Mahasiswa Anjay [✔️SELESAI]

By Rose-Maiden

16.7K 6.8K 4.2K

[ BACA SELAGI PART MASIH LENGKAP!!! ] ⚠️PERINGATAN⚠️ TOXIC DI MANA-MANA! DIHARAPKAN PEMBACA DAPAT MENGAMBIL N... More

Prelude
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Landasan Teori
1.4 Pembatasan Masalah
1.5 Perumusan Masalah
1.6 Metode Penelitian
1.7 Pelaksanaan Penelitian
1.8 Hasil Penelitian
1.9 Orientasi Kancah
Bab II Kerangka Teoritis
2.1 Tinjauan Pustaka
2.2 Studi Penelitian
2.3 Prinsip Teoritis
2.4 Anotasi Bibliografi
SPESIAL PART
2.5 Pengertian Anotasi
2.6 Struktur Umum
2.7 Double Degree
2.8 Reviu Artikel
2.9 Artikel Berbasis Penelitian
Bab III Analisa Pamungkas
3.1 Analisis Sintesis
3.2 Strategi Penunjang Modul
3.3 Implementasi
3.4 Penunjang Prosedur
3.5 Probabilitas Subjektif
3.6 Prohabilitas Teknis
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
4.2 Rekomendasi
EPILOGUE [SPECIAL Promnight]
[END] Special Promnight (Part 2)

3.7 Argumentati Gratia

127 30 1
By Rose-Maiden

Janganlah kau tunjukkan kebaikanmu ke sembarang orang, sebab yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu.

.

.

.

Sila berspekulasi ....


Pagi ini Rinjani tengah duduk di taman bersama Maharani yang mendampinginya. Rinjani memuaskan pandangannya untuk melihat beberapa perawat dan dokter berlalu lalang. Kali ini dia tidak ditemani suster bertubuh gempal itu lagi. Padahal Rinjani sangat merindukannya, rindu saat tubuh gempalnya terguncang saat tertawa. Kondisinya lumayan membaik mungkin besok dia diberi ijin untuk pulang.

"Bagaimana kondisimu? Apa jauh lebih baik?" tanya Maharani.

Rinjani menyeringai. "Ya begitulah."

"Lain kali jangan memaksakan diri lagi," tutur Maharani seraya memberi pelukan hangat ala saudari.

"Kau lucu Maharani." Rinjani membalas pelukan Maharani.

"Jani?" panggil Brian membuat Rinjani terkesiap karena kedatangannya yang mendadak.

"B-Brian ...?" Rinjani tergagap.

"Kalian berdua mirip ya? Sampai bingung mana Jani yang asli sama mana yang bukan Jani. Untung kenalnya udah lama jadi enggak perlu repot-repot mencari ke mana." Brian tertawa kemudian menyalami Maharani.

"Lo pikir gue fotocopy-an?!" gerutu Rinjani sebal.

"Maharani," ucap Maharani sedikit membaur.

"Brian. Kamu punya kembaran, Jani? Kenapa enggak bilang sama kita?" Brian mengambil duduk tepat di samping Rinjani. Cewek itu menundukkan kepalanya secara refleks.

Rinjani menggigit bibir bawah, mengepalkan tangan, dan sesekali jemarinya mencubit punggung Brian. Sebuah pemberian isyarat kepada pria itu untuk menjaga sikapnya yang sok akrab. "Sok care banget sih! Risih gue!"

Tanpa berkata-kata Brian langsung mengambil tindakan. Ia berlutut di hadapan Rinjani, menggamit kedua tangannya yang terkepal, dan menatapnya lembut. "Kenapa Jani kamu cemburu? Aku enggak bersikap sepeduli ini sama cewek lain selain kamu. Tentang Maharani, dia saudara kamu kan? Wajar saja aku memperlakukannya demikian."

"Ngaco deh, Yan!" Rinjani menarik paksa pegangan Brian.

Brian mengusap lembut pipi Rinjani. "Bukan, Jani. Aku cuma memberi penjelasan."

Merasa jenuh serta dibiarkan seperti obat nyamuk, Maharani pun angkat bicara. "Dia temanmu, Rin?"

"Status kita memang sebatas teman tapi mengenai perasaan lain halnya lagi. Bukankah begitu, Jani?" Jawaban Brian sukses membikin suasana hati Rinjani berkecamuk.

"Briaaaannnn ...," geram Rinjani. Sungguh hari demi hari kelakuan Brian di luar dugaan. Cowok itu berubah 360° mulai dari gaya bicaranya sampai perhatiannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana reaksi suster bertubuh gempal dan teman-temannya jika Brian seperhatian ini terhadap Rinjani.

Maharani mengangguk paham. "Jadi begitu ya."

Brian beranjak. "Oh iya Jani ada seseorang yang ingin menemuimu tapi bukan aku."

Rinjani menelengkan kepala."Siapa?"

"Sabar sebentar lagi datang."

Sosok yang disebut-sebut Brian ternyata sudah bertandang. Tubuhnya yang tinggi nan gagah, jas hitam membalut di tubuhnya, serta potongan rambutnya yang kelimis begitu sedap dipandang. Dialah ketua BEM, Fathur.

"Jani, aku balik dulu ya ...," pamit Brian.

"Aku juga mau balik, Rin. Merapi sudah jemput soalnya, besok aku ke sini lagi kok. Bantuin kamu beres-beres," imbuh Maharani.

"Lah kok pada--" kalimat Rinjani terputus. Brian dan Maharani sudah menghilang terlebih dahulu sebelum dialognya terselesaikan. Dipikir-pikir lagi percuma saja Rinjani marah malah disangka orang gila nantinya. Sabar Rinjani, sabar. Tarik napas buang, tarik napas buang, jangan ditahan nanti bahaya. Batin Rinjani.

"Gimana kondisi lo? Besok udah mau check out ya?" Seperti biasa orang-orang yang menjenguknya pasti bertanya mengenai kondisinya. Salah satunya Fathur yang menanyakan hal yang sama.

"Ya, udah baikan kok. UGM gimana kabarnya?"

"Seperti biasa, kita sedang menyiapkan ospek buat maba tahun ini."

"Masalah itu gimana?"

"Gue berusaha cari penggantinya tapi kalau lo berkenan gabung, boleh. Memang tujuan gue ke sini selain pen tahu kondisi juga ngajakin lo sama temen-temen lo buat join BEM. Sekalian sebagai tanda terima kasih. Mau kan?"

"Sorry, Hur. Bukannya gue nolak cuma aneh aja gitu loh. Masa Mahasiswa Anjay tiba-tiba gabung di BEM? Wah bakal jadi bahan gosip baru nih. Apalagi kita masih musuhan kan?"

"Hahaha ... pantas saja kalian mahasiswa paling antik. Well gue tunggu konfirmasinya." Fathur tergelak sambil mengacak-acak puncak kepala Rinjani.

"Ya ... ntar gue tawari mereka, siapa tahu mau."

***

"Sudah enggak ada yang ketinggalan, Rinjani?" tanya Maharani yang agak terheran. Cewek itu menenteng beberapa camilan yang terbungkus kantung plastik. Barang bawaan Rinjani hanya sekelumit. Tak ada barang yang dibawa dari rumah. Mulai dari baju kotor, selimut, atau bahkan yang lainnya.

Ya, Rinjani bergantung pada rumah sakit. Jadwal makan sampai minumnya pun pihak rumah sakit yang mengurus semua. Tak ada orang tua atau keponakan terdekatnya yang bersedia singgah sementara untuk merawat Rinjani. Makanya tak sedikit suster yang membicarakannya seusai mengantar makanan di kamar Rinjani.

Meski terkadang ia merasa kesepian, Rinjani teringat suatu hal bahwa di dunia ini tak ada yang namanya kesepian. Tuhan menciptakan manusia dengan berpasang-pasang hanya saja dengan kekosongan itulah yang menyebabkan jiwa manusia merasa sunyi. Padahal di sana terdapat delapan milyar populasi manusia yang menduduki bumi dengan total keseluruhan.

Rinjani menggeleng. Hari ini merupakan perpisahannya terhadap kamar medis berbau obat-obatan menyengat. Juga perpisahan untuk perawat bertubuh gempal. Sebentar lagi ia tak bisa mengunjungi untuk kedua kalinya. Kemeja merah kotak-kotaknya pun kembali ia kenakan. "Kurasa tidak."

"Bagaimana dengan ponselmu?"

Rinjani mengingat-ingat kembali setelah kejadian lomba lari waktu itu. Dia pulang dari kampus langsung ke Cafetaria, membawa tas, kemudian meninggalkannya begitu saja. Setelah ditinjau ulang dua hari yang lalu Rinjani tak memegang ponsel. Semua alat elektroniknya, ponsel, laptop, dan kabel charger berada dalam ransel. "Mungkin di Ilya."

"Apa dia temanmu?"

Rinjani menggeleng lagi. "Bukan, dia rekan kerjaku."

"Baiklah, ayo kita pulang!"

Sungguh luar biasa alur kehidupannya. Bisa dibilang dia merupakan seorang wanita yang pemberani. Tidak tahu mati. Seluruh rintangan ia hadapi bagai batu loncatan. Enggan peduli celotehan makhluk Tuhan. Terus menerjang arus kehidupan layaknya berjuang diantara peliknya badai petir di tengah samudra. Hanyut. Terombang-ambing dengan keseimbangan yang minim. Sekali tenang tiada gelombang menyisakan memori merah jambu yang penuh kenangan.

Memilih kenangan itu untuk disimpan menjadi memori eksternal dengan melupakan kejadian yang luruh terbawa angin. Menjadi orang bodoh adalah hal yang paling sempurna untuk melarutkan sisa-sisa warna merah jambu pada kenangan bernuansa percintaan. Menarik ulur kembali ingatan-ingatan yang membelenggu kebebasan. Dan menjadikan dirinya terjebak dalam nuansa kegelapan.

Sekilas nampak seperti penyiksaan terhadap jiwa seseorang, menyakiti diri sendiri dengan kenangan pahit, dan cara yang paling ampuh untuk melakukan self harm tanpa mengeluarkan banyak darah. Serta cara halal untuk membunuh diri secara perlahan. Namun, tak semua kejahatan itu sesuatu yang cela. Melainkan melindungi jiwa dari brutalnya dunia.

Bukan perkara yang mudah jika korban sudah tertelan penyakit mental dalam dirinya. Rela bertarung mati-matian demi bisa bertahan hidup dan pulang dengan selamat. Sayangnya sekelumit insan pun tak mampu menyadarinya. Seolah manusia menilai dari sudut pandang yang negatif saja. Menganggap remeh serta enggan menoleh pun dalam usaha yang ditempuhnya. Hanya melihat dengan sebelah mata dengan menganggapnya sebagai permainan sandiwara.

Dibalik semua itu, mereka sama seperti kita para manusia, para pembaca, dan para makhluk Tuhan. Mereka lemah, tidak berdaya, berteriak, meronta-ronta, lumpuh layu, berdarah-darah, dan menahan perihnya luka di dada yang berusaha bahagia di atas panggung drama. Menari dengan lemah gemulai di atas mawar berduri bersama kegelapan yang menyamar sebagai bayangan. Mereka mampu tersenyum gembira.

🎼 Please, carry me, carry me, carry me home .... ♪
♪♪ I've spent all of the love I saved .... ♩♪
🎶We were always a losing game .... ♪♪♪


"Rinjani, kamu tinggal di rumah sekecil ini?" Ucapannya seolah dipenuhi rasa keraguan. Tubuhnya terpaku, mulut Maharani ternganga, bola matanya membulat.

"Iya, ini amanah dari ibu kos yang pernah kubantu dulu dan yang paling penting gratis." Rinjani tersenyum dan mulai memutar kunci.

Ceklek!
Pintu terbuka. Rinjani melangkahkan kakinya masuk. Dia merasa malu dengan tempat yang disinggahinya kini. Sempit, terbatas, dan cukup. Mau bagaimana lagi, Rinjani tidak memiliki tempat tinggal. Bahkan untuk makan saja kadang ngutang kalau dia kalah judi.

"Maaf ya, Maharani. Aku tak bisa menyediakan tempat yang layak untuk kau tinggali." Rinjani mengambil beberapa tas keresek yang dibawa Maharani lalu meletakkannya di belakang pintu.

Maharani menggeleng cepat. "Tidak kok, Rinjani. Bisa menemukanmu saja sudah anugerah terindah."

"Ah iya! Bagaimana kalau kita ke Cafetaria? Aku akan memperkenalkanmu dengan Ilya sekalian mengambil barangku yang ketinggalan."

"Baiklah, akan kupesan taksi online." Maharani mengeluarkan ponselnya.

"Tidak perlu," cegah Rinjani. "Cukup berjalan beberapa menit saja nyampe kok."

"Tapi kau kan baru sembuh?! Aku tak ingin kau sakit lagi!" Maharani tidak terima.

"Ya, aku sudah biasa ke mana-mana jalan kaki jadi itu tidak masalah."

"Kau serius?" Maharani memastikan.

"Tentu saja! Kau pikir aku bercanda? Ini bukan saatnya untuk bercanda."

***

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Rinjani membuka topik pembicaraan. Biasanya Rinjani tidak menyukai bagian mencari basa-basi tapi karena ada saudarinya sebisa mungkin dia terlihat sok akrab. "Kau mungkin akan suka dan bisa berkawan baik dengan Ilya, dia itu orangnya asyik."

"Oh iya?" Maharani menatap lawan bicaranya seraya menopang dagu.

"Tentu saja. Dia seperti penasihat tahu, saat aku meminta saran mengenai cinta--"

"Maksudmu Brian, orang yang kemarin mengaku cuma teman ternyata memiliki rasa yang berbeda?" Maharani menyela.

Rinjani tergagap pandangan juga hatinya kacau. Dia berusaha mencari alasan. Nihil. Tiada alasan yang kuat untuk menutupi ini. "Ya, bukannya menolak atau mengeles hanya saja dia ...."

"Eh kak Rinjani ... tunggu--apa?! Kenapa kak Rinjani ada dua?" Ilya tiba-tiba muncul sekaligus terkejut, dengan nampan berisi frappuccino dan sepiring cheese cake di tangannya. Rinjani dapat bernapas lega setelah Ilya mengantarkan pesanannya sekalian mengambilkan barang yang diminta, sebuah ransel.

Rinjani tertawa geli. "Hahaha gak apa-apa. Emang semua orang ngiranya gitu. Maharani perkenalkan ini Ilya rekan kerjaku dan Ilya perkenalkan dia Maharani saudariku."

"Eh, jadi begitu yaa ... silakan kak." Ilya membungkuk, meletakkan frappuccino dan cheese cake itu di atas meja. Dilanjutkan menyerahkan ransel Rinjani.

"Ilya, lo ada waktu senggang enggak? Kalau ada tolong temenin kembaran gue sebentar. Gue mau ke sana." Rinjani berbisik. Dagunya terangkat mengarah pada sekelompok orang minim akhlak, siapa lagi kalau bukan Mahasiswa Anjay.

Tanpa pikir panjang Ilya langsung menyetujuinya. "Oke kak! Lagian pelanggan di sini enggak begitu ramai. Ini kan hari Senin."

"Gue salut sama lo." Rinjani menepuk pundak Ilya. "Mahar, aku tinggal dulu bentar ya ... biasa urusan bisnis."

"Ih Rinjani!" seru Maharani menolak.

Rinjani beranjak. "Bentaran doang kok ... itu ada Ilya yang nemenin."

Rinjani sengaja memisahkan diri dari teman-temannya dengan alasan supaya Maharani tidak digoda Gusti. Melihat kemarin waktu di rumah sakit cewek itu nyaris terkena jebakannya. Ternyata Rinjani memiliki kasih sayang dalam jiwanya. Keputusan yang bijak Rinjani.

Kali ini dia sedang menyapa para rekannya dengan beradu kepal, hi five, atau tos. Lihat saja kafe yang tadinya hening jadi riuh karena kehadiran sang ketua.

"Weyy Rin! Lo kapan pulang? Gak ngabarin kita-kita nih?" kelakar Dora.

"Iya nih, tau gitu kita bantuin." Zeline menimpali.

"Bantuin apa?! Bantu ngabisin makanan, iya!" ketus Rinjani bersama tawa jahatnya keluar.

"Lo tau gak? Selama di rumah sakit ada yang kangen sama lo." Gusti berkacak pinggang seraya melirik Brian.

"Eh iya! Bol, lo ke mana aja? Masa temennya sakit gak dijenguk." Jamal mengompori lalu lengannya bertengger di atas pundak Brian.

"Hai Yan!" sapa Rinjani dibalas senyum tipis oleh Brian.

Cewek itu menduduki sofa panjang dengan bertongkak lutut seraya mengeluarkan korek api dan kotak hitam berisi selusin rokok. Seolah menolak peduli dengan kesehatannya. Dasar Rinjani kebiasaan merokoknya sama sekali tak berhenti. Padahal dia sendiri barusan keluar dari rumah sakit.

"UGM gimana gan kabarnya? Ada tugas gak?" tanya Rinjani sambil mengisap rokoknya.

Gusti nyengir. Tak biasanya cewek itu bertanya soal tugas. "Tumben nanya tugas? Kerasukan jin ya?"

Rinjani melambungkan asap rokoknya yang menyatu dengan udara. "Ngaco lo!"

"Eh, Rin ... lo tau gak?" Dora tiba-tiba duduk di samping Rinjani, merapatkan tubuhnya, dan mengambil ponselnya.

"Enggak." Rinjani menggeleng.

"Semenjak kejadian itu kita jadi terkenal, Rin." Dora menggoyangkan pundak Rinjani.

"Masa? Kok enggak ada wartawan ke mari?" kata Rinjani tidak percaya. Sementara Dora mengembuskan napas seraya menatap Gusti dan Jamal dengan wajah memelas. Nasib sangat punya kawan tidak peka.

"Udah yang sabar," ujar Jamal.

"Ini ujian," timpal Gusti.

Rinjani memerhatikan gerak-gerik Brian yang sibuk dengan beberapa kertas di tangannya. Karena penasaran cewek itu pun langsung menyambar kertasnya. Brian terserentak. Ingin sekali memakinya. Namun, setelah apa yang ia lakukan di rumah sakit cowok itu cuma melirik Rinjani tanpa mengeluarkan kata.

"Proposal skripsi?" tanya Rinjani bingung, dilanjutkan dengan mengisap rokoknya.

Brian mengiyakan. "Iya."

Rinjani membuka lembaran itu. Dan betapa terkejutnya dirinya saat kertas yang ada di dalamnya penuh coretan pena merah. Rinjani tergelak. Dia tertawa dengan maksud menghina. "Hahaha kok penuh coretan gini?"

Brian mendecih. "Ck!"

Tiba-tiba Rinjani teringat dengan kejadian di perpustakaan kala itu. "Kualat kan lo, makanya jangan suka coret-coret esai orang."

"Rinjani!"

Kafe yang sebelumnya ramai mendadak langsung hening karena seruan seorang gadis. Pun dengan rekan-rekan Rinjani. Pandangan mereka tertuju pada gadis itu. Dirinya menggerutu kesal, mengerutkan kening, dan menghentakkan kaki.

Rinjani melongo, matanya terbelalak, serta tercengang. "Maharani ...."

"Aku enggak percaya ... kamu merokok?"

"Maharani ini enggak seper--" belum sempat Rinjani menyelesaikan kalimatnya, Maharani keburu pergi. Secepat mungkin Rinjani beranjak kemudian menyusulnya.

Di sisi lain, seketika otak encer Gusti terlintas sebuah ide yang brilian. "Guys, mungkin gue ngoceh ini terdengar sepele tapi semua ini tentang Rinjani ...."

***

Coming soon ...

DEAR READERS

TITIPKAN PENGALAMAN MEMBACA KALIAN DI KOLOM KOMENTAR!

Continue Reading

You'll Also Like

36.3K 6.8K 47
[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan...
117K 9.8K 34
(PART MASIH LENGKAP) Amazing cover by @kamubiru Tak ada kata balikan sama mantan di dalam kamus Uyaina, kalau sudah putus ya putus saja. Sepanjang s...
407 87 22
Kisah ini berawal dari pertemuan tidak sengaja oleh dua remaja berbeda jenis. Utari yang menjabat sebagai ketua osis di sekolah barunya membuat Adika...
58K 49.5K 45
Aldino Aditama dan Sena Agustin telah berpacaran selama 2 tahun, sayang cinta mereka harus kandas karena Alfito Aditama sang adik sekaligus kembaran...