Happy Reading
=================================
Seorang gadis berusaja turun dari mobil berjenis BMW seri terbaru. Dengan penampilan yang feminim, rambut diikat satu, serta kacamata yang bertengger di hidung mancungnya ia mulai mengamati sekitar.
"Ini tempatnya?" tanya gadis itu pada seorang pria suruhan yang mengantarnya.
"Ya, Nona," ucap pria itu sembari ikut turun dari mobil tadi.
"Kalau begitu aku masuk dulu," pamit gadis itu pada pria tadi.
Dengan langkah terburu-buru ia pun langsung masuk ke dalam sebuah gedung yang cukup besar tersebut. Gedung perusahaan milik keluarga Ramirez dimana tidak sembarang orang bisa kerja dan keluar-masuk dengan mudah ke tempat ini.
"Permisi, saya sudah ada janji," ucap gadis tadi saat sampai di depan meja resepsionis perusahaan.
"Dengan Nona Vallen?" tanya resepsionis tersebut sedangkan gadis tadi mengangguk kecil. "Kalau begitu anda langsung saja ke ruangan tuan Adzriel."
"Lantai berapa?"
"Empat puluh lima."
"Thanks."
Setelahnya Vallen langsung saja bergegas pergi menuju lift. Ia tidak mau membuat bos-nya itu menunggu lebih lama. Tidak mungkin kan ia akan melakukan tindakan semaunya?
Sesampainya di lantai 45 ia langsung saja mencari ruangan yang tempat Adzriel berada. Dan beruntungnya di depan pintu ruangan-ruangan lantai ini sudah ada nama masing-masing yang melekat.
Tok... Tok... Tok...
Ceklek!
Pintu ruangan terbuka dari dalam. Seorang pria jangkung dengan wajah tegas adalah pelaku yang membuka pintu tersebut. Vallen cukup terkejut karena tiba-tiba saja sudah berhadapan dengan asisten pribadi Adzriel.
"Masuk," suruh Rendy pada Vallen yang sempat terdiam.
Vallen mengangguk sekali kemudian masuk ke dalam ruangan tersebut. Setelah masuk ia dapat melihat Adzriel yang sedang mengamati sebuah benda berukuran kecil berbentuk mahkota.
"Dia datang," ucap Rendy pada Adzriel.
Adzriel berdehem singkat kemudian mulai mengalihkan pandangannya ke arah Vallen. Kemudian Adzriel menatap Rendy dan memberikan isyarat untuk menyuruh pria itu keluar.
Setelah Rendy keluar ruangan barulah Adzriel membuka pembicaraan.
"Ku dengar kau paham dengan benda seperti permata, berlian dan perhiasan lainnya, right?" ucap Adzriel.
"Ya, Tuan aku cukup paham dengan perhiasan-perhiasan seperti itu," ucap Vallen sembari tersenyum kecil.
"Kau tahu jenis-jenis permata?"
"Hm, aku tahu. Apakah itu yang membuatmu penasaran? Apakah kau ingin mengetes pengetahuanku?"
Adzriel terkekeh kecil kemudian mengambil sebuah benda yang sedari tadi menjadi fokusnya. "Ya, aku selalu penasaran denganmu. Dan aku selalu ingin tahu apa kelebihan para pekerjaku."
"Wow, terdengar sedikit merendahkanku," ucap Vallen dengan nada sedikit mengejek.
Adzriel mendengus kemudian menyerahkan benda yang ia pegang pada Vallen. "Jelaskan tentang pin ini," titahnya.
Vallen mengambil sebuah pi berbentuk mahkota tersebut dari tangan Adzriel. Ia mengamati setiap detail dari benda tersebut. Bahkan, jenis batu Ruby yang digunakan dalam pembuatan pin tersebut pun turut ia perhatikan.
Tidak perlu waktu lama Vallen selesai mengamatinya. Ia sedikit terkekeh sambil mengembalikan benda tersebut pada Adzriel.
"Kau tidak tahu itu pin seperti apa?" tanya Vallen sembari terkekeh kecil dan jangan lupakan nada suara yang terdengar sedikit mengejek.
"Ck, jangan membuatku marah," peringat Adzriel.
"Kau selalu saja mudah marah," ucap Vallen. "Benda yang ada ditanganmu itu bukan sembarang pin."
Adzriel menaikkan sebelah alisnya pertanda bingung apa yang diucapkan gadis itu.
"Dari bentuknya dan detailnya sangat mustahil kalau benda itu pasaran. Aku bahkan tidak pernah melihat benda itu dipakai oleh orang lain. Batu Ruby yang terdapat di pin itu bukanlah batu Ruby biasa."
"Bagaimana kau tahu?"
"Hei! Aku sudah bilang kalau aku paham dengan ini!" kesal Vallen karena Adzriel lagi-lagi meremehkannya.
"Lanjutkan," ucap Adzriel yang membuat Vallen harus memperbanyak kesabarannya.
"Batu Ruby yang ada di pin itu dipesan secara khusus dan hanya orang-orang tertentulah yang bisa memakainya. Oh, atau lebih jelasnya lagi adalah hanya orang-orang khusus yang memakai pin itu sebagai tanda pengenal."
"Tanda pengenal?"
Vallen menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap kearah lain. "Ternyata kau tidak banyak tahu."
"Kau menghinaku?!" ucap Adzriel dengan nada sedikit meninggi.
"Anggap saja seperti kau memakai sebuah tanda yang sama dengan anggota atau keluargamu. Contohnya seperti tato, mungkin," perjelas Vallen.
"Bukan itu yang aku ingin tahu."
"Jadi?"
"Siapa yang mengenakan pin ini?"
Pertanyaan Adzriel ternyata menjadi lebih serius. Vallen menghela nafasnya sebentar sebelum berbicara. "Seseorang atau mungkin orang-orang yang lebih tinggi darimu."
"Bagaimana kau tahu dia lebih tinggi dariku, hah?!"
"Karena kau bahkan tidak tahu benda seperti apa pin ini," ucap Vallen sembari tersenyum miring pada Adzriel.
"Bisa saja itu dari kalangan bawah!"
"No. Ini benda langka yang hanya dimiliki orang-orang berkuasa," remeh Vallen pada Adzriel yang sedang menahan amarahnya karena di ejek oleh Vallen. "Para bos mafia pasti tahu, benar kan, Tuan?"
Adzriel terdiam mendengar perkataan gadis itu. Setelah mengatakan kalimat tersebut Vallen pun langsung keluar dari ruangan Adzriel.
Tanpa sadar Adzriel sedikit mengulas senyum smirk nya setelah kepergian Vallen tadi. "Huh, bos mafia? Dia tahu?" ucap Adzriel sembari tertawa kecil.
"Gadis yang menarik. Hidupnya punya wawasan luas," kekehnya lagi.
Adzriel tidak menyangka Vallen tahu tentang dirinya yang seorang bos mafia. Menurut Adzriel sepertinya Vallen adalah gadis yang sangat tahu tentang dirinya. Gadis itu bukan gadis biasa. Terlebih lagi sejak pertama kali gadis itu melamar pekerjaan di agensinya menjadi seorang model. Latar belakangnya saja bahkan tidak jelas.
"Rendy!" panggil Adzriel pada Rendy yang sedari tadi berada di luar ruangan.
"Ya, tuan?" tanya Rendy saat sudah masuk ke dalam ruangan.
"Kau yang memberitahu gadis tadi kalau aku bos mafia?"
"Tidak, Tuan. Apakah dia tahu?"
"Ya."
"Mungkinkah karena kau mulai terang-terangan?"
"Benarkah?"
Rendy hanya mengangkat kedua belah bahunya pertanda tidak tahu. Adzriel tidak tahu kalau ia sudah mulai terang-terangan dengan identitasnya. Sepertinya ini berhubungan dengan kejadian di Paris waktu itu. Yang mana ia menunjukkan dirinya sebagai penguasa di depan para anggota.
Bahkan, disana juga ada anggota yang baru saja ia keluarkan. Apakah, mungkin orang itu yang menyebarkan berita tentangnya?
"Selidiki, aku tidak mau banyak orang yang tahu."
"Ya, Tuan."
=====================
Sreett!
Sreett!
Bugh!
"Sepertinya sayatan dan pukulan ini belum begitu menyakitkan," gumam seseorang sambil menatap laki-laki yang barusaja ia siksa.
"To—tolong ampuni saya. Saya tidak tahu salah saya apa sama Anda." Lelaki tersebut sedikit tergagap sambil memohon.
"Anda memang tidak punya salah kepada saya..." jeda orang itu sebentar. "...Tapi Anda punya salah kepada orang-orang yang tidak bersalah! Bagaimana bisa anda selalu memutar-balikkan fakta?"
"Saya tidak seperti itu," ringisnya.
Ctarr!
Cambukan yang begitu kuat kini terdengar mengisi kesunyian di tengah malam seperti ini.
"Ma—maaf. Sa—saya tidak bermaksud. Tolong—"
"Tidak bermaksud apa?!" bentak orang tersebut sehingga membuat suasana makin mencekam.
"Saya hanya menjalankan tugas saya," ucap laki-laki malang itu sambil meringis pelan.
"Dan tega menyalahkan orang-orang yang tidak bersalah?" ucapnya sembari tertawa remeh. " Wah... pengacara seperti anda memang harus di apresiasi. Anda tahu, saya saat ini sedang butuh pelampiasan. Dan saya sangat benci dengan pengacara seperti anda, yang selalu memutar-balikkan fakta secara keras."
"Saya mohon ampuni saya."
Orang itu nampak berfikir sejenak kemudian melihat jam yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya.
"Hampir pergantian hari. Waktumu cuma bersisa 46 detik lagi," ucapnya sambil memperbaiki letak pin berbentuk mahkota kecil yang terdapat 3 berlian kecil di tengahnya.
"Apa?"
"25 detik lagi."
"To—tolong jangan habisi saya," pintanya sambil berusaha bergerak namun tubuhnya langsung diinjak dengan keras.
Dan...
Blash!
"Ups, sepertinya waktumu habis. Sayang sekali," sesalnya dan itu sudah pasti hanya kepura-puraan.
Dia menatap remeh pada tubuh laki-laki itu yang berlumuran darah dengan kepala yang sudah terpenggal.
"Bersenang-senang?" tiba-tiba seseorang datang dari arah timur dan bertanya.
"Yeah, I'm happy," ucapnya sambil memutar bola matanya. "Beresin semuanya dan jangan bilang ke siapa-siapa lagi. Awas kalau sampai ketahuan!" tekannya yang membuat lawan bicaranya terkekeh pelan.
"Kau hampir ketahuan."
"Kau yang tidak mengamati dan mengawasiku!"
"Untungnya benda ini tidak mudah dikenali, bahkan oleh orang-orang yang paham dengan benda ini," ucap orang itu sembari menunjuk sebuah pin yang terletak di dada sang lawan bicara.
"Aku hampir ketahuan gara-gara orang itu!"
"Beruntungnya dia masih menyelidikinya dan tidak ada orang yang benar-benar paham."
Menghela nafas sejenak kemudian ia pun berucap, "Untuk malam ini sepertinya aku sudah selesai." Ia pun pergi meninggalkan orang tadi bersama laki-laki yang sudah tak bernyawa tanpa peduli apapun lagi.
"Mau sampai kapan dia akan melakukan ini?" gumam orang tadi sambil menghela nafas pelan setelah kepergian seorang yang sudah melakukan aksi pembunahan sebelumnya.
******
"Saya menduga korban sebelumnya sempat disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh," jelas seorang yang berpakaian serba hitam lengkap dengan jaket kulit hitam yang melekat sempurna ditubuhnya.
"Menurut saya juga begitu, terlihat dari beberapa luka yang terdapat di tubuh korban," jelas sang ahli forensik yang berada ditempat kejadian.
"Jadi, kasus ini adalah kasus yang sama seperti sebelumnya kan?" tanya seseorang yang bertugas untuk menutup area sekitar.
"Anda benar. Ini adalah kasus pembunuhan setiap tanggal 21. Dan kita selalu kecolongan karena pembunuhnya sangat ahli dan hapal area sekitar," jelas orang tadi yang merupakan seorang agen dari kepolisian Chicago.
"Apakah kita harus meminta bantuan orang yang mempunyai akses lebih banyak? Supaya lebih cepat menemukan sang pelaku," usul sang ahli forensik.
"Saya bisa meminta bantuan kepada gangster Castor," ucapnya
"Apakah semudah itu mengajak mereka kerjasama?" sahut seorang polisi lainnya.
Agen polisi tadi sedikit menyunggingkan senyum smirknya. "Saya tahu banyak tentang mereka. Dan kalian juga tahu mereka dari saya. Jadi, sangat mudah untuk menemui bos-nya bagi saya."
Dan hal itu membuat beberapa orang disana terkejut. Pikir mereka jika bisa bekerjasama dengan Gangster Castor pasti akan lebih mudah menangkap pelaku pembunuhan tersebut.
"Anda hebat karena bisa mengenal mereka dengan baik," puji sang polisi lainnya.
Hanya saja sang agen polisi tadi tidak mengetahui bahwa gengster Castor adalah salah satu anggota mafia terbesar yang juga merupakan organisasi penyebar senjata-senjata illegal, obat-obatan terlarang bahkan sampai racun.
Memang tidak semudah itu mengaksesnya!
Mereka hanya tahu kalau gangster Castor adalah gengster penguasa dan penakhkuk Chicago. Yang jarang terlihat bergerak mengacaukan kota.
********
Di markas kini para anggota Castor sedang menyimak siaran televisi yang sedang menyiarkan tentang kasus pembunuhan tanggal 21.
"Polisi bekerja tidak becus!" ucap salah satu anggota Castor.
"Kurasa sebentar lagi mereka akan meminta bantuan kita," tebak yang lainnya.
"Mereka tahunya kita gangster yang bisa diajak kerjasama dengan mudah."
"Kita terlalu menunjukkan sisi terang kepada mereka. Sehingga sisi gelapnya tertutup," ucap Adzriel sang bos penguasa yang berusaja masuk ke dalam markas.
"Jangan pernah tunjukkan siapa kita sebenarnya. Biarkan para petinggi itu meminta bantuan dari musuh seperti kita," ucap Adzriel kemudian ia pun pergi dari ruangan tersebut menuju ke ruangan pribadinya.
"Jangan sampai kita dihancurkan para bawahan negara itu," ucap Rendy penuh tekanan yang membuat para anggota hanya diam saja mendengarkan sembari menyetujuinya dalam hati.
Bunyi telepon tiba-tiba memecahkan keheningan para anggota yang terdiam. Rendy mengangkat sebelah alisnya sembari menatap telepon yang berdering di meja pojok ruangan ini.
"Lebih cepat dari yang aku duga," ucap Rendy. "Telepon dari para polisi, kalian setujui saja jika mereka meminta."
"Baik," ucap salah satu anggota.
"Kalian boleh datang ke markas utama bersama bos. Kita akan rundingkan ini karena bos besar akan datang."
Setalah itu Rendy pergi meninggalkan ruangan tadi dan segera menuju ruangan Adzriel.
[====]
Di markas utama the Nekros, kini anggota Castor sedang berkumpul . Adzriel—sang ketua sudah berdiri paling depan barisan anggotanya.
"Jadi, kalian semua disini untuk apa?" tanya sang tangan kanan the Nekros.
"Saya selaku ketua Castor ingin minta izin untuk membantu para polisi memecahkan kasus pembunuhan," ucap Adzriel dengan tegas.
"Tanggal 21?" ucap seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan aula tersebut. Dia adalah Leader the Nekros, terbukti dengan suara khas-nya yang bergema.
"Betul, Bos," ucap Adzriel sambil menunduk hormat.
Leader the Nekros tersebut menampilkan senyum miringnya. Dan jangan lupakan tatapan matanya yang tajam dari balik topeng hitamnya, mampu membuat siapa saja tidak berani beradu tatap dengan mata itu.
"Aku izinkan," ucap sang Leader. "Tapi..." kalimat menggantung yang diucapkannya berhasil membuat para anggota Castor termasuk Adzriel mengernyit bingung.
"... Jangan terlalu ikut campur." Setelah melanjutkan kalimatnya dia akhirnya melenggang pergi keluar ruangan aula diikuti oleh seorang tangan kanannya.
"Maksudnya apa tadi?" bingung salah satu anggota Castor.
"Entahlah," ucap Rendy.
"Ikuti apa yang diperintahkan," ucap Adzriel lalu ia melenggang pergi lebih dulu dari yang lainnya.
========================
Senin, 18 Juli 2022
"Entah siapa yang berkuasa sebenarnya. Yang perlu dipelajari adalah sebuah kekuasaan tidak akan selamanya bertahan dengan baik jika tidak bisa menjaganya."
TBC.