Dimas: From Zero To Villain.[...

Від L1lyput3h

4K 1K 487

Dimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM ME... Більше

1.Pembukaan.
2. Ibuku sayang, Ibuku malang.
3.Nimas mau buat Mama Papa Bangga!
4. Si kamera bernyawa.
5. Nimas itu sangat bodoh!
6. Manusia Langka.
7. Masih ada sayang.
8. Jangan panggil gue kakak, lo bukan adek gue!
9. Pa, Ma. Cita-cita Nimas mau jadi pelukis.
10. Pekerjaan baru dan gadis manis.
11. Latihan kok ngamen?
12. Tekad untuk berubah.
13. Bagaimana mereka bertemu?
14. Bosan sekolah.
15. Pintu Pengakuan.
16. Kematian seorang sahabat dan tantangan tidak masuk akal.
17. Putus sekolah.
18. Filosofi Arak.
19. Darah pertama.
20. Gempar.
21. Telepon.
22. Hancurnya pertemanan.
23. Panggil saja gadis itu Susan!
24. Dua Sisi Mata Uang.
25. Yang Menuntut Kebebasan.
26. Sudah Sangat Dekat.
27. Deal With The Devil.
28. Tubuh Bergerak Sendiri.
29. Jangan percaya siapapun!
30. Kerjasama Culas.
31. Tidak Sesuai Ekspektasi.
33. Anka Punya Dendam.
34. Apa Lo Yakin Dimas juga Suka sama Lo, Nimas?!
35. Siapa Cepat, Dia Dapat.
36. Permintaan yang tidak bisa ditolak
37. Naufal Firdaus.
38. Asa yang Bertentangan.
39. Sang Pujangga.
40. Perkumpulan Orang-Orang dari Dunia Bawah dan Masa Lalu Cristian.
41. Perkara Lalu Diungkit Kembali
42. Kekacauan Bermula.
43. Kesetiaan Sang Ketua Preman Pasar Margasari itu Patut Diacungi Jempol
44. Perburuan Dimulai.
45. Yang Terkuat.
46. Kepingan Kisah Si Gadis Kupu-Kupu.
47. Kumbang, Capung, Kupu-Kupu, Kepik, Belalang dan Laba-Laba.
48. Dimas dan Sue.
49. Kita Tetap Keluarga Baik Dulu, Sekarang Maupun Masa Depan.
50. Peristiwa Sebelum Memori Fotografis Bekerja.
51. Penyelamatan Kancil Betina dari Antah-Berantah
52. Satu Diantara Kita Harus Selamat
53. Keyakinan Johan.
54.Semakin Pelik.
55. Pelelangan Berdarah.
56. Penyelesaian.
Extra part: 57. Pluto.
Extra Part: 58. Penutup.
Akhir kata.
SERI UTAMA
New Project

32. Akal Bulus.

29 14 0
Від L1lyput3h

Hanya ada denting sendok yang beradu dengan garpu terdengar di ruang makan ini. Nimas menyantap hidangan dengan tergesa. Gadis itu menunduk, tidak berani menatap ke depan. Tepat di mana Adnan berada.

Tidak hanya Adnan, Widia juga ikut bergabung di acara makan malam kali ini. Entah apa yang terjadi pada sepasang suami-istri ini hingga kompak pulang cepat.

"Nimas, Papamu nanya lho."

Akhirnya Widia ikut angkat suara setelah senyap beberapa menit. Ia mengikuti sang suami yang fokus kepada anak perawan mereka.

Sebenarnya empat kata itu terucap dengan nada yang lebih bersahabat dibandingkan pertanyaan Adnan sebelumnya. Namun bukannya mmmenenangkan, jantung Nimas semakin memburu. Gadis itu semakin dalam menunduk. Ia amat takut melihat ekspresi kedua orang tuanya.

"Maaf, Pah, Mah ... Nimas--"

"Papa ngga butuh permintaan maaf, Nimas. Papa nanya kenapa kamu bisa dapat nilai lima puluh diulangan harian Biologi?!"

Nimas langsung menggigit bibir bawah saat mengetahui ucapannya diputus. Belum lagi dua puluh empat jam gadis ini melaksanakan ujian dimata pelajaran Rika. Ia bahkan belum tahu akan mendapat nilai berapa. Sang ayah notabene-nya adalah orang tersibuk menurut Nimas, malah menjadi orang pertama yang mengetahui nilainya.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Adnan adalah pemilik yayasan tempat Nimas menuntut ilmu. Wajar saja laki-laki itu mempunyai koneksi dalam di lembaga pendidikan tersebut. Ia dapat dengan cepat mengetahui perkembangan Nimas di sekolah bahkan jika ia ingin, Adnan bisa saja mendapatkan informasi detail tentang gerak-gerik sang anak di sekolah.

"S-soalnya susah buat dimengerti, maaf ...."

Adnan menarik napas dalam-dalam lantas mengeluarkannya sebagai pelampiasan rasa kesal yang menggebu. Laki-laki itu sedikit mencodongkan badan pada Nimas.

"Ini pertama dan terakhir Papa dengar alasan seperti itu. Setelah makan, belajar!"

Titah mutlak dari Adnan diangguki oleh Nimas. Hati gadis itu benar-benar mencelos saat mendapati dirinya ditatap sedemikian tajam oleh sang ayah.

"Adnan, Widia, Nimas. Omah mau makan malam dengan tenang apa ngga bisa?"

Fatma yang menyadari perubahan suasanan hati Nimas ikut bersuara. Mencoba mengalihkan perbincangan.

"Bun ... Adnan lagi menasehati Nimas. Ini juga untuk kebaikan Nimas. Adnan cuma ngga mau kejadian waktu Nimas kelas 1 SD terulang lagi."

"Mas Adnan benar, Bun." Widia menimpali.

Fatma meletakkan sendok dan garpu bersamaan hingga perpaduan keduanya terdengar jelas saat mendarat di piring, "Tapi ngga usah di meja makan juga."

"Kalau ngga sekarang, kapan lagi? Adnan ada penerbangan pukul dua subuh."

"Widia ngerti maksud Bunda. Bunda mencoba mengalihkan perbicaraan, kan? Kami tahu Bunda ngga tega lihat Nimas dimarahi. Kami juga ngga bermaksud memarahi Nimas. Kami hanya menasehati."

Perkataan Widia mendapat anggukan kepala dari sang suami.

"Kalau Bunda terganggu, biar Adnan antar ke kamar, yah." Adnan sudah siap berdiri dan hendak menarik kursi roda Fatma menuju lift.

Entahlah, suasana di ruang makan mendadak panas. Nimas memeperhatikan tiga orang dewasa itu berdebat. Sebuah pemandangan yang sama sekali tidak mau dilihat gadis remaja ini. Tak sadar ia meremas sendok dan garpu amat erat hingga kedua telapak tangannya memerah.

"Papa, Mamah, Omah!" Tidak tahan dengan semua ini. Tiba-tiba saja Nimas berteriak. Sebuah nada tinggi yang sontak mengagetkan ketiga anggota keluarganya. Nimas langasung mengantup bibir saat menyadari yang telah diperbuat. Sungguh, ini semua diluar kuasanya. Kalimat itu meluncur bak air bah.

"Maaf ...!" Gadis ini kembali menunduk. Debaran tidak disukai tiba-tiba menyerang. Ia semakin merasa bersalah. Sementara itu, tiga orang disekitarnya masih setia melihat kepadanya.

"Assalamualaikum, Omah, Nimas!"
Suara berat mengintrupsi keempat orang di meja makan. Sementara itu, Dimas diam mematung saat mengetahui bahwa Adnan dan Widia juga ada di sana.

Nimas langsung mengangkat kepala kala mendengar suara familiar tersebut. Senyum hangat sang gadis terbit, ia tidak mau pemuda itu melihatnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Waalaikumsalam," sahut Adnan, Widia, Nimas dan Fatma bersamaan. Sang kepala keluarga yang sudah setengah mengangkat bokong dari kursi langsung kembali duduk.

"Masuk, Cu. Kita makan malam bareng!"

Tidak hanya nada bicara dibuat sebaik mungkin. Tetapi, sebisanya keempat orang itu memposisikan mimik muka seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Dimas tersenyum kikuk. Merutuki kelakuan bodohnya, berteriak bak orang gila di rumah orang. Sebenarnya hal itu sudah biasa dia lakukan, tetapi lain pasalnya saat ada Adnan dan Widia di rumah. Dimas masih kurang akrab dengan pasangan tersebut.

Fatma langsung memanggil salah satu ART untuk mengambilkan piring untuk Dimas. Sang pemuda masih memasang ekspresi kikuk berjalan perlahan kepada ART yang dipanggil Fatma. Ia lantas menyerahkan kantong kresek hitam berisi buah-buahan yang sempat dibelinya saat perjalanan kemari.

Setelahnya, pemuda itu duduk disamping Nimas dan bersiap mengambil nasi serta lauk-pauk.

Acara makan malam kembali berlanjut.

"Dimas, kamu dapat nilai berapa waktu ulangan harian biologi kemarin?"

Dimas langsung beralih kepada Adnan yang duduk tepat menghadap empat orang lainnya." Seratus, Om. Seperti biasanya."

"Dimas, kamu ini kebiasaan deh. Ingat, panggil kami Papa dan Mama. Mau bagaimanapun kamu anak kami juga."

Kepala Dimas berputar menuju Widia. Dia sedikit menarik tuas bibir, lantas tubuhnya agak merosot ke sandaran kursi. Lalu, ekor matanya menjelajah ke sembarang arah.

"Papa bangga sama kamu. Jika begini terus, Papa yakin kamu akan lulus dengan nilai tertinggi dan tidak ada universitas yang akan menolak kamu."

Perhatian Dimas tersedot lagi kepada Adnan. Pemuda cerdik ini masih menarik tuas bibir, bedanya sekarang jauh lebih tampak bersahabat.

"Pasti."

"Nimas, kamu harus contoh Dimas. Nak, nanti bantuin Nimas belajar, yah. Dia hari ini dapat nilai rendah diulangan harian Biologi."

Nada bicara pasangan suami-istri ini kentara berbeda dengan beberapa waktu lalu. Tak jarang saat berbincang dengan Dimas, sepasang manik mereka berpendar cerah. Kalimat pujian dan penyemangat agar selalu terdepan adalah andalan keduanya. Dimas sudah sering. tidak, setiap bertemu dengan pasangan itu. Pembahasan tidak akan pernah jauh-jauh dari prestasinya di sekolah.

Tangan Dimas meraba punggung tangan Nimas, di sana ia mendapati tangan gadis itu mengepal dan terasa dingin. Perlahan, sang pemuda meraup tangan yang lebih kecil itu. Merasa ada gerakkan, Nimas sontak melirik kearah Dimas. Sementara orang yang menjadi objek malah sibuk menyuap makanan. Tetapi di bawah sana Dimas seakan menyalurkan kehangatan. Ia semakin erat mengait tangan Nimas

Setelah melihat perilaku Nimas yang selau menunduk dan terkesan acuh tak acuh. Dimas mengerti yang terjadi sebelumnya. Merasa responnya dibalas. Tangan dua remaja itu bertautan. Dimas bermaksud menguatkan gadis yang duduk disebelahnya.

Setelah dirasa gadis itu kembali tenang. Perlahan sang pemuda melepas tautan. Ada rasa kecewa yang menggerayang dibenak Nimas. Tetapi, ia juga sadar mereka sedang menghadapi hidangan. Mengikuti jejak Dimas, Nimas mulai memyuap makanan kembali.

Fatma mengulum senyum, ia amat bersyukur atas keberadaan Dimas dikeluarga ini. Menurut Fatma diantara semua orang hanya Dimas yang paling mengerti Nimas. Fatma baru mendapatkan nafsu makannya kembali saat menyaksikan Nimas kembali ceria.
****

Waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Dimas berdiri di dekat pinggiran kolam. Telinganya ditempeli benda kotak alat komunikasi sementara bibir tipisnya mengapit batangan tembakau berbalut kertas putih. Terkadang, ia memindahkan benda tersebut ke sela jari telunjuk dan tengah. Lalu kembali mengapit benda itu dengan bibir saat orang di seberang telepon yang bicara.

Suara Dimas malam ini terdengar jauh lebih berat, ia sedang bersandiwara menjadi Ardi Firdaus. Sedangkan lawan bicaranya terkesan lesu.

"Kamu mengerti, Sue?"

Dimas sudah bosan dengan jawaban sang lawan bicara. Ia memutar bola mata malas.

"Yang benar aja,aku ini Bos mu tahu! Dari tadi jawabannya cuma hm ... iya ... baik."

Gadis itu seakan tidak punya semangat hidup. Terdengar dari nada suaranya yang ogah-ogahan. Dimas berkesimpulan si gadis tengah gundah gulana. Tetapi, sekelebat ide jahil menyusup diantara sel-sel otak.

"Aku tahu dari Dimas kalau dia sedang marah sama kamu. Itu beneran, Sue?"

Seperti ada yang mengocok perutnya, Dimas sekuat tenaga untuk tidak tertawa. Menggoda gadis itu selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan.

Entah apa yang terjadi di seberang telepon. Tiba-tiba saja hening. Hanya deru napas sang gadis yang terdengar tersengal.

"Cih, si Bego itu."

Satu alis Dimas berkedut. Meskipun dalam keadaan demikian. Mulut gadis itu tetap selicin oli.

"Kamu dihukum ngga boleh berkomunikasi dengannya empat hari, kan? Tapi, kok dari tingkahmu kayak udah ngga ketemu berpuluh-puluh tahun? Jangan-jangan benar gosip tersebut ..." Dimas semakin menyunggingkan senyum miringnya, entahlah hatinya ikut berdebar saat hendak mengucapkan kalimat tersebut. Tepatnya, tidak sabar mengetahui respon sang gadis.

"Kamu suka sama Dimas?"

"Nggak!"

Dimas membeku beberapa detik setelah pekikan mahadahsyat itu mengaung. Ia meneguk liur susah payah. Dengan gerak patah-patah dan dibarengi pelototan tajam, Dimas memeriksa layar ponsel.

Bola matanya mencelos dan ringisan pilu samar terdengar. Meski tidak dilouspikers sekalipun, teriakan sang gadis sudah sukses membuat gendang telinganya hampir pecah.

Namun, kata maaf yang terdengar dari lubang suara menyadarkan Dimas akan sesuatu. Sebenarnya dari hati terdalam, ia tidak bermaksud untuk membuat sang gadis menangis. Namun, karena terlanjur muak dengan tingkah gadis itu yang terlalu ikut campur, Dimas malah kelewatan. Lagipula, ada sesuatu yang juga ingin Dimas pastikan.

Helaan panjang terdengar dari seberang. "Apa ada lagi yang mau Bos katakan?"

Dimas tersadar bahwasanya pembahasan telah melenceng jauh. Ia kesal saat gadis itu mencoba mengelak. Tetapi, senyum kembali terukir apik, kali ini bukan tarikan sinis melainkan senyum simpul.

"Ngga, ada. Kalau begitu aku tutup teleponnya. Tapi ingat ya, Sue. Meski kamu dan Dimas sedang bertengkar. Aku nggak mau dengar performa kamu ikut melempeng."

Menatap layar telepon yang berlatar pemandangan alam. Jemari Dimas kembali menjelajah ke riwayat panggilan. Di sana ia tidak mendapatkan satupun panggilan masuk dari gadis yang baru berbincang dengannya ke nomor atas nama Dimas.

Di sisi lain, Nimas baru saja melewati pintu. Tangan kanan dan kirinya penuh dengan buku-buku, tak aral dua ART ikut dikerahkan untuk membawa beberapa toples cemilan serta air minum. Dalam hitungan detik, semua penunjang belajar malam ini telah tersimpan di atas meja bulat yang berada di sudut kolam renang, berlawanan dengan keberadaan Dimas sekarang.

Dengan satu tarikan napas, Nimas memanggil Dimas. Pemuda itu lekas menoleh dan langsung melangkah mendekat.

Nimas berkacak pinggang saat mendapati ada sesuatu yang menganjal di antara bibir Dimas. Dia cepat-cepat merampas benda tersebut dan mematikan bara api pusat bau yang dapat membuat sesak napas.

Sementara itu, Dimas hanya bisa pasrah saat rokok yang baru setengah dihisap harus terbuang sia-sia.

Tidak mau membuang waktu jauh lebih banyak lagi, dua remaja berlainan jenis ini akhirnya tenggelam dalam lautan kata dan kalimat. Lebih tepatnya hanya Dimas, pemuda ini butuh waktu satu menit untuk membaca, tiga detik untuk mencerna dan satu detik selanjutnya rangkaian diksi itu akan tersimpan apik dalam memori.

Selagi Dimas asik dengan dunia sendiri, Nimas curi-curi kesempatan untuk menatap wajah serius pemuda itu. Gadis cantik ini memangku dagu dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memainkan bolpoin berkepala tokoh kartun kucing tanpa mulut.

Wajah Dimas sebenarnya tidaklah terlalu tampan dan tidak pantas disebut jelek. Tahi lalat yang nangkring di bawah mata kiri serta rahang kokoh memberi kesan manis sekaligus tegas pada pahatan rupanya. Tetap saja, hal itu membuat Nimas terpesona. Tanpa sadar gadis ini senyum-senyum sendiri dan kedua pipinya mulai menampilkan semburat kemerahan.

"Nimas ...."

Gadis itu cepat membuang muka ke sembarang tempat saat menyadari Dimas menyebut namanya. Gadis ini menarik napas pendek-pendek guna menetralisir detak jantung yang menggila.

"Kamu kenapa?"

Wajah Nimas sukses memerah sempurna. Ia merasa sangat malu kedapatan berperilaku demikian. Bulu kuduk Nimas ikut meremang saat bahunya disentuh oleh Dimas. Lagi dan lagi Nimas dibuat mati kutu kala dengan gerak cepat Dimas memutar tubuhnya.

"Kamu sakit?" Dimas langsung menyentuh dahi Nimas. "Ngga panas, tapi kok wajah kamu merah?"

"Ngga, aku ngga sakit ... di sini panas jadi muka aku merah." Nimas mencoba mengelak. Ia langsung mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.

Dimas memiringkan kepala selama dua detik masih dengan bola mata yang tidak berpindah dari Nimas. "Bohong."

Dimas kembali memposisikan kepala tegak lurus. Nimas semakin salah tingkah. Ia kembali memutar otak guna memboikot perkataan Dimas.

"Err ... gimana, aku belum ngerti maksudnya? Kamu coba jelasin!" Secepat kilat Nimas mengalihkan pembicaraan. Menyodorkan buku paket kepada Dimas. Nimas tidak berbohong, sebelum perhatiannya tersedot kepada Dimas, ia memang sudah membaca teks di halaman tersebut. Meskipun, saat otaknya diajak kompromi. Tetap saja ia sulit untuk menangkap inti sari pembahasan.

Dengan tatapan penuh selidik, Dimas menggapai buku paket tersebut. Tapi, tak aral pemuda itu mulai menerangkan dengan caranya sendiri. Kenal bertahun-tahun dengan Nimas menyadarkan Dimas bahwa cara untuk mengajari Nimas harus dengan cara khusus.

Menerangkan dengan cara sendiri, jangan pikir Dimas akan mencari cara kreatif atau bertindak sabar menjelaskan materi sampai mulut berbusa.

Dalam konteks belajar, Dimas dan Nimas laksana bumi dan langit. Jika Nimas sulit untuk mengerti pembelajaran. Tidak dengan Dimas yang akan langsung paham sejak pertama kali bersua. Dimas memang pandai, tapi dia payah dalam mengajari orang seperti Nimas.

Dimas tidak akan mau susah-susah menjelaskan sesuatu yang tidak dimengerti Nimas, selain membuat kepala gadis itu berputar-putar. Dimas juga bukan orang yang sabar.

Dulu, dulu sekali Dimas pernah bersikap sabar dalam membimbing Nimas. Namun, gadis itu semakin dibuat bingung dan tidak membuahkan hasil sama sekali. Dimas frustasi dibuatnya, dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa materi semudah itu bisa tumpul di otak Nimas. Berbagai cara dan teknik dipratekkan oleh Dimas. Nyatanya, kesenjangan otak antara keduanya adalah penghalang terbesar. Dimas tidak pernah mengerti cara otak Nimas bekerja, dan Nimas tidak dapat mengimbangi kecerdasan Dimas.

Hingga suatu hari, Nimas dengan senyum sumringah mendatangi Dimas. Setelah berusaha sekuat tenaga akhirnya gadis ini mendapat nilai yang patut dibanggakan. 68, tidak tinggi, tapi paling tidak melebihi KKM.

Keberhasilan Nimas kali ini benar-benar sebuah gebrakkan. Namun, kesenangan itu hanya semu bagi Dimas. Anak ini menyadari soal yang bisa dijawab oleh Nimas adalah kompetensi di catur wulan pertama, sementara mereka sekarang sedang menghadapi catur wulan terakhir.

Bukan berarti Dimas tidak mengapresiasi jerih payah Nimas. Ia amat tahu bagaimana perjuangan Nimas agar mengerti materi tersebut. Meski membutuhkan waktu berbulan-bulan dan dengan nilai yang sedikit lebih tinggi dari KKM.

Sementara itu, Nimas harus disadarkan oleh kenyataan. Dengan nilai serendah itu, mustahil ia dapat naik kelas. Adnan dan Widia yang menyadari anak semata wayang sangat bodoh. Semakin mengembleng Nimas dengan berbagai les dan bimbel. Bahkan puncaknya, pasangan itu melarang keras Nimas bermain dan melakukan hal yang ia suka.

Sebenarnya, Nimas tidak bodoh disetiap mata pelajaran. Gadis ini malah mencolok di pelajaran seni dan ia termasuk murid yang aktif dipelajaran olahraga. Bahkan jika disandingkan dengan teman-teman perempuan lainnya, Nimas mempunyai skill lebih tinggi dari mereka.

Namun kembali lagi, pelajaran yang menggunakan otak jauh lebih ternama.

Semua tuntutan dan kekangan dari kedua orang tuanya membuat Nimas tidak punya pilihan lain. Ia memaksa hati, pikiran, jiwa dan tubuhnya untuk diperas lebih keras lagi. Pergi pagi pulang malam dan hanya satu kegiatan gadis ini, belajar.

Lama-kelamaan Nimas lelah. Gadis ini jatuh sakit. Dimas yang melihat perjuangan Nimas mencapai titik tersebut, ikut merasakan kepedihan. Dimas tidak mau melihat teman perempuannya ini lemah. Diam-diam, ia memikirkan cara instan untuk memperbaiki keadaan.

Mungkin saat itu tubuh Dimas masih bocah tujuh tahun, tetapi akal pikirannya sudah setara anak berusia dua belas tahun bahkan lebih.

Motivasi agar menelurkan sebuah ide untuk membantu Nimas membuat bocah ini terlihat berbeda. Ia jadi sering menyendiri, mengabaikan ajakan bermain dari teman-teman dan kalaupun ia berpartisipasi, pikiran Dimas tidaklah bersama tubuhnya. Saat latihan bersama Dionpun demikian, bocah ini sering kehilangan konsenterasi dan berakhir sebagai bulan-bulanan Dion.

Sudah kebiasaan Dimas yang selalu terbuka kepada Dion. Bocah itu tidak segan menceritakan segalanya. Dion dengan perhatian penuh dan semangat berkobar mendengarkan keluh-kesah Dimas. Dia beberapa kali kedapatan mengangguk takzim. Dimas yang melihatnya semakin yakin akan segera keluar dari masalah ini. Namun, sayang seribu sayang saat Dimas menanyakan tanggapan sekaligus saran dari pemuda urakan itu, rupanya Dion ikutan blank, pemuda itu mengaku tidak tahu bagaimana mengatasi kebodohan Nimas. Tetap saja, tidak ada saran yang berguna.

"Tuhan udah adil bagi akal ke makhluk ciptaannya." Dimas mendengkus saat kalimat itu keluar. Kali ini dia butuh solusi bukannya kata-kata mutiara.

Hingga pada suatu hari Dimas berkumpul bersama Algi dan Andi. Seperti hari-hari sebelumnya, Dimas masih belum menemukan solusi. Sementara itu, dua bocah lainnya malah sibuk memainkan peluit, membuat suara-suara aneh dan mengusik. Dimas sangat terganggu dengan suara bising tersebut. Hingga akhirnya ia meluapkan kekesalan dengan mengoceh panjang-pendek. Bukannya marah, Algi dan Andi malah tercenung dengan sikap Dimas waktu itu.

"Lo yang aneh akhir-akhir ini, sering ngelamun. Ngga tahu apa kita lagi ngapalin sandi morse dari kakak pramuka?" Kurang lebih itulah kalimat yang keluar dari mulut Algi.

Dimas langsung terdiam setelah mendengar pertanyaan itu. Layaknya kerupuk yang disiram air, bocah itu melempeng.

"Sandi morse itu, apa?"

Setelah mengetahui fungsi sandi morse, senyum lebar terbit di bibir kecil Dimas. Bocah tujuh tahun itu langsung mencecar dua anak lainnya agar mengajari tentang sandi yang diciptakan oleh Samuel Finley Breese Morse bersama asistennya, Alfred Vail pada tahun 1838 itu.

Algi dan Andi yang notabenenya adalah orang yang mengajarkan sandi morse kepada Dimas kalah telak. Mereka saja masih harus buka catatan berkali-kali untuk mengingat kode setiap huruf. Sementara Dimas, bocah itu hanya butuh sekali melihat serta sekali dijelaskan, dan boom! runtutan kode itu telah tersimpan rapi dijaringan otak.

"Nanti kita main lagi, yah!" Dimas tersenyum jauh lebih lebar hingga kedua matanya menyipit. Sambil berlari menjauh, anak itu melambaikan tangan tinggi-tinggi. Dua temannya membalas kaku.

Kalimat terakhir itu terus terngiang-ngiang di telinga Algi dan Andi. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Dimas dengan ketidakpedulian pergi meninggalkan mereka. Entahlah, dalam benak dua teman karib Dimas itu tiba-tiba terselip rasa penyesalan. Di sini yang belajar pramuka siapa? Mengapa mereka kalah dengan anak kelas 1 SD?!

Dihari itu, Dimas mulai melancarkan aksi membantu Nimas mendapat nilai lebih tinggi. Bocah itu sama sekali tidak peduli ide yang terancang bertentangan dengan kejujuran.

Pertama, Nimas harus menguasai sandi morse. Di sinilah tantangan terbesar. Apakah Nimas mampu melakukannya, sementara kekurangan gadis itu adalah lambatnya dalam menyerap pembelajaran?

Dimas tetaplah Dimas, bocah itu telah memikirkan matang-matang. Setelah mengamati lebih dalam lagi, dia menyadari sesuatu. Otak Nimas tidak menolak setiap materi belajar. Hanya saja, dalam prosesnya, otak Nimas membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Dimas masih sangat ingat ekspresi Nimas waktu mendapatkan nilai di atas KKM.

Catur wulan berlangsung selama empat bulan dan Nimas sudah harus menguasai sandi morse dalam tengak waktu sesingkat itu. Nimas hanya perlu menguasai satu teknik, ya ... satu teknik itu saja agar bisa naik kelas.

Langkah kedua adalah yang terberat. Setelah Nimas menguasai sandi morse. Dimas harus selalu berada disamping gadis itu.

"Kata Om aku ini jenius, bukan? Seharusnya aku bersekolah di sekolah dengan fasilitas memadai. Karena itu, aku mau satu sekolah sama Nimas!"

Kalimat tanpa keraguan itu benar-benar lolos dari bibir kecil Dimas. Ia sedang berhadapan dengan Adnan. Bocah itu langsung menghadang jalan ayah dari Nimas saat baru saja memasuki rumah selepas pulang bekerja. Tidak ada tatapan takut sedikitpun di bola mata bening anak laki-laki itu. Bahkan ia dengan berani menatap langsung ke manik Adnan.

Lima puluh meter dari dua laki-laki berbeda generasi itu bersitatap. Sri berdiri mematung sambil kedua tangan menutup mulut yang terbuka lebar. Setelah memahami situasi, perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk menggapai sang anak. Malangnya, sebuah cengkraman mengagalkan aksinya.

"Biarkan aja, sejak pertama mengetahui kecerdasan Dimas. Adnan sepertinya tertarik sama anakmu, Sri."

Sri tidak bisa berkutik. Di belakangnya, Fatma berdiri sambil mengulas senyum. Lantas, perempuan ini kembali memfokuskan diri kepada anak dan majikannya itu.
***

"Dimas, makasih ...." Nimas menghentikan kegiatannya menyalin jawaban Dimas.

Dimas seketika menghentikan tawa cekikikan saat membaca komik. Ia menurunkan buku itu sedikit guna melihat Nimas.

"Ha?"

Nimas menggeleng, " Makasih udah selamatin aku."

Ekspresi bingung dari pemuda itu amat menggemaskan di mata Nimas. Gadis cantik itu tiba-tiba tertawa kecil.

"Selametin dari apa?" Dahi Dimas semakin berkerut.

Setelah dapat menguasai diri, Nimas berhenti tertawa. Dengan tepi bibir yang ditarik begitu dalam hingga dua ceruk indah itu tercipta.

"Sudah selamatin aku dari bayang-bayang ngga naik kelas. Terimakasih udah mau sabar ngehadapin Nimas yang bodoh ini."

Dimas melongo beberapa detik setelah mendengar penuturan Nimas. Tepat di menit ke lima Dimas ikut mengulas senyum. Ia paham kemana arah pembicaraan sekarang.

"Tumben ngucapin, biasanya mah bodo amat. Kamu kenapa?"

Nimas terpaku sesaat. Benar juga pertanyaan Dimas. Ini pertama kali ia lakukan. Di saat bersamaan ingatan beberapa jam lalu, ketika pemuda itu berani membentak seorang gadis karena membela dirinya berseliwuran. Nimas menyadari keberadaan Dimas di hidupnya sangatlah besar.

"Ngga boleh yah? Yaudah aku tarik aja lagi."

Bola mata Dimas melebar sempurna," Ngga gitu juga!"

Tawa renyah dari sepasang remaja ini menembus keheningan malam. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan.

"Dahlah, capek aku ketawa terus. Tapi, aku serius, Dimas. Makasih yah."

Dimas mengangguk, "sama-sama."

"Tapi ... kecurangan ini bakal berlangsung sampai kapan? Susan tahu tentang sandi morse ini kan ...?"

Dimas menyadari nada bicara Nimas mengecil diakhir kalimat. Ketakutan terbesar selama ini akhirnya terjadi. Ada orang diluar sana yang dapat membaca kode rahasia mereka berdua.

Alasan itu pulalah yang mendasari Dimas memodifikasi sandi morse. Jika boleh menyalahkan. Ini murni keteledoran Dimas. Pemuda itu mengabaikan latar belakang gadis itu.

"Tentang Sue ... itu biar aku yang urus. Oke!"

Entahlah, Nimas harus senang atau kecewa mendengar kalimat tersebut. Jujur, ia sedikit iri dengan gadis itu. Sebenarnya seberapa dekat mereka di luar sekolah? Mengapa Dimas mempunyai panggilan khusus kepada gadis itu?

Susan ..., Sue ...? Nimas merasa tidak asing dengan nama itu.

Pernah suatu waktu Nimas menanyakan tentang dia kepada Dimas. Dan jawaban Dimas adalah, gadis itu adalah teman sepermainannya, dan jarak rumah mereka hanya berhelat beberapa gang. Tetapi, mengapa Nimas baru mengetahui sekarang? Sedangkan tentang Algi dan Andi, Nimas bahkan pernah bertemu dengan mereka. Lalu, saat itu di mana gadis yang dipanggil Dimas Sue tersebut? Beberapa kali berkunjung ke rumah Dimas. Ia selalu berkenalan dengan teman-teman Dimas yang sangat banyak. Sekali lagi, gadis itu tidak termasuk.

Atau, apakah gadis itu juga baru-baru saja berkenalan dengan Dimas? Mengingat, pemuda itu selalu mengenalkan temannya kepadanya. Nimas semakin pusing memikirkan hal itu. Ada rasa tidak suka saat gadis itu malah sangat dekat dengan Dimas.

Helaan napas panjang terdengar lirih," Aku ngga bisa gini terus, Dim. Kayaknya aku bakal belajar keras lagi, seperti dulu."

"Berusaha boleh, tapi jangan terlalu memaksakan diri." Lagi dan lagi Nimas tidak bisa menyembunyikan kekaguman kepada laki-laki itu. Seluruh permukaan wajah Nimas kembali memanas ketika Dimas tersenyum. Dia lantas mengitari sekitar. Malam telah larut dan udara semakin dingin.

"Tuhan udah adil membagi akal kepada setiap makhluk ciptaannya."

"Ngomong-ngomong, kaki kamu gimana?" Nimas secepat kilat mengalihkan topik. Ia tidak mau terlalu lama terlena dengan pesona Dimas.

Dimas melirik ke bawah, lantas mengangkat bahu, " Udah mendingan kok. Eh ... wajah kamu memerah lagi?"

Sial, Nimas kembali tertangkap basah!

#3708 kata

Gimana-gimana, seru ngga part ini?

Gimana perasaan kalian paa baca part ini?

Pada udah paham ngga amanat di part ini?

Play yah mulmednya karena itu mewakili perasaan Nimas kepada Dimas.

Hayo, hayo ada yang bisa tebak ngga Dimas sebenarnya suka sama siapa?

Kalo ada typo bilang!

See tou onnext chapter!

Продовжити читання

Вам також сподобається

66.1K 872 30
Lewat kata-kata puitis. Kuungkap kata hati dalam kalimat manis. Tercurah pada untaian larik-larik pantun romantis.
38.4K 6.6K 26
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk
163K 12.5K 23
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
SCARLETT(A) [❗ON GOING❗] Від Claudya Diary📝

Підліткова література

4.5K 702 50
🏅#10-unik [1 Januari 2021] 🏅 #4-langka [24 Febuari 2021] > - - < Scarlett Viorleta, namanya. Saat iseng perg...