Apakah kamu juga pernah merasakannya?
Perasaan yang entah harus dinamakan apa,
Saat ia membuatmu kecewa, sangat-sangat kecewa.
Rasanya kau tak ingin melihat wajahnya, atau mendengar suaranya saja sudah membuatmu naik darah,
Padahal dahulu, kau sangat menyayanginya.
Padahal dahulu, dia sangat berharga untukmu.
Namun tanpa kau sadari, bahkan berada di dekatnya pun kini kau enggan.
Rasa benci, rasa kesal, amarah, getir, segala hal itu membuatmu muak.
Namun..
Di lubuk hatimu kau mengerti bahwa kau tidak sepenuhnya membencinya.
Kau tak ingin ia terluka,
Kau ingin ia baik-baik saja.
°•°•°•°
Ice tak mengerti harus disebut apa perasaan yang rumit ini.
Ia masih ingat hari itu seakan itu baru terjadi kemarin.
Hari dimana Taufan pulang dengan luka yang parah, hari dimana manik safir itu kehilangan kilaunya, hari dimana ia terlihat sangat kesakitan.
Saat itu..apa yang ia lakukan?
Ah, iya. Benar. Kalau dipikir-pikir, hari itu ia tidak terlalu fokus akan luka-luka di tubuh Taufan. Jangankan rasa khawatir..hanya amarah dan kecewa yang ada dalam dirinya.
Kenapa Taufan membiarkan Boboiboy pergi melaksanakan misi yang berbahaya itu? Mengapa ia tidak menjaganya?
Mengapa ia membiarkannya mati? Mengapa ia tidak melindunginya?
Entah apa yang ada di benaknya, namun hari itu, ia menarik kesimpulan yang kejam.
Ah, iya, saat itu karena ia dipenuhi emosi, di batinnya ada suara mengatakan hal yang kejam.
"Taufan, kau pembunuh. Kau telah membunuhnya iya kan? Gara-gara kau, kini dia tak bersama kita lagi."
Kata-kata itu..apakah terlontar dari mulutnya waktu itu? Ah, sepertinya bukan.
Kalau tidak salah itu adalah Halilintar? Atau Blaze? Atau malah Thorn?
Ia sedikit berterimakasih kepada mereka karena telah membunyikan apa yang ada di benaknya.
Di hari pertama, Taufan terdiam. Ia tidak membantah. Lebih tepatnya, karena ia bahkan tidak dapat mempertahankan kesadarannya, mungkin karena mental shock yang dalam.
Lalu, satu minggu berlalu setelah Taufan keluar dari rumah sakit. Tak ada yang menyambutnya di rumahnya, jangankan menyambutnya, mereka menatapnya seakan ia adalah pendosa.
Namun sang pemilik manik safir yang notabene nya memang kadang dianggap tidak tahu malu tetap berusaha membuka pembicaraan.
Nada bercanda, nada serius, bahkan nada yang sedikit dipenuhi dengan amarah, ia berkali-kali berusaha mengatakan sesuatu. Namun mereka selalu menghentikannya.
Ya, tak ada yang mau mendengarkan ucapannya.
Sampai datang saatnya ia berurai air mata, suaranya yang serak terdengar sangat hancur, ia memohon.
"Tolong, sekali saja.. dengarkan aku dulu" ucapnya.
"Aku tahu aku tak pantas untuk dimaafkan tapi dengar-"
Lagi-lagi, lagi-lagi ada yang mengehntikan ucapannya.
Menghentikannya dengan dingin,
Apakah itu Blaze? Halilintar?
Ah, tidak. Saat itu..
Ice yang menghentikannya.
"Cukup Taufan, bisakah kau berhenti?"
Apakah kata-kata itu benar ia ucapkan?
Tapi mengingat tatapan pasrah dari sang kakak pengguna kuasa angin itu, sepertinya betul, ia berkata begitu padanya.
Alasannya? Bisa dibilang karena mendengar suaranya saja sudah membuatnya naik pitam, namun baru ia sadari, alasan sebenarnya adalah karena ia takut.
Ia takut untuk mengetahui kebenarannya, ia takut untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi, ia takut akan rasa bersalah, bagaimana jika setelah mendengarkan penjelasan Taufan ia malah akan merasa bersalah? Bagaimana jika setelah Taufan menjelaskan, ia akan kehilangan orang yang dapat ia benci dan ia salahkan? Bagaimana jika-
Bagaimana jika setelah Taufan menjelaskan, ia akan pergi, meninggalkan mereka karena merasa tugasnya sudah selesai?
Ah, setidaknya, jika ia tidak membiarkan Taufan menjelaskan, Taufan tidak akan kemana-mana bukan? Namun ternyata ia salah, setelah satu bulan usaha Taufan untuk menjelaskan gagal total, ia melangkah pergi dari kehidupan mereka.
Ice kira dirinya akan lega. Ia kira ia akan merasa lega karena atmosfir di kehidupannya akan berubah seperti semula. Ceria, seperti biasanya.
Hanya saja, berkurang dua orang.
Ah tidak, ia kira ia dapat merasa lega. Ia kira dengan perginya Taufan dari hadapannya untuk sementara, ia dapat membetulkan segala isi kepalanya yang acak-acakan. Ia dapat berdamai dengan emosinya dan mungkin, bila ia sudah siap.. mungkin bila mereka semua sudah siap, mereka akan dapat menyambut Taufan kembali.
Namun kenapa? Saat ia bertemu dengan Taufan, kenapa selalu terasa jarak yang melebar diantara mereka. Tatapan dari manik safir yang teduh itu kini tak pernah memancarkan kehangatan, hanya terlihat kehampaan, seakan ada jurang yang memisahkan mereka. Bahkan manik safir itu tak pernah mau menemui tatapan Ice secara langsung.
Kenapa? Aku kira jika kita berpisah sementara mungkin hal ini akan berubah menjadi lebih baik?
Lalu kenapa? Kenapa kau memperlakukanku seakan kita hanyalah orang yang bekerja di agensi yang sama?
Dimana kehangatanmu? Dimana senyumanmu dan afeksimu yang selalu kau berikan padaku?
Saat Ice tersadar, adeksi dari sang pemilik manik safir bukan lagi diperuntukkan bagi dirinya. Bukan lagi diperuntukkan untuk orang-orang yang pernah hidup bersamanya.
Afeksi nya itu kini dicurahkan sepenuh hati untuk seseorang yang bahkan lebih bermulut tajam darinya, kenapa?
Mengapa mudah sekali bagimu untuk kembali bahagia padahal aku-
Ah tidak,
Apa yang telah ia lakukan? Apa karena ia membuang Taufan dari hidupnya, kini Taufan tak akan mau kembali padanya?
Sulit baginya untuk melalui hari-hari itu, ia kira ia sudah berdamai dengan situasi, namun nampaknya, selalu ada rasa tidak senang saat ia harus melihat bahwa afeksi yang dahulunya secara alami menjadi miliknya, kini betapa ia merindukannya pun ia tak dapat mendapatkannya kembali.
Ada rasa..iri. ada rasa kesal.
Dan lagi-lagi, walau ia tahu ia salah namun, satu sisi darinya menyalahkan Taufan. Untuk dapat berdamai dengan diri sendiri dengan semudah itu.
Ia kesal, ia tahu itu. Ia cukup senang saat Solar menjadi agen S, karena bukan hanya anggota keluarga nya lagi-lagi berhasil menjadi salah satu agen terbaik, namun juga dengan begitu, mungkin...
Mungkin sang kakak bermanik safir itu tak akan lagi dapat memberikan afeksinya pada sang bungsu.
Tapi sekali lagi, prediksi nya salah besar.
Sekali lagi, yang ia kira adalah awal dari rasa senang malah menjadi rasa gusar.
Melihat bagaimana sorot mata sang bungsu itu memantulkan segala rasa takutnya,
Ia tahu ada yang tidak beres.
Apa?
Taufan kenapa?
Apa dia baik-baik saja?
Apa benar ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri?
Apakah sebenarnya ada hal besar yang tidak mereka ketahui?
Aah, ia benar-benar merindukan hari dimana ia dapat dengan mudah membicarakan keluhan satu sama lain dan mengetahui tentang kehidupan satu sama lain dengan mudah bersama Taufan.
//Author's note//
Jadi gini guys.. aku gatau ini bisa dimengerti atau ngga but manusia itu makhluk yg kompleks so aku pengen aja gitu bikin sedikit pov nya Ice dan segala kelabilan nya ehe.
Menurut kalian.. Taufan kapan bakal kasi tau mereka?
Anyway maap ya apdet tengah malem, maap juga belom balesin kalian, maap klo maksud. Aku nulis beginian hampir jam 2 pagi wkwkwkwk half asleep
Semoga suka mohon komen ya