Life in Death 2 : Illusion

By iam_zzzy

26.5K 4.3K 380

(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu... More

HALO GAIS
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XLI
XLII
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
XLIX
L (Last Chapter)
Info / Pengumuman / Perpisahan

XL

421 84 24
By iam_zzzy

            Saat kukatakan bahwa malam ini dingin, aku serius. Kini angin dingin mulai lewat sela-sela lubang ventilasi di atas, membuat bulu kudukku merinding. Aku melipat tanganku di dada, mencoba menutupi fakta bahwa aku sedang kedinginan. Setelah menunggu beberapa saat, mereka semua datang. Bahkan Regis terlihat memakai jaket tebal, dan Jesica memilih menenteng sebuah penghangat tangan. Setelah aku memastikan yang lain duduk dengan nyaman, aku pun mulai membuka rapat.

"Pertama-tama, ini untuk Regis, Jesica, Hani, dan Yuki karena kalian tak ikut di perjalanan kemarin. Misteri yang ada di buku telah terpecahkan. Kami menemukan kakek dan nenek Ex yang berada jauh di sana. Dan Ex menemukan namanya" kataku membuka obrolan.

"Aku Alexa May" katanya sedikit malu. "Tapi kalau kalian ingin memanggilku 'Ex', tak apa-apa" kata lanjut Ex.

"Info kedua, di suatu tempat antah berantah di sekitar pantai, ada beberapa penduduk desa yang masih hidup dan bertahan dari dunia penuh zombie ini" aku menambahkan.

"Huh? Lalu kenapa kau tak memba-" belum selesai Jesica bertanya, Mark memotongnya.

"Mereka kanibal" ucap Mark singkat, menambah suasana dingin.

"HIIIII" Yuki bergidik ngeri.

"Uh-" ucap Prof. Regis, tak yakin apa yang akan ia ucapkan.

"Kami hampir jadi santapan mereka, dan itu adalah pengalaman yang sangat-sangat-sangat buruk. Kulitnya coklat karamel, berbadan besar, dan menyanyikan lagu-lagu aneh" ucap David sambil mencoba mengingat orang-orang biadab itu.

"Banyak hal yang kami lalui. Jembatan hancur, kaki Mark dan tanganku yang terbakar, senjata Ri yang malfunction, dan masih banyak lagi. Namun yang harus kalian tahu, kami kehilangan mobil,... dan buku kuno itu masih berada di dalamnya" kataku disusul oleh suara-suara ingin protes dari Regis, Jesica, Hani, dan Fauzia.

"Lalu bagaimana kita melanjutkan perjalanan? Apa yang harus kita lakukan setelahnya jika buku itu tak ada?" tanya Hani. Ada sedikit kepanikan di nada bicaranya.

"Aku tak begitu mengerti bagaimana jelasnya, tapi kakek dan nenek Ex pernah berada di keadaan seperti ini. 50 tahun lalu, mereka pernah melawan zombie seperti yang kita lakukan saat ini. Mereka tak mengerti soal buku kuno yang kami maksud, tapi mereka menceritakan sedikit pengalaman mereka, dan akhir dari kekacauan ini" kataku mencoba mengingat-ngingat apa yang Tn. Jonathan katakan saat itu.

"Ini seperti,... reinkarnasi" gumam Prof. Regis.

"Aku juga berpikir begitu. Kejadian yang sama terulang kembali setelah tepat 50 tahun. Tak hanya tahun, bahkan relasi antara siapa yang berjuang dahulu dan sekarang pun sama" kataku mencoba menerka-nerka. Yang lain memperhatikan dengan seksama.

"Kalau begitu, harusnya ini lebih mudah, bukan? Kita hanya perlu mengulang apa yang mereka lakukan 50 tahun lalu untuk menghentikan zombie-zombie ini?" tanya Prof. Regis.

"TIDAK!" teriak Ex tiba-tiba, membuat kami semua terperanjat dan reflek menatapnya.

"Maksudku, tidak. Jangan,..." kata Ex. Suaranya memelan. Yang lain masih bisu, menatap Ex keheranan.

"Mam...?" kata Ex memohon sambil memegang sedikit bagian dari bajuku. Ia menggeser ke belakang tubuhku, mencoba untuk bersembunyi. Aku paham ia memintaku untuk melindunginya dari tatapan-tatapan penuh tanda tanya itu.

"Haaah..." aku mengembuskan nafas panjang, lelah.

"Kurasa tak semudah itu. Tn. Jonathan memang bercerita soal hari akhir dimana ia dan teman-temannya dulu melawan zombie. Namun belum sampai akhir, ia berhenti bercerita. Wajahnya memucat dan ia memutuskan untuk pergi meninggalkan kami" kataku pada mereka.

"Jadi,... ada hal aneh yang terjadi sebelum zombie-zombie itu musnah? Hal aneh yang tak bisa diceritakan?" tanya Fauzia, mencoba menganalisis.

"Lebih tepatnya, hal mengerikan. Aku sendiri pun tak tahu hal apa itu" kataku sedikit memelan. Misteri ini belum selesai.

"Lalu apa yang kakek Ex ceritakan pada kalian?" tanya Jesica.

"Perang. Perang dengan zombie. Mereka sedang berada di dalam markas sebelum akhirnya sekumpulan zombie dalam jumlah sangat banyak menghampiri. Seperti diserbu. Seperti setiap zombie di bumi ini datang menghampiri. Mereka berperang, yang tak kuat memilih untuk bunuh diri. Dan itu semua terjadi saat malam pertama salju turun" jelasku. TUNGGU. KENAPA AKU BARU SADAR?

"Berarti pada akhirnya, kita harus berperang juga. Hanya saja kini, kita tahu perkiraan waktunya. Dan sebelum itu, kita harus bersiap-siap" kata Hani.

"Regis, apa kau menyiapkan banyak alat dan mesin? Berperang dengan zombie dalam jumlah banyak tak mudah, terutama bila mengandalkan tenaga sendiri" tanyaku padanya.

"Kurasa, iya. Aku dan yang lain membuat banyak alat-alat. Lagipula bahkan sebelum kalian datang pun, aku sudah memiliki banyak persiapan" kata Regis. Arogannya mulai lagi.

"Syukurlah" gumam Ex pelan dari belakangku.

"Dan Ri, aku sudah memperbaiki senjatamu. Ada beberapa hal yang harus kucoba padamu untuk menambah kekuatan" kata Regis disusul oleh anggukan Ri.

"Berarti untuk saat ini, kita hanya akan memfokuskan kekuatan diri dan alat-alat mesin. Apapun yang sekiranya membantu pada saat melawan zombie. Persiapan sebaik mungkin, sebelum saatnya tiba,... sebelum salju turun" ucapku menutup rapat.

"Istirahat untuk semuanya. Banyak hal yang harus dilakukan besok" kata Mark sambil menepuk-nepuk tangannya.

Kami bubar, pergi ke ruangan masing-masing, kecuali aku dan Ex. Ia akan mengompres benjolku lagi, setidaknya sampai benar-benar mengempis. Benjol ini membuatku terlihat konyol. Aku hanya duduk di sini, menunggu Ex kembali dengan membawa kain kompres dan es batu.

Tak sampai 5 menit, ia kembali, duduk di sebelahku, dan mulai mengompres lagi. Secara logika, sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri. Hanya saja, itu terlihat sedikit menyedihkan.

"Mam, aku ingin bertanya" tanya Ex tiba-tiba.

"Hm?" tanyaku.

"Mam mimpi apa hari ini?" tanya Ex tiba-tiba. Ah iya, aku bilang sebelumnya bahwa mimpiku tak terlalu bagus.

"Aku tak yakin. Seperti sebuah film, lalu aku di dalamnya, menangis dan tertawa. Lalu kumpulan gambar pemandangan. Pohon, batu besar, gua yang menganga lebar, lalu semuanya berubah menjadi traumacore. Lalu,... entahlah aku tak yakin" jawabku padanya.

"Hmmm... Mam, aku ingin bertanya lagi" kata Ex setelah ia menggumam tipis.

"Ya?" tanyaku singkat.

"Apa yang terjadi bila kita tak mencari tau bagaimana mengakhiri kekacauan zombie ini?" tanya Ex. Pertanyaannya sedikit aneh.

"Kita yang berakhir. Kita semua yang mati. Selesai" jawabku realistis.

"Semua?" tanya Ex memastikan.

"Iya, semua. Aku yakin di suatu tempat masih banyak orang-orang yang sanggup bertahan hidup. Mungkin ada tempat yang aman entah di mana. Namun pada akhirnya, mereka pun akan mati" kataku mencoba menjelaskan.

"Mereka juga?" tanya Ex memastikan lagi.

"Iya. Mereka juga" jawabku singkat dengan sedikit penekanan.

Hening. Ex selesai mengompresku dan kembali ke ruangan masing-masing, tempat kami istirahat. Aku membaringkan tubuhku, menatap langit-langit sebelum tertidur. Hasil rapat ini abu-abu. Banyak hal yang tak bisa kucerna dalam otakku. Apakah semua perjalanan ini hanya untuk berperang melawan zombie? Aku terlalu malas untuk memikirkannya. Pikiran-pikiran itu menghantuiku lagi, membuatku susah tidur. Tapi,... entahlah, aku lelah.

.

Aku di sana lagi. Ruangan hampa dengan layar besar beberapa meter di depanku. Udaranya lebih dingin dibandingkan kemarin. Layar besar itu masih hitam. Aku hanya duduk, menunggu dengan sabar tentang apalagi yang harus kutonton. Satu jam, dua jam, layar itu tak memunculkan apapun. Hanya aku yang duduk di kegelapan, berhadapan dengan layar raksasa tanpa cahaya.

Aku mulai jenuh. Ini membosankan. Bila tak ada yang perlu ditunjukkan padaku, aku akan lebih senang tidur dengan nyenyak tanpa harus bermimpi seperti ini. Aku bangkit dari dudukku, berniat untuk meninggalkan layar besar ini. Entah kemana, yang pasti tak di sini. Mungkin bila aku berjalan lebih jauh, aku bisa menemukan cahaya agar aku terbangun dari mimpi ini. Namun belum sempat aku pergi, akhirnya layar besar itu menunjukkan sesuatu. Sebuah jalan setapak,... di hutan itu lagi. Hutan di mana aku memimpikannya kemarin. Aku kembali duduk, memperhatikan. Ada hal yang salah tentang ini. Ada sesuatu yang mencoba memberitahuku lewat mimpi.

Hampir satu menit layar besar itu menunjukkan gambar hutan, tiba-tiba sebuah tangan pucat muncul, keluar dari layar. Aku masih duduk, remeh, menganggap tangan itu tak akan sampai padaku mengingat kami berjarak beberapa meter. Tapi sepertinya aku salah. Tangan itu memanjang, dan memanjang, dan memanjang. Sampai padaku, menyentuh tanganku, dan menariknya. Menarikku agar aku ikut masuk ke dunianya, ke dalam layar besar yang hampa.

Aku tertarik paksa, masuk ke dalamnya. Masuk ke dalam jalan setapak di tengah hutan itu. Sesaat setelah aku masuk, tangan itu melepaskan pegangannya dengan tanganku, kemudian hilang. Kini tinggal aku, terjebak di tengah hutan antah berantah, mengutuk diriku sendiri mengapa aku tak membawa senjataku. Ini hanya ilusi. Ini hanya mimpi. Tak ada yang perlu kukhawatirkan, secara teknis. Tapi perasaan tak aman menyelimutiku dimana pun yang bukan rumah. Ini bukan tempatku, dan fakta bahwa aku terjebak di dalamnya membuatku tak tenang.

Aku menoleh ke belakang. Bisa kulihat lab milik Prof. Regis berada tak jauh dari sini. Lalu aku berbalik menghadap ke depan. Pohon bungkuk itu lagi. Batu-batu besar yang menghalangi jalan lagi. Gua itu lagi. Menganga, mengajakku masuk ke dalamnya. Aku? Tentu saja membeku, tak bergerak selangkah pun dari tempatku berdiri. Ini konyol. Aku tak paham kenapa lokasi-lokasi ini muncul lagi. Aku tak paham tentang semuanya. Aku hanya tak paham.

Langit menggelap, awan mendung itu datang entah dari mana. Datang tiba-tiba, berhenti tepat di tempatku berdiri. Seakan memiliki dendam, awan-awan itu berubah menjadi rintik-rintik air, semakin deras. Kini petir pun ikut bergemuruh, memarahiku yang masih diam di tempatku, enggan beranjak pergi. Semakin kencang, semakin berisik, semakin mengganggu.

Continue Reading

You'll Also Like

890K 87.8K 56
Zayden Vincenzo remaja berumur 19 tahun, seorang pembunuh bayaran yang mati karena di tabrak oleh sebuah truk untuk menyelamatkan seorang anak kecil...
215K 24.1K 73
Novel ini bukan karya saya. THIS STORY AND NOVEL Isn't Mine I DO NOT CLAIM ANY RIGHTS SELURUH KREDIT CERITA NOVEL INI MUTLAK MILIK AUTHOR (PENGARANG...
116K 8.5K 50
Please don't copy my story.... Cerita ini tentang empat orang gadis yang memiliki julukan Four Devil Queen Squad yang harus bertahan hidup karena seb...
16.1K 1K 24
Tim 7 dan Tim 10 pergi ke masa lalu karena sebuah gulungan yang dibuka oleh Boruto. Mereka datang ke zaman pemerintahan godaime hokage. saat mereka s...