29. Mari Kita Lakukan

873 82 3
                                    




Mungkin benar adanya mengapa bulan madu itu perlu dilakukan oleh setiap pasangan pengantin baru, walau seberapa lama pun mereka telah mengenal satu sama lain sebelum pernikahan. Ketika berbulan madu, pasangan dapat memanfaatkannya untuk untuk liburan sekaligus mengosongkan pikiran yang mengganggu. Berada jauh dari kesibukan sehari-hari, membuat pasangan dapat melihat berbagai macam hal dengan lebih netral sekaligus intim. Waktu yang tepat untuk merencanakan masa depan atau sekadar berbagi kenangan.

Untuk Zeta dan Riga yang sudah mengenal satu sama lain selama 18 tahun dan mengira telah saling memahami luar dalam masing-masing, ternyata masih banyak hal yang belum mereka ketahui dari pasangannya. Riga baru paham tentang Zeta, yang sebelum menikah ia kenal sebagai seseorang yang sebal dengan semua peran sosial yang dibebankan kepada perempuan saat manjadi istri. Setelah menikah, Zeta ternyata mudah saja beradaptasi menjadi sosok istri ideal yang melayani suami.

Bagi Zeta, keterkejutan terbesar yang ia ketahui setelah hidup bersama Riga selama satu tahun terakhir adalah hilangnya imej santai dan sembarangan yang melekat di diri Riga. Zeta melihat sendiri bagaimana Riga bekerja dengan keras dan disiplin. Semua tingkahnya yang santai hanya kamuflase saja selama ini, agar orang-orang tidak menganggapnya terlalu serius dan tidak bisa bercanda. Berbahaya saat melakukan networking, ujar Riga satu waktu, karena akan menyusahkan relasi tercipta.    

Bentuk keseriusan Riga terlihat sepulang dari bulan madu. Janjinya menjadi suami yang lebih baik lagi ditepati Riga. Kalau sebelumnya Zeta harus bersusah payah membangkitkan motivasi berolahraganya setiap pagi buta, sekarang ada Riga yang lebih sering bangun lebih dulu dan mengajaknya lari pagi di sekitar gedung apartemen.

Riga bahkan mulai belajar memperbaiki beberapa hal di sekitar rumah yang sebelumnya tidak suka ia kerjakan. Melihat Zeta yang bersedia masak untuk mereka berdua setiap hari, membuat Riga berusaha mendukung Zeta dengan melakukan pekerjaan lain yang bisa mengurangi beban Zeta. Seperti mengganti lampu yang mati, membetulkan keran air atau mengecat dinding yang catnya sudah terkelupas. Semua dilakukannya lebih dulu sebelum Zeta menyadari ada yang salah. 

Begitupun terkait antar jemput. Apabila sebelumnya mereka hanya sepakat berangkat kerja bersama, kali ini Riga bersikeras untuk selalu menjemput Zeta juga. Saat-saat tertentu Riga tidak bisa menjemput Zeta karena harus lembur atau ada aktivitas lain yang menghambat pulang kantor tepat waktu, Riga memastikan telah mengirim sopir kantornya untuk menjemput Zeta.

Zeta tentu saja gerah dengan perubahan sikap Riga yang terakhir ini.

"Kok lo jadi posesif sih?"

Riga yang sedang menyetir tidak langsung menjawab pertanyaan Zeta. Setelah mobil berhenti di lampu merah, baru ia membuka mulutnya. "Gue khawatir sama lo. Angka kejahatan terhadap perempuan yang pulang sendiri makin meningkat di Jakarta. Hanya itu saja alasan gue."

"Tapi gue jadi susah kalau mau pulang harus tunggu sopir dulu. Lebih cepat gue pesan ojol atau naik MRT."

"Kan sama saja dengan lo tunggu gue jemput misalnya. Nggak langsung datang pas lo selesai kerja atau apa, jadi tetap ada waktu tunggu yang terbuang juga." Riga memberikan argumen dengan memakai analogi.

"Beda, Ga," sergah Zeta. "Setidaknya kalau lo yang jemput, gue bisa langsung tidur karena kelamaan nunggu lo. Kalau pakai sopir kan nggak enak sama sopir lo."

"Tidur saja kali."

"Kan sudah gue bilang, nggak enak."

"Kasih kucing."

"Bodo ah, Ga."

Lampu hijau menyala dan Riga menjalankan kembali kemudi. Beberapa saat tidak ada suara di antara mereka, sampai akhirnya Riga membuka suara.

Pisah Boleh Cerai Jangan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang