SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Par lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Plus

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

19: Helleborus & Hidden Message

1.5K 315 91
Par lnfn21

CHAPTER 19
Helleborus & Hidden Message

[Playlist: Sondia - Say to My Self]

***

Dinding-dinding senyap mengukung sosok perempuan yang baru saja membuka sepasang kelopak berhias lentiknya bulu mata.

Jendela kamar yang terbuka menampilkan langit di luaran sana segera dihabisi malam. Iris perempuan itu berakhir pada tempat kosong di sebelahnya. Tak menemukan siapa-siapa. Maka, lantai marmer ruangan kemudian ia pijak, ayunan langkah mengarak badan ramping sosoknya menuruni anakan tangga satu demi satu.

Kesunyian sempurna melingkupi setiap sudut rumah. Tak seorang pun nampak oleh penglihatan, demikian pula dengan suara-suara yang tak jua tertangkap gendang telinga kecuali dengungan serangga yang entah di mana.

Dua kaki jenjang menapak pada rerumputan. Taman belakang adalah persinggahan sebelum lantai pualam menjadi titik pijak berikutnya. Di sebuah studio kecil, Rosé temukan seorang pria tengah terlelap dalam posisi duduk dengan kepala diletakan di atas tumpukan lengan.

Menyempatkan diri mengambil sehelai sehelai selimut, Rosé kemudian meletakan benda itu di atas punggung Jeffrey di sana. Meski berupaya sehati-hati mungkin, nyatanya pergerakan jemari yang teramat pelan tetap membuat Jeffrey terjaga.

Sesaat mencoba beradaptasi dengan keadaan, Jeffrey mengusap matanya seraya menegakkan badan. Selimut di punggung nyaris terjatuh jika saja Rosé tak dengan sigap menahan, meletakan tangan di sepasang bahu kokoh Jeffrey.

"Ah, maaf. Aku pasti mengganggu tidurmu."

Pendengaran Jeffrey disuguhi sekalimat yang mengudara ringan. Seusai menyadari betul bahwa ia terbawa lelap selama dua jam selang mengantar kepergian Johnny dan Alice, Jeffrey sedikit meruntuk dalam hati sebab di antara banyak tempat nyaman di rumah ini ia justru berakhir tertidur di sini, di atas kursi kayu sehingga punggungnya seperti kelas patah.

Namun, yang lebih-lebih Jeffrey khawatirkan bukan perihal punggung, melainkan sosok perempuan yang kini berdiri di sampingnya. Salah satu tangan Jeffrey lantas terulur meraih jemari lembut Rosé yang masih berupaya menahan sehelai selimut agar tetap pada fungsinya. Jeffrey mengusap seraya mendongak pula bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Jelas, Jeffrey masih sebegitu ingat momen di mana ia melihat ketakukan tergambar begitu hebat pada diri perempuan itu. Rosé terdiam sejenak sebelum menguntai senyuman tipis lalu mengangguk.

Tak lantas menaruh rasa percaya, cepat-cepat Jeffrey bangkit dari tempat duduk, hendak menyeret Rosé masuk ke dalam rumah sebab udara kian menjadi dingin seiring hari bertambah petang.

"Ayo masuk! Di sini dingin."

Namun, Rosé tak juga mengikuti ajakan Jeffrey. Perempuan itu masih terpaku di kala Jeffrey telah mengurai satu langkah maju. Alhasil, Jeffrey kembali menoleh dan menerima sorot tanpa dosa saat Rosé berkata, "Aku mau di sini sebentar lagi. Boleh, ya?"

Sejenak terdiam menimbang jawab, Jeffrey menghembuskan napas perlahan. Ia seakan tak kuasa menolak. Maka, sehelai selimut dalam genggaman, Jeffrey pakaikan di tubuh perempuan yang masih mengenakan gaun serupa pagi tadi. Tak luput bibir Jeffrey turut merapal tanya, "Memangnya di sini mau apa?"

Pandangan Rosé berpencar, meneliti kanvas-kanvas di sekitar. "Bernostalgia," jawabnya dengan seulas senyum tipis tersemat di wajah. Jeffrey di sana menautkan alis tanpa tanggapan lebih.

Tak kehabisan akal, Rosé menyeret sebuah kursi mendekat pada Jeffrey, menyeka sedikit kotoran yang ada sebelum menepuknya pelan. "Duduklah kembali!"

Ia memberi perintah, tetapi Jeffrey masih tak berkutik di tempatnya berdiri. Dan, Rosé mesti meraih tangan pria itu bersama sedikit rengekan. "Duduk Jaehyun ...."

Melihat pun mendengar itu, Jeffrey lagi-lagi tak berdaya mempertahankan ego yang lebih dibuat cemas akan kondisi Rosé meski perempuan itu nampak baik-baik saja sekarang. Ia duduk menuruti kemauan Rosé yang kemudian tersenyum senang.

Menumpu siku pada kedua paha bersama jemari bertaut tak erat, bola mata Jeffrey bergulir selaras dengan pergerakan Rosé yang beranjak meniti langkah pelan menuju jajaran lukisan. Cukup lama sosoknya mengamati dalam diam, dan sepanjang itu pula Jeffrey mengamati punggung terbalut selimut dalam tenang.

"Boleh aku tahu apa maknanya itu?"

Sampai suatu ketika suara rendah Jeffrey membelah belenggu sepi. Rosé menoleh dengan kerutan di dahi. "Setiap karya seni selalu dilekati makna, bukankah mereka (lukisan-lukisanmu) juga begitu? Ada makna dibaliknya, 'kan?"

Kali ini Rosé mengangguk perlahan. Sedikit mengangkat sudut bibir, ia bergumam, "Sejak kapan kamu perduli tentang itu?" dan ia yakin, pria di belakang sana tak mendengar.

Sedari awal kanvas-kanvas penuh goresan cat dari tangan Rosé ada di sana, tak sekalipun Jung Jaehyun pernah mempertanyakan perihal makna tersirat, sebagaimana sekarang ini. Meski demikian, Rosé tetap sudi memulai penjelasan dengan menunjuk salah satu lukisan di dinding, urut dari yang paling ujung kiri.

"Gambar seri satu adalah bunga Plumeria. Artinya, rasa syukur yang banyak karena dipertemukan dengan seseorang."

Di kepala Rosé menari indah awal mula pertemuan dirinya dengan sosok pria pemilik senyuman termanis sedunia. Kala itu musim semi, di sebuah kafe. Di tengah-tengah kasak-kusuk pelanggan dan kawan-kawan, perhatian Rosé jatuh pada sosok pria yang bernyanyi kelewat merdu.

"Seri dua, Lavender. Memiliki makna jatuh cinta pada pandangan pertama dan keinginan untuk mengungkapkannya."

Rosé pikir pertemuan mereka hanya sekadar sampai pada titik saling berbagi senyuman saja. Nyatanya ia salah, pemuda Jung dengan segunung pesona berhasil menumbuhkan rasa cinta secara tiba-tiba dalam diri Rosé usai sebuah perkenalan singkat diiringi tangan yang saling menjabat.

"Seri tiga, Dahlia melambangkan makna 'aku bahagia bisa menyelami isi hatimu'. Lalu Tulip, bermakna ketulusan dan kasih sayang yang tak terhingga."

Cinta kian menjadikan Rosé lain dari yang dirinya sendiri kenali. Seperti ada karakter yang berbeda merasuki jiwa perempuan itu. Ia yang pemalu rela mempermalukan diri sendiri hanya demi mengantarkan sekotak kue, mendatangi Jung Jaehyun dan menyatakan rasa. Kala itu, Jaehyun bersama seuntai senyum manisnya berkata, "Mulai hari ini kita adalah sepasang kekasih. Mari bersikap baik pada satu sama lain!"

"Lalu Allium ...."

Rosé tak segera menutur patahan kata lanjutan. Ada jeda cukup panjang tatkala mata perempuan itu menelanjangi kanvas bernuansa kelam, bunga Allium yang seharusnya berwarna keunguan di sana justru bertabur putih pudar dan abu-abu. Sebagian kelopak rontok berjatuhan.

"... kepedihan yang tak berujung," deru Rosé pelan nyaris tak terdengar. Untungnya Jeffrey telah menyempatkan diri mengurai langkah kaki dan berdiri di dekat perempuan itu. Ia menemukan raut berselimut muram tertampil nyata pada wajah Rosé.

"Chamomile, berarti semua rintangan dapat teratasi, sesulit apa pun itu."

Masih tak nampak perubahan, wajah Rosé kian bertambah sendu. Jeffrey seakan mampu melihat pancaran kesedihan tersimpan di balik sepasang iris yang selalu indah.

"Petunia .... Pada akhirnya kamu tetap berada di sisiku."

Itu adalah lukisan ketujuh yang ditunjuk Rosé. Sekumpulan bunga Petunia dalam pot terbelah, satu bertanah kering dengan kelopak layu, dan sebelahnya bertanah lembab dengan bunga yang segar tengah bermekaran. Berikut, pandangan perempuan itu bergulir pada kanvas lain.

"Laurel artinya kemenangan usai peperangan di Roma."

Rosé menoleh tepat pada Jeffrey di sebelahnya. Terdiam ia memandangi pahatan wajah laki-laki itu bersama benak yang ditubruk bayang-bayang masa silam. Wajah yang serupa pernah tertampil begitu putus asa saat memohon.

"Aku berjanji, tidak akan menemui gadis itu lagi. Percayalah!"

Suara-suara menggema di telinga Rosé. Ia meraup oksigen cukup rakus guna mengisi dadanya yang mendadak diserbu sesak. Kembali, atensi berlabuh pada lukisan berikutnya.

"Morning Glory bermakna kabar baik bagi penanti kebahagiaan."

"Ayo menikah! Bersama-sama menjalani sisa usia sampai menua."

Lagi, sepatah kalimat yang tak pernah bisa Rosé lupa, menjajaki benak. Sungguh, tiada hari yang lebih membahagiakan dari hari di mana runtaian kata itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang Rosé cintai setengah mati. Ada seulas senyum samar yang Rosé taburkan kala mengingatnya, sebelum wajah perempuan itu kembali dirundung kelabu ketika memandang kanvas pada easel, sebuah papan kayu berkaki.

"Dan yang terakhir adalah Lilac."

Lukisan itu dibuat baru-baru ini, pun belum sepenuhnya jadi. "Bermakna pengalaman mengerikan yang dipenuhi oleh ketakutan," lanjut Rosé dengan suara setengah tercekat seiring genggaman jemari pada dua sisi selimut yang membungkusnya kian mengerat.

"Kau melukisnya berdasarkan pengalamanmu?"

Entah bagaimana Jeffrey bisa bertanya selugas itu sehingga Rosé dibuat tenganga alih-alih menjawab segera. Pandangan Jeffrey bergeser, menyatu dengan sepasang netra yang juga tengah memandangnya lekat. Jeffrey memangkas jarak di antara mereka lalu menaikan letak selimut Rosé yang tadi sedikit merosot seraya mulutnya bicara, "Karya seni tak lahir begitu saja. Kebanyakan dari mereka merupakan tuangan pengalaman hidup si pencipta."

Sejenak membiarkan keheningan mengisi jeda, Jeffrey bertanya, "Apa di masa lalu, aku pernah berbuat salah padamu?"

Dan, Rosé masih teredam dalam bisu, sekadar memandang jemari Jeffrey yang bertengger manis di sepasang lengannya sebelum menguntai sepatah kata lirih. "Tidak."

"Sebesar apa kesalahanku terhadapmu?" Sayangnya, Jeffrey tak lantas percaya begitu saja. Terlebih ketika ia memutar arah hadap tubuh Rosé sehingga mampu memandang wajah perempuan itu yang masih senantiasa bertabur kelabu.

"Aku menyakitimu? Mempermainkan perasaanmu? Atau aku—"

"—berselingkuh?"

Hening bertandang begitu lama usai Jeffrey meruntut banyak tanya. Dua pasang mata saling menyapa. Jeffrey jauh menyelam ke dalam lautan kepedihan yang terpancar dari retina milik Rosé. Ia mengklaim adanya kebohongan atas perilaku Rosé yang menggeleng dan mencoba menyingkirkan kedua lengan Jeffrey perlahan.

"Sudah kubilang tidak. Kau memperlakukanku sangat baik di masa lalu."

Rosé nyaris berlalu meninggalkan Jeffrey. Namun, entah bagaimana insting Jeffrey bekerja sangat cekatan menyuruh sepasang tangan pria itu mendekap Rosé dari belakang. Tergulung keterkejutan, Rosé mematung seketika. Terlebih ketika telinganya disuguhi sebuah kalimat yang seakan mampu menampar jiwa.

"Jika kau tidak mau bercerita padaku, setidaknya jangan membohongiku."

Jeffrey memang tak tahu pasti kehidupan Rosé di masa lampau. Yang jelas usai mencerna baik-baik setiap makna dalam lukisan yang Rosé jelaskan, Jeffrey menyimpulkan adanya luka terpendam yang entah dibuat oleh siapa. Kemungkinan besarnya adalah Jung Jaehyun, pria yang membersamai Rosé di masa-masa itu.

Kembali terseret dalam sadar bahwa ia baru saja ketahuan berbohong, Rosé hendak membebaskan diri dari pelukan Jeffrey. Namun, kedua lengan pria itu justru mengukung kian erat dan suara-suara rendahnya menerkam pendengaran Rosé.

"Dingin sekali. Sebentar saja, biarkan aku memelukmu."

Jeffrey tak berbohong. Udara malam seakan nyaris membuat sekujur tubuhnya membeku. Dan, perilaku mendekati kurang ajar yang tengah ia perbuat kini sedikitnya mampu menyajikan setitik rasa hangat. Jeffrey meletakkan kepalanya di perpotongan antara leher dan bahu Rosé di sana seraya merapal, "Maafkan aku."

"Aku minta maaf atas semua kesalahanku, yang aku tidak tahu sebesar apa. Jika kau merasa maaf saja tidak cukup untuk membayar rasa sakitmu, maka pukul atau bunuh saja aku."

Gemuruh dalam dada Rosé menggelora begitu hebat tatkala mendengar ucapan Jeffrey. Begitu sarat akan kesungguhan dan cukup merenyuhkan seisi hati dalam sekejap.

Terkekeh pelan, Rosé berucap, "Kau ini bicara apa?"

Merasa keseriusannya dibercandai, Jeffrey melepaskan dekapan guna memutar kembali posisi tubuh Rosé hingga mereka saling berhadapan.

"Aku serius," ujarnya bersama mata yang memandang lamat wajah cantik Rosé di sana. "Bukan hanya di masa lalu. Itu juga berlaku di masa yang akan datang. Jika kesalahanku tak termaafkan, kau harus membunuhku."

Seusai memperjelas, Jeffrey menyadari bahwasanya ia seakan baru saja menyerahkan nyawa pribadi. Ia sudah melakukan kesalahan yang tak pantas diberi pengampunan: membunuh lelaki yang begitu Rosé cintai sekaligus saudara kembarnya sendiri.

Rosé mengurai senyum. Satu tangannya terulur menggapai pipi Jeffrey, melabuhkan usapan sedemikian lembut. "Bagaimana bisa aku membunuh suamiku yang tampan ini? Asal kamu tahu, kamu adalah duniaku. Jika kamu sakit, aku juga sakit. Jika kamu sekarat, aku juga sekarat."

Lagi-lagi Jeffrey selayak manusia yang tengah berada di atas kapal tanpa nahkoda, diombang-ambing oleh ombak berkedok rasa. Di satu sisi ia dihempas oleh kenyataan pahit yang mengklaim dirinya adalah bagian dari penabur luka, di sisi lain angin sejuk menyapa dengan membawa kabar gembira yang membuat harapan-harapannya mengudara. Ia adalah luka terhebat bagi Rosé, tapi setiap tutur kata dan perilaku Rosé membuat Jeffrey tiada henti mengharap.

Harap-harap cemas agar ia tak berakhir mati di tangan perempuan itu.

"Sesungguhnya masih ada yang ingin kulakukan di sini. Tapi, kamu sudah sangat kedinginan. Wajahmu dingin sekali."

Suara lembut Rosé menyeret setumpuk sadar kepada Jeffrey. Pria itu segera merotasikan akal guna menanggapi tuturan Rosé tadi. "Memangnya mau melakukan apa lagi?" Ia bertanya kemudian.

Pandangan Rosé bergulir pada deretan cat air yang tersusun rapi di sebuah rak kecil dekat jendela. Satu tangan Jeffrey diraihnya, lalu Rosé menyeret pria itu kembali duduk di kursi rendah beralaskan busa empuk yang menghadap pada papan easel. Kursi itu cukup untuk menampung dua orang, Rosé mendudukan diri di sebelah Jeffrey usai meletakan kanvas bersih dan mengambil beberapa peralatan lukis.

"Aku mau melukis. Temani aku sebentar, ya?" Rosé berujar sembari melepaskan selimut yang sedari tadi membungkusnya untuk kemudian ia pakaikan di tubuh Jeffrey. Tak berbuat banyak, Jeffrey mengamati Rosé yang mulai bergerak menuangkan akrilik pada palet, jemarinya dengan lihai menggores warna dasar di atas permukaan kanvas.

Jeffrey menyingkirkan sedikit ruang yang menjeda posisi mereka hingga tubuh keduanya kian menjadi rapat. Satu selimut yang sama ia upayakan agar dapat membungkus tubuh Rosé pula meski tak sempurna sebab tangan perempuan itu memerlukan ruang agar bisa bergerak leluasa mengoperasikan kuas-kuas.

Mendapatkan sedikit perhatian, senyuman menoreh tipis di wajah Rosé teruntuk Jeffrey. "Apa yang hendak kamu lukis?" Satu pertanyaan, Jeffrey berikan seraya pria itu mengamati lekat sketsa yang Rosé buat.

"Lihat saja nanti!" jawab Rosé yang seketika membuat dua sudut bibir Jeffrey terkembang.

"Bagaimana kamu bisa begitu pandai melakukannya?" Lagi-lagi keheningan dipecah oleh Jeffrey yang kian menjelma manusia paling ingin tahu sedunia. Rosé tertawa kecil. "Ini sangat mudah. Kau mau mencobanya?"

"Boleh saja asal kamu tidak keberatan jika nanti aku justru membuat lukisanmu menjadi jelek." Jawaban Jeffrey sekali lagi membuat gelak tawa Rosé mengudara. Jeffrey turut terkekeh pula.

Seolah tak habis tingkah, Rosé mengambil penggaris panjang lalu membagi kanvas menjadi dua bagian yang sama melalui garis lurus yang dibuat ditengah-tengah. Ia menunjuk sisi kiri, "Ini tempatmu. Lukis apa pun yang kau mau di sini! Lalu—" ia menunjuk bagian yang lain, "aku akan melukis di sini."

Sekumpulan brush beraneka bentuk yang tergabung dalam satu wadah ia letakan di meja kecil dekat dengan Jeffrey, berikut palet ia letakan di atas pangkuan pria itu. Sejenak mengamati Rosé yang kembali memulai aksi menggores cat pada kanvas, Jeffrey akhirnya mengambil salah satu kuas dan dengan ragu memulai goresan pertama dengan cat warna putih dicampur merah muda.

Detik demi detik bergulir, berpuluh-puluh terlewati hingga lebih dari satu jam lamanya dua insani itu bergelut dengan karya masing-masing di sana. Sekali waktu, Rosé bersedia membantu Jeffrey memilah kuas atau warna, dan Jeffrey menjelma manusia maha sibuk sejagat raya. Sibuk dengan gambar beserta gemuruh rasa di dada kala Rosé merengkuh jemarinya yang juga tengah menggenggam sebuah kuas. Rosé tak segan mengajari Jeffrey cara melukis dengan benar menurut versi perempuan itu.

Terkadang, canda ada di tengah-tengah mereka. Rosé dengan iseng mengotori punggung tangan atau pipi Jeffrey dengan kuas berselimut cat. Tak diam saja, Jeffrey pun kerap membalas perlakuan Rosé, mencoreng ujung hidung Rosé dengan cat berwarna hitam dan berakhir menggaduh tawa sebab itu nampak lucu baginya.

Terlebih ketika bibir Rosé mengerucut. Melahapnya merupakan keinginan terpendam di lubuk hati Jeffrey yang mustahil ia realisasikan. Meski mencium Rosé tak akan membuatnya dipidanakan, tetapi akal Jeffrey telah mewanti-wanti hati.

Benar. Mustahil untuk hatinya tak terpidana, terperangkap di balik jeruji asmara, dan bukan baja.

"Itu apa?" Jeffrey bertanya ketika sesi melukis bersama mereka menemui penghujung. Dua lukisan berbeda di satu kanvas yang sama telah selesai dibuat.

Terdiam sejenak sembari memandang itu, Rosé menjawab singkat, "Helleborus."

"Maknanya?" Jeffrey bertanya lagi dan berakhir menerima pandangan tanpa arti dari Rosé di sana tatkala mulut perempuan itu kembali merapal susunan kata, "Seseorang yang datang memberi kekuatan hingga membuang segala ketakutan yang ada."

Kemudian seuntai senyuman tersemat cantik di wajah perempuan itu, berhasil menenggelamkan Jeffrey dalam kubangan rasa kagum begitu dalam.

"Lalu kamu? Bagimu, apa makna bunga Magnolia?"

Jeffrey sudah memberitahu Rosé saat perempuan itu menawarkan bantuan beberapa saat lalu. Lukisan bunga Magnolia hasil karya Jeffrey tak luput dari campur tangan Rosé. Mata Jeffrey menelanjangi pahatan rupa perempuan di sampingnya lamat-lamat.

"Bertemu seseorang yang ditakdirkan."

Tak ada binar-binar di wajah Jeffrey barangkali sedikit, tetapi senyuman Rosé justru kian terkembang lebar. Kehadiran perempuan itu dalam hidup Jeffrey bukan semata-mata malapetaka, hanya saja mendefinisikannya ke dalam kamus 'bahagia' juga bukan sesuatu yang murni benar.

Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Jeffrey dari sepasang bibir manis. Rosé bersama senyumannya di sana menjelma perempuan paling cantik yang pernah Jeffrey temui. Sementara Jeffrey menjelma manusia paling tidak waras sedunia karena meladeni kemauan hati yang mendadak tak bisa diajak kompromi.

Jantung kian menjadi ricuh, dikala jemari Jeffrey meletakan sebuah kuas di atas wadah untuk kemudian sepasang tangannya yang kosong itu menggapai dua sisi wajah Rosé. Selimut tak lagi menutupi punggung mereka berdua, dibiarkan terjatuh mencium lantai pualam dan menonton dua manusia berakhir dalam percumbuan.

Jemari Rosé mencengkram ujung gaun di atas pahanya, merasakan sapuan lembut bibir Jeffrey yang memabukkan. Dua matanya terpejam menikmati hangat deru napas Jeffrey menerkam permukaan kulit wajahnya, mengalahkan udara dingin dari luar yang menerobos ventilasi ruangan.

Setelah bersekon-sekon tenggelam dalam aktivitas yang tak semestinya ada, kesadaran hadir menguasai Jeffrey kini. Ia mencipta jeda, meraup napas sebanyak yang ia bisa sembari mengontrol debaran di dada. Dalam jarak yang sedemikian singkat, penglihatan Jeffrey menangkap benda berkilau di leher milik Rosé.

"Kalungnya cantik. Itu hadiah dari kakakmu?" Jeffrey menebak. Suaranya mendadak berubah jadi serak dan terlampau rendah sebab ia tak sempat menetralkan itu.

Jemari Rosé refleks meraba liontin setangkai mawar kecil yang menggantung. "Ah, kakakku bilang, ini dari Mingyu."

Maka, sedetik berikutnya gelenyar aneh menyapa jiwa Jeffrey. Perasaan tak suka yang melebihi porsi kian membelenggu Jeffrey sepanjang melihat benda perak itu. "Mawar, kau tahu maknanya?" Bibir Jeffrey bertanya tanpa sadar.

Rosé memutar bola mata. "Kasih sayang?" tebaknya. Jeffrey terdiam begitu lama, tak ada sangkalan meski Jeffrey memikirkan makna yang lain. Hembusan napas Jeffrey terdengar sangat jelas di telinga Rosé. Suasana mendadak jadi canggung tiada kira.

"Jika kamu tidak suka aku bisa melepasnya." Rosé bersuara, nyaris merealisasikan niat tetapi Jeffrey terburu-buru menahan tangan perempuan itu. Ia menggeleng. "Itu cantik. Sangat cocok denganmu."

Berikut, Jeffrey melepaskan tangannya yang mendadak seolah kehilangan sejumlah energi. Lemas tanpa sebab. Hadiah Natal dari Mingyu jauh lebih layak ketimbang Jeffrey yang sekadar memberi sebuah buku. Suara benak Jeffrey berseteru, tiada henti memaki pria itu hingga menyisakan kadar sesal yang cukup banyak.

Jika dapat mengulang waktu, Jeffrey juga akan pergi ke tokoh perhiasan dan membelikan benda-benda cantik teruntuk Rosé.

Pikiran Jeffrey menjadi kacau dalam kurun waktu yang tak sebentar hanya karena perkara 'pemberian'. Bahkan sampai mereka menyelesaikan makan malam bersama dan berbaring di ranjang, Jeffrey masih dibuat kesulitan menata rasa meski tenang tertampil di wajahnya saat kembali mendongeng untuk Rosé.

Memenuhi janji untuk membacakan satu bab setiap malam menjelang tidur, satu bagian dari novel fiksi sejarah yang Jeffrey berikan kemarin malam tak ia bacakan hingga habis lantaran Rosé lebih dulu jatuh dalam lelap. Mungkin efek obat yang banyak mengandung antihistamin sehingga berpotensi menyebabkan kantuk.

Barangkali, kini Jeffrey-lah yang membutuhkan obat itu sebab matanya masih saja terjaga hingga tengah malam tiba. Mengklaim dirinya butuh penyegaran, Jeffrey beranjak dari ranjang, menyempatkan diri membenarkan letak selimut yang menutupi tubuh Rosé sebelum meninggalkan kamar.

Ia berakhir di sebuah ruangan bernuansa gelap dengan satu lentera di meja yang sengaja ia nyalakan. Sebuah buku yang membahas polemik bisnis sempat ia baca hingga pertengahan bab, sampai suatu ketika komputer yang teronggok manis di hadapan menarik atensi Jeffrey.

Layar benda itu menyala begitu Jeffrey menekan sebuah tombol. Beruntung Jeffrey masih mengingat jelas sandi yang terpasang usai sempat meretas beberapa waktu silam. 950819 bukan tanggal ulang tahun Rosé maupun Jaehyun, bukan pula hari spesial seperti hari pernikahan atau hari jadi jadian. Entah apa yang memotivasi Jaehyun memilah delapan digit angka tersebut, Jeffrey enggan pusing-pusing berpikir.

Kini Jeffrey tengah berpuaya masuk kembali pada akun surat elektronik yang ia buat baru-baru ini. Membuka bagian pesan diterima, nama Lucas terpampang di deretan kedua setelah Mark. Jeffrey menyempatkan diri membuka pesan milik Mark terlebih dahulu. Tak berisi apa pun selain foto seekor anjing dengan sepatah penjelas, 'Namanya Lily. Aku mengadopsi belum lama ini. Jaga dirimu baik-baik kawan!'

Berikut, Jeffrey membuka pesan dari Lucas, balasan atas pesan yang tempo hari Jeffrey kirimkan. Niat Jeffrey adalah bertanya perihal siapa yang menyuruhnya menabrak Ferrari gading kala itu. Namun, Jeffrey tak bisa secara gamblang bertanya sebab sebagai seorang buronan, pergerakan komunikasinya jelas dipantau ketat kepolisian. Identitas pada surat elektronik mesti Jeffrey palsukan, pun Jeffrey menggunakan soal ujian listening bahasa Inggris untuk sekolah menegah atas sebagai media mencantumkan pesan suara.

Sederet angka diikuti judul artikel berbahasa Inggris adalah kode dari Lucas.

1. Justine Bieber Remix Pushes Wizkid's 'Essence' to Top 10 Hot R&B/Hip-Hop Songs Chart

2. North East August Bank Holiday weekend weather forecast as Met office gives update

3. John Lennon's 'Imagine', blared at the Olympics, is a totalitarian anthem

4. Dhani Harrison speaks out about John Lenon's past comments on 'All Things Must Pass'

5. Orion Lee on What King- Lu is Tingking in His Last Scene with Cookie in 'First Cow

6. Smiley: When there's nothing to cheer about

7. Prince's "Welcome 2 America"Seems like a Gift an Betrayal

8. Butternut Box Survey Revelas That only 7 % of Brits Have The Food They Feed Their Dig

9. Stars Light Up The Red Carpet At 57th Baeksang Arts Awards

Bukan hal yang tabu lagi bagi Jeffrey, ia mampu menganalisis itu dengan cepat. Satu huruf diambil berdasarkan urutan angka. Nomor satu, maka diambil huruf pertama dari judul artikel tertera. Nomor dua, maka huruf kedua diambil dari judul artikel kedua, begitu seterusnya.

Jeffrey terdiam. Tangannya lepas kendali dari mouse komputer dan beralih mengusap wajah yang terasa kebas.

"Johnny Suh?"

Satu nama melesat dari bibir Jeffrey, seketika membuahkan ekspresi tak percaya. Ada lega juga waspada dikala ia menyadari bahwa musuhnya begitu dekat. Jika Jeffrey tidak sedang dalam masa mengemban tanggungjawab merawat Rosé, maka detik ini juga Jeffrey akan melesat membunuh Johnny.

Namun, alih-alih melaksanakan keinginan gila itu, Jeffrey berakhir berdiri di tepi ranjang, tempat sosok perempuan terlelap begitu damai. Dengan dua tangan menghuni saku, Jeffrey memandang wajah Rosé dalam diam selama bermenit-menit. Sampai suatu ketika entah apa yang membuat perempuan itu kemudian terjaga. Sosoknya menyipitkan mata seraya meracau lirih, "Jaehyun...."

"Kau habis dari mana?"

Jeffrey tak menjawab. Ia masih dalam posisi yang sama begitu juga dengan mulutnya yang masih terkatup rapat. Rosé menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Sini tidur!"

Dan, Jeffrey tak lagi punya alasan untuk berdiri berlama-lama. Maka, kembali ia masuk ke dalam selimut dan membaringkan diri di atas ranjang bersama perempuan yang kini beranjak masuk dalam dekapannya.

Hanya Jeffrey yang tahu, perihal kecemasan yang hadir secara tiba-tiba usai teringat akan momen di mana Rosé begitu ketakutan tatkala duduk di dekat Johnny. Jeffrey sangat yakin, perempuan itu tahu sesuatu.

"Johnny, dia pria jahat bukan?"

Iseng saja Jeffrey bertanya. Ia tak berharap sangat Rosé akan menjawab. Dan, lagi-lagi perempuan itu hanya hening, tetapi Jeffrey merasakan Rosé yang bergerak membuat tubuh mereka kian rapat, seakan ingin menenggelamkan diri ke dalam pelukan Jeffrey.

Tak ada penolakan dari Jeffrey di sana. Justru, Jeffrey semakin erat merengkuh tubuh Rosé, mengusap pelan puncak kepala perempuan itu dengan mulut yang berucap lirih,

"Tidak akan kubiarkan dia melukaimu."

[]

[SILHOUTTE: After A Minute]

***

Rose with her short hair

***

hello semuanya. ada yang merasa part ini cukup panjang dan bikin bosan? :)

and finally, Jeffrey tahu tabiat Johnny. konflik bakal dimulai dari sini mwehehe. semoga kalian tetap antuasias mengikuti jalan cerita SILHOUTTE

untuk part ini sekian dulu. nanti kita ketemu lagi di lain waktu. terima kasih atas dukungan kalian semua.

Love you tiga ribu, kembali dua ribu :v

***

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

541K 59.4K 39
Setting: Canon (cerita lengkap) Highest rank: #1-tear #2-Canon #3-Sasusaku #3-Sakura #322-Fanfiction #10-Anime #20-Sasuke #83-friendship #575-sad #47...
61K 8.5K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
285K 36K 30
[COMPLETED] Pertemuan yang diawali dengan perselisihan antara kapten cheerleader dengan kapten basket. Sakura Haruno dengan Sasuke Uchiha. Kedua insa...
25.8K 3.6K 67
Kelas A, kelas unggulan yang selalu dibangga-banggakan oleh banyak orang, ternyata menyimpan sebuah misteri yang tak banyak diketahui. Satu persatu m...