Bunda Wendy merasa ada yang aneh dengan suasana rumah selama 2 hari belakangan ini.
Rasanya seperti ada yang berbeda, walaupun orang rumah telah berkumpul semua. Apa ya, seperti ada yang berubah.
Entah hanya perasaannya saja, atau memang iya, Haikal terlihat berbeda dari biasanya. Anaknya yang satu ini menjadi lebih diam.
Dan juga, menjadi sedikit murung.
"Nan." Bunda memanggil anak bungsunya yang baru pulang dari rumah Ethan.
Nanda menghampiri bunda, "Kenapa bun?"
Bunda langsung bersandar pada pundak Nanda, meskipun anaknya itu baru menempati space kosong disampingnya.
"Haikal kenapa sih?"
Nanda melirik bunda nya yang memasang wajah cemberut, "Emangnya dia kenapa?"
Bunda menatap sendu televisi di depannya, "Haikal diem terus tau. Nggak kayak biasanya. Bunda jadi khawatir."
Nanda tersenyum kecil. Kemudian menggaruk kepalanya yang terasa gatal, "Lagi galau kali."
"Ditolak sama cewek, ya?" tebak bunda penasaran.
Nanda membuka mulutnya, kemudian menutup lagi. Ragu untuk mengatakan kronologi kejadian yang dialami Haikal.
Apa yang ditebak bunda memang hampir benar sih. Tapi, rasanya kurang tepat kalau Nanda menceritakan tanpa ijin dari orangnya.
"Nggak tau bun," Perlahan Nanda menyandarkan kepalanya di atas kepala bunda, "kenapa bunda nggak tanya langsung sama orangnya aja?" tanyanya santai.
Bunda berdecak. Ia menyingkirkan kepala Nanda, dan langsung duduk tegak, "Kamu ishh!"
"Di antara kalian berempat itu, yang mau terbuka sama bunda soal masalah hati cuma kamu ya!" kesal bunda dengan tatapan malas nya.
Nanda terkekeh geli, "Ya gimana, kan aku yang paling sayang bunda, sekaligus kesayangan bunda."
Greget. Rasanya bunda ingin memukul Nanda. Alih-alih memukul, bunda memilih memeluk leher anaknya dari samping.
"Kalian itu kesayangan bunda semua sayanggg."
Walaupun leher Nanda diapit bunda, rasanya ia tak keberatan. Sebab, dirinya bisa dengan mudah melepaskan apitan bunda pada lehernya.
"Bunda tanya langsung aja, Mas Haikal bakal jawab jujur kok," ucap Nanda dengan senyum manis yang terpantri diwajah nya.
Bunda cemberut, "Biasanya Haikal suka cerita sama Juna, kan?"
Nanda mengingat sebentar, kemudian mengangguk, "Biasanya sih iya. Ya udah, kalo gitu aku ke kamar ya bun."
Sebelum pergi ke lantai 2, Nanda sempat mengecup kening bunda, "Jangan kangen ya, bunda sayang."
Untungnya, saat Nanda mengecup kening bunda, ayahnya tak melihat. Coba kalau melihat, bisa diajak tanding tinju dirinya.
Tanpa diberi ampun.
...
Sejak kejadian 2 hari yang lalu, terselip rasa bimbang pada hati Haikal.
Ia kira, tidak ada teman perempuan yang suka dengannya. Tapi, nyata nya ada. Dan entah keberanian darimana, perempuan itu menyatakan perasaan setelah acara rapat OSIS.
Haikal masih ingat dengan jelas namanya. Sebab, perempuan itu adalah partner OSIS nya.
Sophia.
Dan gara-gara hal tersebut, Haikal jadi bimbang. Sungguh, ia butuh pencerahan dari kakaknya.
Haikal menghela nafas pelan. Guling kanan, guling kiri, dan berakhir terlentang. Netra nya melihat langit-langit kamar yang sengaja di gambar nuansa langit malam oleh pemiliknya.
"Lo ngapain sih gulang-guling dari tadi?! Kasur gue jadi berantakan lagi bangsat!" Kesal Juna pada adiknya. Hah, kepalanya terasa mau meledak gara-gara Haikal.
Gimana ya, bukannya tak boleh. Tapi, gara-gara kelakuan adiknya itu, tempat tidur nya menjadi berantakan lagi. Padahal baru tadi sore diacak-acak oleh Haikal.
Haikal bangun, dan duduk sila ditengah ranjang. Menatap melas kakaknya yang telah tersulut sumbunya, "Kak, kalo misalkan lo ditembak cewek, bakal lo terima apa atau lo tolak?"
Alis Juna terangkat satu. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"
Haikal menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tak terasa gatal, "Y-ya kan gue cuma nanya aja."
Juna menatap curiga pada adiknya. Tumben, Haikal membahas tentang hal demikian. Biasanya juga selalu membahas game, serta julid soal tetangga sebelah.
"Tergantung," Juna berjalan mendekat ke jendela, "Kalo gue suka orangnya, gue bakal terima." Katanya seraya menatap pohon di depannya.
Selanjutnya, Juna menoleh dan tersenyum miring ke Haikal. "Siapa yang nembak lo?"
Haikal terdiam. Cepat sekali kakaknya paham.
"Sophia." Ucapnya sendu.
Juna menghela napasnya, "Oh, cewek yang kemana-mana sama lo setiap ada kegiatan itu tho."
Menurut Juna, perempuan yang bernama Sophia ini baik, ramah, cantik, tapi tetap cantikan bunda. Ia juga tahu, jika Sophia suka dengan Haikal.
Kemana-mana berdua hampir setiap hari, dan diperlakukan dengan baik. Perempuan mana sih yang tak baper, dan berujung suka.
"Udah lo kasih jawaban atau masih lo gantung?" Juna bertanya setelah berpindah duduk disamping Haikal, dengan buku sketchbook ditangan nya.
Haikal memejamkan matanya sesaat, kemudian menatap sendu kakaknya dan menjawab, "Gue tolak."
"Gue nggak salah, kan?" Tambahnya dengan wajah lesu. Kini ia menyandarkan kepalanya pada pundak Juna.
Juna melirik ke samping, "Nggak. Selama pilihan itu kata dari hati lo, gue bilang nggak salah."
Juna mulai menggoreskan pensil miliknya. "Lagian, kalian itu beda."
"Bukannya gue nggak suka sama dia, tapi kalo kalian jadi beneran, hati lo sama dia bakal sakit terus karena perbedaan yang ada."
"Oke. Awalnya kalian emang biasa aja, tapi makin lama kalian bakal ngerasa kalo nggak seharusnya kalian bareng. Pengen udahan, tapi kalian udah jatuh sedalam itu."
Juna menghentikan arsiran nya sesaat, kemudian menghela napas, "Kalo pun mau dipertahanin ke jenjang serius, salah satu dari kalian emang mau ngalah? Inget, kalian berdua itu sama-sama religius, Kal."
Haikal mengangkat kepalanya dari pundak Juna, mengangguk paham atas semua petuah dari kakaknya.
Ia menatap kakaknya yang kembali fokus melanjutkan gambarannya.
"Apa?" Juna melirik adiknya karena sadar jika diperhatikan sejak tadi.
Tanpa membalas, Haikal langsung merebahkan diri di kasur kakaknya. Memutuskan untuk menumpang tidur dikamar Juna lagi.
Mungkin besok setelah bangun, ia bisa sedikit melupakan tentang Sophia yang tertolak dirinya.
Tak perlu waktu lama, mata Haikal telah terpejam, serta mengeluarkan dengkuran khas orang tidur.
Sementara itu, Juna hanya menggeleng heran. Tak percaya pada Haikal yang telah terlelap dengan tenang.
Ia melihat jam pada ponselnya. Oh, jam 9 ternyata. Pantas.
Juna bangkit dan menyimpan sketchbook nya di nakas. Berniat menyusul adiknya ke alam mimpi.
Sayang, niat hanya tinggal niat. Saat Juna ingin menutup matanya, tiba-tiba angin berhembus dari samping kanannya.
Anehnya, hanya ia yang bisa merasakan.
"Hai, Arjuna."
Hah, Juna kenal suara ini. Ia menoleh. Wow, Sarah datang kemari lagi dengan tatapan pilu.
Apalagi ini?
Sepertinya malam ini Juna harus begadang untuk mendengar cerita, lagi.
...
Nih, penampakannya si Sophia. Cewek yang ditolak Mas Haikal.
Kalo suka, jangan lupa vote, komen, and follow, oke? 💚