Pisah Boleh Cerai Jangan [TAM...

By astiwisnu

47.6K 4.7K 342

"Apapun yang terjadi, kita harus tetap menikah." "Setuju!" Zeta dan Riga saling menatap dengan pandangan pen... More

01. Kejutan untuk Semua
02. Buat apa Menikah
03. Bahasa Kalbu
04. Suara Hati seorang Istri
05. Rahasia Emosional
06. Teman-teman yang Menikah
07. Standar Ganda
08. Sungguh Sangat Rumit
09. Kejar Tubuh Indah
10. Terjebak Pilates
11. Bebas Berkreasi
12. Persiapan adalah Kunci
13. Mari Bercinta
14. Masa Kini yang Bertahan
15. Langkah Baru
16. Tidak Tertahankan
17. Anak dan Idealisme
18. Pasangan yang Mirip
19. Punya Sekutu itu Perlu
20. Anak itu Direncanakan
21. Semua Berawal di Rumah
22. Mari Bertahan Lebih Lama
23. Mantan itu Teman
24. Rencana Dulu Eksekusi Nanti
25. Kejutan
26. Setelah Satu Tahun
27. Akhirnya Bulan Madu
28. Bagaimana Akhirnya
30. Percobaan Pertama
31. Sebuah Kerinduan
32. Refleksi
33. Abai bukan Jawaban
34. Terapi Belanja
35. Tak Ada yang Lebih Baik
36. Waktunya Kompromi
37. Ketika ada Jarak
38. Masih Sama
39. Sudah Tahu Aturan
40. Terlalu Lelah untuk Mencari

29. Mari Kita Lakukan

892 83 3
By astiwisnu




Mungkin benar adanya mengapa bulan madu itu perlu dilakukan oleh setiap pasangan pengantin baru, walau seberapa lama pun mereka telah mengenal satu sama lain sebelum pernikahan. Ketika berbulan madu, pasangan dapat memanfaatkannya untuk untuk liburan sekaligus mengosongkan pikiran yang mengganggu. Berada jauh dari kesibukan sehari-hari, membuat pasangan dapat melihat berbagai macam hal dengan lebih netral sekaligus intim. Waktu yang tepat untuk merencanakan masa depan atau sekadar berbagi kenangan.

Untuk Zeta dan Riga yang sudah mengenal satu sama lain selama 18 tahun dan mengira telah saling memahami luar dalam masing-masing, ternyata masih banyak hal yang belum mereka ketahui dari pasangannya. Riga baru paham tentang Zeta, yang sebelum menikah ia kenal sebagai seseorang yang sebal dengan semua peran sosial yang dibebankan kepada perempuan saat manjadi istri. Setelah menikah, Zeta ternyata mudah saja beradaptasi menjadi sosok istri ideal yang melayani suami.

Bagi Zeta, keterkejutan terbesar yang ia ketahui setelah hidup bersama Riga selama satu tahun terakhir adalah hilangnya imej santai dan sembarangan yang melekat di diri Riga. Zeta melihat sendiri bagaimana Riga bekerja dengan keras dan disiplin. Semua tingkahnya yang santai hanya kamuflase saja selama ini, agar orang-orang tidak menganggapnya terlalu serius dan tidak bisa bercanda. Berbahaya saat melakukan networking, ujar Riga satu waktu, karena akan menyusahkan relasi tercipta.    

Bentuk keseriusan Riga terlihat sepulang dari bulan madu. Janjinya menjadi suami yang lebih baik lagi ditepati Riga. Kalau sebelumnya Zeta harus bersusah payah membangkitkan motivasi berolahraganya setiap pagi buta, sekarang ada Riga yang lebih sering bangun lebih dulu dan mengajaknya lari pagi di sekitar gedung apartemen.

Riga bahkan mulai belajar memperbaiki beberapa hal di sekitar rumah yang sebelumnya tidak suka ia kerjakan. Melihat Zeta yang bersedia masak untuk mereka berdua setiap hari, membuat Riga berusaha mendukung Zeta dengan melakukan pekerjaan lain yang bisa mengurangi beban Zeta. Seperti mengganti lampu yang mati, membetulkan keran air atau mengecat dinding yang catnya sudah terkelupas. Semua dilakukannya lebih dulu sebelum Zeta menyadari ada yang salah. 

Begitupun terkait antar jemput. Apabila sebelumnya mereka hanya sepakat berangkat kerja bersama, kali ini Riga bersikeras untuk selalu menjemput Zeta juga. Saat-saat tertentu Riga tidak bisa menjemput Zeta karena harus lembur atau ada aktivitas lain yang menghambat pulang kantor tepat waktu, Riga memastikan telah mengirim sopir kantornya untuk menjemput Zeta.

Zeta tentu saja gerah dengan perubahan sikap Riga yang terakhir ini.

"Kok lo jadi posesif sih?"

Riga yang sedang menyetir tidak langsung menjawab pertanyaan Zeta. Setelah mobil berhenti di lampu merah, baru ia membuka mulutnya. "Gue khawatir sama lo. Angka kejahatan terhadap perempuan yang pulang sendiri makin meningkat di Jakarta. Hanya itu saja alasan gue."

"Tapi gue jadi susah kalau mau pulang harus tunggu sopir dulu. Lebih cepat gue pesan ojol atau naik MRT."

"Kan sama saja dengan lo tunggu gue jemput misalnya. Nggak langsung datang pas lo selesai kerja atau apa, jadi tetap ada waktu tunggu yang terbuang juga." Riga memberikan argumen dengan memakai analogi.

"Beda, Ga," sergah Zeta. "Setidaknya kalau lo yang jemput, gue bisa langsung tidur karena kelamaan nunggu lo. Kalau pakai sopir kan nggak enak sama sopir lo."

"Tidur saja kali."

"Kan sudah gue bilang, nggak enak."

"Kasih kucing."

"Bodo ah, Ga."

Lampu hijau menyala dan Riga menjalankan kembali kemudi. Beberapa saat tidak ada suara di antara mereka, sampai akhirnya Riga membuka suara.

"Lo boleh minta hal lain dan gue janji akan kabulkan, kecuali ini, Ta." Riga meraih tangan kanan Zeta dengan tangan kirinya yang tidak memegang kemudi. "Kita punya rencana sekarang, Ta." Riga memelankan laju mobil dan mengambil jalur lambat ketika menggenggam tangan Zeta, memastikan keselamatan mereka berdua. "Sekarang kita punya tujuan pernikahan, punya keinginan bersama.Buat gue itu cukup menjadi alasan untuk menjaga lo dengan lebih baik lagi." 

Zeta merasakan wajahnya menghangat. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Riga tapi pria itu menolak melakukannya. Ketika akhirnya mereka memasuki lokasi tujuan mereka hari itu, Riga akhirnya melepaskan genggamannya.

Tidak butuh waktu lama untuk Riga menemukan tempat parkir, sehingga keduanya tidak perlu membuang waktu dan energi mereka lebih banyak lagi.

"Kita jadi punya waktu untuk santai," bisik Riga setelah mereka berdua menyelesaikan kuesioner yang harus diisi dan mengembalikannya ke bagian pendaftaran. 

"Gue gugup banget." Zeta tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Kedua tangannya dingin sejak turun dari mobil tadi. Zeta bahkan sempat salah mengisi kuesioner dan meminta lembaran baru untuk dikerjakan.

Riga mengambil kedua tangan Zeta, kemudian meremasnya dengan tangannya. "Hanya sebentar, kok. Tarik nafas dan embuskan pelan-pelan."

Zeta mengikuti saran Riga yang ternyata lumayan bisa meredakan kecemasannya. Tetapi ketika suster memanggil namanya lebih dulu, kepanikan kembali melanda Zeta.

"Tenang, Ta. Gue tunggu sini ya."

Setelah yakin akan keinginan keduanya untuk memiliki anak, juga dorongan dari orangtua Zeta dan Adelia yang semakin menjadi-jadi untuk menimang cucu, akhirnya Zeta dan Riga memutuskan menjalani tes kesuburan untuk memastikan kemungkinan mereka memiliki anak.

Sebenarnya menurut teori, tes kesuburan baru disarankan dijalani oleh pasangan yang menikah setelah satu tahun rutin berhubungan seksual dan tidak juga ada tanda-tanda kehamilan. Bagi Zeta dan Riga sendiri, mereka baru tujuh bulan terakhir rutin berhubungan seksual tanpa pengaman. Jadi sebenarnya belum tentu infertil sehingga harus melakukan tes kesuburan.

Definisi infertilitas atau kemandulan itu sendiri adalah adanya gangguan pada sistem reproduksi yang menyebabkan kegagalan terjadinya kehamilan, meski telah melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi dalam kurun waktu 12 bulan atau satu tahun penuh.

"Tes saja nggak ada salahnya, Mbak," pinta Mama ketika Zeta dan Riga mampir ke rumah orangtua Zeta untuk menyerahkan oleh-oleh.

"Mama sama Papa sudah tua, kapan lagi kami punya kesempatan menimang cucu. Ya kan, Papa?" lanjut Mama meminta persetujuan sang suami.

"Kemarin Mama dapat info dari Mbak Adelia, katanya sudah kasih kamu daftar obgyn buat kamu cek ya. Coba saja satu, Mbak. Kalau misalnya kenapa-kenapa, bisa cepat ditangani. Kalau tidak ada apa-apa malah lebih bagus lagi, kalian bisa langsung program hamil. Ingat umur, Mbak. Sebentar lagi mau kepala empat kamu."

"Zeta baru mau 35, Ma. Masih ada lima tahun lagi sebelum usia 40."

"Loh itu juga masalah loh, Mbak. Mama baca-baca perempuan itu memiliki tingkat kesuburan tertinggi ketika berusia 20-an hingga awal 30-an lalu akan menurun ketika memasuki usia 35 tahun atau lebih. Saat itu jumlah dan kualitas sel telur yang diproduksi sudah rendah dan kurang baik. Kalau Nak Riga sih, sampai usia 60 tahun juga masih jago menghamili orang."

Riga yang hampir saja tertawa langsung diam ketika Zeta menatapnya tajam.

"Kami nggak buru-buru kok, Ma. Kami juga baru setahun menikah, masih lama perjalanannya," ucap Riga buru-buru, berusaha membela Zeta.

"Justru karena itu. Kalian sudah bareng-bareng satu tahun penuh. Kecuali kalian pisah kamar nggak saling berhubungan, kan tidak mungkin kalian bareng-bareng terus tapi nggak hamil-hamil."

Riga dan Zeta sempat tersedak ketika Mama menyebutkan pisah kamar, tetapi mendengar kalimat terakhir Mama, keduanya menyadari tidak ada lagi alasan yang bisa dipakai untuk membungkam sang Mama selain hasil tes.

Itulah alasan mengapa pagi ini Riga dan Zeta sama-sama mengambil cuti seharian untuk menjalani berbagai macam tes. Untuk Zeta akan ada serangkaian tes yang dilakukan, mulai dari tes ovulasi untuk mengukur kadar hormon guna menentukan apakah wanita sedang berovulasi serta dapat menghasilkan sel telur secara teratur.

Setelah itu yang menurut beberapa orang cukup menyakitkan after-effect-nya adalah tes USG dan HSG  untuk mendeteksi apakah terdapat kelainan pada rahim, indung telur, atau tuba falopi. Tes berikutnya histeroskopi, untuk mendeteksi kelainan pada rahim dan leher rahim atau serviks. Terakhir ada tes hormon, untuk menentukan apakah terdapat kelainan hormon yang bisa menyebabkan masalah kesuburan pada wanita.

Sementara untuk Riga cukup analisis sperma terlebih dahulu, untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan sperma. Rekomendasi tes ini mereka terima setelah sebelumnya berkonsultasi dengan obgyn.

Kekesalan Zeta akan banyaknya tes yang harus dijalani, dan membuatnya sempat menyesal terlahir sebagai perempuan, sedikit terhibur ketika Riga mendatanginya dan membisikkan sesuatu.

"Jangan ketawa dong, Ta," pinta Riga memelas.

Zeta menahan tawanya kemudian mengangguk cepat. Riga langsung meninggalkan Zeta dan kembali ke ruangan tempat ia keluar sebelumnya.

Sebuah pesan baru dari Riga masuk ke ponsel Zeta.

Aku berpikir tentang menciummu, di mana-mana, di semua lekukan tubuhmu.

Zeta tersenyum sekilas, sebelum mengirimkan balasan.

Aku juga terus menyentuh diriku. Kamu ingin mulai mencium di mana?

Ternyata, keahlian sexting sangat diperlukan dalam keadaan seperti sekarang ketika Riga harus mengeluarkan sperma, dan tidak ada satupun majalah porno atau film biru yang dapat merangsang dirinya.

Setelah satu tahun bersama, Riga butuh Zeta untuk membantunya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

68.1K 8.4K 16
Hi, Goodbye - Kamu akan bahagia di sana. Semesta seharusnya tahu bahwa aku merindukannya. Bukankah, rindu itu dibayar dengan pertemuan lalu dihadiahi...
2M 226K 42
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
359K 28.4K 31
Bercerita tentang cewek yang bernama Cassiopeia Aluna Kiara Emerald seorang badgirl yang meninggal karena kecelakaan. Memiliki paras wajah yang canti...
671K 66K 46
Pertemuan pertama mereka adalah lelucon terbesar bagi Shayna. Setelah dipaksa menikah cepat oleh kedua orangtuanya, kini Shayna menjadi guyonan selur...