RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

1 || Pemuda Tanpa Teman

626 122 238
By Aniwilla


㋛︎

My mind is too loud, i can't hear your bullshits!

-R E C A K A-

.
.
.

㋛︎

"Buka bajunya!"

Dua temannya itu mengangguk menuruti kata laki-laki gendut dengan donat di tangannya, lantas mendekati Dafi yang terlihat sudah kesakitan.

Dafi menyentak salah satu tangan dari anak buah Noval--si gendut tukang bully-- dan berusaha menjauh meski sadar tubuhnya sudah tersudut tembok belakang sekolah. "Udah gue bilang gue gak punya duit," ujarnya lirih.

"Bohong! Masa ke sekolah gak bawa duit, emangnya lo gak minta ke emak lo!" sahut Noval sembari mengunyah gigitan terakhir dari donatnya. "Ups! Gue lupa. Lo gak punya emak."

Tawa ketiga orang itu berhasil membuat telinga Dafi panas, dadanya berdesir menahan amarah, tapi yang ia lakukan hanya diam, seperti memang sengaja tidak memberontak. Laki-laki itu terlalu lelah berdebat dengan tukang rundung sekolah.

"Gue bilang buka bajunya! Cari duitnya, cepet!" seru Noval, membuat dua babu kesayangannya itu kembali mendekati Dafi.

Dafi sudah pasrah ketika dua orang itu mulai menggerayanginya, ia tidak akan melawan kecuali jika mereka sungguh ingin membuka baju Dafi.

"Bilangnya gak ada duit," ucap salah satu anak buah Noval, ia menampar Dafi keras. "Nih, bos!"

"Lima puluh ribu?" tanya Noval kecewa. Ia berdecak. "Dasar miskin! Masa cuma segini?"

Dafi tersenyum miring mendengar penuturan Noval. "Karena gue gak punya nyokap. Lo sendiri? Nyokap lo mana kok minta duitnya ke gue?"

"Anjing!" Noval menendang kepala Dafi keras hingga membentur tembok. Laki-laki itu meludah pada rerumputan dan mencabut rumput itu kasar lantas memasukkannya paksa pada mulut Dafi. "Berani lo ngomong kayak gitu ke gue?"

Kemudian Noval menekan rahang Dafi kuat-kuat. "Dengerin gue ya bangsat! Gue minta duit ke lo karena tujuan lo ke sekolah ya buat ngasih gue duit!"

BRAKK!!

Sebuah tas melayang ke kepala Noval. Wajah laki-laki itu spontan memerah padam, matanya mendelik kesal.

"Miskin banget sih minta duit ke orang! Eh gentong! Porsi makan lo pasti banyak banget sampe harus malakin anak-anak?" teriak perempuan berkuncir kuda dengan poni menghiasi wajah manisnya.

"Yuna?" Wajah Noval yang tadinya hendak marah besar mendadak hilang tergantikan rasa was-was. "Lo ngapain di sini?"

"Bacot banget! Lah lo ngapain masih ke sekolah? Lo gak tau badan lo segede pom penampungan aer?" Gadis cantik yang dipanggil Yuna itu mendecih kesal, dan mengambil tasnya yang sempat melayang tadi. "Menuh-menuhin gedung sekolah aja."

"Berani banget lo ngomong kayak gitu." Salah satu anak buah Noval maju, hendak memukul Yuna, tapi dengan cepat kerah bajunya ditarik ke belakang oleh Noval.

"Apa lo! Mau mukul? Mau gue aduin abang gue," teriak Yuna maju selangkah menantang.

"Jangan ngadu ke abang lo dong, Yun! Kita kan cuma bercanda tadi," sahut Noval.

"Bercanda bercanda," ujar Yuna. Menatap Noval dari ujung kaki hingga kepala. "Badan lo tuh bercanda! Minggat lo semua!"

"O-oke!" Tak butuh waktu lama Noval bergegas menyeret dua anak buahnya pergi dari sana, meninggalkan dua orang itu dalam sunyi.

Yuna menatap Dafi yang tengah memuntahkan sesuatu dari mulutnya miris. Perempuan itu berjongkok agar bisa manatap wajah laki-laki itu secara jelas. Wajahnya sudah babak belur dengan darah yang hampir mengering di sudut bibir dan hidung.

"Lo kok gak ngelawan sih?" tanya Yuna heran. Ia meneliti wajah dan tubuh Dafi. Laki-laki itu cukup tampan dan tinggi, bukan tipe laki-laki yang akan dibully di sekolah, kalau mau melawan sepertinya pun bisa, tapi yang Yuna lihat dari awal sejak dipukul Noval dan dua anak buahnya, Dafi bahkan tak melawan sama sekali.

Dafi menatap Yuna sebentar, lantas mendecih pelan. "Bukan urusan lo."

Bibir Yuna terbuka. Ia begitu terkejut dengan respon Dafi. Laki-laki di depannya ini baru diselamatkan dari aksi bully, tapi kenyataannya ia sama sekali tidak seperti orang yang habis dibully. Perkataan yang keluar dari mulut laki-laki itu begitu dingin, sepertinya Noval salah pilih target bully!

Dafi bangkit dari duduknya dengan mudah, meski terlihat sedikit meringis karena menahan nyeri di sekujur tubuh. Laki-laki itu dengan wajah tanpa ekspresi tetap berjalan mendahului Yuna bahkan tanpa menatap gadis itu.

Ini serius? tanya Yuna dalam hati tak percaya.

"Tunggu!" Yuna menarik seragam Dafi. "Luka lo obatin dulu."

Dafi kali ini berdecak kesal. "Lo temen gue?" tanya Dafi tanpa menatap Yuna.

"Bukan, sih."

"Kalo gitu gak usah sok akrab!" Dafi kembali berjalan meninggalkan Yuna yang saat itu rasanya ingin sekali Yuna mengambil bata dan melemparkannya pada Dafi.

"Makasih!" ujar Yuna pada dirinya sendiri. Menggantikan Dafi yang seharusnya mengatakan frasa itu.

"Lo ngapain nolong dia?"

"Babi!" teriak Yuna dan cepat-cepat menolehkan kepalanya pada asal suara yang tiba-tiba menyahut. Jika orang asing, makan Yuna benar-benar akan melemparkan tasnya lagi ke kepala orang.

"Heh, sopan dikit ya gue ini masih abang lo," ujar Alfa.

"Siapa suruh lo ngagetin, kayak jelangkung, njir!"

"Enak aja lo! Muka gue mirip pangeran gini lo samain sama jelangkung," sahut Alfa tak terima sembari meraba-raba wajahnya. "Gue tanya, lo ngapain nolongin Dafi? Lo suka?"

Yuna memutar bola mata malas. "Kata Bunda, kalo ada orang kesusahan itu ya dibantu. Kita hidup harus berbuat baik. Bukan karena orang yang kita tolong itu orang baik, tapi karena kita orang baik."

"Idih, sok bawa-bawa nama Bunda segala," kata Alfa, melirik jijik kembaran tak identiknya itu.

"Gue kan bidadari, gak kayak lo. Jago beladiri tapi liat aksi bully diem aja."

"Gue kan belajar beladiri ya buat ngelindungin diri gue, bukan orang lain. Gue bukan super hero!" jawab Alfa.

"Berbuat baik itu gak harus jadi super hero."

-𖧷-

In Memoriam

❣︎

Maureen Damayanti

Segudang pemikiran penuh tanya terus berkelana di dalam pikiran seorang Khadafi Baswara. Dua telapak tangannya ia tenggelamkan dalam saku celana, masih tak habis pikir pada tulisan yang terukir di mading sekolahnya.

Maureen Damayanti. Dafi tidak terlalu mengenalnya, tapi sempat berpapasan beberapa kali karena perempuan itu salah satu jajaran murid berprestasi di sekolah. Perempuan cantik dan murah senyum itu terlihat memiliki segalanya. Fisik rupawan, harta, keluarga yang hangat, teman yang peduli--seperti Cio contohnya-- atau kepintaran yang banyak dipuji para guru. Dafi rasa, Maureen hidup dengan baik.

Lantas, mengapa seseorang yang memiliki banyak hal-hal baik seperti Maureen memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?

Atau Cio berkata benar. Jika perempuan itu tidak benar-benar ingin bunuh diri?

"Gimana rasanya mati?" tanya Dafi pelan, hampir seperti bisikan. Berharap Maureen mendengar dan menjawab pertanyaannya.

Cio tidak berbohong perihal Dafi adalah pembunuh. Kenyataannya Dafi tidak memiliki seorang Ibu, dan Dafi-lah yang telah membunuh Ibu kandungnya sendiri.

Dafi tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu. Bagaimana diteriaki karena bangun kesiangan, atau dibanding-bandingkan dengan anak tetangga sebelah. Mungkin dimarahi karena mendapatkan nilai yang buruk bagi Dafi adalah hal yang menyenangkan. Bagaimana rasanya mengadu pada seseorang yang sangat berarti seperti sosok Ibu saat dunia begitu kejamnya menyakiti Dafi. Ia tersenyum kecut, ia bahkan belum pernah melihat secantik apa Ibunya.

Ibu Dafi meninggal saat melahirkan Dafi.

Dan Dafi menyesal karena Ibunya lebih memilih menyelamatkan anaknya yang tak berguna ini daripada nyawanya sendiri.

Khadafi Baswara.

Kata guru Bahasa Indonesia-nya, Baswara mempunyai arti bagus, berkilau atau bercahaya. Tetapi nyatanya seorang Khadafi Baswara selalu hidup dalam gelap, tanpa terang atau hangat yang menemani. Hanya sepi, dingin, dan gulita. Dunianya sudah memburam sejak dulu, membekukan tiap-tiap napas menjadikannya sesak. Ekspektasi Dafi pada hidupnya terlalu tinggi, ingin Ibunya yang sudah berada pada pelukan bumi itu kembali hidup, dan berbalik memeluk Dafi. Kenyataannya, semesta mana mau mengabulkan hal yang mustahil, membuat hati Dafi semakin teriris akan kenyataan. Bagi Dafi, bukan kematian yang paling menyakitkan, tapi kesepian karena kehilangan. Seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia miliki.

"Mah," lirih Dafi yang tiba-tiba teringat Ibunya. "Dafi nyerah, ya?"

Tanpa sadar mata itu menjatuhkan bening tirta pada pipi dingin Dafi. Alasannya selama ini diam karena terus dipukuli gerombolan pembully adalah ia berharap mereka bisa mengambil jiwa Dafi. Ia berharap Dafi begitu lemah sampai satu atau dua pukulan saja bisa membunuh Dafi. Jika Tuhan masih baik, mungkin saja Dafi akan dipertemukan pada Ibunya, atau mungkin saja tidak.

"Lo nangis?"

Dafi tersentak. Ia mengusap pipinya kasar. Melirik sebentar, menemukan sosok pemuda yang tak kalah berprestasi dibanding Maureen.

Januari Candramawa.

Atau biasa dipanggil Janu oleh seantero sekolah. Laki-laki tampan dengan senyuman ramahnya itu adalah tipe yang lembut, cara bicara, tatapan, bahkan senyumnya mampu menjadi obat penenang. Hampir jadi ketua Osis, tapi Janu mengundurkan dirinya sebelum dilantik dengan alasan mau fokus belajar. Padahal jika Dafi ingat-ingat, laki-laki itu tidak perlu belajar untuk mendapatkan nilai bagus. Janu memang jenius, all arounder.

"Lo nangis karena Maureen?" tanya Janu lagi yang hanya dijawab kebisuan.

Dafi sungguh ingin pergi, tidak ingin membuat Janu lebih banyak bertanya. Namun dua tungkainya bahkan tak mau bergerak sama sekali.

Janu tersenyum kecil. Netranya ikut menatap mading yang memeringati kematian Maureen. "Ternyata bener kata anak-anak. Lo sosiopat."

Tak ada jawaban. Hanya ada suara berisik anak berlalu-lalang karena masih jam istirahat.

"Menurut psikologi. Orang yang keliatan baik-baik aja. Belum tentu hidup dengan baik," kata Janu. Laki-laki itu melirik Dafi sekilas meskipun masih tak mendapat respon sama sekali. "Menurut lo dia mati karena apa?"

Tadinya Dafi tak mau menjawab, tapi lewat ekor matanya bisa ia tebak Janu tengah menatapnya menunggu jawaban. Janu, laki-laki itu, meski pun ia tidak tersenyum wajahnya terlihat bersinar, seolah menjelaskan betapa bahagianya dia hidup di dunia. Seolah Janu lahir ke dunia ini memang untuk menjadi jenius pusat perhatian banyak orang.

Dafi menghela napasnya. "Keduanya masuk akal."

Janu kembali tersenyum hangat, kali ini lebih lebar dari sebelumnya karena berhasil mendapat respon dari Dafi. "Keduanya? Maksud lo?"

Dafi menaikkan bahu sekilas. "Bunuh diri atau dibunuh. Dua-duanya bisa aja terjadi."

"Gue setuju. Lo bener, gue mikirnya juga gitu," ujar Janu sama sekali tidak mengendurkan senyumannya. "Tapi kalo dibunuh. Menurut lo siapa?"

Kali ini Dafi tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Janu yang mulai sok akrab dengannya. Karena baginya, ia sudah cukup kenyang dicap sebagai pembunuh. Ia tidak ingin ikut menghakimi orang juga sebagai pembunuh.

Tapi meskipun begitu, Dafi tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia penasaran.


-𖧷-


㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.

Ini kan baru sampe 2part, kok jadi mendadak bingung mau dibawa ke mana ceritanya(?) Anjim kamu, Ani!!

Tangerang, 29 September 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 13.9K 7
Hanya me republish cerita lama. Tulisan tanpa revisi. Jadi masih SANGAT berantakan. Eyd dan tanda baca yang membuat kepala pusing.
61.3K 4.3K 76
Start : 2020 Finish : 2022 Sedikit cerita sejauh mana perjalanan Algar Prasetya menjalani kehidupan pahit yang saat ini menimpanya. Kobaran dendam la...
1.8K 368 7
Follow dulu, yuk! Kilas balik kehidupan Maleo sebelum bertemu dengan ibu dan adiknya. ───────────── Cerita ini adalah KILAS BALIK sebelum cerita ALEA...