bibir pria itu mengeluarkan darah.

"Kalau sampai Istri saya masih trauma dan ketakutan, saya tidak akan segan-segan melenyapkan kamu!"

Bugh!

Lagi.

Alan menghantam rahang Yoza, hingga kembali tersungkur. Dan laki-laki itu tak mampu bangkit.

Kini kaki Alan menginjak paha Yoza, "Sekali lagi anda buat masalah dengan keluarga saya, jangan harap anda hidup!"

Bugh!

Alan menghantam sekali lagi, wajah laki-laki itu.

Ia berpikir untuk tidak memanggil para bodyguard karena Alan ingin menghajarnya sendiri tanpa bantuan siapapun.

Setelah melakukan itu, Alan berbalik berniat akan pergi.

Namun, Yoza yang masih bermental baja kini bangkit perlahan, lalu ia melihat batu yang berada di dekatnya.

Yoza berdiri, bersiap akan melarikan diri.

Dengan cepat ia melempar batu itu ke kepala Alan dan...

Bugh!

Alan terjongkok dan langsung memegang kepala belakangnya. Merasakan denyutan dan nyeri karena sebuah hantaman dari seseorang di belakangnya.

Yoza langsung lari entah ke mana.

Beberapa bodyguard baru menyadari jika Alan tak terlihat.
Lalu salah satu dari mereka menatap kaget saat melihat jelas seseorang yang tengah berjongkok di dekat sebuah pohon.

"TUAN!" teriaknya.

Semua menyadari dan segera turun dari mobil.

Mereka langsung membantu Alan berdiri. Seketika itu pula mereka kaget melihat Alan sedang merasa kesakitan dikepalanya.

"Cari laki-laki itu!" perintah salahsatu bodyguard kepada teman-temannya.

Mereka pun bergegas mencari laki-laki yang kini entah sembunyi di mana.

Alan melihat ke arah tangannya, ia menahan kaget begitupun dua bodyguard yang bersamanya.

"Tuan, kepala Tuan berdarah."

Alan hanya mengangguk, lalu berjalan ke mobilnya di susul dengan dua bodyguard yang kini begitu khawatir.

"Ke rumah sakit sekarang, Pak." ucap salahsatu bodyguard kepada sopir pribadi Alan yang sejak tadi menunggu di mobil.

"Baik." jawabnya dan segera bergegas menjalankan mobilnya.







***








Nalla berlari dengan tergesa melewati lorong demi lorong rumah sakit untuk menemui suaminya. Ia mendapat kabar dari salahsatu bodyguard jika Alan terluka. Nalla terus berdoa dalam hatinya agar Alan baik-baik saja.

Sesampainya di ruangan yang di beritahu oleh admin rumah sakit tadi, Nalla berhenti melangkah saat melihat Alan keluar dari ruangan bersama beberapa bodyguard.

Nalla menutup mulutnya tak percaya saat melihat kepala Alan kini diperban. Ia pun langsung mendekati ke arah suaminya.

"Mas, Ya Allah...kenapa bisa kayak gini sih?" Nalla segera membawa Alan duduk dikursi yang ada di lorong dan mereka duduk berdua di sana.

Sementara para bodyguard bergegas kembali ke mobil.

"Aku gak papa." jawab Alan sambil tersenyum menatap Nalla.

Nalla berwajah sedih, "Apa kata Dokter?"

"Katanya cuma luka sedikit doang."

Nalla memukul pelan bahu Alan, "Gak ada sedikit-sedikit kalo sampe diperban kayak gini."

"Salahin Yoza, kenapa marah ke aku?" tanya Alan sambil menaikan sebelah alisnya.

"Yoza yang udah buat kamu kayak gini? Dia apain kamu? Kalian berantem hebat?" Nalla panik.

Alan menggeleng, lalu segera meletakan kepala Nalla ke bahunya. "Udah ya, sekarang aku gak papa. Cuma luka kecil doang."

Nalla memeluk erat suaminya. Ini adalah kesalahannya karena sudah menceritakan hal itu pada Alan. Jika ia tak menceritakannya ini pasti tak akan terjadi.

"Maaf, ya. Gara-gara aku____"

"Bukan. Bukan gara-gara kamu. Laki-laki itu yang punya kesalahan dan kamu sepenuhnya gak bersalah." tegas Alan.

Nalla melepas pelukannya, lalu melihat ke arah perban Alan. "Yoza ngelakuin apa ke kamu? Jujur!"

"Dia lempar batu ke kepala aku."

Nalla menutup mulutnya lagi, menahan kaget.

Alan menggeleng, "Gak sakit. Cuma dikit."

"Tuh kan!" Nalla menggeram.

"Untungnya gak batu besar, cuma berdarah sedikit. Dokter ngompres dan kasih obat, setelah itu pakai perban, beres deh." ucap Alan menenangkan kekhawatiran Nalla.

Nalla berkaca-kaca.

"Kenapa, hm? Aku gak papa kok." ucap Alan lembut sambil mencubit pelan pipi perempuan itu.

"Muka kamu udah banyak bekas bonyok, terus sekarang kepala kamu, besok apa lagi!"

Alan menarik Nalla lagi ke dalam dekapannya lagi. Mencium pelan puncak kepala Istrinya.

Tiba-tiba suara tangisan bayi menggema dilorong itu.

Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan kini tampak kewalahan menenangkan bayi itu. Sepertinya ia adalah Ibunya.

Di lorong ini orang-orang hanya ada beberapa saja yang berlalu lalang, namun yang duduk dikursi koridor hanyalah Alan dan Nalla.

Kini Alan dan Nalla saling melirik, lalu mereka melihat lagi ke Ibu-ibu itu.

Tak lama kemudian, Ibu itu pun menatap dua orang yang tengah duduk dikursi. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat ke arah dua orang itu.

"Permisi."

"Iya..." jawab Nalla sambil tersenyum ramah, ada yang bisa kami bantu?" tanya Nalla yang kini berdiri di sebelah Ibu itu.

"Saya mau minta tolong, saya kan mau ke supermarket sebentar, belikan makanan untuk suami saya yang lagi sakit diruangan itu," tunjuk Ibu itu pada ruangan yang tak jauh dari ia berdiri, "Saya titip anak saya sebentar ke Mas sama Mbaknya bisa?"

Nalla melirik ke Alan. Suaminya pun mengangguk pelan.

"Iya, boleh." Nalla tersenyum ramah lalu segera menggendong bayi itu.

"Makasih banyak ya, Mas, Mbak." Ibu itu menatap Alan dan Nalla bergantian.

"Iya, Bu. Sama-sama." jawab Nalla penuh keramahan, sementara Alan membalas dengan senyuman.

Ibu itu pun pergi, Nalla lalu duduk di samping Alan lagi. Lalu ia menatap bayi itu dengan berbinar.

"Kamu lucu banget..." ujar Nalla pada bayi yang berusia sekitar dua bulan.

Nalla pun segera mengarahkannya pada Alan. Alan tersenyum, lalu mengelus pipi anak itu.

"Dia gak nangis loh, hebat banget."
ucap Nalla lagi dengan kagum, "dulu Aryad se usia ini, nangisnya gak berhenti-berhenti, apalagi sama orang asing." jelasnya.

"Coba sini sama aku." Alan mengambil anak itu, lalu menimangnya penuh sayang.

Nalla tersenyum lagi, "Dia bener-bener gak nangis."

Kini mereka terus bergurau dengan anak itu sambil tertawa bersama.

Seketika Nalla terdiam sejenak, ia menatap Alan dengan lama, lalu tersenyum senang. Ia pun mulai membayangkan jika dirinya memiliki anak lagi.

"Siapa sih namanya?" tanya Alan sambil melihat ke kalung yang di pakai bayi itu, namun tak ada nama di sana.

"Mamanya gak ada kasih tau tadi." jawab Nalla.

Kini Nalla langsung memeluk tangan Alan dengan se-erat mungkin. Membuat Alan menatapnya bingung.

"Kenapa nih?"

"Mas..."

"Iya, aku tau apa yang kamu pikirin." jawab Alan sambil mengacak pelan rambut Nalla.

"Lucu banget adeknya." ucap Nalla lagi sambil memegang pipi bayi itu.

"Mau?"

Nalla diam sejenak. Lalu berpura-pura tidak tahu. "Hm, mau apa ya?" tanyanya sambil menahan senyum.

"Anak ini, Bawa pulang aja."

Benar-benar Alan itu...

Ah sudahlah!

Nalla sudah terbang setinggi mungkin dengan membawa khayalan-khayalan indahnya. Dengan cepat, suaminya itu menjatuhkan dirinya begitu saja.

"Males banget!" Nalla cemberut, lalu menatap ke arah kanan, membelakangi Alan.

Alan merapatkan duduknya di dekat Nalla, lalu melihat kanan dan kirinya, setelah di rasa sepi, ia langsung mencium pelan telinga, rambut dan pipi perempuan itu.

"Mau punya anak, kan?" bisik Alan tepat ditelinga Nalla.

Nalla melipat tangannya di depan dada, lalu menahan senyumnya dan berpura-pura tak mendengar.

"Aman itu." bisik Alan lagi.

Lagi-lagi Nalla ingin menerbangkan dirinya jauh ke atas sana dan tak ingin kembali terjatuh seperti tadi.

"Kamu____"

Telepon Alan berdering.

Nalla terpaksa menjeda kalimatnya, lalu menatap Alan.

Alan segera memberikan bayi itu pada Nalla, lalu meraba saku celananya, mengambil ponsel.

"Angkat aja dulu sana." ucap Nalla.

Nomor tak di kenal.

Mungkin saja ini dari kantornya. Ia pun mengelus pelan pipi Nalla sebentar, lalu beranjak dari duduknya dan menjauh.

"Halo?"

"Halo, Nak."

"Siapa?"

Terdengar suara isakan tangis dari sebrang sana, membuat Alan mengerutkan dahinya.

"Nak, maaf jika Ibu lancang menelpon kamu. Ibu mendapat nomor ini dari kantor kamu."

"Ini siapa?" tanya Alan sekali lagi.

"Saya Dewi Ibunya Hazen..."

"Iya, ada perlu apa?"

"Bantu Ibu, Nak. Hazen tidak pulang sejak tadi malam dan belum kembali sampai sekarang."








___________

Bersambung...






NEXT? NEXT? NEXT?
VOTE AND SPAM COMMENT☺️


. . . . .

Follow IG :

Adany.Salshaa
Nallan.Official




Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

855K 4.1K 3
[TAHAP REPUBLISH] FOLLOW SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN SHARE KE SOSIAL MEDIA KAMU YA β™₯️ Cover mentahan PINTEREST πŸ“Œ SUDAH TAMAT DIVERSI...
289K 10.3K 52
"Kakak nggak mau rahasia itu terbongkar kan? Kakak harus jadi pembantu aku." Apa jadinya jika seorang ketua OSIS yang tampan, galak dan bersifat din...
594K 79.8K 55
⚠️ Sudah Terbit!!! πŸ“±Pemesanan lewat shopee dan Instagram penerbit Gentebook ~Part masih lengkap, Extra Part hanya di novel~ Kisah asmara Regil Deno...
2.7M 267K 52
"Gue udah nggak perawan." "Terus?" "Gue udah nggak perawan," katanya lagi seakan-akan menekan kalimat itu biar gue denger. Gue nggak nggak budek, ye...