NALLAN 2

By salsha_writer

1M 164K 178K

Bisa langsung baca tanpa baca Nallan 1 β€’β€’β€’ [Rank 1 : #mom] Mei, 2022. [Rank 6 : #spiritual] Mei, 2022. [Rank... More

Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
BAGIAN 58
AYO BACA INI

Bagian 1

115K 10.1K 13.3K
By salsha_writer

⚠️WARNING⚠️

KONFLIK BERAT, BIKIN DEPRESOT, NAIK DARAH, EMOSI.
‼️YANG GAK SUKA BISA OUT‼️





________


Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan pintu utama perusahaan besar bernama  Victory Next Enter.

Seorang pria kini keluar dari mobil dan berjalan dengan terburu-buru menuju pintu mobil sebelah kiri, membukakan dengan hormat untuk Tuan mudanya.

Penyambutan pagi hari dimulai. Siapa yang tidak hormat dan melarikan diri dari kegiatan ini? Siap-siap saja namanya akan di coret dari daftar karyawan bergengsi Victory Next Enter.

Siapa yang rela dipecat di perusahaan ternama ini?

Bahkan, banyak Mahasiswa berlomba-lomba mendaftarkan diri mereka di tempat ini karena sangat menjanjikan karir mereka nantinya.

CEO muda berumur 28 tahun. Siapa yang tidak kenal dengannya. Bahkan, banyak media asing yang memberitakan dirinya dari hari ke hari.

Berkat kerja kerasnya, saham perusahaan Victory Next Enter kini melejit tinggi hingga 80 persen.

Tak hanya itu, perusahaan ini juga menampung begitu banyak Manajer dan Karyawan. Hal itu sangat diharuskan demi meningkatnya kapitalisasi pasar seiring berjalannya waktu.

Dan, Kabar terbarunya adalah cabangnya juga sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Bisik-bisik pujian mulai terdengar di setiap penjuru lorong kantor perusahaan.

Setiap langkah yang CEO itu ambil untuk memasuki perusahaannya, selalu mendapat sapaan hangat dari bawahannya.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Tuan muda CEO."

"Pagi, Tuan..."

Dan banyak kata-kata hormat lainnya yang mereka tujukan untuk CEO muda itu.

Tak hanya tampan, ketegasan dan kedisiplinan tampaknya sudah tertanam pada diri pria ber-jas hitam tersebut.

Di sebelahnya, ada Vian. Pria berumur 29 tahun. Pria yang berusia setahun lebih tua darinya. Dirinya merupakan tangan kanan dari CEO muda itu.

Sudah lama pria itu selalu mendampingi Tuan mudanya. Bahkan, ia juga sudah di anggap sebagai orang paling berpengaruh di Perusahaan ini.

"Pagi pak Alan."

Sontak pria itu berhenti melangkah, hampir saja Vian menabrak punggungnya.

Kini, Alan - CEO muda, menghadap ke kanan, tepatnya berhadapan dengan salahsatu Karyawan wanita yang baru saja menyapa dirinya tadi.

Ia langsung mendekatinya, lalu menaikan sebelah alis sambil menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Detik berikutnya, ia mengusap wajah gusar dan penuh kesal, lalu berdeham, tanda memanggil Vian untuk segera mendekatinya.

Dengan cepat, Vian segera mendekat. "Ya, Tuan muda?" tanyanya hormat.

Karyawan yang masih ditatap dingin oleh Alan kini menunduk dan meremas kuat roknya.

Apa ada yang salah pada dirinya?

"Peraturan kenapa gak ditempel di setiap meja!" gertak Alan.

Dengan cepat Vian menggeleng. "Sudah saya tempel, Tuan. Setiap pagi juga sudah saya umumkan tentang peraturan di sini."

Alan menggerakan dagunya, seolah menunjuk wanita yang berhadapan dengannya. "Kalau niat kerja di sini, tolong ta'ati peraturan!" ucap Alan dengan suara dingin. Setelah itu ia pergi meninggalkan Vian yang kini tampak mengepalkan tangannya.

Ya, Vian menahan kekesalannya pada karyawan ini.

Setelah Alan tidak terlihat lagi, semua Manajer dan Karyawan langsung berbisik heboh menatap wanita itu.

Vian menggeram, "TUJUAN KAMU PAKAI ROK SEPENDEK INI APA?" tanya Vian dengan suara lantang.

Semua orang terdiam. Sementara wanita itu menyatukan kedua tangannya di hadapan Vian, "Maaf, Pak. Saya janji tidak akan pakai rok ini lagi, tadi pagi itu saya buru-buru pergi___"

"Cukup!" Vian mengangkat tangannya, agar wanita itu berhenti berbicara. "Jika besok kamu melanggar aturan lagi, siap-siap tinggalkan tempat ini!"

"B-baik, pak." jawab wanita itu menunduk. Jelas saja kini perasaannya begitu sangat menyakitkan ketika mendengar kata 'tinggalkan.'

Ya, rasakanlah bagi siapapun yang melanggar aturan di Vectory Next Enter ini. Jika melanggar sedikit saja, bisa-bisa mereka kehilangan pekerjaan yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.






***





Beberapa menit yang lalu, Alan, Vian dan beberapa Manajer baru saja sarapan di ruangan khusus yang tampak begitu mewah dan tertutup. Bisa dibilang sama seperti restoran berkelas atas.

Patut diacungi jempol dengan perusahaan ini. Tidak hanya ruang makan, fasilitas lainnya juga ada. Seperti, kolam berenang di lantai teratas, tempat olahraga, bahkan mini market.

Betapa beruntungnya orang-orang yang saat ini berada di Perusahaan Vectory Next Enter atau yang lebih di kenal dengan VNE. Perusahaan ini membebaskan para pekerja untuk menggunakan fasilitas, asal jika pada waktu jam bekerja, semua fasilitas harus di tutup demi fokusnya para pekerja.

Setelah ini, Alan mempunyai tugas penting yang sejak kemarin begitu ia nantikan. Ia akan melakukan beberapa pemeriksaan terhadap beberapa dokumen pentingnya.

"Bawa Alendro ke ruangan saya." perintah Alan, lalu ia segera berdiri dari kursinya dan berlalu pergi menuju ruangan pribadi.

Deg!

Jantung Vian seolah ingin copot.

Alendro?

Jelas saja Vian menjadi mati kutu karena sepanjang perjalanannya dari lobi menuju ke ruangan ini, sedikitpun ia tidak melihat keberadaan orang tersebut.

Ini gawat!

Berkali-kali sudah napas Vian sesak hanya untuk menceramahi Alendro agar jangan terlambat setiap ada hal penting.

Jika ia punya hak untuk memecat seseorang di perusahaan ini, pastinya ia akan segera melakukannya detik ini juga.

Dengan cepat Vian segera menelpon pria tua itu agar tak kembali mencari masalah.

Bisa-bisa nantinya Vian yang akan kembali terkena masalah seperti kesalahan wanita tadi.




***






"Lima menit dari sekarang..."

Bagaikan terkena sambaran petir di pagi hari saat mendengar kalimat yang terhubung melalui seluler tersebut.

Detik itu juga seorang pria berjenggot langsung berlari sekencang mungkin hingga menabrak beberapa orang yang ia lewati. Namun perlu di ingat, pria tua itu benar-benar tidak sengaja menabrak siapapun.

Ini antara hidup dan matinya.

Brak!

"Pak, hati-hati dong!"

"Punya mata gak sih, Pak?"

Brak!

"Aduh, jajanku jatuh..."

Krek!

"WOI..."

"Woii, tuaaaa!"

Pria itu terus berlari tanpa melihat ke arah kanan dan kirinya. Ia juga memeluk erat sebuah berkas yang tampak begitu berharga.

Jika tergores sedikit saja, entah apa nasibnya setelah ini.

Sedikit lagi, ia akan sampai ke gedung besar itu.

Ayo semangat, kaki!

Banyak orang menatapnya kebingungan. Padahal, tidak ada yang mengejar dirinya, mengapa ia berlari sekencang itu?

"Awass!"

"Permisi."

Ucapnya setiap akan menabrak seseorang.

Dan yap...

Akhirnya ia sampai di sebuah gedung pencakar langit. Begitu tinggi dan berkelas. Sewaktu ia akan masuk ke lobi, berbagai senyuman dan sapaan terdengar ditelinganya. Namun, ini situasi darurat. Ia tidak bisa membalas kebaikan orang-orang itu.

Tanpa basa-basi kepada satpam, ia langsung menerobos pintu masuk dan segera berlari masuk ke dalam lift.

Toh, semua satpam di sini juga sudah akrab dengannya dan pasti tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Saat berada pada lantai kedua, semua orang kini menatapnya dengan berbagai tatapan.

Sepertinya mereka tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi dengan nasib pria tua berjenggot ini. Sia-sia saja jika mereka harus memberi dukungan sekarang.

"Bismillah aja, ajak bercanda atau ngopi sabi kali." saran salah satu karyawan laki-laki yang kini menepuk pelan bahu pria itu.

Dengan kesal, pria itu menyentaknya. "Gak mempan. Tolong yang punya saran, chat pribadi ya, atau boleh juga open donasi." ujar pria itu tampak pasrah.

Mereka yang mendengarnya sontak langsung tertawa.

"Udah sana cepetan." ucap karyawan laki-laki tadi yang kini menyodorkan beberapa berkas kepadanya. "Jangan lupa, ini bahan kemarin." ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Pria yang disodorkan berkas itu pun menggeram. Namun, ia tak bisa meluapkan amarahnya karena ini memang tugasnya.

Setelah mengambil berkas itu dengan tak niat, ia segera berlari lagi menuju lift selanjutnya untuk membawanya ke lantai tiga.

Di lantai ketiga, pria ini mengurungkan niatnya untuk menayakan sesuatu pada para Manajer yang tampak fokus pada komputer masing-masing. Ya, sangat berbeda dengan karyawan lantai dua yang tampak santuy.

Walaupun dalam setiap kelompok berbeda karakter, Semua orang di perusahaan ini begitu disiplin dan bertanggung jawab. Mereka juga di didik oleh atasan agar selalu jujur dalam bekerja.

Ya, didikan itulah yang membawa mereka sampai dititik tinggi ini. Perjuangan mereka begitu besar hingga tak ingin melakukan kesalahan sedikitpun.

Di balik itu pula, seseorang yang sudah bekerja sekeras mungkin, melewati berbagai hal-hal tersulit dalam hidupnya. Mengurangi jam tidur, telat makan, mendorong hal-hal yang harus ia lakukan dan memaksa meninggalkan hal-hal yang tidak harus ada di hidupnya.

"Permisi, Pak CEO." akhirnya pria itu sampai di tempat tujuan dengan napas ngos-ngosan.

Seorang pria ber-jas hitam itu berbalik perlahan dengan memutar kursi yang sedang ia duduki. Siapapun pasti tahu bahwa itu bukanlah kursi yang bisa di duduki oleh sembarangan orang.

Wajah Alan tampak berbeda saat menatap pria tua itu.

Tatapannya perlahan turun ke tangan pria berjenggot yang sedang memeluk erat beberapa berkas.

Pria berjenggot itu pun langsung tersadar dan langsung segera menyerahkannya ke atas meja dengan sedikit gemetar. "Ma-maaf, Pak. Ta-tadi ada kendala di jalan, jadi saya turun dari mobil pribadi karena macetnya Jakarta, untungnya sudah d-dekat___"

"Kalau sampai hal ini terjadi lagi, saya akan pindahkan kamu ke perusahaan cabang yang ada di Sumatra."

Pria itu langsung mendelik, lalu meringis. "CEO, saya minta maaf, saya janji ini tidak terulang lagi. Besok saya usahakan datang lebih awal dari satpam..." ucapnya memohon sambil menyatukan kedua tangannya di hadapan Alan.

Alan menyipitkan matanya, seolah lontaran konyol itu begitu mudah keluar dari mulut Alendro. "Jangan bercanda." ujar Alan yang kini langsung membuka amplop coklat itu.

Bukannya menjawab, kini Alendro malah mendumel dalam hati. Ia menyesali ucapannya.

Mudah sekali mulutnya mengucapkan hal yang mustahil seperti itu.

Alan sedikit merasa risih dengan kehadiran Alendro di hadapannya. lalu ia menyuruh Alendro agar segera pergi menggunakan isyarat tangannya.

Pria itu tampak lega. "Baik CEO, terimakasih banyak, saya permisi dulu..." Setelah itu ia segera meninggalkan ruangan Alan.

Siapapun yang merasakan seperti pria itu, tentu saja dijamin besok mereka akan segera memperbaiki kesalahannya. Tapi, jika Alendro, mungkin bisa di bicarakan.

Kini ekspresi Alan tampak berubah saat melihat apa yang tertulis di dokumen tersebut.

Lalu detik berikutnya ia tersenyum miring.

Walaupun banyak pembisnis besar dari berbagai negara mengajaknya kerjasama, mereka tidak akan bisa membodohi pria ini.

Dengan mudahnya Alan memahami setiap kata dalam dokumen. Mana yang akan menguntungkan dan mana yang akan merugikan.

Tentunya, orang-orang tak akan merendahkan dirinya yang masih berusia 28 tahun karena akal dan pemikirannya sungguh sangat dewasa.

Ia juga selalu menolak ajakan pembisnis lain karena ia sudah tahu bahwa keuntungan untuk perusahaannya sangat sedikit. Maka dari itu, sangat sulit bagi orang luar untuk mengajaknya kerjasama.

"Permisi, Tuan muda CEO."

Alan mengangkat sedikit kepalanya, lalu mengangguk. Mempersilahkan Vian yang kini berdiri di ambang pintu.

"Ada apa?" tanya Alan tanpa melihat orang itu dan fokus pada dokumen yang sedang ia periksa.

Vian bergegas masuk dan menutup pintu dengan rapat. Kemudian, ia segera duduk di hadapan Alan sambil tercengir.

"Kayaknya Tuan harus pulang sekarang."

Dengan cepat Alan mengangkat wajahnya, menatap tajam laki-laki di hadapannya itu.

Dengan cepat Vian menurunkan padangannya. Lalu meringis, "Maksud saya, nanti ada jadwal bersama pembisnis asal Malaysia." jelasnya.

Alan terdiam sejenak, ia baru ingat hari ini ada pertemuan dengan seorang pembisnis sukses itu.

Pertemuan tersebut akan berlangsung dirumah pribadinya sendiri.

"Pukul berapa?"

Dengan cepat Vian langsung mengecek jam ditangan kirinya. "Sekarang pukul sembilan pagi, Tuan muda."

Alan menggeram, "Pertemuan!"

"Oh, i-iya Tuan muda, maaf. Pertemuannya pukul sebelas siang."

Alan kini berdiri dari kursinya, "Vian, tolong kamu siapkan semua keperluan saya segera, saya tunggu di mobil." ucap Alan yang kini memasang jam di tangannya.

Lalu ia segera keluar ruangan meninggalkan Vian yang kini langsung bergegas menyiapkan keperluan yang harus di bawa.

Kini para Manajer yang sedang sibuk berkerja langsung bergegas berdiri saat Alan melewati mereka. Semua orang menunduk dan menyapa Alan dengan hormat. Sejak di didik untuk pertama kalinya di perusahaan besar ini, mereka tak akan pernah melupakan jasa CEO mereka. Karena-nya lah mereka di terima.

Sesampainya di pintu utama, langkah kaki Alan sontak berhenti. Vian yang menyesuaikan langkah kakinya dengan Alan juga ikut berhenti.

Bagaimana tidak?

Di luar sana banyak wartawan memaksa masuk ke dalam gedung perusahaan ini. Para Satpam tampak bersusah payah menjaga di depan sana.

Walaupun hal seperti ini sudah sering terjadi, namun ini tidak bisa dibiarkan dari hari ke hari.

"Vian." panggil Alan.

Dengan cepat, Vian segera berdiri di sebelah Alan. "Ya, Tuan muda?" tanyanya.

"Ayo." perintah Alan.

"Jurus menghilang?" cengir Vian.

Alan tersenyum miring, lalu menaikan satu alisnya.

Sontak Vian tertawa kencang lalu menepuk pelan bahu CEO-nya. "Bisa aja lu bro...eh, ma-maaf, t-tuan maksud saya, hehehe."

Tanpa basa-basi mendengar bacotan Vian, Alan menariknya menuju tempat menghilang.

Hal ini tentunya sudah di ketahui oleh semua penghuni perusahaan.

Jelas saja mereka harus ikut merahasiakannya, bagi mereka privasi CEO juga menjadi privasi mereka.

Alan dan Vian kini melewati pintu rahasia yang menghubungkan gedung ini dengan tempat memarkirkan mobil pribadinya.

Mantap, bukan?




***


"Jadi gimana nih? Lo nunggu di rumah gue atau langsung nyusul ke Bandung?"

Mendengar itu, sontak orang yang di telepon pun langsung terkekeh. "Ya gila aja lo, mana bisa gue ke sana, ke rumah lo juga terpaksa karena paksaan lo, mageran parah nih, seriusan!" ungkap orang itu sambil membuat suaranya seolah-olah sedang mengantuk.

Nalla memanyunkan bibirnya. "Awas ya, kalo sampe lo tidur, gue gak bakal pulang nih. Mending juga di Bandung, lama-lama di rumah nyokap gue enak banget." ucapnya mengejek campur kesal.

Lagi, kekehan terdengar di sebrang sana. "Yeee, dasar lo! Ingat Nal, lo bukan anak tujuh belas tahun lagi, lo udah punya suami dan anak." balas orang itu.

"Ya, tapi umur gue masih muda banget di antara ibu-ibu lainnya." ujar Nalla lagi, tak mau kalah.

"Oke-oke, kalo soal umur, gue akui lo menang debat hari ini. Udah ah, gue mau mandi, dandan, terus cuss ke rumah lo...bye!"

"Eh, tunggu dulu...ck!" Nalla berdecak, sambungan teleponnya sudah di putus duluan dari sana.

Lalu ia menggeleng pelan sambil tertawa. Ia begitu merindukan teman absurd-nya itu. Walaupun tidak bertemu selama seminggu, tetap saja Nalla merasa sepi jika tak ada candaan di sekelilingnya.

"Jadi, kamu mau bobo di rumah Oma atau mau pulang sekarang?"

"Pulang." jawab singkat anak kecil berusia empat tahun yang kini sedang asik melukis dibuku gambarnya. "Tapi, Oma ikut." sambungnya lagi.

Seketika wanita paruh baya itu tertawa, melihat cucunya yang semakin tumbuh besar. "Kapan kamu mau masukin Arsyad ke sekolah?" tanya Lia pada Nalla yang kini sedang berjalan mendekati anaknya, Arsyad.

"Mama, dia masih kecil loh, Ma. Enggak ah, entar di jaili lagi sama temen-temennya." ucap Nalla sambil membereskan warna krayon yang berserakan dilantai.

Lia menahan tawa. "Nih contoh perempuan yang baru pertama kali jadi Mama, anaknya biar pinter atuh."

Nalla benar-benar sudah banyak belajar tentang bagaimana menjadi seorang ibu diusia muda. Soal melepaskan anaknya ke sekolah, ia juga sudah banyak belajar. Namun, satu hal yang bikin Nalla begitu khawatir. Mengingat berita-berita yang banyak tersebar di media sosial tentang penjualan anak, penculikan anak, penyekapan anak dan banyak hal lainnya yang membuat Nalla benar-benar tak ingin melepaskan Arsyad darinya.

"Mama paham kok, apa yang kamu pikirin." ucap Lia sambil memegang pelan bahu Nalla, mempercayakan anaknya bahwa semua itu butuh ketenangan, "lagian kalo kamu keberatan, tunggu dia umur lima atau enam tahun, kamu dulu juga gitu, Mama masukin ke taman kanak-kanak umur lima tahun." ucap Lia menjelaskan.

Nalla menahan senyumnya, lalu memegang gemas pipi anaknya. "Iya, Ma." ucapnya.

Seketika itu pula Lia tersenyum senang. "Mama gak maksa kamu loh, tapi pesan Mama, lebih cepat lebih baik." ucap Lia sambil menatap lama terhadap cucunya.

"Iya, Ma. Aku juga mikir gitu, aku berharap banget kalo anak aku suatu saat nanti bisa buat aku bangga." Nalla mencium pelan kepala anaknya. "Ya, walaupun berat banget pasti nanti kalo lepasin dia dari aku."

"Bisa. Pasti bisa. Awalnya kamu tungguin beberapa hari di sekolah biar dia gak takut." ujar Lia.

Nalla mengangguk mengerti.

Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Buru-buru Nalla segera pergi untuk membuka pintu.

"Lilakuu!" Nalla langsung memeluknya erat, begitu pun Lila.

Setelah lama berpelukan, mereka tertawa satu sama lain. "Aneh banget sih Nyonya, baru seminggu juga, lebay ih..." ucap Lila.

"Lagian sih, kan udah aku bilang, Lila tinggal di sini aja temenin aku, kenapa betah banget di Jakarta."

"Helloooow, rumah Nyonya segede istana Presiden, yakali Lila tinggalin gitu aja, bodyguard juga pada sibuk dari kemarin sore."

Nalla mengerutkan dahi, "Sibuk ngapain? Mereka juga biasanya duduk santuy deket pos depan." ucap Nalla.

"Mereka sibuk karena pembisnis yang asal Malaysia itu mau dateng, acaranya juga di rumah." jelas Lila.

"Loh, kok di rumah sih? Biasa juga di kantor." ucap Nalla bingung.

"Iya, soalnya acara ini privat, lagian Tuan Alan yang mau acaranya di rumah."

Mendengar itu, Nalla mengangguk mengerti. Lalu detik berikutnya, ia menaikan sebelah alis, melihat belanjaan yang ada di tangan kanan Lila.

"Ekm, apaan tuh..." kode Nalla sambil melirik bawaan Lila.

Lila menyunggingkan senyumnya. "Masa gak tau, ayo tebak." Lila memainkan alisnya.

"Tinggal kasih tau aja susah bener, La."

"Ayo tebak." desak Lila.

"Lila! Beli baju baru lagi ya?" Nalla tampak marah dan melototkan matanya kepada Lila.

"Harusnya Nyonya sadar diri dong. Saya asisten terdekat Nyonya, loh. Sesultannya bodyguard-bodyguard di rumah, lebih sultan saya kan?" cengir Lila tak berdosa.

Nalla mengangguk mengerti, "Terus, kamu bawa apaan nih? Cepet ih kasih tau, ntar di lihat tetangga!"

"Bukannya nanti malam adalah malam Anniversary pernikahan Tuan dan Nyonya...Ekhm." ucap Lila yang di akhiri dengan batuk seperti ingin menggoda.

Sontak, Nalla terdiam kaget.

Benar saja, nanti malam adalah hari pernikahannya dengan Alan. Kini Nalla memegang pipinya yang bersemu merah.

Lalu, Nalla langsung menarik Lila menuju ke taman di depan rumah sang mama. Untung saja ada bangku di sana.

"Dari mana kamu tau? Terus ini siapa yang bawain? Kamu yang beli? Apaan isinya..."

Lila menahan tawa, Nyonya-nya itu tampak sangat cerewet sekarang. "Sabar, lagian Nyonya juga kecilin atuh suaranya, tetangga denger loh nanti." ujar Lila cekikikan.

Nalla langsung menatap sekeliling. Lalu kembali menatap paperbag yang Lila bawa. "Buka, dong. Lagian tetangga pada gak di rumah kayaknya." ucapnya asal.

Dengan cepat, Lila segera membukanya. "Kayak tau aja tetangga gak di rumah."

Namun, hanya satu benda yang ia keluarkan dari paperbag. Sontak, Nalla menutup mulutnya tak percaya, ia menatap barang itu dengan sangat berbinar. "Cantik banget gaunnya, kamu gak maling di toko kan, La?" tanya Nalla dengan polosnya.

Lila berdecak kesal. "Siapa lagi kalo bukan dari Tuan Alan, cuma dia yang paling romantis dan penuh kesultanan, asal Nyonya tau aja, nih baju harganya puluhan juta." ucap Lila dengan serius.

Mendengar itu, cepat-cepat Nalla memasukannya lagi ke dalam paperbag. Lalu menatap sekeliling.
"Biar aku aja yang pegang ya, nanti kamu dirampok lagi sama orang." ujarnya berwajah takut.

Lila terkekeh. "Muka gembel kayak saya, mana ada yang pantau."

"Terus paperbag yang satunya lagi apaan? Sini aku buka." ucap Nalla yang akan mengambil paperbag lainnya.

Dengan cepat, Lila menjauhkan paperbag itu dari Nalla dan menggeleng. "Please, Nyonya muda yang unyu, jangan lakukan ini, nanti tetangga tahu."

"Lebay, palingan isinya kalo gak sepatu ya perhiasan, ya kan?" tebak Nalla.

Lila menggeleng horor.

Dengan cepat Nalla merampas paperbag itu hingga berhasil ia dapatkan. Lalu tercengir puas kepada Lila. Lila yang tampak pasrah hanya tersenyum kecut.

Buru-buru Nalla membukanya dan...

Kembali menutupnya lagi.

Wajahnya yang tadi begitu tampak antusias, kini berubah seperti kepiting rebus. "Apaan sih, Lila pe'a...lo nurutin Alan beli ginian!" ucap Nalla menggeram dan menahan malu. Kemudian, Nalla menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.

Ia tersipu malu.








***






Alan kini berada disebuah ruangan besar di dalam rumah mewahnya. Ruangan ini memang dikhususkan untuk acara pertemuan bersama kerabat-kerabat kerjanya.

Kira-kira ruangan ini cukup menampung sekitar lima puluh orang. Ruangannya juga dihiasi dengan berbagai barang mahal seperti lukisan, AC di setiap sisi, foto, kursi dan meja lengkap hingga hiasan lainnya yang membuat siapapun betah di ruangan ini.

Tidak lupa jika ada tamu istimewa, Alan mengundang banyak koki terkenal untuk membuat berbagai masakan lezat sehingga para tamu tersebut tak akan pernah lupa dengan rumahnya.

"Sebelum acara dimulai, saya minta makanan pembuka di sajikan lebih dulu." ucap Alan sambil memainkan spidol yang ada di mejanya dengan sebelah kaki ia naikan ke kursi lainnya.

"Baik, Tuan." jawab Vian yang kini segera berjalan menuju pintu, lalu berbisik kepada penjaga pintu di sana. Penjaga pintu tersebut langsung mengangguk dan menjalankan perintah Vian.

Vian berjalan kembali mendekati Alan.

Kemudian, Alan melirik jam di tangan kirinya. "Sepuluh menit saya duduk di sini, mana tamunya!" gertak Alan pada Vian.

Vian tersentak sedikit, lalu segera mengecek ponselnya. "Mereka baru saja tiba di gerbang, Tuan." jawab Vian.

Tak lama kemudian, pintu terbuka lebar. Lalu beberapa koki memberi hormat pada Alan.

"Sajikan cepat." ujar Alan.

Lalu mereka segera menyajikan makanan pembuka di atas meja dengan hati-hati agar tertata rapi. Mereka tahu, jika kesalahan sedikit saja maka singa itu akan mengamuk dengan sangat cepat.

Vian melihat ke ponselnya, lalu buru-buru memasukannya dalam saku celana. "Tuan, mereka sudah tiba di gerbang depan."

Alan mengangguk, "Jemput mereka." perintahnya.

Vian mengangguk lalu segera keluar ruangan dengan tergesa.

Alan kini sedang memeriksa beberapa dokumen yang akan ia bahas nanti. Namun, tiba-tiba ia berhenti beraktivitas dan matanya melirik ke salahsatu koki yang sedang mematung. Jaraknya dengan Alan tidak terlalu jauh.

Mata koki itu fokus pada dinding yang ada di belakang Alan. Sontak, Alan berbalik untuk melihat ke arah dinding tersebut.

Alisnya terangkat sedikit, lalu kembali menatap koki itu.

"Ada apa?" tanya Alan ketus.

Sontak seorang koki tersebut langsung menggeleng dan kembali merapikan meja. Beberapa koki melirik aneh ke arahnya begitu pun dengan Alan.

Saat kembali mengecek dokumen, Alan menegakkan kepalanya, lagi.

Dengan kesal ia membanting dokumen ke atas meja. "Kamu kenapa?" tanya Alan dengan emosi.

Pria itu menggeleng tanpa dosa, lalu kembali merapikan meja lagi.

"Saya bertanya!"

"T-tidak ada ap-apa, Tuan." jawabnya.

"Cepat selesaikan." ucap Alan lagi.

Mood Alan benar-benar hancur di buatnya. Ia tidak akan kembali membuka dokumen itu sebelum teman pembisnisnya datang. Alan memilih membuka ponselnya.

Dan, benar saja. Pria yang berprofesi sebagai koki tersebut kembali menatap dinding di belakang Alan tanpa kedip. Alan yang menyadarinya langsung meletakan kasar ponselnya di atas meja, lalu ikut menatap dinding yang pria itu tatap.

Sebuah foto berukuran sangat besar. Foto tersebut merupakan foto keluarga kecil yang Alan miliki sekarang. Siapa lagi jika bukan Ia, Istri dan anaknya.

Rahang Alan mengeras, lalu ia berdiri dan mendekati pria itu. "Maksud kamu apa natap foto itu sampai segitunya?" pertanyaan maut itu langsung Alan lontarkan pada pria yang kini menunduk.

Semua koki langsung ikut menunduk dan berhenti beraktivitas.

Bahkan, dua penjaga pintu di luar langsung buru-buru masuk.

Alan memasuki kedua tangannya ke dalam saku.

Dengan gaya khas-nya yang selalu ia tampakkan pada semua orang, kini Alan menatap dingin pada pria itu. "Siapa nama kamu?" tanya Alan tajam.

"Jio, Tuan." jawab pria itu dengan tenang namun tetap menunduk.

Alan menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Benar-benar asing. Padahal, sudah hampir setahun ia selalu menyewa para koki ini ke rumahnya. Kemudian, Alan melirik ke arah koki lainnya dan wajah mereka sangat familiar.

Tiba-tiba, suatu hal mengejutkan bagi semua orang yang ada di ruangan ini. Baik penjaga, maupun koki lainnya. Alan menghantam wajah seorang koki yang sedari tadi berdiri di belakang koki bernama Jio.

Kini Alan memegang kuat kerah pria itu dengan penuh amarah. "Barusan motret apa? HAH?" gertak Alan dengan napas naik turun, tak hanya rahangnya yang mengeras, matanya juga menanas.

"Kamu kira saya bodoh?" Alan menaiki sebelah alisnya, lalu tertawa hina.

"Asal kalian tahu, sudah sejak tadi saya mencurigai kalian berdua." tunjuk Alan pada dua orang itu.

Lalu Alan merogoh saku celana pria itu dan mengambil ponselnya.

Wajah pria itu langsung ketakutan. "A-ampun, T-tuan..." ucapnya penuh kegugupan.

Alan kini mendapatkan ponsel itu dan segera mengeceknya. Betapa terkejutnya ia saat melihat apa yang di foto oleh pria itu.

Pria itu memotret foto besar yang tergantung dinding yang ada di belakang Alan. Lebih tepatnya memotret dan menge-zoom seluruh tubuh istrinya.

Tangan kiri Alan menarik gelas kaca yang ada di meja dan...

Prangg!

Alan melemparkan gelas keras ke lantai, lalu menarik kerah pria itu dengan kuat agar lebih dekat dengannya.

Bugh!

Ia langsung memberi bogeman mentah untuk kedua kalinya kepada pria misterius itu.

"PENJAGA! PANGGIL SEMUA BODYGUARD DAN CEPAT TANGKAP SEMUA KOKI DI SINI, LALU CARI TAHU INDENTITAS DAN ASAL-USUL MEREKA. PASTIKAN DUA ORANG INI JANGAN DI GABUNGKAN DENGAN KOKI LAINNYA!" perintah Alan berutu sambil menahan kepalan di tangannya. Ia begitu tampak sangat marah dan benar-benar mencemaskan sesuatu.

"Baik, Tuan." ucap penjaga itu.

Alan segera menelpon Vian.

"Halo, Tuan. Ini saya dan rombongan sudah masuk ke____"

"Pertemuan hari ini di batalkan. Ada penyusup di sini." ucap Alan yang langsung memutuskan sambungan teleponnya.






***





Pukul satu siang, Alan, Vian dan dua bodyguard kini berjalan dengan tergesa menuju lantai bawah. Tepatnya ke arah ruangan rahasia.

Ya, sangat banyak tempat misterius di rumah besar dan megah ini. Salahsatunya adalah tempat orang-orang yang harus Alan interogasi lebih dulu dari polisi.

Baru saja mereka turun dari tangga, seorang perempuan  berhenti tepat di hadapan Alan dan menunduk hormat. "Selamat siang, Tuan muda."

Alan berhenti melangkah, lalu menaikan sebelah alisnya. "Siang, ada apa?" tanya Alan to the point.

"Saya hanya ingin memberitahu jika Istri dan anak Tuan akan tiba sore nanti di rumah." ujarnya.

Alan mengangguk, "Baik, segera siapkan makanan untuk mereka."

"Baik, Tuan."

Setelah menjawab itu, Alan segera melanjutkan langkah kakinya lagi.

"Polisi juga sudah menyelidiki restoran ternama itu, Tuan." ucap Vian di tengah perjalanan.

Alan mengangguk, "Terus cari perkembangannya. Jangan sampai akarnya menghilang dan kabur."

Sesampai di ruangan itu, Alan membuka kasar pintu dan langsung menatap tajam pada para koki yang sedang berkelahi.

"HENTIKAN!" teriak Alan lantang.

Mereka semua berhenti.

"Ada apa ini?" tanya Vian.

"Kami semua tidak mengenalnya, dan mereka berdua sudah menipu kami." ucap salahsatu dari mereka.

Alan menatap serius koki yang barusan berbicara. "Kenapa sebelumnya kalian tidak mengatakannya pada saya!"

"K-karena, karena mereka berdua terus membuat alasan kalo mereka adalah koki baru di restoran tempat kami bekerja."

"Shit!" umpat Alan pelan. Ia lalu menatap dua orang pelaku yang kini juga tampak menatapnya, tampaknya mereka menantang.

"Mau mati?" tanya Alan.

Dengan cepat mereka berdua langsung menunduk.

"Tuan, datanya sudah di periksa..." ucap Vian sambil terus men-scroll ponselnya. "Dan, dua orang ini benar-benar tidak terdata."

Mendengar itu, Alan langsung mendekati dua penyusup itu dan menarik kasar kerah keduanya.

"JAWAB! ATAU KALIAN MATI DI TANGAN SAYA." ucap Alan yang penuh emosi yang menggebu.

Keduanya tetap menunduk dan tak ingin buka suara.

Baru saja Alan akan membogem mentah untuk yang kesekian kali, dengan cepat Vian menahannya.

"Tuan, jangan Tuan. Ingat jabatan Tuan, bisa gawat kalo sampai Tuan muda memukul mereka." cegah Vian sambil menahan tangan Alan.

Memang benar kata Vian.

Alan langsung melepas kasar dua orang itu. Lalu melirik ke arah Vian. "Telepon Polisi."

Mendengar itu, dua pelaku itu saling pandang dan ketakutan.

Vian langsung menelpon Polisi.

Setelah hampir lima belas menit menunggu, tujuh Polisi datang. Alan langsung menjelaskan pada mereka soal kejadian tadi.

Lalu salah satu Polisi itu menyipitkan matanya saat melihat wajah Jio. Ia segera mengecek ponselnya. "Kamu Jio?" tanya polisi itu memastikan.

"Benar, dia Jio." jawab Alan.

Sontak Jio langsung berwajah pucat.

Polisi itu langsung mendekati Jio lalu memborgol tangannya dengan kasar.

"Dia adalah buronan setahun yang lalu. Kasusnya adalah pelecehan terhadap beberapa wanita di tempat kerjanya." jelas polisi itu.

Mendengar itu sontak semua orang menahan kaget.

Apalagi dengan Alan yang kini menggertakan rahangnya dan mengepalkan kedua tangan.

"Siapa nama kamu?" tanya salahsatu polisi kepada orang yang berada di sebelah Jio.

"Deno, pak."

"Tangkap juga dia! Sepertinya dia bersekongkol dengan Jio."

Dengan cepat Polisi itu langsung memborgol tangan kedua pelaku tersebut.

"Terimakasih, bantuannya. Mungkin kalo gak ada kalian, kami tidak bisa menemukan orang ini." ungkap seorang polisi.

Alan yang sejak tadi begitu marah saat mendengar bahwa dua orang itu adalah incaran polisi karena khasus pelecahan wanita. Dengan cepat, Alan langsung menyerang keduanya.

Untung saja, para Polisi langsung memisahkan Alan dari mereka.

"Otak kalian di mana? HAH? saya tidak akan pernah sedikitpun membantu kalian untuk bebas dari penjara. Bahkan, saya akan menuntut kalian seberat-beratnya, ingat itu!" ungkap Alan penuh emosi dengan napas naik turun.

"BAWA MEREKA, PAK!"

Dengan cepat, para Polisi itu langsung memborgol dua orang itu dan segera membawa paksa mereka.

Setelah polisi dan dua buronan itu pergi. Alan duduk di kursi sambil memijit pelipisnya. Ia benar-benar menyesal sebelum ini tidak memeriksa semua kokinya.

"Mulai besok, siapapun yang masuk ke dalam rumah saya, indentitas dan asal-usul harus sudah terdata." ucap Alan yang kini menatap Vian.

"Baik, Tuan." jawab Vian.

"Beritahu Tuan Agung, kalo saya minta maaf atas pembatalan pertemuan tadi. Besok jadwal pergantianya." ucap Alan yang kini berdiri, lalu melirik Vian. "Kita kembali ke kantor."

"Baik, Tuan muda."

Hampir saja Vian menabrak punggung Tuannya yang tiba-tiba saja berhenti di depannya.

Alan berbalik, "Siapkan tiga mobil dan banyak bodyguard untuk menjemput istri dan anak saya. Jangan sampai terjadi hal buruk nantinya." perintah Alan.

Vian mengangguk, "Siap, Tuan muda, aman pastinya." jawabnya.



___________



Next ga nih? Yok, bisa lah kasih bintangnya. Spam komen? Gasss.

JANGAN LUPA BELI NOVEL NALLAN 1. Yang bingung soal ordernya, bisa chat aku yaa☺️


Novel Nallan juga ada di Gramedia💘

SPECIAL 4790 WORD.


INSTAGRAM :

@Adany.salshaa
@Nallan.Official

Continue Reading

You'll Also Like

358K 15.9K 72
"Kenapa badai dateng ketika gue udah jatuh sama dia." -Freya "Gue benci kalo liat wajah lo, tapi gue rindu saat lo nggak ada di samping gue." -Algant...
3.6M 27.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
29.3K 5.3K 12
you can't never "just be friends" with someone you fell in love with.
2.2M 184K 59
Ini tentang mereka. Artalyta Venustya dan Feerlycia Angelita, dua remaja yang harus bersatu hanya karena sebuah kejadian. Feerly yang harus sabar da...