2. NOT ME ✔️

By Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... More

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA

163K 23.8K 17.1K
By Caaay_

"Aku lebih suka mendengarkan ceritamu daripada menghadiri pemakamanmu."

—Moa Jatraji—

—————

"Ayah, pulang." Pinta Maratungga dengan suara parau kepada Tigu melalui sambungan telpon.

"Nggak bisa."

"Hari ini jenazah Cakra mau dikuburin. Maratungga mohon sama ayah, ayah pulang..."

"Ayah... Mara mohon... Pulang Ayah pulang.... Cakra nungguin ayah di rumah."

"Udah dibilang nggak bisa, ayah sibuk!"

"Peluk Cakra sekali aja, Mara mohon, Yah... Mara mohon... hiks!"

"Cakra nungguin Ayah di rumah."

"Peluk Cakra sekali aja, sebelum jenazah Cakra dikuburin."

Tut.

Tigu mematikan sambungan telponnya.

"Ayah!"

Maratungga memandang tubuh adik tirinya yang dulu sering bermain bersamanya kini terbungkus kain kafan putih dan terbaring di hadapannya.

"Hiks!"

"Cakra... hiks!"

Maratungga menatap jenazah Cakrawala. Air matanya tidak berhenti berjatuhan, suaranya pun terdengar sangat pilu dan menyakitkan.

"Maafin Bang Mara... Maafin Bang Mara nggak bisa bawa ayah ke sini... hiks!"

"Maafin Bang Mara nggak bisa bikin ayah peluk Cakra..."

"Maafin Bang Mara..."

"Maafin Bang Mara... hiks!"

"Cakra dipeluk sama Bang Mara aja, ya..."

"Sini, Bang Mara peluk Cakra...."

Maratungga memeluk tubuh Cakrawala yang sudah terbungkus kain kafan itu dengan sangat erat.

"Bang Mara sayang sama Cakra..."

Maratungga lantas melepas pelukannya.

"Bang Mara... hiks!"

"Kenapa Cakra ninggalin Bang Mara..."

"Cakra bilang nanti kita bakalan pergi sama-sama. Tapi kenapa Cakra duluan yang pergi... hiks!"

Aya mendekati Maratungga, memegang pundak rapuh laki-laki itu. Ketika memegang tangan  Maratungga, Aya bisa merasakan suhu badan Maratungga tinggi. Maratungga demam. Semalaman Maratungga kehujanan.

"Mara udah ya Mara..."

"Ikhlasin adik kamu. Ikhlasin Cakra."

Maratungga hanya diam dengan air mata masih berjatuhan dan isak tangis yang terdengar jelas.

"Bunda kembalikan Cakraaa... hiks!"

"Kembalikan Cakraa..."

Aya menarik Maratungga ke dalam pelukannya.

"Aya, Cakra masih beli sate, kan?"

"Cakra nanti bakalan pulang lagi, kan? Iya kan?"

Aya menarik kepala Maratungga ke dalam dekapannya hingga suara tangis laki-laki itu sedikit teredam.

"Adik kamu udah bahagia sama Bundanya."

——

Moa menatap bendera kuning yang berkibar di depan rumah Cakrawala dengan mata merah karena tangis.

"Aku tahu kamu suka warna kuning, tapi aku nggak suka liat ada bendera kuning di depan rumah kamu."

"Moa." Galaksi menepuk pundak Moa dan gadis itu pun menoleh.

"Kenapa Cakra ninggalin gue, La?"

"Kenapa? Kenapa harus Cakra? KENAPA?!!!"

Moa menangis. Isak tangisnya kembali terdengar.

"Haaa.... Haaaaa!!!"

Suara tangisnya terdengar seperti rintihan yang sangat menyakitkan.

"Haa... Haaa... Cakra... hiks!"

"Kalo lo nggak kuat, kita pulang."

"Kita pulang aja, ya? Hem?"

Moa menggeleng.

"Kalo gue pulang, nanti Cakra sendirian... hiks!"

Ponsel di saku celana Galaksi berdenting, ketika ia lihat ternyata itu panggilan masuk dari Wicak. Galaksi menerima panggilan tersebut, belum sempat ia menjawab, suara disebrang sana sudah memborbardirnya.

"Lo dimana sih? Gue udah nungguin lo lama!"

"Sorry, gue nggak bisa datang, Cak."

"Maksud lo gi—Ah! Sekarang lo dimana?!"

"Gue lagi dipemakamannya Cakra."

"Lo ngapain ikut kesana sih?! Ngapain lo buang-buang waktu lo buat orang sakit jiwa yang udah mati!"

"Nggak ada gunanya, La! Mendingan lo ke sini deh! Nongkrong sama gue sama temen-temen yang lain juga."

Tanpa menjawab, Galaksi mematikan panggilan tersebut. Sementara disebrang sana Wicak langsung memaki Galaksi tanpa henti.

———

Hanya sedikit orang yang datang untuk mengantarkan Cakrawala keperistirahatannya yang terakhir. Sejak kecil Cakrawala selalu dikucilkan, dan saat meninggal pun tidak banyak orang yang datang.

Semua orang hanya mengenal Cakrawala sebagai orang sakit jiwa, jadi untuk apa repot-repot datang ke pemakamannya.

Sama seperti ketika Bunda meninggal dulu, saat ini pun tangis Maratungga semakin pecah ketika melihat jenazah Cakrawala di masukan ke dalam liang lahat.

"Aya keluarin Cakra dari situ, Cakra takut gelap!"

"Aya keluarin Cakra."

"Ayaaa!"

Aya mengusap-usap punggung Maratungga yang bergetar hebat. Ia bisa mengerti, bagi Maratungga melepas kepergian Cakrawala bukanlah hal yang mudah. Apalagi Cakrawala pergi secara mendadak dan dengan cara yang tidak wajar. Karena sejak kecil—meskipun hanya saudara tiri—mereka sudah terbiasa hidup bersama. Ayahnya yang jarang pulang dan Bunda yang sudah bertemu dengan Tuhan, mengharuskan mereka hanya tinggal berdua dalam satu rumah.

Jenazah Cakrawala telah menyatu dengan tanah.

Sekarang sudah tidak akan ada lagi senyuman manis dari Cakrawala. Tidak akan ada lagi tawa ceria milik Cakrawala. Tidak akan ada lagi orang yang akan memasakan Maratungga makanan. Tidak akan ada lagi orang yang akan bertanya, 'Nanti kalau Cakra udah pulang, Bang Mara mau nitip dibeliin apa?'

Tidak akan ada lagi orang yang memarahi Maratungga ketika ia tidak mau minum obat. Tidak akan ada lagi omelan-omelan cerewet dari Cakrawala. Tidak akan ada lagi orang yang akan memanaskan air untuk Maratungga mandi.

Tidak akan ada lagi orang yang akan membelikan Maratungga cat air. Dan tidak akan ada lagi orang yang berlari dari pagar rumah sambil berteriak, 'Bang Mara-Bang Maraaaa... Cakra beli sate buat Bang Mara!'

Adik kecilnya yang selalu ceria itu sudah meninggalkannya, pergi menyusul Bundanya dan tidak akan pernah kembali untuk selamanya.

Tubuh Cakrawala sudah terkubur ke dalam tanah. Cakrawala benar-benar sudah pulang, menyusul bundanya, melepaskan semua rasa sakitnya.

Dan bahkan ketika Cakrawala sudah menjadi jenazah pun, ia tetap tidak mendapatkan pelukan hangat dari sang ayah yang selama hidupnya selalu ia nantikan.

Alih-alih untuk melebarkan tangannya memeluk Cakrawala, melangkah hadir ke pemakaman Cakrawala saja Tigu enggan.

"Ikhlas Mara ikhlas. Lepasin adik kamu. Biarkan dia bahagia bersama Bundanya."

Maratungga hanya diam dengan hati yang sudah remuk redam. Siapapun pasti sepakat bahwa mengiklaskan bukanlah perkara yang mudah.

Moa menaburkan bunga ke tanah makam Cakrawala yang masih basah.

"Cakra..."

Air mata Moa kembali jatuh untuk yang kesekian kalinya.

"Cakra pasti udah nggak sakit lagi, ya? Hem?"

"Cakra udah ketemu sama Bunda kan?"

"Cakra pasti sayang banget sama Bunda sampai-sampai Cakra lupa sama Moa..."

Moa semakin terisak.

"Bunda nanti kalau udah ketemu sama Cakra, Cakranya dipeluk yang erat, ya."

"Anak bunda rindu sama Bunda."

Galaksi mengusap-usap pundak Moa. Membiarkan gadis itu menyalurkan kesedihannya.

"Cakra sekarang udah nggak sakit lagi."

"Cakra sekarang udah nggak ngerasain badannya sakit-sakit semua habis bangun tidur."

"Cakra sekarang udah nggak ngerasain sakitnya dipukul ayah."

"Cakra sekarang udah nggak perlu capek-capek jalan kaki dari rumah sampe sekolah."

"Cakra sekarang udah nggak perlu lagi nahan laper."

"Cakra udah nggak perlu kerja jadi badut di toko mainan buat makan nasi kecap sama krupuk."

"Cakra juga udah nggak perlu lagi nyisain krupuk biar bisa dimakan buat besoknya lagi... hiks!"

"Cakra udah bahagia di sana kan? Iya? Hem?"

"Selamat jalan, anak baik."

———

Berita mengenai kematian Cakrawala secepat kilat menyebar ke SMA Elang, bahkan juga hampir semua masyarakat di kota ini mengetahuinya. Hal tersebut menimbulkan berbagai macam omongan-omongan dari mulut ke mulut.

"Kemarin ada orang bunuh diri. Loncat dari atas gedung. Meninggal di tempat."

"Kepalanya pecah."

"Itu si Cakra."

"Loh, bukannya katanya yang bunuh diri itu orang sakit jiwa?"

"Iya beneran Cakra. Cakra kan emang sakit jiwa."

"Ooo pantesan dia dikeluarin dari SMA Elang. Sakit jiwa ternyata."

"Ih, miris banget."

"Bukannya harusnya si Cakra udah dimasukin ke rumah sakit jiwa, kok bisa disitu sih? Dia kabur dari rsj atau gimana?"

"Nggak tau juga."

"Cakra lebay banget sih. Gitu doang pake bunuh diri."

"Jadi cowok kok lemah banget."

"Mungkin si Cakra nggak pernah solat kali, makanya jadi kayak gitu."

"Katanya kalo orang bunuh diri itu nggak bakalan diterima sama Tuhan."

"Maksud lo Cakra masuk neraka gitu?"

Galaksi melangkahkahkan kakinya melewati koridor SMA Elang. Sepanjang langkah ia mendengar semua murid SMA Elang membicarakan mengenai Cakrawala yang sudah meninggal karena mengakhiri hidupnya sendiri.

Langkah kaki Galaksi mendadak terhenti di ujung koridor, pandangannya jatuh ke arah parkiran di seberang sana.

"Anjir pake segala lupa ngerjain tugas lagi ah!"

"Ck! Ini gimana sih! Susah amat!"

Galaksi berdiri di samping motor ninjanya yang sedang terparkir, buku tugas matematikanya ia letakkan di atas jok motor. Ia tidak henti-hentinya menggerutu ketika melihat deretan soal matematika di buku tersebut yang baginya susah bukan main.

Hari ini ia benar-benar lupa kalau ada tugas matematika. Mau tidak dikerjakan, tapi gurunya killer, nanti ia bisa tidak dapat nilai. Uh! Sialan memang!

Yang ada dipikiran Galaksi akhir-akhir ini hanyalah Moa, Moa, dan Moa. Sampai-sampai tugas sekolahnya pun lupa!

Galaksi memang nakal, tapi untuk urusan tugas, ia tidak pernah mengacuhkannya. Bagi Galaksi, nilai sekolahnya masih sangat berguna untuk membantu seleksi administrasi berkas masuk universitas atau pun menjadi seorang atlet voli. Ia masih sangat memedulikan masa depan, apalagi mimpinya adalah menjadi seorang atlet voli.

Cakrawala yang baru datang pun langsung menstandarkan sepeda kuningnya. Ia melihat Galaksi yang sedang berkutat dengan buku dan pulpen di atas motor.

Cakrawala menghampiri Galaksi.

"Ala, Ala lagi ngapain?" tanyanya.

Galaksi menoleh, "Eh! Teman!" Serunya.

Cakrawala mendekat, mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh Galaksi.

Cakrawala lantas tersenyum, "Ala pasti lupa nggak ngerjain PR, ya..."

Cakrawala terkikik, sementara Galaksi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sini, Cakra bantuin."

Dan Cakrawala pun mengambil alih pulpen yang ada di tangan Galaksi, mengajari bagaimana mengerjakan tugas matematika tersebut.

"... x-nya harus diganti sama angka 5 yang udah kita cari tadi Ala..."

Kalimat yang digunakan Cakrawala ketika menjelaskan sederhana, singkat dan jelas. Galaksi bisa langsung paham. Beda sekali dengan Pak Haecan yang ketika menjelaskan susah dipahami.

Cakrawala menoleh pada Galaksi, kemudian tersenyum. "Ala udah paham? Kalau masih bingung nanti Cakra jelasin lagi."

Dada Galaksi terasa sesak, matanya memerah menahan gumpalan air yang mendesak turun, pun dengan tenggorokannya terasa kelu.

"Lo ngapain ngalamun di sini?" tanya Wicak yang tau-tau sudah ada di samping Galaksi.

"Cakra."

Hanya satu kata yang keluar dari mulut Galaksi, namun mampu membuat dadanya berdenyut nyeri.

"Dia udah mati. Udahlah nggak usah diingat-inget lagi."

"Orang kayak gitu emang harusnya udah mati dari dulu," imbuh Wicak.

Insiden ketika Cakrawala jatuh dari gedung tepat di depan matanya sendiri terus melekat di pikiran Galaksi, membuatnya merasa sesak hingga sulit tidur.

"Gue nggak bisa, Cak. Gue—" Galaksi menatap kedua telapak tangannya, kemudian merematnya.

"Cakra berdiri di depan gue, cuma lima langkah dari posisi gue, Cak. Tapi gue nggak bisa. Gue—"

"Argh!" Erang Galaksi.

Andai saja malam itu ketika ia melihat Cakrawala berdiri di atas gedung langsung ia hampiri, andai saja malam itu ia tidak mengacuhkan Cakrawala, andai saja malam itu ia lebih peduli. Pasti tubuh Cakrawala tidak akan remuk dan dia masih bisa tersenyum dan tertawa sekarang. Andai saja... semua hanya tinggal kata 'andai'.

"Udah lah, La. Lo lebay banget sih!"

Galaksi menoleh, "Lo bilang apa? Lebay?"

"Ini nyawa orang, Cak!"

Siapapun yang berada di posisi Galaksi—melihat di depan matanya sendiri ada orang yang bunuh diri dan dia gagal menyelamatkannya— pasti akan selalu terbayang-bayang.

"Harusnya lo seneng, La. Itu anak udah nggak ada, lo bisa dapetin Moa."

"Gue malah curiga, jangan-jangan elo udah manfaatin situasi dan dorong anak itu dari atas gedung," lanjut Wicak disusul senyuman miring.

Galaksi menatap tajam wajah Wicak, mengeraskan rahang.

"Sebrengsek-brengseknya gue jadi cowok, gue bukan kriminal yang tega bunuh orang!"

Wicak mendadak diam.

Saat nongkrong bersama Wicak, Galaksi memang pernah menyumpahi Cakrawala supaya anak itu cepat mati, tapi yang ia maksud sebenarnya bukan itu.

Terkadang ketika kita sedang nongkrong bersama teman, kita juga pernah mengatakan, 'Mati lu anjing!'
Tapi yang kita maksud sebenarnya bukan mati dalam artian yang sesungguhnya, tapi kita mengatakan hal itu supaya terlihat lebih asik aja. Dan itulah yang sedang dilakukan Galaksi pada waktu itu.

Mungkin bagi sebagian orang hal itu terlihat sebagai candaan biasa, namun bagi orang yang mentalnya sudah lelah, itu bukan lagi sebuah candaan melainkan dorongan untuk segera bunuh diri.

Seorang murid perempuan bersurai hitam dikuncir satu melangkah menghampiri Galaksi.

"Ala, lo dipanggil ke ruang olahraga," ucapnya kemudian langsung berlalu pergi.

Galaksi sempat menatap tajam Wicak sekilas sebelum akhirnya melangkah ke ruang olahraga.

——

Kansa menyiramkan air mawar ke atas tanah makam Cakrawala.

"Cakra... Gue nggak nyangka banget lo bakalan pergi secepet ini."

Masih teringat jelas di pikiran Kansa ketika masih kecil dulu ia kerap bermain bersama. Cakrawala yang selalu tertawa ceria dan Cakrawala yang selalu antusias untuk bermain apapun.

'Kansa, ayo main baleng Cakla!'

'Kansa, main petak umpet yuk!'

'Kansa, nonton tv spongebob lagi, ayo!'

'Cakla dibeliin Bunda dua ciki, ini buat Kansa satu.'

"Maafin gue, Cak. Maaf..."

Hanya kata 'maaf' yang bisa keluar dari bibir Kansa. Meskipun ia tahu permintaan maafnya tidak akan pernah dijawab oleh Cakrawala, karena cowok yang biasanya banyak bicara itu kini telah pulang menemui Tuhannya.

Seharusnya Kansa menyingkirkan egonya dan menjalin pertemanan dengan Cakrawala, namun ia tidak cukup berani untuk melakukannya. Andai saja ia lebih berani, Cakrawala mungkin masih disini dan cowok itu masih bisa tersenyum dan tertawa ceria—meskipun hanya untuk menutupi luka.

"Cakra, sebentar lagi hari kelulusan..."

Kansa terkekeh sumbang. Cakrawala memang tidak lulus SMA, tapi dia langsung lulus dari dunia ini.

Tik. Tik. Tik.

Langit yang semula mendung kini robek dan menjatuhkan rintik air ke bumi. Kansa segera beranjak dari posisi jongkoknya. Ia menutupi kepalanya dengan telapak tangan.

"Cakra, Kansa pulang dulu, ya... hujan."

Kansa berlari meninggalkan makam Cakrawala dengan rintik air hujan yang mengiringi langkah dan menghujani tubuhnya.

———

Galaksi menggenggam sebuah surat rekomendasi yang telah ia ajukan minggu lalu ternyata ditolak mentah-mentah. Rahangnya mengeras menatap laki-laki paruh baya yang merupakan guru olahraganya itu.

"Saya tidak bisa merekomendasikan kamu menjadi seorang atlet voli."

"Kenapa tidak bisa? Saya punya kemampuan!" Tegasnya dengan sorot mata menyala-nyala.

"Saya tidak bisa merekomendasikan kamu karena kamu terlibat dalam skandal bullying!"

"BUKAN SAYA!" Seru Galaksi.

"Tapi kamu juga ikut terlibat!"

Galaksi seketika terbungkam.

"Kalau kamu sampai lolos dan berhasil menjadi seorang atlet, ini akan menjadi kasus skandal besar."

"Kamu ingat, Cakrawala, anak yang bunuh diri loncat dari gedung. Dia kehilangan nyawanya juga karena kamu!"

Guru itu bisa mengerti kekecewaan yang tengah dirasakan Galaksi. Namun ia juga tidak bisa berbuat banyak. Ia mengembuskan napas panjang.

"Ala." Guru tersebut memegang kedua pundak Galaksi.

"Mimpi kamu itu tinggi, selain harus bekerja keras kamu juga seharusnya lebih berhati-hati dan mempertimbangkan setiap langkah yang kamu ambil."

Usai mengatakan itu pria paruh baya tersebut berlalu pergi meninggalkan Galaksi yang masih tercenung di tempat. Ia tahu sebenarnya Galaksi adalah anak yang baik dengan sejuta mimpi yang ingin dicapai, namun nahasnya anak itu justru terjebak dalam pertemanan semu. Ia telah salah memilih teman.

Galaksi meremat surat dalam genggamannya. "HAAAAAH!" Ia melempar kertas itu sembarangan.

Galaksi melangkah lebar menghampiri Wicak yang sedang berada di perpustakaan. Seperti biasa, cowok itu sedang menemani Nadin mengambil beberapa buku untuk menunjang belajar karena sebentar lagi akan ada ujian kelulusan.

Wicak sedang tersenyum-senyum sambil melayangkan beberapa gombalan kepada Nadin hingga membuat kedua pipi gadis itu bersemu merah.

"Hahaha pipi kamu merah, tuh." Ujarnya seraya mengelus puncak rambut Nadin.

Nadin menangkup kedua pipinya sendiri. "Ish! Kamu mah gitu!"

Galaksi datang dan langsung mencengkram kerah seragam Wicak, memberdirikan cowok itu secara paksa. Nadin seketika tersentak, apalagi saat menyadari sorot mata Galaksi penuh amarah, pun dengan tangan yang mengepal kuat dan rahang yang mengeras.

"Ala lo apa-apaan sih! Lepasin Wicak sekarang!"

"Lepas!" Nadin menyentuh tangan Galaksi dan berusaha melepaskan cengkraman cowok itu di kerah seragam Wicak.

Namun;

Brak!

Galaksi mendorong Nadin hingga gadis itu terjerembab jatuh dan kepalanya membentur meja perpustakaan.

"Akh!" Nadin meringis kesakitan, jidatnya berdarah.

Melihat hal tersebut membuat darah Wicak seketika mendidih. Wicak hendak melayangkan pukulan di wajah Galaksi, namun Galaksi sudah terlebih dulu memukulnya.

Brak!

Wicak terpelanting jatuh. Kuatnya pukulan Galaksi membuat sudut bibirnya seketika robek dan berdarah.

Keributan di perpustakaan pun terjadi. Semua murid yang semula fokus pada buku bacaannya masing-masing menjadi beralih pada pusat keributan yang terjadi.

"Elo yang udah ngancurin hidup gue! HAAAAH!"

"HARUSNYA SEJAK AWAL GUE NGGAK PERNAH KENAL SAMA ORANG BAJINGAN KAYAK ELO!"

Galaksi berteriak-teriak lantang. Suaranya menggelegar, menggema memenuhi perpustakaan. Ruangan yang seharusnya senyap dan damai itu kini telah hilang ketenangannya.

"ELO YANG UDAH BIKIN CAKRA GILA!"

"ELO!"

"BUKAN GUE!"

Air mata Galaksi merebak turun.

"Elo bukan gue... Elooo... hiks!" ujarnya kian melemah.

"Tapi kenapa hidup gue yang hancur... Haaaaa...!!!!"

Kaki Galaksi melemas. Selama ini ia telah mendedikasikan hidupnya hanya untuk bermain voli, berharap ia akan bisa menjadi seorang atlit profesional.

Namun mimpi yang selama bertahun-tahun telah ia perjuangkan itu kini telah hancur berantakan tanpa sisa. Setiap cucuran keringat yang ia keluarkan, waktu, energi, hingga cedera yang telah ia alami, semuanya sia-sia.

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan mimpi yang telah kita perjuangkan selama ini.

Harusnya Galaksi sadar sejak awal akan mimpinya itu, harusnya ia sadar ia bukan seperti Wicak yang hidup tanpa impian dan hidup hanya untuk bersenang-senang tanpa tujuan. Ia bukan seperti itu. Bukan.

"HAAAAAAAH!"

Galaksi berdiri, ia lantas mengobrak-abrik buku yang ada di meja panjang perpustakaan. Melempar buku itu sembarangan hingga berjatuhan di lantai dan menimbulkan bunyi debrakan keras.

Brak!

Brak!

Brak!

"HAAAAAAAAAAAH!"

———

Moa menatap hampa kamarnya. Sosok Cakrawala yang selalu tersenyum dan tertawa ceria itu selalu melintas dibenaknya dan berakhir dengan membuatnya menangis.

Ketika Moa masuk kamar, ia teringat akan sosok Cakrawala yang pernah memanjat masuk ke kamarnya pada tengah malam dan berakhir dengan bersembunyi di kolong tempat tidur supaya tidak diketahui oleh Ayah Moa.

Ketika Moa merebahkan diri di atas kasur, ia juga teringat Cakrawala pernah menggendongnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur kemudian menyelimutinya. Dan ketika ia mengambil pakaian di dalam lemari, ia bahkan menangis karena teringat Cakrawala pernah tidur di dalam lemarinya.

Setiap sudut rumahnya selalu mengingatkan Moa tentang sosok yang sudah berpulang kepangkuan Tuhannya itu.

Bel rumah Moa berdenting keras. Di rumah tidak ada orang, jadi mau tidak mau ia yang harus turun untuk membukakan pintu. Ia tidak perduli akan penampilannya yang begitu lusuh dengan rambut acak-acakan dan mata bengkak karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis.

Ceklek

"Paket!"

Seorang laki-laki dengan seragam berwarna oranye milik salah satu instansi jasa pengiriman itu berdiri di depan pintu sambil menggenggam kotak bingkisan berwarna coklat.

"Benar dengan mbak Moa Jatraji?" tanyanya seraya mengeja nama yang tertera di luar paket tersebut.

Moa menatap datar kurir itu. Ia merasa tidak pernah memesan barang apapun.

"Salah alamat," ucapnya kemudian hendak menutup pintu.

"Tapi alamatnya benar." Kurir tersebut menahan pintu yang hendak tertutup rapat.

Moa berdecak. "Saya nggak pernah pesen apapun!" Sentaknya.

"Ini dari Mas Cakrawala Agnibrata."

Moa seketika diam membeku.

Kurir itu menyodorkan paket dan Moa yang semula menolak, akhirnya memilih untuk menerima paket tersebut.

Moa menutup pintu kemudian kembali ke kamar dengan membawa paket di tangan kanannya. Ia duduk di bibir kasur.

Saat Moa meneliti bungkusan paket tersebut, ternyata paket tersebut dikirim oleh Cakrawala dua hari sebelum hari kematiannya.

Air mata Moa kembali jatuh menapaki kedua pipi pucatnya. Meskipun berat, ia menguatkan diri untuk membuka paket tersebut. Hatinya berdenyut luar biasa nyeri, dadanya sesak bukan main.

Paket itu berisi kotak pensil dari kain berwarna kuning. Di dalamnya ada seperangkat alat tulis lengkap dari mulai bolpoin, pensil, penghapus, hingga stabilo kuning.

Tanpa Moa ketahui, kotak pensil itu dijahit sendiri oleh kedua tangan Cakrawala hingga membuat jarinya berdarah karena beberapa kali tertusuk oleh jarum tajam.

Ada sebuah note kuning di dalam kotak pensil itu.

Maaf ya Moa, Cakra nggak bisa kasih barang mahal buat Moa.

Cakra bisanya cuma kasih ini, supaya waktu Cakra udah nggak ada Moa nggak kebingungan nyari pinjaman bolpoin lagi :)

Moa marahnya jangan lama-lama, ya...

Cakra kangen sama Moa.

Moa, ayo bales chatnya Cakra. Angkat telponnya Cakra juga... :(

Cakra pengen ngomong sama Moa.

Cakra kangen sama Moa.

Moa terisak.

"Aku nggak marah sama kamu, Cakra..."

"Aku nggak marah....hiks!"

"Maafin aku... Maafin aku... hiks!"

Paket tersebut rupanya tidak hanya berisi kotak pensil berwarna kuning, namun juga ada sebuah hodie berwarna kuning dan sebuah surat yang terbungkus amplop coklat.

Moa meraih hodie tersebut, kemudian memeluknya sangat erat seolah-olah hodie tersebut baru saja dikenakan oleh Cakrawala. Air mata Moa jatuh semakin deras membasahi hodie kuning itu.

Hodie itu dibeli Cakrawala dari sisa uang yang ia tabung ketika ia bekerja menjadi badut di depan toko mainan. Padahal uang itu bisa ia gunakan untuk membeli baju koko yang selama ini ia idam-idamkan.

Namun, tidak. Cakrawala justru menggunakan uang itu untuk membelikan hodie dan memberikannya kepada Moa dengan harapan gadis itu tidak akan marah lagi kepadanya.

Pandangan Moa kemudian beralih pada amplop coklat berisi surat. Ia membuka surat yang ditulis tangan Cakrawala dengan menggunakan tinta berwarna hitam.

Bunda pernah bilang, katanya, orang yang bunuh diri itu tidak akan diterima sama Tuhan.

Aku tidak tahu kenapa. Rasanya aku tidak ingin hidup lagi, tapi aku juga tidak ingin mati.

Moa tolong jangan lepaskan tanganmu dariku, karena jika kamu lepaskan, mungkin saja nyawaku yang akan lepas.

Aku mohon Moa.

Dunia sudah tidak menerimaku, aku tidak ingin surga juga menolakku.

———

°TRAILER NOT ME°

® 2021 | Written by Caaay_

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 214K 52
TERSEDIA DI GRAMEDIA📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak per...
12.6M 494K 29
Sudah di terbitkan oleh penerbit Cloudbookpublishing (FOLLOW SEBELUM BACA) TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) Sebagian...
4.4K 467 82
Orang yang menyembunyikan tentang banyak hal dengan senyumannya, entah itu rasa sedih, trumatis atau bahkan depresi. Mereka berusaha merasa baik - ba...
1M 47.8K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...