THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP...

By q1dzncvt

1K 274 274

⚠ CERITA INI DIBUAT UNTUK MENGHIBUR PEMBACA YA BUKAN UNTUK DICURI! :D ⚠ BAHASA BAKU ⚠ IT'S JUST FANFIC, BE A... More

PROLOG
» 1 • Life as College Student
» 2 • Package
» 3 • Damn Kids
» 4 • New
» 5 • Presentation
» 6 • The Shadow
» 7 • Nice Beginning
» 8 • The Tour and The Call
» 9 • Agent Al
» 10 • Alijen Busy Jefferson
» 11 • Ballroom
» 12 • The First
» 13 • Europe Tour
» 14 • We Young
» 15 • There's Nothing Here
» 16 • Tell The Truth
» 17 • We Got You, Alijen
» 19 • Bad News
» 20 • Decision
» 21 • The Battle of Ship

» 18 • So, This is Me

20 10 1
By q1dzncvt

Aku membuka kedua bola mataku secara perlahan. Aku pusing sekali. Seluruh badanku terasa remuk. Mataku masih beradaptasi dengan cahaya sekitar. Tempatku berada saat ini terang sekali, membuat mata silau.

"Akhirnya kau siuman, Jen."

Suara itu ... itu adalah suara yang sama seperti yang aku dengar terakhir kali sebelum semuanya berubah gelap. Penglihatanku sudah normal. Aku bisa melihat dengan jelas sekarang. Aku pun mendapati sosok Jay duduk pada sebuah single sofa yang ada di samping tempatku berbaring dengan wajah sumringah.

"Jay?" ujarku lirih.

Jay mengangguk. "Semuanya, Jen sudah siuman," ucapnya sambil menekan sebuah tombol di dekat tempatku berbaring.

Sekelebat bayangan tentang kejadian terakhir yang menimpaku membuatku tersadar bahwa seharusnya aku berada di tengah kekacauan pertempuran, bukannya di atas kasur yang empuk. Alam bawah sadar membuatku reflek beranjak duduk.

"Jangan duduk dulu, Jen──"

"Argh!" Aku meringis kesakitan. Jay pun dengan sigap membantuku untuk berbaring kembali.

"Luka di perutmu masih basah. Kau tidak boleh banya bergerak dulu sekarang," ujar Jay setelah membenarkan bantalan tidur agar aku dapat berbaring dengan nyaman.

Mendengar hal itu membuatku spontan menyentuh perutku sendiri. Benar, ada perban yang melilit perutku sekarang. Aku jadi teringat ketika Jane menusuk perutku dengan belatinya.

Tunggu!

"Pukul berapa sekarang?" tanyaku pada Jay.

"Sebelas malam."

Aku mendongak dan menatap sekitarku dengan bingung. Aku seperti berada di sebuah kamar hotel supermewah. Namun anehnya, di samping kasurku terdapat jendela. Yang membuatnya aneh karena jendela itu berbentuk seperti jendela pesawat. Tidak mungkin aku ada di pesawat, kan?

"Kau ada di dalam jet pribadi Keluarga Ziv, keluarganya Cedric."

Aku menoleh ke Jay. Sahabatku itu seperti tahu betul apa yang sedang kupikirkan. Dan persis setelah itu, pintu kamar tempatku berada dibuka dari luar, memunculkan sosok-sosok yang sangat familiar bagiku. Rashad, Hugo, serta ... Mark, Cedric, dan bahkan Jill!

Rashas dan Hugo naik ke atas kasur tempatku berbaring. Mereka duduk di kedua sisiku. Cedric dan Jill duduk berdampingan di sebuah sofa yang lebih besar. Sementara Mark memutuskan berdiri.

"Bagaimana kondisimu, Jen?" tanya Rashad dan Hugo nyaris bersamaan.

"Entahlah, Rashad, Hugo. Semua ini terlihat membingungkan," jawabku dengan suara rendah. Tenagaku perlahan pulih.

"Well, sebenarnya kamilah yang lebih kebingungan sekarang."

Aku menoleh ke Cedric.

"I mean, siapa yang tidak terkejut melihatmu dengan kostum hitam-hitam aneh itu? Juga dengan semua senjata dan perlatan canggih yang tersimpan di baliknya," Cedric menunjuk pada meja yang berada di dekatnya. Semua peralatanku tergeletak di atasnya.

"Serta fakta bahwa kau berada di dalam kekacauan yang ada di Venesia, berkelahi dengan tiga orang tak dikenal, lalu perutmu ditusuk, dan kau ditinggal seorang diri dalam keadaan pingsan," tambah Cedric kemudian.

"Kalian ... melihatnya?"

"Ya, kami melihatnya," Jill menjawab.

"Semuanya?"

"Semuanya."

Aku terdiam.

"Dari awal aku sudah curiga denganmu, Jen."

Aku menoleh ke Jay.

"Fakta bahwa kau sering menghilang secara mendadak beberapa waktu terakhir. Kau yang semakin aneh tiap harinya, kau yang berubah jadi misterius, penuh rahasia. Setiap aku melihatmu ada saja luka baru di wajahmu. Juga dengan kebiasaan menyelinapmu setiap malam di asrama."

"Apa maksudmu?"

"Kau pikir aku tidak tahu kalau setiap malam kau selalu menyelinap keluar diam-diam dari asrama dan baru kembali menjelang pagi? Dan, oh, jangan lupa kalau kau pernah kepergok olehku ketika kau baru kembali dari keluyuranmu itu. Kau ingat malam itu, Jen?"

Aku tentu saja ingat. Itu menjadi salah satu malam yang paling mendebarkan karena aku tertangkap basah oleh Jay ketika baru kembali dari markas N.I.A. pada dini hari.

"Juga dengan kejadian selama karyawisata," Rashad angkat bicara. "Kau sering memisahkan diri dari rombongan. Aku juga sering melihatmu berbicara sendiri seperti sedang berkomunikasi dengan seseorang. Museé d'Orsay, Koloseum, Festival Topeng Venesia. Kau selalu menghilang persis di saat-saat rentetan kejadian tak menyenangkan itu terjadi."

"Dan tentunya kejadian hari ini."

Aku menatap Hugo. Kali ini anak itu yang berbicara. Sementara Mark, Cedric, dan Jill menyimak dengan seksama.

"Aku tahu ada yang tidak beres padamu sejak kita berada di kereta saat perjalanan ke Venesia. Maksudku, kau bertindak seperti bukan dirimu, Jen. Tiba-tiba saja kau mengucapkan sebuah kalimat yang sentimental sekali. Aku mungkin yang paling santai di antara kalian, tapi aku selalu memperhatikan. Kau pikir aku tidak tahu, heh, kalau kau sering memperhatikan kami diam-diam? Juga saat di festival. Tiba-tiba kau mengajak rombongan untuk mengunjungi sebuah photobooth. Alijen yang aku kenal tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Dari yang sebelumnya melankolis sekali di kereta kemudian berubah jadi sok akrab di festival. Itu bukan gayanya Alijen Jefferson."

"Dan aku sangat memuji trikmu dengan benda ini, Jen," Jay menyodorkan sebuah barang yang aku kenali. Itu adalah hologram pengganda realitas yang aku gunakan ketika di festival.

Aku meneguk salivaku dengan susah payah.

"So, do you have something that you wanna say to us?" tanya Mark.

Aku menatap keenam temanku itu satu persatu. Mereka sejak tadi tak mengalihkan pandangan mereka dariku. Aku juga sudah tidak punya pembelaan apapun lagi untuk mengelak. Pada akhirnya, tidak ada bangkai yang tidak tercium baunya, kan?

Aku menghela napas pasrah. "Aku sudah tidak punya alasan untuk mengelak. So, this is me."

***

Jet pribadi Keluarga Ziv membawa kami terbang ke Madrid, Spanyol. Jay telah menceritakan bahwa Mark, Cedric, dan Jill bisa ada di Venesia karenanya. Jay mengaku sudah curiga denganku saat tiba-tiba mengajak rombongan ke photobooth hingga ia dengan Rashad dan Hugo memilih untuk kabur dan mengikutiku. Aku, Rashad, Hugo, dan Jay juga memutuskan untuk melupakan karyawisata. Orang suruhan Cedric akan mengurus soal kepergian kami pada Mr. Jason. Aku segera dilarikan ke rumah sakit untuk menangani luka di perutku. Sepuluh jahitan kuterima. Rekor baru untukku yang dari kecil tidak pernah masuk rumah sakit.

Malam itu akhirnya aku menceritakan semuanya pada Dreamies setelah aku mendapatkan ruang rawat inap. Lagi-lagi Cedric yang menagani soal semua keperluanku. Aku merasa sangat berhutang budi padanya. Dan seperti yang dapat ditebak, mereka tercengang. Walaupun sudah bisa menebak sebagiannya, mendengarkan keseluruhan cerita tetap saja membuat mereka terkejut. Terlebih saat aku menceritakan tentang kekacauan apa yang akan terjadi jika 'The Main Seven' berhasil dikumpulkan.

Mereka terpaku dengan napas tertahan setelah aku selesai menceritakan semuanya.

"Itu ... gila," Mark berujar pelan. Dia terlihat tidak tahu harus memberi respon bagaimana.

"Aku kira hal seperti itu hanya ada di film," sahut Rashad sama pelannya. Jika saja situasinya berbeda, Hugo pasti akan tertawa melihat Rashad yang kelewat polos.

"Banyak yang seperti itu di realita. Kau saja yang tidak tahu," timpal Cedric acuh tak acuh.

"Kita tidak bisa membiarkan itu semua terjadi," kata Hugo. "Apakah kita akan menyerah begitu saja?"

"Aku tidak yakin kalian akan sanggup menghadapi musuh."

Semua orang kini menatap ke arahku.

"Apa maksudmu?" tanya Jay.

"Kau tidak akan menduga ini bahkan dalam fantasi terliarmu sekalipun, Jay."

Mereka berenam saling lirik.

"Kalian ingat tujuh orang yang mengepungku sebelum kalian menyelamatkanku?"

Keenam temanku itu mengangguk serempak.

Aku menatap mereka satu persatu. Kerongkonganku tercekat, lidahku terasa kelu Aku tidak tega mengatakan ini. Terutama saat aku menatap wajah Rashad, Hugo, dan Jay──ketiga sahabatku sejak awal masuk kuliah.

"Mereka siapa, Jen?" tanya Rashad.

"Inti dari Tim Elite Black Room. Jajaran anggota dengan level kualitas dan kemampuan paling tinggi."

"Lalu kenapa kau mengatakan kami tidak akan sanggup menghadapi mereka? Maksudku, di luar fakta kalau mereka adalah anggota inti tim elite?" tanya Hugo.

Aku susah payah menelan saliva. "Karena salah satu dari mereka adalah Nathalie, Hugo."

Hugo terdiam.

"Tiga lainnya adalah Yolanda, Scarlett, Margareth."

Mark, Rashad, dan Jay terdiam.

"Dan dua sisanya adalah kekasih dan tunangan kalian, Cedric, Jill. Kylie dan Zoe."

Cedric dan Jill terdiam.

Aku mengepalkan tanganku sekuat tenaga hingga buku-buku jemariku memutih. Rasanya seperti ada palu godam yang menghantam kepalaku dengan keras. Dadaku sesak.

"Dan yang terakhir, pimpinan mereka, yang dipilih karena paling mematikan di antara semua prajurit yang Black Room miliki ... " Aku mengambil napas dalam-dalam.

"Dia Jane, gadis yang aku suka."

Aku menunduk. Aku tak sanggup melihat reaksi teman-temanku. Terutama Rashad, Hugo, dan Jay. Setahun tinggal di unit asrama yang sama membuatku mengenal mereka jauh sekali. Mereka punya nasib asmara yang berbeda. Rashad tenggelam dalam egonya dan tak pernah bisa menyatakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Sedangkan Hugo akan mengutuk dirinya sendiri jika sampai pertemanannya dengan Nathalie hancur hanya karna keinginannya untuk memiliki gadis itu seutuhnya. Sementara Jay, Scarlett adalah semangat baginya. Bersahabat dengannya membuatku mengetahui fakta bahwa Jay terlahir dari keluarga broken home. Keluarganya tidak seharmonis seperti yang terlihat. Jika bukan karena Scarlett, jika bukan karena cintanya pada gadis itu, Jay tidak akan pernah mau mengenyam bangku perguruan tinggi untuk memenuhi keinginan ayahnya yang berwatak keras.

"Jadi ... mereka selama ini menipu kita?" tanya Hugo lirih. Aku mengangguk pelan.

Mark, Rashad, Hugo, dan Jay terlihat murung. Cedric sendiri, entahlah, aku tidak tahu ekspresi apa yang ia berikan. Tidak terbaca.

"Pantas saja."

Eh?

Aku menoleh menatap Jill yang wajahnya sudah tidak secemas tadi saat aku menyelesaikan ceritaku. Ekspresinya berubah. Tidak dapat diartikan.

"Sejak awal aku berpacaran dengan Zoe, gadis itu tidak pernah mau terbuka tentang kehidupannya. Satu-satunya yang ia ceritakan padaku hanyalah ia yang besar di sebuah panti asuhan. Tapi pakaian yang ia pakai selama ini selalu branded. Padahal dia tidak bekerja," tutur Jill. "Aku bahkan sempat mengira dia bermain di belakangku. Punya sugar dady, sejenis itu."

"Bukankah Zoe itu keponakannya Tuan Roberto?" tanyaku. Aku ingat aku pernah membahas soal itu dengan Rashad, Hugo, dan Jay di bandara sebelum berangkat karyawisata.

Jill menggeleng. "Itu hanya rumor, Jen. Hoax yang sengaja dibuat oleh kaum cocoklogi kurang kerjaan. Tuan Roberto bisa dinyatakan bersih dan tidak ada sangkut pautnya dengan Black Room karena Zoe bukanlah keponakannya."

"Aku jadi tidak heran sekarang kenapa dulu keluarga Kylie sangat ingin menjodohkannya denganku," ujar Cedric. "Terima kasih telah memberitahuku, Jen. Aku tahu sekarang. Orang-orang yang menyambutku ketika aku datang ke rumah Kylie untuk melamarnya dulu pastilah bagian dari Black Room. Itulah kenapa mereka agresif sekali membujuk Papi untuk menandatangani kontrak perjodohan. Derita orang kaya. Mereka pasti sengaja memanfaatkan kontrak itu supaya mereka mendapatkan suntikan dana untuk bisnis gelap mereka. Mengingat untuk membangun sebuah markas baru jelas butuh modal besar."

"Kenapa kau bisa berpikiran ke sana?" Meskipun wajahnya masih murung, Mark memutuskan bertanya karena penasaran.

Cedric terkekeh. "Papiku masuk ke dalam daftar sepuluh orang terkaya di China, ingat itu. Saingan dan musuh yang Papi punya itu banyak. Papi bekerja sama dengan agen intelijen terbaik di China untuk membantu melindungi perusahaannya supaya tidak terancam bahaya. Aku sudah kenyang dengan semua itu dari kecil."

Aku mengangguk, masuk akal.

"Baiklah. Siapa yang mau ikut denganku ke kantin rumah sakit? Aku lapar. Jen juga butuh istirahat untuk memulihkan tubuhnya," kata Cedric.

Kelima sahabatku mengekori Cedric menuju kantin rumah sakit. Namun sebelum semuanya benar-benar pergi, aku menahan langkah ketiga karibku──Rashad, Hugo, dan Jay.

"Aku sungguh minta maaf pada kalian. Aku seharusnya menyadari semuanya dari awal sebelum semua ini terjadi," ujarku penuh penyesalan.

Jay menggeleng. "Bukan salahmu, Jen. Kau tidak perlu menyalahkan diri sendiri."

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," sahut Rashad sambil tersenyum.

Hugo ikut tersenyum. "Istirahatlah, Jen."

Aku termangu setelah pintu ruanganku tertutup.

Semuanya sekarang sudah terungkap.

hellaw it's me fern!

Makasih udah mau baca sampai chapter ini :)

Apa kabar kalian hari ini? Hope u have a nice day >3

Gimana gengs sama chapter ini?

LEGA YA AKHIRNYA TEMEN²NYA ALIJEN UDAH TAU, DAH GK PERLU TIPU² LAGI :'D

Maaf yoo kalo ada kesalahan² gitu. Entah typo, ejaan yang salah, dsb. Aku masih belajar di dunia kepenulisan ini.

Kalo udah mampir, tinggalin jejak sabi kali ya? Biar ada hubungan timbal balik gitu, hehe :'D

Keep reading ROOFTOP FIGHT until the end 💚

Best regards,
Fantuy

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

325K 26.9K 38
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
616K 61.2K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
127K 9.1K 57
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote