20. Anak itu Direncanakan

899 110 1
                                    

Zeta mengambil dua gelas kopi dari meja konter, kemudian melayangkan pandang ke seluruh area kafe mencari meja kosong. Setelah menemukan meja dengan dua kursi kosong di dekat jendela, Zeta melangkahkan kakinya. Sambil sedikit mempercepat langkah di tengah-tengah suasana kafe di sore hari jam pulang kerja yang terhitung padat, Zeta menyeruput kopinya ganas. Perjalanan dari kantornya ke area tempat kafe ini berada lumayan jauh, memakan waktu hampir satu jam. Zeta butuh kopi untuk menghilangkan penatnya.

Sebelum sampai di meja sasaran, isi gelas kopi yang diminum Zeta sudah habis. Sedikit berbelok dari rute awal, Zeta sengaja melewati tempat sampah untuk membuang gelas kopi yang kosong. Ketika akhirnya Zeta meletakkan gelas kopinya di meja, seorang pria tiba-tiba duduk di salah satu kursi kosong yang ada.

"Maaf, Mas. Saya lebih dahulu sampai di sini."

"Mbak sendiri kan?" tanya pria itu. Pandangannya tertuju pada satu gelas kopi yang dipegang Zeta.

"Saya janjian dengan teman, berdua," jelas Zeta setelah meletakkan tas kerjanya lebih dahulu di samping kursi, kemudian membiarkan dirinya menikmati kelembutan yang ditawarkan kulit bantalan kursi.

"Belum datang kan temannya? Saya temani saja, bagaimana?"

Baru saja Zeta akan membalas pertanyaan itu, sebuah suara memotongnya.

"Saya calon suaminya. Kami akan membahas terkait rencana pernikahan." Riga berdiri tepat di samping kursi si pria.

"Oh maaf, saya tidak tahu mbaknya sudah punya pacar. Tadi bilangnya hanya menunggu teman." Pria itu otomatis berdiri.

"Walaupun dia mengatakan teman, tapi sudah jelas dia menyebutkan tengah menunggu seseorang dan secara tersirat meminta anda pergi. Itu sudah sebuah isyarat untuk tidak menganggunya."

Pria itu mengangkat kedua tangannya ke arah Riga lalu menatap Zeta, "Maaf." Kemudian berlalu dari hadapan Zeta dan Riga.

"Galak banget," komentar Zeta setelah keduanya duduk dengan nyaman. "Minum dulu nih, kopinya. Pekat tanpa gula."

Riga menerima gelas yang disodorkan Zeta, meneguknya sebentar sebelum berbicara. "Gue kan harus menjaga calon istri gue bebas gangguan. Ini berpengaruh juga terhadap masa depan gue."

Zeta mencibir. "Benar-benar alat doang ya gue."

"Lo nggak tahu kan hari ini, satu lagi junior gue sedang ikut penilaian untuk jadi manajer area timur. Padahal gue pernah di timur lima tahun, kurang lama apa coba."

"Biar gue tebak. Junior lo baru menikah?"

"Lebih tepatnya menikah karena pacarnya hamil, jadi sekaligus calon ayah. Alasan yang sangat disukai perusahaan gue. Persiapan untuk menikah, harus menafkahi istri, dan akan punya anak. Triple combo. Pasti akan bekerja sampai gila demi memenuhi tuntutan kanan-kiri." Riga menunjukkan tiga jari tangan kanannya, sebagai penekanan akan tiga alasan.

"Pindah aja sih, Ga. Kayak susah dapat yang lain saja lo?"

"Terus belajar product knowledge lagi dari awal? Nggak deh, Ta. Gue suka perusahaannya, gue suka produknya, di antara kompetitor pun produk perusahaan ini yang terbaik. Gue bisa jualan dengan baik karena gue percaya banget sama kemampuan produknya. Direktur penjualannya saja yang bangke. Lima tahun lagi sih pensiun dia, tapi ya masak gue tunggu dia pensiun dulu?"

Zeta tertawa.

"Lo gimana?"

"Yah sama sih, Ga. Sebagai satu-satunya perempuan jomlo di divisi gue, segala macam hal yang terasa berat jatuh ke gue. Liputan yang perlu menginap berhari-hari dan jauh dari peradaban pasti gue. Liputan di hari libur atau akhir pekan juga bagian gue. Revisi dadakan yang harus selesai malam itu juga, pun kena di gue. Dianggap nggak punya kehidupan lain saja gue. Gue sampai mau belajar hal baru jadi nggak bisa-bisa, Ga. Padahal di sini juga karir gue nggak naik-naik, boro-boro sempat mau apply ke tempat lain."

Pisah Boleh Cerai Jangan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang