GUE CANTIK, LO MAU APA?! HERE!!!!
Ini sequel dari Gue Jelek, Lo Mau Apa?! Disarankan baca cerita Gue jelek, lo mau apa?! Dulu ya. Saran doang, tapi kalau emang mau langsung baca ini nggak pa-pa sih. Mungkin ada beberapa plot yang nantinya nggak kalian ngerti, karena mulanya ada di cerita inti.
Happy reading!!!!
****
Prolog: Mantan yang tak dianggap
"Ish! Mamak ada-ada aja, duitnya 50 ribu, nyuruh beli garam cuman 2 ribu!"
Seorang gadis sibuk menggerutu disepanjang perjalanan menuju warung. Ia mengeluarkan selembar duit berwarna biru dari dalam saku hoodie maroon-nya untuk ia lihat, raba dan terawang. Mana tahu itu uang palsu atau uang mainan.
Gadis yang diberi nama Nindi sejak 18 tahun silam itu menghidu selembar uang lecek, dan em .... "Bau ikan pindang! Pasti ini kembalian dari pasar!" ia mengeluarkan sebotol parfum beraroma mawar dari saku hoodie-nya untuk disemprotkan ke uang itu, supaya beraroma wangi seperti dirinya.
Ia memasukkan kembali uang dan parfumnya ke saku, kemudian berganti meraih bedak dan lip blam yang selalu ia bawa ke mana-mana.
"Touch up dulu dong. Ada mantan di warung, gue harus tampil cantik!" Ia mengolesi bedak secara merata di wajah mulusnya dan lip blam pada bibir tipis nan pink-nya.
"Bulu mata cek! Alis cek! Bulu hidung cek! Bulu babi cek! Perfeck!" Pantulan wajahnya di cermin bedak membuatnya berkali-kali memuji dirinya, lalu memasukkan kembali bedak dan lip blam ke saku, anggap saja saku Doraemon yang muat semua barang, bahkan roket China pun muat di dalamnya.
"Gue harus kelihatan bahagia di depan Mahes! Emang dia doang yang boleh move on?"
Mari jangan pedulikan bapak-bapak beranak empat yang hobinya menggoda dirinya, ia bersolek hanya untuk Mahes. Argh! Bapak-bapak bejat itu harusnya ingat anak dan bini saat menggodanya, bukannya bekerja, malah berjudi di warung. Sialan! Ah, kalau Mahes jelas-jelas dia tidak akan berjudi, dia dikabarkan akan mendapat warisan tanah 50 hektar, dan ia juga sukses berjualan masker secara online. Nindi sempat mengira, Mahes suatu saat akan sukses menjadi selebgram atau content creator, ternyata dia suksesnya menjadi tukang masker. Tidak apa, sudah bagus dia ada niat mencari penghasilan sendiri diusia muda.
Mahes pernah bilang, saham perusahaan masker miliknya suatu saat akan diserahkan pada Nindi. Halah! Halunya terlalu tinggi, sampai lupa bahwa dia tidak punya sayap.
Bicara soal masker, Nindi ingat dahulu Mahes selalu memberinya masker ketika ia sedang marah. Ia pikir, Mahes memberinya masker sebab niatnya menghina wajah Nindi yang super buluk, lama-lama ia menyadari bahwa maksud Mahes baik, dia ingin memotivasi Nindi supaya merawat wajahnya, meski diselingi dengan hinaan. Ia pun tak menggubris, bahwa sebetulnya ia berusaha cantik hanya untuk Mahes.
"Bismillah," lirihnya setelah melihat suasana ramai warung Bu Ten dari kejauhan."Semoga gue biasa aja pas ketemu Mahes. Lagian kenapa dia hobinya nongkrong sama bapak-bapak di warung sih? Yang elite dikit coba! Di cafe, restauran atau warteg!" gerutunya kemudian.
Benar dugaannya, sang Mantan asyik mengobrol dengan salah satu pria berumur pertengahan 40-an di meja yang disediakan pemilik warung untuk mengobrol sekaligus berjudi.
Kenapa circle pertemanan Mahes jika di lingkungan kompleks adalah bapak-bapak? Memangnya bisa sefrekuensi? Obrolan mereka seputar apa? Jelas dunia remaja dan dewasa itu berbeda. Apa Mahes sedang membujuk para pria itu untuk jadi reseller maskernya? Gila! Imajinasi macam ini?!
Andai keadaan masih sama sebelum mereka putus, Nindi tak akan bersusah payah penyimpan rasa penasarannya terhadap kehidupan Mahes saat ini. Biasanya Mahes selalu menceritakan pengalamannya yang baru ia alami pada Nindi, namun sekarang ... bertegur sapa pun tidak pernah.
"Kapan dia pindah ke Mars? Mungkin kalau dia pindah ke planet lain, gue bisa move on."
Seperti biasa, sebelum benar-benar berhadapan dengan pria penggoda itu, Nindi selalu siap dengan doa-doanya dalam batin, memohon pada Tuhan semoga ia cepat dibebaskan dari kungkungan kepanikan saat berhadapan dengan mereka.
Jarak sudah mulai terkikis, satu persatu manusia di warung tak terkecuali sang mantan menatapnya. Mereka memandangnya dengan pandangan bringas, dan licik, minus si bedebah yang seolah tak tergoda untuk menatapnya lama-lama. Oh, ayolah, lihat aku sayang!
"Ekhem!" Pak Bambang berdehem, kontan Nindi menoleh padanya."Wangi perawan beda ya?" sambungnya yang langsung membuat Nindi panic attack.
"Jadi istri kedua Abang, mau nggak Neng?" Pak Bambang menyeringai seraya malayangkan kedipan mautnya. Bukannya plepek-klepek, Nindi malah gemas ingin mencabuti ubannya yang seabrek-abrek itu.
Ingin sekali menimbuk si tuwir itu dengan sendal jepitnya yang diimpor langsung dari Turki, namun sayang, sandalnya terlalu mahal hanya untuk menimbuk pak Bwambang.
"Gas Pak! Dia pasti mau!"
Sialan si tatakan iler! Dia juga ikut-ikutan menggodanya, bukankah itu termasuk merendahkan perempuan? ternyata dia tidak pernah berubah. Ah, memangnya apa yang dapat diharapkan dari sosok Mahes? Berharap dia berubah jadi kalem? Berubah jadi Ultramen Ribut? Berubah jadi sel sperma lagi? Sudahlah!
"B-b-bu?" panggil Nindi terbata-bata.
"Iya, beli apa?"
"Anu, garam." Ia cepat menyodornya uang pecahan 50 ribu itu pada Bu Ten.
"Berapa Neng?"
"Katanya kamu pernah pacaran sama dia ya? Siapa namanya? Nindi?"
Samar-samar ia mendengar pembicaraan salah seorang pria yang ia yakini sedang bertanya pada Mahes. Nindi mulai memasang indra pendengarannya untuk menguping pembicaraan mantannya dengan pria itu.
"Nggak, aku nggak pernah pacaran sama dia. Om denger dari siapa ya?"
"Dulu kalian deket banget kayaknya."
"Oh, nggak. Nggak pernah naksir juga sama dia."
Menyesal telah menguping perbincangan mereka. Dengan gamblangnya Mahes menggubris bahwa dia tak pernah berpacaran dengan Nindi, padahal fakta berkata lain. Tidak ingat 'kah? Sebelum mereka seasing ini, mereka pernah sedekat Indomaret dan Alfamaret.
Nindi mengerti, barangkali di mata Mahes ia terlihat sangat rendah, sampai malu mengakui bahwa ia pernah menjadi bagian dari takdirnya.
Dadanya mendesir hebat, napasnya mulai tersengal merasakan sesak yang teramat membabi buta. Dia berhasil melululantakkan hati ini untuk kesekian kalinya, hingga matanya menggambarkan dengan jelas betapa hatinya sangat pedih.
"Neng? Garamnya berapa?"
"Ha? Em ...." Terlalu fokus meresapi sakit hati, hingga lupa pada niat awal.
"Semuanya aja Bu!"
"Lima puluh ribu?"
"Iya, Bu. Cepetan!"
Persetan dengan pemikiran aneh Bu Ten tentang dirinya, yang jelas, inginnya saat ini menghilang dari hadapan Mahes. Tak mungkin ia memperlihatkan matanya yang menggenang air mata pada sang mantan jahanam. Kalau ia ketahuan menangis, itu artinya ia kalah
"Buat apa Neng? Banyak banget?"
"Syukuran!" Terpaksa ia berbohong untuk mempercepat waktu, agar ia bisa cepat pulang.
"Ini Neng." Bu Ten menyodorkan kantung plastik yang berisi banyak garam. Gesit Nindi menerimanya, kamudian melangkah lebar meninggalkan tempat itu.
"Tega banget! Dia bilang nggak pernah naksir sama gue, berarti dulu dia nggak cinta sama gue dong? Pantes move on-nya cepet!"
Nindi mengutuk Mahes disepanjang langkahnya, mengutuknya atas pertama, kalimatnya yang tergolong merendahkannya. Kedua, mengutuknya atas betapa bajingannya dia yang tak mau mengakui Nindi sebagai mantannya. Bukannya ia gila pengakuan, hanya saja ini tidak adil. Sampai sekarang, Nindi sangat menaruh harap, sementara dia ... untuk menatapnya saja, dia enggan.
"Pas gue jelek, dia nerima gue apa adanya. Sekarang gue udah berusaha cantik buat dia, eh, dia malah makin jauh dari gue," beonya lagi.
"Mau lo apa sih, Hes?! Apa lo nggak inget, dulu pernah jadi bucin gue?"
Tak merasa jengah sedikit pun saat orang-orang yang berlalu lalang menilainya aneh karena menggerutu sendirian. Justru ia puas, dengan mengomel, rasa kesalnya sedikit terkikis, mungkin benar-benar akan terkikis ketika Nindi melempas Mahes ke liang lahat.
"Mahes bejat!" hardiknya sekali lagi.
Ia habiskan waktu sepanjang perjalanan menuju rumah untuk mengomel.
"Cie, gamon nih, ye!"
Siapa itu?! Berani sekali mengejeknya! Lantas ia celingukan ke sana ke mari, hingga lelaki ber-jeans hitam yang tengah bersepeda ontel melewatinya dengan senyum menjengkelkan khasnya. Dia teman Mahes yang ia kenal sejak berpacaran dengan Mahes. Entah, belakangan ini dia sering bersepeda di kompleks ini. Pasti tengah caper pada tante-tante bohay.
Nindi mengacungnya jari tengahnya pada manusia lucnut yang mulai menjauh dengan sepedanya itu."Mati lo besok, Iblis!" kutuknya.
Dimas Anggora, eh, Dimas Anggara KW itu menjulurkan lidahnya, mengejek. Sejenak Nindi berpikir heran, mengapa manusia seperti dia bisa menjadi selebgram dan youtuber terkenal? Akhlaknya saja minus, kontennya hanya memamerkan wajahnya yang tidak seberapa itu, ralat, dia memang tampan.
Nindi hanya bisa mendengkus merutuki nasibnya yang siang ini teramat sial, sebab apa? Sebab ia membeli garam terlalu banyak, padahal ibunya menyuruhnya membeli satu bungkus saja. Siap-siap saja nanti digarami dan dijemur bak ikan asin.
"Mampus! Kayaknya gue bakal dikulitin sama emak gue!"
***
Maaf kalau tidak sesuai ekspektasi kalian, atau cerita ini membosankan. Jujur sih, aku jarang minta vote dan komen karena ceritaku nggak bagus-bagus banget. Tapi kalau dikasih bintang dan komen sih, nggak pa-pa.