What If [Series]

By tx421cph

3.1M 290K 465K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

Side Ending of J's Universe

67.4K 7.8K 26.7K
By tx421cph


Ini adalah Side Ending of J's Universe, yang mana salah satu opsi ending J'su yang tidak jadi aku pakai. Nah, makanya mau aku ceritain, diringkas dalam satu chapter ini.


note : please play the multimedia above


Happy Reading


"Na!"

Gadis itu tersenyum lebar begitu dia melihat sosok yang sedang menunggunya di depan gerbang rumah sembari memegangi sepedanya. Dia berlari kecil, menghampiri pemuda manis yang tersenyum dengan tulus ke arahnya sembari melambai kecil. 

"Lama nggak nunggunya?" 

Jaemin menggeleng pelan, satu tangannya menepuk pucuk kepala Jeha yang lebih pendek darinya. 

"Ayo kita berangkat!" Seru gadis itu. 

Si pemuda hanya mengangguk kecil, kemudian dia menaiki sepedanya. 

"Ooohh!! Tempat duduknya kamu kasih bantalan!" 

Jaemin menoleh, mendapati Jung Jeha tampak takjub karena tempat duduk di belakang sepedanya telah ia pasangi bantalan, tidak lagi besi polos seperti sebelumnya. 

"Iya, aku ingin kamu duduk dengan nyaman," Si anak laki-laki menggerakkan tangannya.

Oh, sungguh. Jeha sangat tersentuh hanya karena perlakuan itu. Dia merasa... Na Jaemin sangat memerhatikannya bahkan dari hal-hal terkecil. 

"Makasihh!!" 

Jadi rencananya mereka berdua akan pergi bersama. Tidak ada acara khusus, Jung Jeha hanya ingin ikut Na Jaemin seharian ini pergi bekerja. Jaemin tentu saja menolaknya, anak itu mana mungkin tega. Tapi kalian tahu, Jung Jeha dengan seluruh kekeraskepalaannya selalu mampu membuat Jaemin luluh. 

Lagipula ini hari minggu, ketimbang Jeha tidak punya teman chatting karena Jaemin sibuk bekerja, lebih baik dia ikut. 

"HEH BOCIL BOCIL!!"

Gadis itu baru saja akan naik, tapi suara berat yang berteriak dari ambang pintu rumah utama Keluarga Jung menghentikannya. Jaemin bahkan terkejut, anak itu tersentak kecil dan mengerjap beberapa kali. 

Oh, Kak Jaehyun. 

"Apa sih ngagetin aja!" Seru Jeha marah. 

"Mau kemana ha? Main ngeluyur aja!" Si sulung Jung yang menggunakan celana kargo selutut dan singlet hitam tampak bersandar di ambang pintu. Sepertinya baru bangun tidur. 

"Udah ijin bunda tau, udah ijin ayah juga malah," Si bungsu Jung mendengus. 

"Kok gak ijin sama kakak?" Jaehyun mulai sensi. 

"Dih?"

"Kok dih?"

"Yaudah iya ni ijin! Aku mau keluar sama Jaemin." 

"Gak boleh." Sambar Jaehyun. 

"Atuh dah ah!" Jeha mulai emosi, "gak sampe malem kok!" 

"Lagian mo ngapain sik? Jaemin kan mau kerja, kamu gausa nambah beban deh!" 

Jung Jeha tersinggung mendengarnya, "eh jepri! Lu kalo iri karena gak bisa beruwu-uwu bilang aja dah!!" 

Tak terima dikatai begitu, Jaehyun melotot kesal. "Juleha lu jangan durhaka ye sama orang tua!" Dia berancang-ancang ingin mengejar. 

Jung Jeha melotot. "Na! Na! cepetan berangkat!!" Seru gadisnya ketika melihat kakaknya mendekat, dia naik dengan terburu, memukul-mukul bahu Na Jaemin. 

Jaemin tentu saja kebingungan. Di sisi lain dia merasa tidak sopan jika harus kabur begitu saja dari Si sulung Jung, tapi Jeha terus menggebuk bahunya dari belakang seolah mereka sedang dikejar hantu. 

Tapi karena Kak Jaehyun cukup seram saat itu, akhirnya Jaemin dengan berat hati mengatupkan kedua telapak tangannya, seperti sedang meminta maaf kepada Jaehyun, hingga kemudan dia mengayuh pedal sepedanya kuat-kuat. 

"HEH BOCAH-BOCAH LAKNAT LU YE!!" Jaehyun nyaris saja mendapatkan kerah belakang adiknya, tapi sayangnya Jaemin dan sepedanya melesat sangat cepat. "GUE TANDAIN LU BEDUA!"

Jung Jeha tertawa terbahak-bahak hingga dia nyaris tersedak. Gadis itu melambaikan tangannya sembari menoleh ke belakang. "NANTI DIBAWAIN SUSU DUA KOTAK DEH!!" 

Kak Jaehyun masih berdiri di depan pagar dengan kaki telanjang. "DIH! LU KIRA HARGA DIRI GUE SEMURAH SUSU KOTAK?!" Emosinya, "TAPI BAWAIN DEH!!"  

"YEEE JEPRI!" 

"TIGA DEH! KALO CUMA DUA GAK GUE BOLEHIN MASUK RUMAH LU!!"

Jung bersaudara itu sangat menggelikan. Jaemin yang sibuk mengayuh sepedanya pun ikut tertawa hingga sepedanya nyaris oleng beberapa kali. Teriakan Jaehyun dan Jeha yang besahutan benar-benar membuat perutnya sampai ngilu saking gelinya. 

Mereka melanjutkan perjalanan. Jeha dan Jaemin. Obrolan tentang Kak Jaehyun masih berlanjut. Dengan sisa-sisa tawanya, Jeha berkata bahwa dia tidak pernah menemukan orang seaneh Kak Jaehyun dalam hidupnya. 

Sembari melingkarkan tangannya pada pinggang Jaemin, Jung Jeha terus berceloteh, menceritakan ini dan itu di pagi hari yang terasa lebih cerah dari sebelumnya. 

Jaemin terus tersenyum sepanjang perjalanannya. Bahkan tanpa berkata-kata, semua orang bisa melihat sebahagia apa ia. 

 Mengayuh sepeda. Merasakan angin pagi yang menghembus lembut surai. Merasakan sentuhan yang semakin mengerat di pinggangnya. 

"Na, aku sayang kamu." 

Hingga pernyataan yang lembut dan menyejukkan itu membuat hati Na Jaemin semakin menghangat. Membuatnya berharap. Lagi dan lagi. 

"Aku juga... sangat menyayangimu, ku harap pun Tuhan mengerti." 


-----oOo-----


"Aku... udah ngerelain kamu sama saudaraku, jangan khawatir, aku... yakin bisa ngelepas kamu." 

Gadis itu memandangi sesosok pemuda yang terlihat berdiri dengan kaku di depannya. Seorang lelaki yang bahkan terdengar gemetaran ketika mengucapkan sepatah kalimat penentuan barusan. 

Lee Jeno. 

Jung Jeha terdiam. 

Jeno sendiri tidak tahu apa yang telah dia katakan. Melepaskan Jung Jeha? Merelakan gadis yang sudah dia cintai selama bertahun-tahun untuk saudaranya? 

Lee Jeno sudah gila. Tapi... dia memang tidak diberikan pilihan lain selain melakukan hal ini, kan? 

Dia sudah tidak bisa melakukan apapun. Dia sudah tidak berhak untuk memilih keputusan. Dia sudah— posisinya telah tergeser dengan mutlak.

Dengan sorot penuh kesakitan, dia mencoba untuk memandang belahan jiwanya. Gadis yang pernah berjanji padanya untuk menikah di masa depan. Dengan hati hancur berkeping-keping, Lee Jeno mencoba untuk tersenyum pada saat-saat terakhir. 

Gadisnya yang dulu... sudah menghilang. 

"Jen—"

"Kamu cocok kok sama Jaemin, dia baik, dia bakal ngejaga kamu," pria itu tertawa kecil, manis sekali. "Jangan khawatir, jangan pikirin aku, aku beneran nggak apa-apa." 

Ya, Jung Jeha, tolong anggap semuanya seperti angin lalu. Pertemuanmu dengan Lee Jeno, janji-janji yang telah kau buat dengannya. Lupakan itu semua. 

Gadis itu menghembuskan napas panjang. Ada sebuah perasaan gundah yang besar di hatinya, seperti sesuatu yang menyakitkan, sedang memukul-mukul dinding dadanya dengan kuat. 

Seperti ada... ungkapan tak tersampaikan darinya teruntuk Lee Jeno. 

Tapi Na Jaemin sudah menunggunya sekarang. 

"Aku mau ke rumah sakit, kamu ikut?" Ujar gadis itu pada akhirnya, seperti tak berniat untuk meneruskan perbincangan sebelumnya. 

"Ah, aku dateng nanti malem aja, ayo aku anter kamu." 

"Kenapa gitu?" 

Ah, Jung Jeha sungguh... kau masih bertanya? 

Lee Jeno hanya tersenyum, lantas dia menggeleng. "Nggak apa-apa, kamu duluan aja, kayaknya... ada banyak hal yang perlu kalian obrolin." 

Gadis itu diam lagi. 

Cukup lama dia memandangi Lee Jeno, pemuda yang masih sekarang masih mampu untuk mengulas sebuah senyum manis yang menjadi hal yang paling Jeha sukai di dunia— hanya sampai beberapa waktu. 

Sampai senyuman manis Na Jaemin mampu menggeser dengan telak. 

"Nggak Jen, aku bisa berangkat sendiri kok," gadis itu menolak dengan tutur yang halus, tak lupa dengan sebuah senyuman menyakitkan. 

Ah, dulu... Jeno dan Jeha, keduanya selalu saling tersenyum satu sama lain. Senyuman penuh kebahagiaan, senyuman polos yang tulus. 

Namun sekarang senyuman itu telah berganti menjadi sebuah senyuman yang dipaksakan. Senyuman yang sarat akan rasa sakit dan juga keputusasaan. Senyuman yang menyedihkan. Tak lagi bermakna indah seperti waktu-waktu yang telah lalu. 

Jung Jeha menolaknya, Lee Jeno tersenyum menghela. "Yaudah kalo gitu, hati-hati... ya." 

Jeha membalasnya serupa, mengangguk kecil dengan sebuah payung di tangan. "Iya, nanti kalo kamu mau dateng chat aja ya." 

Si lawan bicara tak menjawabnya, hanya menanggapi dengan sebuah anggukan dan juga senyuman terbaiknya. 

Bahkan sampai sosok yang indah itu berbalik, memunggunginya dan berjalan menjauh, Lee Jeno masih tersenyum. Sorot matanya yang lembut seolah mengucapkan sebuah perpisahan yang teramat sangat menyakitkan. Matanya itu seolah berkata, 'bahagia selalu... ya'

Ah, ini terasa sangat asing. 

Gadis yang baru saja berlalu pergi darinya itu seperti bukan gadis kesayangannya. Gadis yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Gadis yang terus menyerukan namanya tanpa henti. Gadis yang selalu suka memaksanya hingga hatinya dibuat luluh lantak. 

Siapa... dia? Siapa gadis yang baru saja pergi itu? Apakah dia... benar Jung Jeha-nya? 

Lee Jeno masih terpaku, terus seperti itu lantaran kenangan masa lalu terus bermain dalam benak akalnya bagai film dokumenter. 

"Jeno-ya!!!"

"Jenooo-yaaaa aku mau ikut!! Kamu jangan maksa! Aku mau ikut!" 

"Jeno-ya kamu udah makan belom? Om Donghae sama Tante Tiff pulang larut ya? Ayo sini ke rumah! Bunda masak banyak nih!! Ayo ayo aku tunggu!" 

"Jeno, kapan kita pacaran? Nanti nanti mulu!" 

Jeno sangat rindu. Dia sangat rindu sampai mau mati. 

Dia begitu merindukan Jeha-nya yang dulu. Dia ingin gadis itu terus bergantung padanya, dia ingin gadis itu terus mengikutinya, dia ingin gadis itu terus membutuhkannya. 

Lee Jeno menginginkan semua itu kembali. 

Tapi beginilah akhirnya yang terjadi. Jung Jeha telah mendapatkan rumahnya yang baru, rumah yang bisa membuat gadis itu lebih nyaman. 

Karenanya, Jeno merasa bahwa dia tak seharusnya menghambat kebahagiaan gadis itu. Bukankah yang terpenting... Jung Jeha bahagia? 

Bahkan jika Lee Jeno menyakiti dirinya sendiri... 

Jung Jeha, dulu kau terus memaksa Jeno untuk mencintaimu, tapi setelah dia mencintaimu seperti nyawanya sendiri, kau... pergi begitu saja. 

"Jeha-ya..." 

Lee Jeno tidak menginginkan ini, tapi air matanya jatuh begitu saja.


-----oOo-----


PRANGG!!

PRANGG!!!


"AAARRGHHH!!!" 

Gadis itu... kehilangan kendalinya, hingga dia terlihat seperti orang gila. 

Kamarnya porak poranda. Berbagai barang pecah belah hancur berkeping-keping. Buku-bukunya robek karena ia hempaskan. Semuanya berserakan, bagai baru saja terjadi gempa. 

"JAEMIN!!!" 

Dia jatuh berlutut di atas lantai kamarnya, meremat rambut frustrasi, menangis hebat seolah-olah air matanya tak akan pernah habis. Tangannya gemetar, buku-buku jarinya memutih. Pucat pasi. Bagai orang yang akan mati. 

Na Jaemin dimakamkan tiga hari yang lalu. 

Na Jaemin pergi meninggalkan ia dan dunianya. 

Na Jaemin pergi begitu saja... begitu tiba-tiba. 

Jung Jeha tak akan pernah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Na Jaemin yang sebelumnya terlihat baik-baik saja, dan Dokter bahkan berkata bahwa Jaemin memiliki peluang untuk sembuh dan pulih. 

Jeha bahkan sangat berat hati awalnya untuk melepaskan kepergian pemuda itu ke Singapura, tapi sekarang... Na Jaemin malah meninggalkan dirinya untuk waktu yang lama. Sangat lama. 

Dia tidak akan pernah kembali lagi. 

Na Jaeminnya.

Pelanginya. 

Pria yang pernah berjanji padanya bahwa mereka akan tetap bersama. Pria yang pernah mengajaknya untuk menikah suatu hari nanti. 

"Jaemin..." 

Suaranya parau. Nyaris menghilang. tenggorokannya terasa sangat sakit. Sangat menyakitkan, tersalur ke dadanya, dan seluruh sendi-sendi tubuhnya hingga dia merasa seperti lumpuh. 

Gadis itu hanya bisa bersimpuh, dengan kondisi kacau dan menyedihkan. 

Dia elukan terus menerus nama Sang terkasih. Berharap pemuda itu akan kembali, berharap pemuda itu akan datang dan tersenyum padanya seperti waktu-waktu yang telah lalu. 

Tapi Na Jaemin benar-benar sudah meninggalkan semuanya, dan itu sama sekali bukan candaan. Sama sekali... bukan mimpi. 

Hanya tinggal nama, hanya tinggal kenangan yang tersisa dari pemuda itu. 

Siapa yang akan dia salahkan sekarang? 


BRAKK!!!


"JEHA!!" 

Saat gadis itu sibuk menangis di atas lantai tanpa suara, kakak laki-lakinya datang dan menerobos masuk. Jaehyun terkejut setengah mati, dia berlari, menghampiri Si bungsu dan mencengkeram bahu kurus itu. 

"Dek!! Hei! Sadar!! Jeha sadar!!" Si sulung Jung terus mengguncang bahu adiknya, adik perempuannya yang menangis hebat tanpa suara dengan wajahnya yang menjadi pucat pasi. 

Ini bukan pertama kalinya terjadi sejak tiga hari berlalu. Jung Jeha terus melakukan hal-hal gila yang membahayakan nyawanya sendiri. 

Baru kemarin Jaehyun tidak tidur semalaman karena menjaga adiknya. Dia cemas, takut Jeha akan bertindak ceroboh lagi. 

"Jaemin... Jaemin..." Hanya nama itu yang terus dielukan oleh adiknya. 

Jaehyun menghela napas panjang. Frustrasi. Dia menarik tubuh ringkih itu, membawanya ke dalam sebuah pelukan hangat. Ia dekap dengan erat, seolah menjanjikan bahwa dia akan selalu melindungi adik kesayangannya. 

"Udah, plis... jangan kayak gini, kakak takut, kakak takut..." Jaehyun semakin mengeratkan pelukannya, mengusap rambut legam yang terasa halus di jari jemari.

Jaehyun benar-benar tidak sanggup melihat adiknya terus seperti ini. 

"J-Jeha..." 

Seseorang menyuarakan nama itu. Jaehyun tidak memalingkan wajahnya, tapi itu adalah Jeno. Pemuda yang baru saja datang itu berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam ruangan kamar Jeha dengan pandangan nanar. 

Selama beberapa hari ini, Lee Jeno pulang pergi ke rumah Keluarga Jung, menengok keadaan Jung Jeha, menenangkan gadis ini, menghibur sebisanya. 

Meski Jeno tahu itu tidak berguna. 

"Kak... aku mau Jaemin..." suara yang putus-putus dan menyedihkan itu terdengar. 

Hati Jeno mencelos. Dia hanya bisa berdiri sembari menahan rasa sesak. 

Jaehyun sendiri sudah tidak mampu untuk berkata-kata. "Ayo, kamu istirahat di kamar kakak," pelannya. 

Si sulung berdiri, mengangkat tubuh adiknya dengan mudah. Menggendongnya, membiarkan gadis itu menangis di dadanya dalam diam. Masih menggumamkan nama Na Jaemin sesekali. 

Saat berkontak mata dengan Lee Jeno, Jaehyun berhenti. "Jen—"

"Aku mau beresin kamarnya Jeha, kak." 

Jeno entah mengapa memotong kalimat Jaehyun begitu saja. Hingga dia beringsut, melewati tubuh pria yang sedikit lebih tinggi darinya. 

Jaehyun diam saja. Dia juga sadar akan perubahan suasana hati Jeno. 

"Iya, tolong ya."

Jeno hanya tersenyum mengangguk saat dia berjongkok untuk mengumpulkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan. 

Kemudian, Jung bersaudara meninggalkan ruangan itu. Hanya tersisa Lee Jeno seorang, dalam suasana suram yang mencekam, dan juga kepedihan yang pekat. Mata Jeno tampak sendu ketika dia memunguti pecahan kaca itu. 

Ketika dia mengambil beberapa lembar foto sepasang kekasih yang berserakan. 

Na Jaemin dan Jung Jeha. 

Keduanya terlihat begitu bahagia. 

Saudaranya yang tersenyum dengan sangat tulus, dan Jeha yang tersenyum lebar seolah menunjukkan betapa dia bersyukur memiliki Na Jaemin. 

Foto-foto yang penuh akan cerita. 

Foto selfie. Foto lucu dari photobooth. Jaemin memeluk Jeha dari belakang. Jeha mencium pipi Jaemin. Jaemin yang tampak tersipu. Jeha yang terlihat begitu menggemaskan dengan bando kelinci. 

Jeno hanya... tersenyum. 

Sepertinya Jung Jeha memang lebih bahagia dengan Jaemin ketimbang saat bersamanya.

Ah, kenapa dahulu dia sering menolak ketika diajak foto bersama oleh Jeha? Yahh... keduanya memiliki beberapa foto bersama sih. Tapi itu paksaan Jeha. Foto yang diambil oleh kamera ponselnya. Foto yang sebagian besar tampak blur tapi tetap terlihat lucu. 

Jeno masih menyimpannya sampai saat ini. Foto-foto itu masih ada di ponselnya, bersama dengan seribu foto selfie Jung Jeha saat SMP.  

Menghela napas, pemuda bermarga Lee berdiri kemudian. Merapikan meja belajar Jeha yang berantakan, kemudian menyimpan foto-foto pasangan itu di atasnya. Meletakkannya dengan rapi. 

Kematian Na Jaemin juga sangat memukul dirinya. Jeno sudah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan, dan apa yang harus dia katakan. Dia terlalu linglung saat kehilangan saudaranya. 

Ah, Jeno... bukankah seharusnya kau mengalah lebih awal? Bukankah seharusnya... kau sadar diri sejak lama? 

Lee Jeno merasa dirinya mirip bajingan yang terobsesi. 

Pemuda itu menundukkan kepala, mengepalkan sepasang tangannya. "Gue harus apa sekarang... apa yang harus gue lakuin di saat lo adalah dunianya Jeha, Jaem..." 


-----oOo-----


"Udah gue bilang lo kaga usah dateng ke toko." 

"Nggak apa-apa, lagian—"

"Lu kenapa batu banget dah dibilangin? Toko lu kaga bakal kabur juga anjir." 

Jung Jeha menolehkan kepalanya ketika mendengar Guanlin ngegas dan memotong kalimatnya begitu saja. Perempuan yang sedang menata bunga mawar dalam keranjang rotan itu menghela napas. 

"Jeno ada operasi hari ini, Guan. Jadi dia bakal sibuk seharian di rumah sakit, makanya gue kesini ketimbang sendiri di rumah," jawabnya kalem. 

"Ya panggil gue kan bisa!" Guanlin berseru lagi. 

"Panggil apa?" 

"Panggil gue! Lu budeg apa gimana?" 

"Y-ya terus abis itu bengong doang di rumah? Mending ke toko lah, sayang kalo tutup mulu." 

"Lu sadar diri kek lu tuh lagi hamil anjrit!"

Jeha mendengus kesal, "lo bisa gak si gak ngegas aja sehari?" Katanya, mulai lelah. "Kasian anak gue nih bising banget katanya." 

Guanlin berdeham, kemudian dia mendecih. "Sok tau lu, mana ada janin bisa ngomong, ngadi-ngadi dah." Pria itu malah sensi.

Tapi memang begini sih Guanlin seharusnya. Jung Jeha tidak kesal, dia malah tertawa kecil karena merasa geli. Memilih untuk duduk dan melihat data bunga-bunga yang baru saja panen, membiarkan Guanlin melakukan pekerjaan lainnya, seperti membuka tirai dan menyapu sampai membuang sampah. 

Ah, Guanlin dan Jeha. 

Mereka berdua seperti anjing dan kucing jika bertemu. Tak pernah luput dari perdebatan, umpatan, saling ejek satu sama lain. Tapi tak jarang keduanya juga saling membantu— meski sebenarnya Guanlin yang lebih banyak membantu Jung Jeha. 

Mereka cukup lucu sebenarnya. 

Saking pedulinya Guanlin kepada Si bungsu Jung, orang-orang kerap kali menyebut pria itu sebagai suami kedua Jung Jeha. 

Haha... 

Jeno agak tidak terima, tapi bagaimanapun Guanlin benar-benar sangat membantunya. 

"Oi." 

"Eung." 

"Lo udah makan belom." Tanya Guanlin, tanpa menoleh sama sekali, sibuk memindahkan rak bunga ke depan jendela. 

"Udah tadi pagi sama Jeno sih." 

"Siang belom kan." 

"He'em." 

Kemudian, pria bertubuh bongsor itu menolehkan kepalanya. Saat itu, Jung Jeha baru sadar bahwa di usia 40-an itu Lai Guanlin benar-benar semakin jangkung ketimbang saat SMA. Jeha merasa dirinya seperti menjadi manusia mini di samping Guanlin.  

Pria kaya yang selalu tampil sederhana, namun tetap memukau dengan aura mahal. Itulah Guanlin. 

"Lo nggak kerja?" Tanya Jeha tiba-tiba. 

Guanlin menaikkan satu sisi alisnya, "emang lo pernah liat gue kerja?" 

Wanita itu terdiam, agak bingung. "Enggak... sih." 

"Nah." 

Iya ya, dia kan tidak pernah melihat Guanlin bekerja. Tapi Jeha tahu pria ini adalah seorang Presiden Direktur, dan perusahaan pusat di China milik Lai Guanzhou juga telah diwariskan setelah ayah pria itu meninggal dunia. 

Jeha juga mendengar dari Jeno, perusahaan itu nyaris jatuh ke keluarga tiri Guanlin, tapi syukurlah Guanlin memenangkan persidangan hak waris tujuh tahun yang lalu. 

Lalu, Jeha jadi tidak mengerti kenapa pria ini malah menghabiskan waktu untuk berada di sekitarnya, melakukan hal-hal yang membuat citra Presiden Direkturnya jatuh. Seperti saat ini. 

Berkebun, menyapu toko, hingga membuang sampah. 

"Ayo makan siang nanti, lo kepengen apa?" 

Suara berat Guanlin menyadarkannya kemudian, perempuan itu menoleh. "Em... nggak kepengen apa-apa sih."

"Yang bener lu." 

"Iya."

"Lu kenapa gak ngidam si? Kenapa gak kayak orang hamil biasanya? Kan ibu-ibu kalo hamil suka minta yang aneh-aneh tu." Dengus Guanlin, sensi lagi. Dia berlutut di depan Jung Jeha. 

Awalnya Jeha tidak tahu kenapa Guanlin berlutut di depannya, tapi rupanya pria itu membenarkan tali sepatunya yang terlalu rapat. 

"Aneh-aneh gimana si?"

"Makan apel dicocol sambel contohnya, atau makan bunga."

"Dih? Emang ada orang kayak gitu?" Jung Jeha tergelak. 

"Ada aja lah pasti, namanya juga manusia, random."

"Tapi gue gak gitu ah, ya kali. Gue masih normal, makan makanan yang biasanya. Lagian kalo makan aneh-aneh pasti dimarahin Jeno." 

"Em, berarti lu kaga pengen apa-apa ni?" Guanlin mendongakkan kepalanya. 

Jeha hanya menggeleng, "ngikut aja deh enaknya makan apa." 

"Sup rumput laut mau?" 

"Lo lagi ulang tahun?" 

"Kaga elah, gue lagi pengen aja. Lu mau gak?" 

"Boleh aja, dimana?" 

"Kaga tau sih... gue ga tau dimana sup rumput laut yang enak." 

"Kalo gitu—"

"Heh! Btw kenapa lu pake sepatu kek gini lagi sih? Gue udah bilang jangan pake kets! Masih aja!" 

Jeha terkejut ketika Guanlin tahu-tahu berteriak kesal. Rupanya sejak tadi dia hendak melepaskan tali sepatu perempuan itu. 

"Y-ya kan..."

"Gue udah ngingetin sampe tiga kali ini jangan pake kets! Emang kaga dilarang, tapi mending jangan pake! Kaki lu mulai bengkak nih!" 

Guanlin melepaskan sepasang sepatu kets yang dikenakan Jeha. Kedengarannya dia memang kesal, tapi sentuhan tangannya begitu lembut, dia memegangi kaki perempuan itu dengan sangat hati-hati. 

"Guan... nggak apa-apa." 

Pria itu diam selama beberapa saat, memeriksa kondisi kaki wanita di depannya. Sampai akhirnya dia kembali bersuara. 

"Ntar habis makan siang gue pijitin kaki lo, sekarang kita pergi dulu. Lo gak usah pake sepatu, dah nyeker aja."

"Ih?"

"Bentar doang, abis tu kan balik ke sini lagi," katanya. "Gue mau manasin mobil dulu." 

"Jadinya kemana?"

"Oh, coba lu browsing aja deh, sekalian tu cabutin hape gue lagi dicas." 

Kemudian, pria itu beringsut. Berjalan keluar dari toko bunga, menghampiri mobil pick up sederhana berwarna putih yang biasa dia gunakan untuk memanen bunga dari Gangwon. 

Tapi sepertinya memang Guanlin menyukai mobil pick up itu, dia terlihat lebih sering menggunakannya ketimbang mobil-mobil mahal yang lain. 

Selagi Guanlin berada di luar, Jeha meraih ponsel pria itu. Mencabut charger-nya yang masih tersambung. Ponsel Guanlin tidak pernah dikunci, jadi dia segera membuka aplikasi Naver untuk browsing restoran yang menjual sup rumput laut enak. 

Tapi ketika dia membuka laman Naver, Jeha tercenung. 

Wanita itu diam di tempatnya, memandangi layar ponsel Guanlin selama beberapa saat. 

Lalu dia menggeser netranya, menatap pria jangkung yang sibuk dengan mobil pick up di depan toko. 

Jeha tidak tahu apakah ini memang terlihat aneh, tapi dia hanya... tidak menyangka Guanlin akan melakukan itu. 

Mungkin Guanlin lupa menghapus bekas pencarian di laman Naver sebelumnya, hingga halaman itu masih menampilkan daftar situs yang berisi topik mengenai ibu hamil. 

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh ibu hamil. Larangan untuk ibu hamil. Makanan yang sehat untuk ibu hamil dan calon bayi. Itu yang Guanlin telusuri sebelumnya. 


-----oOo-----


"Sayang, kamu belum tidur?" 

Lee Jeno baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah sibuk memeriksa beberapa data pasiennya, dia menyadari bahwa istrinya yang sudah terbaring di ranjang sejak 30 menit yang lalu rupanya masih terjaga. 

Jung Jeha sepertinya asyik berpikir sejak tadi. Dia tidak bergerak sama sekali hingga Jeno menyangka dia sudah terlelap. Wanita itu menggeleng kemudian. 

"Nggak bisa tidur." 

Jeno naik ke atas ranjang, berbaring di samping istrinya dengan posisinya menyamping. Dia ulurkan tangannya, merapikan beberapa helai rambut sebahu itu ke belakang telinga. 

"Apa kamu ngerasa nggak nyaman?" Tanya pria itu. "Ada yang sakit?"

"Eng," perempuan itu menggeleng lagi. "Temenin tidur, kamu tuh selalu tidur telat akhir-akhir ini, lanjut besok aja kerjanya." 

"Aku—"

"Di sini aja," tangan yang kurus itu sedikit gemetar. Tremor. Jeha mencengkeram pakaian di dada suaminya, memeganginya dengan erat. "Jangan jauh-jauh..." 

"Iya, aku nggak kemana-mana kok, aku di sini." Lee Jeno tersenyum, mencium kening wanitanya. 

"Mau cium di sini." Jeha mendongakkan kepalanya. 

Jeno agak takjub. 

Pria itu tertawa kecil. Mencubit ujung hidung istrinya, kemudian mencium bibir itu. Bibir yang selalu membuatnya candu. 

Jeno menautkan bibir keduanya selama sekitar 5 detik. Jeha tersenyum, lalu dia mendekat lagi untuk memberikan beberapa kecupan ringan yang lembut. 

Ah, entahlah. Jeno merasa malam ini istrinya menjadi lebih clingy. Apakah efek hamil tua memang seperti ini?

Jeno baru saja ingin menjauhkan wajahnya, tapi Jeha menahan wajah itu, sepasang tangannya menangkup rahang Sang suami. Sekali lagi, bibir itu tertaut. Kali ini tak hanya sekadar kecupan, Jung Jeha membuka bibirnya lebih dulu, melumat bibir bawah suaminya dengan gerakan perlahan. 

Jeno sempat terkejut, tapi dia tetap mengimbangi ciuman istrinya dan membalasnya serupa. Dia berjengit kecil ketika Jeha menggigit bibir bawahnya pelan, lalu pria itu bangkit, setengah terduduk dan mengungkung Sang istri dengan sepasang lengan kekarnya. 

Ciuman yang menjadi lebih intens selama beberapa saat itu kemudian berakhir ketika Jeha merasa dia mulai kehabisan napasnya. Dia pandang Lee Jeno yang menunduk di atasnya, menetralkan napas. 

Lalu, keduanya tertawa kecil bersama. 

"Kenapa kamu jadi manja begini?" Pelan Jeno, membenarkan rambut istrinya. 

"Emang aku biasanya nggak gini?" Perempuan itu bertanya balik. 

Jeno hanya tertawa dengan kalem, dia kembali berbaring di samping istrinya, membenarkan selimut mereka berdua. 

"Udah ayo tidur, udah mau tengah malem, ibu hamil nggak boleh begadang," final Sang pria. Mengelus rambut istrinya dengan teratur. 

"Enggg."

"Ya ampun, bayi gede gemes banget sih," Jeno mencubit pipi Jeha dengan gemas.

"Ih Jen!" 

"Bayi gede yang bentar lagi ngelahirin bayi hahaha, lucunya."

"Kamu yang kayak bayi tau!" Jeha balas mencubit hidung Jeno.

"Kamu," Jeno mengacak gemas pucuk kepala istrinya. "Rasanya sifat kamu sekarang jadi balik kayak waktu SMP hahaha, lucu banget." 

"Enggak ya!"

"Iya tau, kan aku yang ngerasain. Sekarang kamu clingy banget kayak waktu masih SMP, kamu lupa dulu suka ngikutin aku kemana-mana sampe nggak mau pisah bentar aja?" 

Lee Jeno menjelaskannya sembari tertawa kecil, seolah dia benar-benar sebahagia itu. Seolah dia benar-benar sangat lega. 

Jeha masih mengingat masa-masa itu. 

"Eum..." 

"Kamu kayak anak-anak, kamu nggak bisa ditinggal bentar aja," Jeno masih melanjutkan, kali ini tawanya agak mereda. "Padahal yang suka maksa itu kamu, tapi kamu bilang kalo aku yang maksa. Kamu cerewet, kamu berisik banget sampe bikin aku risih." 

"Jen, kamu ini muji apa ngatain sih..."

Jeno tertawa kecil, kemudian dia mendaratkan satu ciuman lembut di kening Sang wanita. "Tapi aku suka semua itu. Aku suka kamu yang cerewet, aku suka kamu yang pemaksa, aku suka kamu yang selalu nyusahin aku." 

Ekspresi kesal di wajah Jung Jeha langsung memudar. 

"Tanpa semua itu, aku ngerasa hidupku hambar. Nggak, aku nggak lagi ngegombal atau semacamnya. Jeha, aku jujur."

Ya, Jeha juga tahu jika Jeno jujur saat itu. Sangat jujur. Senyumannya yang teduh dan lembut, telah mampu untuk menjelaskan semuanya. 

Jeno mengambil tangannya yang kurus dan pucat. Meletakkan tangannya di atas tangan pria itu, tangan Jeno yang lebih besar dan kekar. Membandingkan ukuran tangan mereka di udara. 

"Aku mau kamu terus nyusahin aku untuk ke depannya, nggak hanya untuk saat ini, tapi nanti dan selamanya. Jangan berhenti bikin aku risih, jangan berhenti ganggu aku, marahin aku..." 

Seperti ada ingatan yang mencoba untuk menerobos masuk di pikiran Jung Jeha. Seperti ada sesuatu yang mencoba untuk menyingkirkan bayang-bayang gelap Na Jaemin yang membuat pikirannya suram selama ini. Sesuatu yang datang dari masa lalu. 

"...kalo kamu nyuruh aku ke rumahmu nanti aku pasti dateng, kalo kamu ngajak aku main nanti pasti aku jemut. Nggak akan ada yang berubah."

"Apa sekalian nanti... mau nikah?" 

"Hahaha aku ngomong dari sekarang biar kamu nggak kemana-mana, biar kamu inget." 

"Janji ya, nikah sama aku nanti? Suatu saat nanti, di masa depan." 

Jeha memejamkan sepasang matanya, mengambil napas panjang yang membuat dadanya sesak. Ia peluk suaminya, ia delusupkan kepalanya di dada Lee Jeno. 

"Maafin aku, Jen." 

Apanya yang Jeno terus menyakitinya? Pada kenyataannya... dirinyalah yang menyakiti hati pria itu selama ini, selama bertahun-tahun. 

Jung Jeha kau sudah gila. Kau wanita tak tahu diri. 

Jeno mendekap kepalanya, pria itu tersenyum ketika mendengar permintaan maaf menguar dari bibir Sang istri. "Kamu nggak punya salah apapun sama aku, jangan minta maaf." 

Perempuan itu hanya terdiam, menyamankan dirinya dalam pelukan suaminya. Memejamkan mata, mencoba untuk tidur. 

"Besok aku ada jadwal operasi, jadi nggak bisa nemenin kamu check up," suara Jeno tiba-tiba. 

"Em, nggak apa-apa."

"Aku udah minta tolong sama Guanlin. Sebenernya aku mau minta tolong Mark, tapi dia sibuk. Nggak apa-apa, ya?" 

"Iya." 

"Besok pagi katanya dia nunggu di lapangan basket sebelah."

"Eum." 


-----oOo-----


Makam yang terlihat seolah hidup dan hangat bahkan di udara dingin yang bisa membuat darah membeku. Musim salju yang sunyi dan suram. Berdirilah seorang pria di depan makam yang masih baru. 

Dengan sebuket krisan ungu di tangan, dan surat terakhir dari Sang hawa. 

"Jeha-ya... kamu udah janji bakal terus di samping aku. Kamu udah janji... bakal terus nyusahin aku... bikin aku risih, marahin aku..."

Jeno menjatuhkan sepucuk suratnya, dan berderailah tetes air mata bagai hujan. Membiarkan kertas itu mendarat dengan perlahan di depan sebuah nisan.

"Jeha-ya, aku... masih butuh kamu..." 


-----oOo-----


"Pa, aku benci sama dia..." 

Jeno hanya tersenyum pedih melihat anak perempuannya menangis di hadapannya. Anak itu menangis tersedu-sedu. Ujung hidung dan alisnya memerah seperti terbakar. 

Wajah menangis yang membuat Jeno merindukan satu sosok. 

Dia mengusap kepala anak perempuan kesayangannya, lantas berujar. "Nak, papa yakin dia sayang sama kamu."

Lee Jeha menggeleng cepat, memegang tangan Sang ayah di kepalanya. "Aku nggak suka cara dia memperlakukan papa, aku nggak suka gimana dia ngehina papa kayak gitu, aku—"

"Semua kata-kata yang diucapkan Profesor Na sama sekali nggak ada yang salah sayang, kamu bahkan... udah liat dengan mata kepala kamu sendiri, kan?" 

"Nggak," anak perempuan itu masih tersedu, dia duduk bersimpuh di lantai, di samping ranjang Sang ayah. Menempelkan telapak tangan ayahnya yang terasa kasar di wajahnya, suhunya begitu tinggi karena ayahnya sedang demam. 

"Jeha-ya..."

"Aku tau papa pasti ngelakuin semua itu bukan tanpa alasan. Aku tau papa orang seperti apa, aku kenal papa banget, aku... satu-satunya orang di dunia ini yang tau gimana Lee Jeno yang sebenarnya." 

Pria itu tak tahu harus mengatakan apa. Jeno seperti... kehilangan kata-katanya. Dia hanya memandang putrinya dengan raut wajah sedih. 

"Papa adalah satu-satunya orang yang paling aku percaya di dunia, selain itu... sama sekali nggak ada. Jadi, gimana aku bisa percaya sama semua kata-kata Profesor Na?" 

Lee Jeno bersyukur. Di tengah kepahitan dan kesengsaraan hidupnya, dia benar-benar sangat bersyukur pada Tuhan hari itu bahwa dia telah dikaruniai seorang putri, malaikat kecilnya tersayang, setelah ia kehilangan segalanya di waktu yang lalu. 


-----oOo-----


"Profesor Na, selamat! Istri anda melahirkan bayi laki-laki!!" 

Itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidup Na Jaemin. Dia menatap istri dan anaknya bergantian dengan pandangan buram karena membendung air mata. 

Bayi yang masih berlumuran darah itu bergerak di tangan seorang perawat. Tangisannya yang menyenangkan terdengar ke seluruh ruangan. 

Kemudian, Sang Profesor menangis. 

"Kami akan membersihkan bayinya lebih dulu, Profesor."

Pria itu menggeleng cepat, "tidak, kemarikan anakku." Tolaknya. 

Dia bahkan tidak peduli anak laki-lakinya itu akan mengotori jas putih yang dia kenakan, dia bahkan tidak peduli darah pekat itu mengotori wajahnya. Jaemin hanya terus mengelukan satu kata, 'anakku'. 

Menciumi sosok kecil itu penuh sayang sembari bersimbah air mata. 

"Na, aku mau lihat anakku." 

Lee Jeha yang masih sadar meski terlihat pucat, mencoba mengulurkan tangannya yang gemetaran. Jaemin tersenyum, menghampiri Sang istri dan mendekatkan bayi kecil yang masih menangis itu. 

"Gantengnya, kayak kamu," Jeha menyentuh kulit bayinya, menelusurinya dengan jari telunjuk. "Tapi matanya mirip aku."  

Pria itu mengangguk, masih menangis diam-diam. "Mn, dia anakku. Anak kita."

"Oh, aku belum mikirin namanya... apa kamu udah nyiapin nama?" Tanya istrinya. 

Diam Sang Profesor kemudian. Memandangi bayi kecil dalam sepasang telapak tangannya, memandangnya dengan penuh arti. 

Tak berapa lama, pria itu tersenyum. 

"Jeno." 

"Eh?"

"Na Jeno... namanya." 

Itu adalah sebuah nama yang tak akan pernah Na Jeha pikirkan sebelumnya. Dia menatap Sang suami, Jaemin yang begitu bahagia dengan sepasang mata teduhnya. Netranya lekat tertuju ke arah bayi laki-laki itu. 

"Untuk menghormati ayah mertua, dan semoga... anak ini menjadi sosok sepertinya. Na Jeno, cucu pertama Lee Jeno." 


-----oOo-----


"Psikopat brengsek..."

Wanita itu gemetaran. Tak hanya tangannya, tapi seluruh tubuhnya. Dia masuk ke dalam kamar mandi, mengunci pintunya dari dalam. Mengurung diri. Berdiri di depan wastafel, menghadap cermin. 

Tangannya terus menutupi mulutnya sejak tadi— tidak, dia sedang menutupi mulut dan hidungnya karena dia baru saja mimisan. 

Memandang pantulan dirinya dalam cermin, Na Jeha menghela napas frustrasi. Seketika dia menyesal mengapa mengatakan hal seperti itu kepada suaminya. 

Sialnya... tamparan dari Jaemin benar-benar sangat menyakitkan sampai ke tulang. Dia bahkan sekarang mimisan karena tamparan tak main-main itu. Pipinya kebas, dan Jeha merasa bisa ambruk kapan saja. 

Pertengkaran itu benar-benar tak terelakkan, dan Na Jeha sungguh menyesal sekaligus merasa sakit hati di saat yang bersamaan. 

Dia segera menyalakan keran air, membilas wajahnya yang terkotori darah, mencoba untuk menghentikan pendarahan pada hidungnya. 

Saat menyentuh bekas tamparan dari suaminya, perempuan itu berjengit kecil, meringis kesakitan. 

Ah, jika ini orang lain, maka orang itu pasti benar-benar sudah pingsan karena tamparan seorang Profesor Na Jaemin. 

Tapi Na Jeha entah mengapa menjadi sekuat itu. Entah sejak kapan... dia tak lagi selemah dulu. Bahkan sekarang dia tidak menangis. 

Dia hanya... merasa sakit hati. 

Karena perlakuannya sendiri, karena perseteruan dengan suaminya. 

"Kim Taehyung brengsek..." umpatnya tertahan. 


-----oOo-----


Ah, apakah ini sungguh hari terakhir? 

Hari ini harusnya menjadi hari yang paling membahagiakan untuk anak sulung tercintanya. Hari ini, Na Jeno mendapatkan gelar doktornya. Hari ini... dia akan menyerahkan syal yang dia rajut dengan sepenuh hati untuk hadiah kepada anak laki-laki tercintanya. Na Jeno-nya. 

Harusnya setelah ini mereka pergi berlibur bersama. Dirinya, bersama Sang suami dan ketiga anak-anak nakal itu. 

Sakit. Rasanya sangat menyakitkan. Tubuhnya benar-benar terasa sangat remuk. 

Mobil yang ia tumpangi terbalik. Seluruh kaca mobil itu hancur berkeping-keping. Suara mecha yang mengingatkan tentang kadar kerusakan yang mereka alami mulai terdengar putus-putus, sampai akhirnya menghilang. 

Mata perempuan itu setengah terbuka. Dia dapati Sang suami yang tubuhnya pun berlumuran darah, berusaha untuk bergerak meski tak mampu. 

Na Jeha sendiri benar-benar tak bisa melakukan apapun selain berbaring dan menatap suaminya dalam pandangan yang samar. Kesadarannya seperti ingin lenyap, tapi Jeha berusaha mati-matian untuk tetap terjaga. 

Jaemin berusaha untuk menggapai tangannya. 

"J-Je...ha..." 

Itu yang dikatakan oleh suaminya. Jeha mendengar itu, tapi dia bahkan tak mampu untuk menjawab atau bergerak sama sekali. 

Dia bahkan bisa melihat dari pandangannya yang kabur itu, jika suaminya menangis. Ingin menyadarkannya, ingin menyentuhnya, ingin memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. 

"Na, maaf..." 

Entahlah, Na Jeha bahkan tidak mengerti mengapa dirinya meminta maaf di saat seperti ini.

Seperti... kata maaf itu adalah kata di penghujung terakhirnya. 

Kemudian, jantung Na Jeha seperti diremat ketika dia melihat suaminya telah memejamkan mata ketika baru saja ingin menggenggam tangannya. 

Na Jaemin-nya... pergi lebih dulu, tanpa sempat menautkan tangan mereka. 

Lalu ketika sepasang matanya sendiri benar-benar terasa berat, Na Jeha melihat sosok yang sangat familiar. 

Ah, itu sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Jeha tidak tahu apakah dia berhalusinasi ataukah karena dirinya sebentar lagi menemui ajal. Tapi... rasanya seperti benar-benar nyata. 

Itu adalah ayahnya, bersama dengan ibunya dan... Na Jaemin si tunawicara. 

Lee Jeno tersenyum dengan sangat lembut ke arahnya. Ayahnya yang terlihat sangat tampan, lebih tampan dari biasanya. Ayahnya yang mengulurkan tangan ke arahnya. 

Na Jeha menangis dengan tubuhnya yang menjadi kaku.

"...p-pa...pa." 

"Iya sayang, ini papa." 

Meski itu mungkin halusinasi, genggaman tangan ayahnya terasa begitu hangat, sungguh nyata. Sentuhan yang sama sekali tak berubah sejak puluhan tahun yang lalu. 

"JEHA!!"

"JEHAA WOII!!"

"JEHA BANGUN ANJIM UDAH SIANG BUSET LU NGEBO APA SIMULASI MENINGGAL?!!" 

"HAHH?!!"

Sepasang mata itu terbuka lebar. Dadanya berdebar dengan sangat keras seolah-olah jantungnya ingin melompat keluar. Dia berkeringat, napasnya pun tampak memburu. 

Menggeser obsidiannya, dia mendapati seorang anak laki-laki yang sedang mengunyah permen karet, berkacak pinggang di samping ranjangnya, menatap dengan kesal. 

"Jaem, jangan bangunin orang kayak gitu, nanti Jeha jantungan." 

Satu orang lagi masuk ke dalam kamarnya. Jeha menoleh, dengan keadaan yang masih linglung. Seorang pemuda tampan yang tinggi, menggunakan kacamata bening dan seragamnya yang sangat rapi. 

"Jen, jam berapa?" Pertanyaan pertama meluncur dari bibir Jeha. 

"Hah!" Jaemin mendengus tidak menyangka, "jam setengah delapan anjrit!! Dan lu masih asik mimpi?!" 

Jeha mendengus, mulai jengah dengan teriakan Na Jaemin yang benar-benar mirip mesin pemotong rumput. "Lo daripada teriak-teriak keluar deh dari kamar gue anjir." 

"Dih? Ni bocah dibangunin kaga tau terima kasih apa lu? Kalo gue gak masuk pasti lu masih molor ampe siang nanti!" Jaemin sensi. Tidak, dia memang selalu seperti itu. Berteriak pada siapapun dan kapanpun, membuat orang darah tinggi. 

"YODAH BIASA AJA ANJENG!" 

"KOK LU NGEGAS?!" 

"YA LU NGEGAS DULUAN?!"

"LU NGESELIN!!" 

"KOK LU NGATUR?!"

Jeno yang berada di antara Jeha dan Jaemin sepertinya tertekan. Dia menghela napas frustrasi sembari memijat pelipisnya. 

Kemudian pemuda berkacamata dengan eye smile menawan itu tersenyum canggung, "daripada kalian malah ribut, gimana kalo buruan siap-siapnya terus kita berangkat sekolah?" 

Pagi hari itu benar-benar menjadi hari peperangan Jeha dan Jaemin. Jeno sampai melerai mereka lebih dari tiga kali. Jaemin melarang Jeha mandi karena bel masuk sudah sangat mepet, dan Jeha yang sangat mencintai kebersihan tentu saja tidak mau. Kemudian Jaemin akan menjambak rambut perempuan itu dan melarangnya masuk kamar mandi, menyuruhnya untuk langsung berganti seragam kemudian berdandan. 

Beruntung ada Jeno, jika tidak, Jaemin pasti sudah memakaikan seragam Jeha dengan paksa. 

"Ehh? Kak Jaehyun belom berangkat juga?" Jeha agak terkejut saat dia - bersama Jeno dan Jaemin - turun dari tangga menuju lantai bawah. Mendapati keluarganya sedang sarapan bersama. "Eh, ada Kak Guan." 

"Hai," teman sekelas Kak Jaehyun itu tersenyum ke arahnya. "Baru bangun ya?" 

"Hehe..." 

"Haha hehe lu," Jaemin menerobos bahu Jeha hingga anak perempuan itu nyaris limbung ke depan. 

Jeha langsung berteriak kesal "NA!!" 

Jaemin langsung menoleh, dia mengernyit. "Lu ngapain dah manggil gue begitu? Tumben amat manggil marga." 

Oh?

Benar juga, kenapa dia tiba-tiba memanggil Jaemin seperti itu? 

Sial, Jeha tidak mengerti.

Tapi... ini pasti karena dia masih kepikiran tentang hal itu. 

Rasanya... dia seperti habis bermimpi panjang. Benar. Mimpi yang sangat aneh. Sangat...

"Udah deh jangan mulai lagi kalian," Jeno hampir kena mental, dia kemudian membenarkan rambut Jeha yang tampak berantakan. "Kita langsung berangkat aja ayo." 

Jeno mengambil lengannya, menuntunnya dan agak sedikit menyeret karena dia terus terbengong di tempat. 

"Kami berangkat dulu ya, om, tante, Kak Jae, Kak Guan." Jeno membungkuk sopan.

"Iye, adik gue jangan diseret-seret begitu buset dah, awas lecet." —Kak Jae.

"Iya, hai-hati." —Kak Guan.

"Jangan ngebut ya anak-anak," —Bunda Taeyeon. 

Lalu, ketiga anak itu. Jeno, Jeha, Jaemin. Berlari kecil menuju halaman, menghampiri motor kembar berwarna hitam dan biru. Hitam milik Jeno, biru milik Jaemin. 

"Lu dibonceng Jeno lagi?" Jaemin bertanya sembari memakai helm full-face miliknya. 

"Gue trauma dibonceng lo, gila."

Jeha tanpa pikir panjang naik ke motor Jeno, berpegangan pada pria bermarga Lee yang sedang membenarkan jaket kulit hitamnya. 

"Aku juga bakal ngebut ini," ujar Jeno, "semoga kamu nggak trauma, hahaha..." 

"Jen," Jeha memperingati, "kalo kalian gak ada yang bisa dipercaya mending lain kali gue ikut Kak Guan aja sumpah deh." 

"Becanda Jeha," Jeno tertawa, kalem sekali. 

"Eh btw gimana kalo skip kelas pertama aja? Gue laper anjir," Jeha mengeluh. 

Jaemin menoleh dengan cepat, "ulangan bodoh."

"DUH! IYA YA!"

"Dah ntar makan di kelas aja, bunda gue bikin sandwich lebih," Jaemin mengibaskan tangan.

Kedua motor itu kemudian melaju dengan kencang. Meninggalkan pelataran rumah, dengan Jaemin yang mencuri start lebih dulu karena anak itu tidak pernah suka berada di belakang. 

Jeno tahu Jaemin akan selalu mengajaknya balap motor saat di jalan, tapi Jeno jarang sekali menurutinya. Bagi Jeno, keselamatan jauh lebih penting, apalagi sekarang dia membonceng Jeha.

Kak Jaehyun saat marah sangat mengerikan, hei! 

Sepanjang perjalanan pun, Jeha sama sekali tak khawatir akan keterlambatannya masuk ke dalam kelas, atau mengenai ulangan nanti. Dia terus kepikiran mengenai mimpi aneh yang terasa begitu panjang. 

Mimpi yang sangat dalam. 

Kedua sahabatnya sejak kecil itu... menjadi tokoh penting dalam mimpinya. Si dua bersaudara tiri... yang entah mengapa tampak aneh di mimpinya. 

Ah, sudahlah. Lupakan. Itu hanya bunga tidur tidak bermakna. 




Selesai





Hehehe... jadi itu adalah salah satu ending J'sU yang tidak jadi aku pake. Sebenernya cukup membagongkan sih endingnya, aku lumayan suka, tapi agak anu aja... ngeselin hehe. 

yupsie, jadi sejak Dear J sampai After With J, semuanya adalah mimpinya Jeha. Antara dunia J'su dan dunia nyata Jeha, semua sangat berbanding terbalik.

haha... tapi akhirnya ga jadi aku pake ending kayak gini, karena sangat menyebalkan.

Yahh bagaimana menurut kalian :')

Continue Reading

You'll Also Like

55.9K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
70.4K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
85.2K 6.5K 47
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
1.1M 61.4K 65
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...