Caramello Kiss-O

By Ai_Ailee

771K 20.8K 2.7K

Namanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau a... More

Caramello Kiss-O
First Meet, First Love, First... - Mello's
Ridiculous? -Alvaro's
Couple of Disaster? - Fabio's
Surprise?!
Vienna and The Stories
Lost in Vienna
Bagaimana Kalau...
Goodbye Aleyna
Paradoks
Cium Aku!
Double Kiss
Main Hati
Satu Titik
Lustly Love, Lovely Lust
I Love You
White Flag
BDSM
Maaf, aku mencintaimu...
Pemberitahuan

Trouble? Troubles!

31.5K 1K 69
By Ai_Ailee

Penghulu? Fabio bilang penghuluuuuu? Bapak-bapak berumur dengan jas dan peci hitam yang suka sekali berjabat tangan itu? Terpujilah para penghulu yang mengikat sepasang manusia dalam ikatan suci. Tapi aku dan Fabio bukan pasangan yang bisa di ajak berjabat tangan begituuuu. Demi Neptunus dan kroco-kroconya di samudera sana, cemplungkan Alvaro ke laut dan biarkan dia di adopsi ikan pari. Atau lemparkan dia kehabitat aslinya, ke lingkungan para kanguru di benua Australia sana, atau kemana sajalah, asal jangan berkeliaran di sekitarku dan mengundang para penghulu untuk menikahkan kami. Aaaaa, tidaaakkkk.

"Say somethin' Bi!"

Siluman kanguru itu berseru. Iiihh, dasar yah, makhluk primitif yang tidak di karunia otak buat mikir tu ya begini ini. harusnya dia yang berpikir kemudian say something. Ini kan masalah dia dan aku. Kami yang mau di ajak jabat tangan sama bapak-bapak penghulu, bukan aku dan Fabio. Lagian kalau sama Fabio sih, aku pasrah-pasrah aja kali. Tidak akan menolak sedikitpun, rela banget-banget. Ikhlas bakti bina bangsa lah kalau istilah Pramukanya. Tapi kalau sama siluman kanguru ini, aduhhhh. Memikirkan nikah kontrak saja sudah keliyengan aku. Apalagi nikah pakai ijab kabul. Emaaaakkk. Ini kan sakral.

"Bi, sejak awal aku sudah tidak antusias dengan ide kawin kontrakmu ini. Oke fine, pura-pura menikah di luar negeri, aku setuju. Tapi ini... Penghulu??! Kau gila Bi?! Menikah itu suci! Sakral! Kau pikir aku mau main-main dengan ijab kabul? Itu janji pada Tuhan Bi!"

Nah lho? Yang barusan itu Alvaro yang ngomong? Eeeehh, kenapa dia bisa bicara seperti Ustad?

"Apa liat-liat?!" Alvaro membentakku. Isssshhhh. Aku melengos malas dan memutar wajahku kekiri, kearah jendela, lalu menempelkan wajahku disana. Duh Gusti, kenapa jadi runyam begini masalahnya? Ini balasan karena aku mau main-main dengan pernikahan ya? Azab-Mu cepat sekali Gusti Allah. Rasanya seperti kiamat kubro. Kalau menikahnya pakai ijab Kabul begitu berarti kami nanti benar-benar sah jadi suami-istri, terus...siluman kanguru bisa bebas grepe-grepe aku dong. Emakk, aku kagak rela masaaaaa... Biarpun Alvaro itu termasuk pejantan kualitas super yang bisa menghasilkan bibit unggulan, tapi dengan sifat menyebalkan begitu aku merasa tidak ikhlas kalau anakku nanti tumbuh seperti dia. Wajah tampan dan kantong tebal saja tidak cukup. Perlu wajah tampan, hati yang baik, dan tentunya kantong yang tebal juga. Fabio sudah pas. Dan lagiiii, aku kan napsunya sama Fabio, bukan Alvaro. Aku mau Fabio yang jadi bapak dari anakku. Eh, tunggu, kenapa jadi bawa-bawa anak? Issshh... otakku kotor! Sempat-sempatnya aku memikirkan pembuatan anak di saat sedang genting begini. Aku semakin menempelkan mukaku ke permukaan kaca jendela mobil yang masih melaju dan kecepatannya makin meningkat.

"It's out of my plan, Roo," Akhirnya Fabio angkat suara.

Iyaaaa. Ini sooooo far from the plan. Jauh amat. Rencananya kan kami ketemu keluarganya Alvaro, terus bilang kalau kami mau menikah di luar negeri. Terserahlah mau bilang kemana. Papua Nugini kek, Timur Leste kek. Yang pasti tidak benar-benar pergi. Paling-paling mengurung diri di sarangnya siluman kanguru. Ikut prescon Alvaro untuk perkenalan dengan publik. Pura-pura jadi pasangan harmonis selama 6 bulan, lalu tersandung konflik karena orang ketiga, keempat, atau kesebelasan sepak bola terserahlah, itu urusan Fabio untuk memikirkan penyebab keretakan rumah tangga kami yang memang sudah retak dari sananya. Aku sih berharapnya bisa ada gossip kalau aku selingkuh dengan oppa-oppa ganteng dari Korea sana atau mungkin darling-darling tampan dari Hollywood aku juga ikhlas. Apalagi kalau karena aku selingkuh sama Fabio. Beuhh, pasti seru nanti gosipnya. Istri si Alvaro yang kesayangan publik, di rebut oleh managernya yang super duper tampan. Penuh sensasi kan? Oke, lupakan dulu khayalan nista milikku itu. Tidak dapat Fabio atau laki-laki tampan lain juga tidak apa-apa. Aku sudah sangat puas dengan bayaran yang aku terima. Setara dengan gajiku enam tahun bekerja di tiga tempat sekaligus. Bahkan lebih! Dan bonusnya, aku dapat voucher minum Caramel Macchiato seumur hidup sodara-sodara sebangsa dan setanah air! Caramello...Caramello... sluurpp...

"Sebenarnya, kau lapor apa pada Oma? Kau bilang aku sedang berpacaran dengan keturunan keraton Solo? Iya? Kenapa tiba-tiba nenek tua pemilih itu sudah siap-siap dengan penghulu?" siluman kanguru ini kembali mengomeli Fabio. Iiihhh, aku gemas padanya. Kepalanya itu boleh di jitak tidak?

"Aku cerita yang sebenarnya tentu saja Roo. Mello salah satu karyawan di café-ku, mahasisiwi tingkat akhir yang cuti kuliah karena tidak ada biaya, membiayai ibu dan adiknya dengan bekerja di tiga tempat sekaligus, mengumpulkan uang untuk kembali melanutkan kuliah..."

Aduh mak...hidupku yang menyedihkan ini jadi semakin menyedihkan karena cerita Fabio.

"Aku cerita semuanya, diluar perjanjian kontrak itu pastinya. Aku juga sedikit menambahkan cerita," Fabio kembali berujar. Uh oh... perasaanku jadi tidak enak mendengar istilah penambahan cerita itu.

"Oh ya? Kau tambahkan apa? Kau bilang kalau Mello itu ternyata putri dari mantan presiden yang tertukar saat lahir dan di pungut di tong sampah, sekarang mantan presiden itu sudah menemukannya kembali dan membawa Mello ke rumah keluarga mereka?" Alvaro berujar sinis. Astaga. Kenapa otaknya penuh dengan skenario sinetron? Padahal kan dia baru satu kali main sinetron, siluman kanguru ini kan filmnya bagus-bagus. Aku sudah menonton filmnya di rumah Mita. Oke, dia ganteng banget.

"Hahahaha," aku mengangkat wajahku dari permukaan kaca saat mendengar tawa renyah dari Fabio. Aku terpesona sekali lagi. Tawanya...merdu sekali. Apapun yang di lakukan Fabio sepertinya selalu penuh daya tarik magnetis untuk semua indra perasaku dan seluruh koordinasi saraf pusatku. Duh, Gusti, Engkau menciptakannya dengan baik sekali. Boleh tidak aku menyebutnya sempurna?

"Aku hanya bilang kalau Mello dan kau jatuh cinta sejak pertama kali bertemu di café-ku. Dan kau Roo, tergila-gila setengah mati pada Mello," Fabio melanjutkan dengan senyum masih tersungging di wajahnya.

"Demi Tuhan, Bi. Kau membuatku terkena hipertensi!" Alvaro memukul-mukul stir mobilnya dengan frustasi. Mendingan Alvaro kena hipertensi. Aku malah kena komplikasi. Serangan jantung karena ceritanya sekaligus diabetes karena senyumannya. Dua-duanya karena Fabio. Duh, Gusti, kenapa orang yang sedikit bicara begini, sekalinya bicara malah keluar imajinasi yang mengerikan?

"Oma Dien... Beliau bahkan belum bertemu Mello, tapi sudah memutuskan sejauh itu. Kau tau kan betapa selektifnya Oma? Apa ini firasat orang tua? Apa Oma berfikir kalau Mello pantas jadi Ny. Dinata?"

"Cut it off! Kau pikir aku sudi menghabiskan umurku dengan otak amoeba ini, Bi?!"

"Kat it op, kat it op, kat it op! Kamu tu yang otak amoeba!" sergahku kesal. Kalau otaknya sedang di install dengan benar, Alvaro bisa jadi teman cerita yang menyenangkan, tapi kalau siluman kanguru sudah kembali menguasai tubuhnya, ya begini ini jadinya. Semua ucapan dari mulutnya 'nendang'. Aku sampai 'terpelanting-pelanting' karena hinaan pedihnya. Otak amoeba masa. Issshhh.

"Kita ikuti saja maunya Oma, Roo. It's not bad. Setidaknya ini bisa meminimalisir terjadi hal-hal di luar perkiraan," suara Fabio yang tenang ini sedikit banyak membuat keresahanku menguap pelan-pelan. Iya, kalau di lihat dari sisi positifnya, hal ini tidak buruk. Aku juga tidak mau kumpul kebo dengan tinggal serumah bersama lelaki yang bukan suamiku.

"Hal di luar perkiraan? Kau bercanda, Bi? Bukannya kau sendiri yang bilang 'berdiri saja tidak'? Kau lupa, hm?" kudengar Alvaro berujar sinis. Aku memandanginya heran. Serius ni?

"Hah? Tidak berdiri? Kamu impoten Roo?" aku penasaran. Jangan-jangan dia mau menikah kontrak karena dia 'tidak mampu' dan rendah diri karena itu.

Jeblakk.

"Huwaaaa!"

Sandaran tempat dudukku mendadak terjungkir hingga aku ikut terjengkang kaget. Untung saja aku pakai seatbelt, jadi aku tidak terpental ke kursi belakang. Oh Tuhan yang maha tau, pasti Alvaro kan yang menjungkalkan samdaran kursiku?

"Alvaro! Apa-apaan sih?!" aku membentak geram. Jantungku...jantungku... aku terkejut sekali.

"Tidak apa-apa Mell?" wajah Fabio sudah muncul di sampingku. Aku menggeleng pelan.

"Untung kau tidak kulontarkan keluar dari mobil sekalian. Otak amoeba bertubuh datar! Laki-laki manapun mendadak bisa impoten kalau harus jadi suamimu," dengus Alvaro.

Emaaakkk, sadiiiisss... Aku kan tidak terlalu datar. Ada tikungan dan tanjakan juga kaliiii. Aku meringis saat Fabio membantu menaikan kembali sandaran kursiku.

"Sudahlah, jangan bertengkar," Fabio kembali jadi penengah yang menenangkan, "Both of you, I'm sorry, okay? Aku juga tidak mengira akan jadi begini,"

Dia cuma bilang begitu dan seluruh sarafku bekerja sama untuk tenang. Hebat sekali Fabio. Kalau jadi istrinya pasti tidak akan ada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Jangankan bertengkar. Untuk emosi saja aku tidak bisa. Ah, Fabio...lagi-lagi aku kena sindrom pengen menikah kalau sudah dekat-dekat dia. kenapa bukan dia saja yang menikah denganku. Kenapaaa? Kenapa harus siliman kanguru bermuka dua berkedok artis ini? Kenapaaa?

"Kukira tidak ada salahnya. Lebih baik benar-benar ada ikatan, bagaimanapun juga, kita akan tinggal bersama kan, kalau kalian ada ikatan yang sah, itu lebih baik. Kita abaikan saja dulu masalah kontrak dan segala macam ini. Posisikan diri kalian sebagai pasangan. Ya sudah begitu saja..." kata Fabio serius.

Aku dan Alvaro tidak bersuara. Aku bisa mendengar dengusannya dan aku yakin dia juga melihat lirikan sinisku. Aaaahhh, cari duit memang penuh perjuangan kan? Salahku juga sih, kenapa memikirkan jalur singkat begini.

***

Lexus silver yang di kendarai Alvaro memasuki pekarangan luas dengan hamparan rumput hijau Bermuda. Terdapat beberapa bendera kecil yang terpasang di beberapa titik. Kening Mello mengerinyit heran. Itu lapangan golf? Ia membatin takjub. Ia tidak bisa menaksir seberapa kayanya keluarga lelaki yang sedang mengemudikan mobil dengan wajah tertekuk ini. Di sisi lain ia juga menemukan landasan yang terlihat seperti landasan helicopter. Lagi-lagi ia melotot takjub. Ia ingat pernah menonton film India yang di perankan Shah Rukh Khan. Di film itu Shah Rukh Khan menjadi anak angkat keluarga kaya yang halaman rumahnya luas dan bisa jadi tempat mendarat helicopter pribadi. Oke, mungkin halaman rumah Alvaro tidak seluas di film itu, tapi tetap saja halaman rumah kelaurga Alvaro ini luasnya tidak naudzubillah. Rumahnya juga tidak sebesar rumah Gu Jun Pyo di drama Korea yang pernah di tontonnya. Tapi rumah ini bagus sekali. Hampir seperti rumah keluarga Cullen yang sebagian besarnya di dominasi kaca. Bedanya rumah ini tidak di dalam hutan dan penghuninya bukan para vampire melainkan salah satu keluarga konglomerat di Indonesia.

"Kita sampai,"

Mello terlonjak kaget ketika pintu mobil sudah di bukakan oleh Fabio. Lelaki itu mengulurkan tangannya pada Mello untuk membantu gadis itu turun.

"Aku mendadak demam panggung," gumam Mello gugup. Fabio tersenyum simpul.

"Don't worry," Fabio mengeratkan genggamannya di tangan Mello, membuat darah Mello berdesir dan wajahnya merona merah.

"Jangan terlalu lama menggenggam tangannya Bi. Sebentar lagi dia mimisan karena melihatmu," celetukan Alvaro membuat Mello merasakan hasrat ingin membunuh berkobar didadanya. Kalau tatapan mata bisa membunuh, maka pasti sekarang tubuh tegap Alvaro sudah tercabik-cabik karena Mello memandangnya tajam.

"Stop teasing her, Roo," Fabio menegur, "Now, hold her. Beraktinglah sebagai pasangan yang sedang tergila-gila satu sama lain," Fabio menyodorkan tangan Mello yang berda di genggamannya pada Alvaro. Lelaki itu mendengus malas, tapi tetap meraih tangan Mello.

"Tergila-gila? Ya kali, Alvaro gila. Alvaro gila, Alvaro gila," Mello menggerutu. Alvaro tidak menyahut melainkan mencengkram erat tangan Mello. Kalau di film-film, mungkin sudah ada sound effect bunyi retakan tulang Mello yang berderak karena Alvaro meremas tangannya tanpa belas kasihan. Tuh kan, belum juga menikah Mello sudah merasa hidupnya tidak akan panjang.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Alvaro dan Mello di depan, saling melotot satu sama lain dengan tangan bertautan, sementara di belakang Fabio melangkah tenang dengan kedua belah tangannya masuk kedalam saku celana.

"Fabiooooo..." seruan dari arah tangga di sertai sesosok tubuh ramping meluncur turun dan dalam hitungan detik sudah sampai di depan Fabio.

"Tante Anne," Fabio tersenyum dan memeluk wanita cantik berusia kira-kira 38 tahun itu dengan hangat.

"Cih, sebenarnya yang keponakanmu itu aku atau Fabio?" Alvaro mendengus malas melihat tantenya itu melewatinya tanpa menyapa dan langsung memeluk Fabio yang berdiri di belakangnya. Anne terkikik. Ia melepaskan pelukan hangatnya pada Fabio dan beranjak mengecup pelan pipi Alvaro.

"Sebenarnya aku lebih suka kalau kau di tukar dengan Fabio saja. Dia lebih bisa jadi keponakan yang manis," katanya. Gantian Mello yang terkikik. Ia setuju untuk yang satu itu. Anne menaikkan laisnya mendengar kikikan Mello.

"Hmm? Kau sependapat denganku ya anak manis?" Anne memandang Mello dengan hangat. Tangannya dengan cepat memeluk Mello dan membuat gadis itu gelagapan karena kaget. Orang ini memang suka memeluk ya?

"Kenalkan, aku adik Mamanya Alvaro, Anneke, panggil saja Tante Anne," ujarnya.

"M-Mello tante. Mellody," sahut Mello.

"Iya, aku tau namamu, Abi sudah cerita," ujar Anne, "Tamiiiii... Roo sudah datang nii...," dia berseru. Mello nyaris menutp telinganya karena kaget.

Satu lagi wanita muncul dari pintu kaca salah satu ruangan di rumah ini. Mello menelan ludah. Kalau tadi yang muncul wanita cantik dengan senyum ramah dan hangat serta suka sekali memeluk, sekarang yang muncul adalah wanita yang terlihat anggun tapi sorot matanya dingin, eh datar, eh sinis, eh, tidak taulah. Yang jelas tidak sehangat tante Anne.

Ia melangkah mendekat dan Mello sukses tenganga. Pantas saja Alvaro ganteng begini. Tantenya cantik semua. Pasti mamanya juga cantik dan papanya Alvaro juga ganteng.

"Ini Mello, Tam. Unyu munyu ya," kata Anne. Tami tidak menyahut, sebaliknya dia memandangi Mello dari atas sampai ke bawah beberapa kali. Mello mendadak berkeringat dingin. Tami mengulurkan tangannya pada Mello dan disambut Mello dengan takut-takut. Di sebelahnya, Alvaro hanya membuang wajahnya menyembunyikan senyum geli melihat ekspresi cemas Mello.

"Tamina," kata Tami. Tau film Prince of Persia-nya Jake Gylenhall? Nah Tante Tamina ini cantiknya mirip Princess Tamina itu. Cantiiikkk. Duh, Gusti, kayaknya gen-gen unggulan semuanya berkumpul di kelaurga ini deh, batin Mello.

"Well, Roo. Ini gadismu ya? Yah, seadanya sekali ya penampakannya," cetusnya. Jleb. Rasanya muka Mello di kemplang dengan wajan. Memang sih, dia tidak secantik Tante ini, tapi kan tidak perlu sesadis itu ngomongnya.

"Astaga mulutmu Tam, baru kau asah ya?" Anne menepuk lengan Tamina.

"Aku mencintainya Tante," sahut Alvaro datar, "Tidak harus jadi sempurna untuk kucintai kan?"

Kalau saja tidak tau kalau ini hanya acting, Mello mungkin sudah meleleh seperti es dan berceceran di lantai mendengar kata-kata Alvaro. Tami tersenyum datar.

"Oma mana Tan?" tanya Fabio mengalihkan pembicaraan. Tami lebih teliti daripada Anne. Fabio takut tante Alvaro yang satu ini menemukan kejanggalan yang mereka tutupi.

"Lagi di kolam renang belakang. Mancing," sahut Anne, ia lalu menggandeng Fabio dan Mello yang masih terbengong-bengong heran. Kolam renang? Mancing? Dimana letak korelasinya itu?

Tinggal Alvaro dan Tami yang melihat ketiga tubuh itu menghilang dari pandangan.

"Oma masukin ikan lagi ke kolam renang?" tanya Alvaro. Tami mengangguk. Alvaro menggeleng frustasi. Kelakuan Omanya ini memang suka aneh-aneh.

"Seharian ini Mama semangat sekali. Setelah Anne cerita kalau kau mau membawa kekasihmu kemari, beliau sudah heboh mempersiapkan segala macam urusan pernikahan. Aku heran, padahal dia kan belum pernah bertemu calonmu yang pas-pasan itu. Kau tau kan, betapa pemilihnya Omamu itu, Roo," ujar Tami.

Memangnya cuma tante yang heran? Aku juga heran setengah mati. Kaget setengah mati juga. Alvaro membatin.

"Mungkin firasat orang tua. Kurasa Oma yakin kalau Mello itu pantas menjadi Ny. Dinata," Alvaro mengulangi perkataan Fabio yang tadi di protesnya saat perjalanan kemari. Aih, matilah sana. Dia sudah percaya bulat-bulat pada rencana Fabio. Kalau terjadi apa-apa, dia bisa mengorok leher sahabatnya itu dan menjadikannya tumbal.

"Mama sempat uring-uringan mendengar gossip kalau kau gay itu, terlebih kau tidak memberikan konfirmasi,"

"Yang penting sekarang aku sudah buktikan kalau aku bukan gay kan Tante,"

Tami mengangguk malas, "Oma selalu penuh kejutan. Untung saja jantungku cukup kuat. Kau tau Roo, dia langsung menyuruh Anne mencari penghulu, mengurus urusan pernikahan dengan kilat, menata tempat, mempersiapkan busana, mengatur perjalanan bulan madu..."

Astaga...astaga...astaga... Alvaro mendadak migrain mendengarnya. "Jangan bilang kalau sekarang Oma sedang memancing dengan busana kebaya..." kata Alvaro horror.

"Lengkap dengan sanggul,"

AS-TA-GA!! Orang tua itu sudah pikun?!

"Sudahlah. Jangan berwajah shock begitu. Kau sudah terbiasa dengan kejutan sejak kecil kan. Sekarang naik ke kamarmu. Pakaianmu sudah di siapkan,"

"Bagaimana kalau aku tidak mau? Aku dan Mello sudah merencanakan akan menikah di Belanda saja, tante," Alvaro mencoba menawar.

"Siap-siap saja keuanganmu di bekukan lagi untuk ke empat kalinya selama setahun ini," Tami menyahut singkat, ia memutar tubuhnya meninggalkan Alvaro yang masih berdiri kaku, "Aku mau memeriksa kerja WO dulu. Tadi beberapa undangan sudah menyanggupi hadir. Menurutmu perlu tidak mengundang menteri pariwisata?"

"Undang saja seluruh kabinet," Alvaro menyahut asal. Dia sudah terlalu terkaget-kaget. Omanya ini mengatur pernikahannya seperti mengatur pernikahan boneka Barbie. Jangan-jangan nenek tua itu terobsesi jadi ibu peri? Dengan sekali jentikan tangan, acara pernikahan sudah terlaksana. Aaah, stresss!!

***

TBC

Aduh, kacau? Sebenarnya part ini lebih panjang, tapi saya apusin. Saya belum nikah dan belum pernah lihat orang nikahan secara langsung. Jadi mungkin saya skip aja dah ijab kabulnya. Sip, seperti biasa, saya terima masukan dalam bentuk apapun. Kritik atau saran. Grazie ^^

Oh iya, mulai dari part ini saya gak menuliskan POV-nya di awal. yang jelas setelah tanda '***' berarti ada pergantian POV ya. tebak sendiri POV siapa. gampang kok. Hehehe.

Continue Reading