NALLAN 2

By salsha_writer

1M 164K 178K

Bisa langsung baca tanpa baca Nallan 1 β€’β€’β€’ [Rank 1 : #mom] Mei, 2022. [Rank 6 : #spiritual] Mei, 2022. [Rank... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
BAGIAN 58
AYO BACA INI

Bagian 4

32.3K 4.2K 1.8K
By salsha_writer

HAPPY READING







"Terimakasih atas kerja samanya, Alan. Saya sangat senang bisa mengunjungi Indonesia dan juga perusahaan Anda." ucap Agung, pembisnis besar asal Malaysia bersama rombongannya.

Alan tersenyum ramah, ia kini berjabat tangan bersama Agung. "Saya harap usaha kita bisa terus meningkat seiring waktu."

"Mari, Pak. Di depan sudah banyak wartawan yang menunggu untuk menanyakan kerjasama antara Bapak Agung dan Tuan Alan." ucap Vian dengan hormat.

Pak Agung dan Alan kini segera berjalan menuju ke depan kantor untuk mendatangi wartawan yang sudah menunggu. Jika di hindari terus, pastinya mereka tidak akan pergi hingga malam tiba.

Di setiap langkah kaki mereka, Alan terus berbincang-bincang dengan pak Agung seolah sudah lama akrab.

Walaupun Pak Agung sudah berumur empat puluhan, itu tak akan membuat Alan merasa tidak enak atau merasa dirinya paling muda, justru dengan berkenalan dengan orang yang lebih dewasa dan profesional, wawasan Alan akan semakin bertambah.

Sesampainya di depan kantor perusahaan Victory Next Enter, pintu langsung terbuka lebar dengan sendirinya.

Sontak para Wartawan langsung saling dorong-dorongan demi bisa berdiri di dekat Alan dan Pak Agung. Mereka terus menanyakan berbagai hal pada dua orang itu.

Tak sampai di situ, beberapa Reporter yang melaporkan berita terkini juga ikut berdiri di antara para Wartawan.

"Sejak kapan kalian memulai kerjasama?"

"Apa ada kendala dalam hal ini?"

"Anggaran berapa untuk bisnis awal kalian?"

Berbagai pertanyaan terus terdengar, dari tengah, ujung, kanan, kiri dan belakang.

"Siapa yang mencuri foto istri anda, Tuan Alan?"

Alan terdiam saat salah satu Wartawan menanyakan hal itu padanya. Sontak semua orang yang ada di sekeliling Alan kini menatap Wartawan tersebut.

Vian langsung menggeram.

"Bukankah baru kemarin kejadian nya, Pak? Kenapa media tidak memberitakan? Atau hanya aku saja yang tahu?" sontak Wartawan itu langsung di bawa paksa oleh dua Satpam agar segera keluar dari halaman perusahaan ini.

Pak Agung sekilas melirik ke arah Alan. Mungkin, karena tahu jika Alan yang kini terdiam dan sedang menyimpan masalah, pak Agung memilih menepuk pelan bahu anak itu, memberi semangat.

"Sudahlah, jangan di pikirkan." ucap pak Agung menenangkannya.






***









Siang ini, Alan sedang menunggu kehadiran anak dan istrinya.

Bukan baru kali ini ia dan keluarga kecilnya makan bersama di kantor. Kalau dihitung mungkin sudah puluhan kali karena Alan hanya nyaman makan bersama Nalla dan Arsyad.

Selesai sholat zuhur di Musala kantornya, Alan bergegas menuju ruang makan pribadi di lantai tiga.

Sementara Vian, pria itu kini sedang makan di kantin bersama beberapa Manajer. Jika tidak Alan yang menyuruhnya, mungkin Vian tak akan mau makan bersama orang-orang itu.

Kini berbagai makanan mewah sudah dihidangkan oleh beberapa koki. Setelah selesai, koki-koki itu pun pergi keluar ruangan.

Di ruangan ini, hanya ada Alan yang sedang duduk dikursi utamanya sambil meletakan ponsel di telinga kanan.

"Assalamualaikum, di mana?"

"Waalaikumsallam... Ini lagi sama klien, baru aja. Soalnya tadi pagi Arsyad itu nangis-nangis, makanya aku pulang lagi ke rumah."

Alan menghela napasnya, lalu memijit pelipis, "Kan udah aku bilang, kita makan siang di kantor hari ini."

"Oh, iyaa...lupa sayang, gimana dong. Ini aku udah pesan makanan sama klien di kafe."

"Cowok atau cewek?"

"Ih, kamu kok gitu sih nanyanya?"

"Cowok atau cewek?"

"Cowok, dia klien lho, sayang. Lagian cuma lima belas menit doang dia ceritain semua ke aku, terus kami mau cari saksi____"

"Suruh aja Lila bawa Arsyad ke kantor aku, sekarang."

"Iya."

Alan langsung memutuskan sambungan teleponnya. Lalu melemparkan benda pipih itu ke atas meja dengan kasar.

Kini ia menjadi gelisah. Kedua tangannya melipat di depan dada, namun ia tepis rasa gelisah itu karena beberapa bodyguard-nya sudah ia suruh untuk selalu berada di dekat Nalla.

Tiba-tiba ia kepikiran soal pencuri foto itu. Apalagi dengan orang yang mengaku sebagai anaknya pencuri itu.

Pria yang baru saja ke tangkap itu. Ia lupa akan menanyakan hal ini pada polisi. Apalagi, anak pencuri itu datang mencaci maki dirinya di depan semua orang.

Tanpa sepengetahuan Alan, tiba-tiba seseorang kini masuk melewati pintu kedua yang membelakanginya.

Orang itu langsung menutup kedua mata Alan dari belakang.

Cup!

Ia mencium pelan pipi Alan dengan lembut, lalu memeluknya.

Tentu saja Alan mengenalnya. Wanginya yang begitu ia sukai.

"Surprise..." ucap perempuan itu sambil membuka tangannya yang menutupi mata Alan. Lalu ia melangkah ke depan, berhadapan dengan orang yang begitu ia cintai.

Alan menatapnya dingin, lalu langsung menarik perempuan itu kepangkuannya. "Udah pintar bohong ya?" Alan menaikan sebelah alisnya, menginterogasi perempuan itu dengan tegas.

Perempuan itu tersenyum, lalu mengalungkan tangannya ke leher Alan. "Maaf, aku sengaja bohongi kamu, aku ketemuan sama klien sore nanti kok, siang ini waktunya sama kamu doang." jawab Nalla sambil menarik pelan dasi Alan.

"Ekhm, permisi Tuan, Nyonya..."

Nalla langsung turun dari pangkuan Alan.

Nalla berusaha menetralkan suasana dengan melihat-lihat makanan yang sudah di hidangkan. Sementara Alan, ia terlihat biasa saja.

Vian masuk ke dalam ruangan, lalu berhadapan dengan Alan.

"Tuan, salahsatu polisi baru saja memberi kabar kalo orang yang mencuri foto itu sudah ditangkap tadi pagi."

Mendengar ucapan Vian, Nalla terdiam sesaat. Lalu mengerutkan dahi. "Apa? Siapa yang mencuri?"

Alan menggerakan dagunya, menyuruh Vian pergi.

Vian menunduk, "Permisi, Tuan, Nyonya." ucapnya, lalu segera keluar dari ruangan.

Nalla kini menatap Alan, ia segera duduk di samping suaminya itu.

"Apa maksud Vian? Kantor ini kemalingan ya?"

Alan menarik kepala Nalla, lalu mengecupnya pelan. "Udah, yuk. Makan dulu. Oh, iya...jagoan aku mana?" Alan kini menatap sekeliling ruangan, mencari keberadaan anaknya.

"Lagi sama Lila di minimarket bawah, katanya mau beli susu." ucap Nalla sambil menyediakan makanan untuk Alan dan dirinya.

"Ha?"

"Mau beli susu sapi."

"Ohh..."

Kini mereka berdua makan bersama dalam satu piring.

Sesekali mereka saling suap-suapan dan tertawa bersama.

Jujur saja, Alan dan Nalla sangat merindukan momen-momen mereka berdua seperti ini.

"Janji ya."

"Janji apa?" tanya Alan bingung.

"Kita selalu kayak gini terus, jangan saling cemburu atau marah-marahan lah."

"Aku cemburu karena aku sayang."
jawab Alan simple.

Nalla menahan senyumnya, "Mama rindu kamu lho, katanya kalo ada kamu di Bandung pasti seru," ujar Nalla sambil menyuapi Alan lagi layaknya bayi.

"Oh, ya? Nanti ada saatnya aku ambil cuti, kita bertiga liburan ke sana."

"Kamu gak pernah ada cuti!"

"Kenapa kamu nyuapin aku terus? Kamu gak makan?" tanya Alan.

Nalla menggeleng, "Aku dateng ke sini untuk nyuapin bayi besar."

Alan menahan senyumnya melihat Nalla menyebutkan hal itu untuk dirinya. "Bayi itu sukanya di cium,"

"Eh?"

"Kenapa? Gak mau?"

"Jangan aneh-aneh deh, ini kantor, dan di sini banyak CCTV-nya."

"Di sini." Alan menunjuk bibirnya.

"Apaan sih? Kamu tuh kata karyawan-karyawan di sini galak banget, horor, dinginnya kayak di kutub, tapi kalo udah sama istrinya manja____"

Nalla menahan kaget saat Alan benar-benar menciumnya. Nalla memegang punggung Alan dengan jantung yang sepertinya terus meritme di dalam sana.

"Papa, mama..." dengan cepat Alan melepaskannya. Sontak mereka berdua kini merasa canggung pada anaknya yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan sendirian.

"Papa, mama...lagi apa?"

Alan kini menggigit bibirnya sendiri, lalu langsung menangkap Arsyad dan menggendongnya. "Jagoan Papa dari mana?" Alan segera membawa anaknya keluar dari ruangan, meninggalkan Nalla yang masih syok dan terdiam.







***








Alan, Nalla dan Arsyad kini berada di gedung perusahaan paling atas sekali, sehingga mereka dapat melihat keindahan yang ada di bawah sana serta awan-awan yang tampaknya begitu sangat mudah di gapai.

Ini sangat menakjubkan.

"Besok Papa akan bawa kamu ke sana." tunjuk Alan pada sebuah pantai yang terlihat dari atas sini.

Arsyad kini di turunkan oleh Alan dari gendongannya. Lalu Arsyad mendekat ke jendela kaca itu.

"Apa Papa serius?" tanya Arsyad sambil menatap sang papa.

Alan terlihat berpura-pura berpikir, lalu ia segera berdiri di samping putranya. "Tentu saja, Papa akan membawamu keliling dunia." ucap Alan dengan yakin.

"Apa Mama akan di ajak?" tunjuk Arsyad pada sang mama yang kini sedang duduk di sofa sambil bermain ponsel.

"Papa tidak akan bisa menahan rindu lagi dengan Mama kamu, tentu saja dia harus ikut."

Mendengar itu, Nalla menahan senyumannya.

"Apa Papa tau? Sewaktu Mama dan aku ada di rumah Oma, Mama mengatakan ia begitu rindu padamu, dia mau menelpon tapi takut menganggu pekerjaanmu."

Mendengar lontaran dari Arsyad, Nalla melototkan matanya.

Mengapa anak itu bisa mengingat hal yang begitu tidak penting?

Tentu saja sekarang Nalla menahan malu karena Alan meliriknya.

Alan kembali menatap putranya. "Dengar, Sayang. Mama kamu memang seperti itu. Dia suka memendam perasaannya dan malu mengatakannya pada Papa." sindir Alan pada istrinya.

"Apa itu memendam perasaan, Pa?"

Alan terdiam.

Sepertinya ia salah bicara di depan anaknya. Lalu menggeleng, dan kembali menggendong Arsyad.

"Sudahlah, ayo temani Papa tidur siang sebentar." Alan membawa Arsyad menuju sofa yang ada di dekat Nalla.

Sofa itu berukuran besar. Sangat cocok untuk tiduran di sini karena berada di lantai atas dengan di kelililingi oleh kaca sehingga dapat melihat keindahan di luar sana.

Alan merebahkan kepalanya di paha Nalla, lalu menyuruh Arsyad duduk di atas perutnya.

"Dengar ya, jangan loncat-loncat. Tubuhmu itu berat." ucap Alan pada anaknya.

"Lalu kenapa Papa meletakan kepala di atas kaki Mama? Bukannya Papa berat juga?"

Nalla terkekeh mendengarnya.

"Kenapa anak Papa cemburuan sekali? Apa kamu tidak ingin melihat Papamu senang?"

Arsyad menggeleng, tanda tidak ingin.

Alan memejamkan mata. Bisa-bisanya Arsyad cemburu jika dirinya terus bersama Nalla.

"Lihat, Sayang. Anak kita." adu Alan pada Nalla.

Nalla menyimpan ponselnya ke dalam tas. Lalu ia fokus pada anak dan suaminya.

"Harusnya kamu dong yang ngalah sama Arsyad." ujar Nalla sambil terus menyisir rambut suaminya dengan lembut.

Entah kenapa tiba-tiba Arsyad tertawa.

Alan yang sejak tadi memejamkan matanya kini terbuka. Lalu ia menatap anaknya dengan gemas. "Tuhkan, senang kan Mama bela kamu." ucap Alan pura-pura kesal.

Arsyad tertawa lagi.

"Sayang, cium pipi aku ayo." ucap Alan sambil menarik tangan Nalla agar lebih dekat dengan wajahnya.

"Eh, apaan sih?"

"Ayo cepet cium."

Arsyad turun dari atas tubuh papanya. Lalu berjalan ke samping sang mama. "Mama, pulang." rengek Arsyad yang kini menarik baju Nalla dengan kuat.

"Tuh, kan." Nalla menggeram pada Alan. Sontak Alan bangun dari tidurnya dan menahan tawa.

"Mama ayo pulang, Papa jahat!"

"Enggak, hei enggak...Papa cuma bercanda doang. Kamu baperan banget sih." ucap Alan pada anaknya sambil tertawa.

Nalla menatap horor pada suaminya.

"Aku pulang nih." ancam Nalla.

Melihat padangan Nalla yang tampak sudah marah, Alan kini mulai meredakan tawanya. "Oke..." Alan kini berdiri dan merapikan jasnya yang berantakan.

"Oh iya. Kamu belum ceritain soal orang yang mukulin kamu dan soal apa tadi? Pencuri foto?"

Alan terdiam ketika hendak memperbaiki dasinya.

Ia hampir lupa menjelaskan ini pada Nalla. Lalu ia duduk kembali di samping istrinya. Ia juga membiarkan Arsyad yang kini sedang berlarian ke sana-kemari.

"Kemarin, di antara koki yang aku sewa di restoran ternama, salah satu di antara mereka adalah buronan polisi. Dan satu orang lagi temannya juga di tangkap di rumah kita."

Nalla menahan kaget mendengarnya.

"Mereka mencuri foto keluarga kecil kita yang aku pasang di ruang jamuan tamu." Alan tak bisa menatap Nalla, ia takut untuk menceritakan soal orang itu memotret bagian tubuh Nalla.

"Untuk apa mereka mencuri foto kita?"

"Aku juga gak tau, siang kemarin, kantor ini kembali kemalingan. Dengan orang yang berbeda, tapi lagi-lagi mereka juga mengambil foto kita, Nal." Alan kini menatap Nalla, wajahnya sangat khawatir terhadap istrinya.

"Aneh banget, aku jadi takut, Arsyad anak kita..." Nalla kini menatap Arsyad yang tengah bermain di sana.

Alan menarik Nalla ke dalam pelukannya. "Tenang aja, aku bakal buat kamu aman. Kalo perlu, aku bisa nambah lebih banyak lagi bodyguard nantinya."

Nalla mengeratkan pelukannya pada pinggang Alan. Lalu membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.

Ia merasa nyaman dan tenang sekarang.

"Itu alasan aku agar kamu berhenti kerja, tapi kamu masih lakuin hal itu, Nalla."

Nalla mendongakan kepalanya menatap Alan. "Tapi aku kan di jagain sama bodyguard kamu."

Alan memejamkan matanya sejenak, lalu menunduk, menatap istrinya. "Kamu tau apa yang mereka inginkan dari foto itu?"

"Apa?"

Alan terdiam seketika. Bisa-bisanya ia hampir kecemplosan soal ini.

Tapi, ini juga belum 100% benar. Polisi harus mencari tahu lebih dalam rencana di balik semua ini.

Alan menggeleng, "Enggak, aku rasa mereka ingin memanfaatkan momen ini dan menjual foto itu dengan harga tinggi."

Nalla kembali memeluk suaminya itu. "Aku takut, anak kita." lirihnya.

Alan mencium puncak kepala Nalla dengan lembut, lalu beralih mencium keningnya. "Udah, tenang. Gak akan ada apa-apa."

"Permisi, Tuan dan Nyonya."

Alan dan Nalla langsung melepaskan pelukan mereka.

"Ada apa?" tanya Alan.

Vian kini mendekati Tuannya, "Tuan, kita harus ke kantor cabang untuk pemeriksaan kendala yang terjadi." ucap Vian melaporkan.

Alan mengecek jam. Ternyata sudah hampir jam setengah tiga sore. Benar-benar tidak terasa jika sudah bersama anak dan istrinya.

"Kamu pulang duluan sama Arsyad ya. Aku mau selesaikan tugas di kantor cabang, gak jauh kok dari sini." ucap Alan pada Nalla.

Nalla mengangguk, "Mana Lila?" tanyanya pada Vian.

"Lila ada di lantai satu nyonya, dia sedang berbincang dengan salahsatu karyawan di sini."

"Yasudah, siapkan mobil dan lima bodyguard untuk kawal istri dan anak saya pulang." perintah Alan pada Vian.

"Baik, Tuan."









***











Sore ini, Alan dan Vian pergi menuju ke kantor cabang untuk memperbaiki kendala yang terjadi di sana.

Sepertinya yang Alan duga sejak lama, para karyawan di sana tidak cukup terampil seperti karyawan di perusahaannya. Apa-apa selalu saja mengadu pada Alan. Untuk hal kecil apapun itu, pasti akan mengadu pada Alan.

Memang Alan adalah CEO mereka. Mengurus kantor cabang tersebut. Namun, di dalam kantor itu juga ada yang Manajernya. Alan juga sudah mempercayai orang itu.

Lalu, kenapa para karyawan selalu lari kepada Alan?

"Mereka mengatakan jika Pak Gibran tidak bisa mengatasi hal kecil di kantor, Tuan." ujar Vian.

Itu bukan hal yang baru bagi Alan. Gibran tetaplah Gibran. Tak akan pernah tergantikan dengan sifat barunya. Walaupun begitu, Alan masih tetap mempertahankan cowok itu bekerja di perusahaan cabang miliknya.

Tiba-tiba Alan menyipit, lalu memukul pelan bahu Vian, "Berhenti." perintah Alan.

Vian memberhentikan mobilnya. Lalu ia ikut melirik ke arah yang Alan lihat sekarang.

"Kamu ingatkan sama gadis itu?" tunjuk Alan pada seorang gadis yang kini sedang memarahi salahsatu penjaga kedai yang ada di pinggir jalan.

Vian mengangguk, "Iya, Tuan. Dia yang marah-marah tadi pagi di kantor dan membawa pisau."

Alan terus mengintai gadis itu dari balik jendela kaca mobilnya, untung saja kaca mobil Alan gelap.

Tak lama kemudian, gadis itu pergi meninggalkan penjaga kedai tersebut yang kini mengeluskan dadanya, menahan sabar.

Dengan cepat, Alan segera turun dari mobil. Sontak saja Vian terkejut melihatnya, lalu ia ikut turun dari mobil juga.

"Permisi, Pak." ucap Alan pada penjaga kedai itu.

Penjaga kedai tersebut tak jadi masuk ke dalam kedainya, kini ia menatap kaget pada Alan. Lalu di lihatnya tubuh Alan dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Tampaknya aroma uang mulai menyengat pada hidung penjaga kedai tersebut.

"I-iya? Ada a-apa ya?" tanyanya grogi karena baru kali ini ia berhadapan dengan orang yang mirip seperti menteri.

"Maaf, sebelumnya. Siapa gadis yang baru saja marah-marah di sini tadi?" tanya Alan to the point.

"Oh, itu. Dia anak penjual kue, biasa ibunya nitip kue di sini. Terus kuenya gak laku, jadi dia malah marahin saya, katanya gara-gara saya tutup sebentar tadi pagi," jelas penjaga kedai itu.

"Anak mana dia?"

"Dia anak gang Mekar di sana, Pak. Denger-dengernya sih, bapaknya baru aja ditangkap sama polisi."

Mendengar itu Alan dan Vian menahan kaget. Ternyata, benar apa yang gadis itu katakan.

"Makasih, Pak."

"Sama-sama."

Alan dan Vian kembali ke mobil. Tak lama kemudian, Alan memijit pelipisnya. Ada sedikit rasa bersalah dengan apa yang Alan lakukan terhadap keluarga itu.

"Vian."

"Iya, Tuan muda."

"Ada info soal nomor rekening gadis itu?"

"Satpam bilang, gadis itu tidak menitipkan nomor rekeningnya, Tuan." jawab Vian.

Alan semakin merasa ada cemas. Pasalnya, gadis itu mengatakan jika ibunya sedang sakit. Jika benar dan nantinya terjadi hal yang tidak di inginkan, Alan akan terus menyalahkan dirinya dan tidak akan pernah tenang.

Untung saja mobil Alan belum berjalan. Dengan tiba-tiba gadis itu keluar dari gang dengan berjalan kaki. Alan menepuk bahu Vian.

"Kejar gadis itu."

"Baik, Tuan."

Vian melajukan mobilnya, lalu saat akan dekat dengan gadis itu, ia mulai memelankan mobil.

Sontak gadis itu berhenti melangkah. Begitupun dengan mobil Alan yang kini berhenti di sampingnya.

Dapat Alan lihat, mata gadis itu sembab dan memerah seperti habis menangis.

Perlahan, kaca mobil Alan turun, lalu gadis itu menahan kaget saat melihatnya.

Alan menatapnya datar, lalu dengan canggih pintu belakang mobil milik Alan kini terbuka lebar.

"Masuk." perintah Alan.

Gadis itu mengerutkan dahinya.

"Kamu tuli? Saya bilang masuk, ya masuk!" gertak Alan.

"Dasar orang gila. Gue gak akan sudi masuk ke dalam mobil lo. Enak banget maksa-maksa orang, lo pikir gue cewek gampangan apa? Hah?" balas Hazen emosi.

Alan menggertakan rahangnya, gadis ini begitu keras kepala.

"Saya janji, mau kirim uang ke rekening kamu, kan?"

Hazen terdiam sejenak, lalu berpikir kembali.

"Masuk!" gertak Alan lagi.

Dengan berat hati, Hazen masuk ke dalam mobil Alan.







___________



Wangi duitnya sampe sini ya😌

NEXT? VOTE AND SPAM KOMEN.

Foto Hazen bakal aku spill di IG, jadi jgn lupa follow ig di bawah ini yaa gaes❤️❤️❤️

FOLLOW IG :
@NALLAN.OFFICIAL
@ADANY.SALSHAA (AUTHOR)

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 184K 59
Ini tentang mereka. Artalyta Venustya dan Feerlycia Angelita, dua remaja yang harus bersatu hanya karena sebuah kejadian. Feerly yang harus sabar da...
3.6M 27.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.2M 10.3K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
1M 4.9K 6
Sequel Alzio & Azalea Menceritakan tentang perjalanan cinta yang belum usai Alzio Aezar Elver dan Azalea Belva Bellamy. Alzio Aezar Elver merupakan...