THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP...

Bởi q1dzncvt

1K 274 274

⚠ CERITA INI DIBUAT UNTUK MENGHIBUR PEMBACA YA BUKAN UNTUK DICURI! :D ⚠ BAHASA BAKU ⚠ IT'S JUST FANFIC, BE A... Xem Thêm

PROLOG
» 1 • Life as College Student
» 2 • Package
» 3 • Damn Kids
» 4 • New
» 5 • Presentation
» 6 • The Shadow
» 7 • Nice Beginning
» 8 • The Tour and The Call
» 9 • Agent Al
» 10 • Alijen Busy Jefferson
» 11 • Ballroom
» 12 • The First
» 13 • Europe Tour
» 14 • We Young
» 15 • There's Nothing Here
» 17 • We Got You, Alijen
» 18 • So, This is Me
» 19 • Bad News
» 20 • Decision
» 21 • The Battle of Ship

» 16 • Tell The Truth

20 8 4
Bởi q1dzncvt

Aku baru kembali bergabung dengan rombongan ketika malam tiba. Mr. Jason saat itu sedang rusuh sekali mencari-cariku, juga dengan anggota rombongan, bahkan sampai menghubungi kepolisian setempat. Aku harus menggunakan topi, masker, dan jaket guna menutupi keadaan babak belurku. Dan kehadiranku yang begitu tiba-tiba di antara mereka membuat semuanya terkejut.

"DARI MANA SAJA KAU, ALIJEN?!" Mr. Jason kelewat lega begitu melihatku hingga tanpa sadar beliau meninggikan intonasi bicaranya.

"Maaf, Mr. Jason. Tadi aku tiba-tiba dibawa oleh orang yang tidak dikenal, diseret paksa keluar dari toko mainan saat kita sedang berlindung, dibawa pergi menggunakan mobil. Jauh sekali tempatnya. Tapi beruntung aku bisa kabur dari mereka. Maaf telah membuat kalian semua khawatir," jelasku, terpaksa berbohong.

"Oh, thanks, God!" Mr. Jason memelukku. "Aku sudah berpikiran yang tidak-tidak tentangmu. Kupikir kau mati. Beruntunglah kalau belum. Jangan dulu mati hingga kita kembali ke London, oke?"

Rombongan kami segera beristirahat di penginapan. Aku dan Jay masih menjadi roommate. Begitu tiba di kamar, setelah aku melepas semua item yang menutupi keadaanku yang sebenarnya, aku langsung diserang dengan berbagai pertanyaan dari Jay.

"What the hell is this?!" seru Jay terkejut bukan main. Anak itu baru saja selesai mandi dan langsung dikejutkan dengan melihat keadaanku.

"Please don't tell about this to someone else, Jay," pintaku memelas.

"What did you do? What happened with you?"

"Yeah, just a small incident when I back here." Aku meringis menahan sakit. "Maukah kau menemaiku turun ke lobi? Aku hendak mengompres luka lebamku. Aku butuh es."

Jay mengangguk bersedia.

Di sinilah kami berada sekarang. Lobi tempat kami menginap. Di lantai 1 ada restoran tempat para pelancong yang menginap di sini bisa melangsungkan jadwal makan mereka. Restoran itu sudah tutup, kokinya sudah pulang, pegawainya sedang beres-beres. Tidak mengherankan sebenarnya, ini sudah pukul 11 malam, sudah lebih dari jam operasional restoran yang hanya buka hingga pukul 9 malam. Tapi demi melihat kondisiku, pegawai restoran memperbolehkan kami untuk tinggal sejenak. Tidak hanya memberikan bongkahan es batu yang dibalut kain tebal, mereka juga memberikan sekotak penuh alat-alat P3K. Mereka bahkan berbaik hati menawarkan untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. Aku menolak halus, tidak perlu. Aku bisa mengatasi luka-lukaku.

"Kau persis seperti orang yang baru saja ditonjok habis-habisan," ujar Jay yang sedang melilit kepalaku dengan perban. Pelipisku robek dan berdarah cukup banyak. Tidak cukup jika hanya ditutup dengan plester.

Aku tidak berniat membalas. Aku fokus mengompres pipiku dengan es.

"Bagaimana kondisi Jane?" Aku tiba-tiba teringat gadis itu. "Apakah dia sudah siuman?"

Jay mengangguk. "Dia baik-baik saja sekarang."

Aku mengembuskan napas lega. "Lalu Scarlett? Gadis itu juga baik-baik saja, kan?"

"Scarlett jauh lebih baik. Dia dan Jane hanya syok karena kejadian tadi siang."

Aku sekali lagi mengembuskan napas lega. Syukurlah kalau begitu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai mereka kenapa-kenapa.

***

Keesokan paginya, ketika tiba jadwalnya sarapan bersama, aku tidak bisa mencegah Rashad dan Hugo, juga anggota rombongan lain, untuk tidak heboh melihat kepalaku yang diperban, lengkap dengan beberapa lebam yang tidak bisa kututupi terus-terusan.

"Astaga! Apa yang terjadi padamu?" tanya Rashad begitu bergabung di mejaku dan Jay.

Hugo mengambil tempat duduk di sebelahku. Tangannya terjulur menangkup pipiku, menggerakkan kepalaku ke kanan-kiri dalam gerakan cepat, meneliti wajahku lebih detail. Aku mendengus, merotasikan bola mataku dengan malas. Setelah kemarin aku terbanting berkali-kali ke tanah, dan Hugo yang menggerak-gerakkan kepalaku dengan cepat, dia pikir aku tidak pusing apa?

"Berhenti, Hugo! Itu menyebalkan." Aku menepis tangan Hugo dari pipiku. Bisa-bisa orang yang melihat akan salah paham lagi.

Hugo hendak menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Buru-buru aku menatapnya tajam, menyuruhnya diam saja, aku sedang tidak ingin ditanyai. Hugo protes, menggerutu kesal, tapi terserah lah. Aku benar-benar tidak ingin membahas soal kejadian kemarin.

Sementara itu, karyawisata kami yang seharusnya hari ini dijadwalkan dengan kunjungan ke Venesia awalnya hendak dibatalkan. Hal itu sontak menimbulkan pro dan kontra di antara rombongan. Beberapa dari kami setuju karyawisata dihentikan saja karena kejadian tak mengenakan terus terjadi secara beruntun di setiap tempat yang kami kunjungi. Beberapa lagi protes dengan alasan sudah membayar mahal untuk perjalanan ini, tidak ingin menyelesaikan karyawisata begitu saja. Aku bergabung ke tim kontra. Alasannya tentu saja bukan karena aku sudah membayar mahal untuk biaya perjalanan ini. Aku harus berada di Eropa bagian selatan untuk beberapa saat bersama Tim Elite N.I.A lainnya hingga keberadaan Benedict dan anak buah Saduju lainnya ditemukan.

Dan hasil akhirnya dimenangkan oleh tim kontra yang memiliki jumlah suara terbanyak.

Aku tidak lagi memikirkan soal karyawisata. Situasi semakin genting. Detik demi detik merangkat menuju waktu yang sangat krusial terhadap pertaruhan nasib seluruh dunia. Tim N.I.A belum bisa melacak keberadaan Benedict hingga saat ini. Dan yang lebih buruk, kami tidak punya petunjuk sama sekali terkait lokasi batu permata terakhir.

Di sinilah rombongan kampusku berada sekarang. Sebuah kereta yang terus bergerak cepat di atas rel menuju Venesia. Waktu perjalanan yang dibutuhkan kurang lebih 4 jam.

Aku dan Jay duduk bersebelahan dengan Rashad dan Hugo di depan kami. Posisi kami berempat saling berhadapan. Tidak banyak yang kami lakukan di kereta. Hanya makan camilan, bermain ponsel, sesekali mengobrol. Kami lebih banyak suntuknya dibanding semangat. Kejadian kemarin membuat semangat berwisata nyaris setengahnya peserta rombongan hilang perlahan.

"Semakin lama ini semakin membosankan," celetuk Hugo. Anak itu dengan wajah kusutnya bersandar pada jendela kereta, menatap pemandangan di luar.

"Padahal dulu aku semangat sekali saat diumumkan bahwa kita akan mengikuti karyawisata," sahut Rashad pelan. Anak itu bersandar pada sandaran kursi dengan salah satu kakinya ditumpangkan di atas paha Hugo.

Rashad dan Hugo menghela napas panjang.

Aku menatap kedua sohibku itu secara bergantian. Aku paham. Mereka sebenarnya bukan bosan, mereka sedang dilanda rasa takut hal-hal seperti kemarin terjadi lagi. Bayangkan saja kalian sedang berwisata dengan teman-teman kalian, lalu tiba-tiba semua suasana menyenangkan itu lenyap dalam sekejap dan digantikan suara dentuman dan tembakan yang memekakkan telinga di mana-mana. Ditambah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh-tubuh kaku tergeletak begitu saja di atas tanah. Itu pemandangan yang mengerikan.

Aku melirik Jay yang duduk di sebelahku. Anak ini juga jadi lebih pendiam semenjak kejadian kemarin. Dia sejak tadi sibuk mengotak-atik kameranya. Lebih tepatnya, aku tahu Jay sedang mengusir segala kegundahannya, sama seperti yang dirasakan oleh Rashad dan Hugo.

Aku mengembuskan napas panjang. Kulipat kedua tanganku di depan dada, bersandar pada sandaran kursi, lalu menaikkan kaki kananku ke atas kaki kiriku.

"Aku penasaran dengan kelanjutan proyek kita," celetukku di sela-sela suasana tidak menyenangkan ini.

"Biarkan Mark, Cedric, dan Jill yang mengurusnya. Kita harus bersenang-senang selagi berwisata walaupun sepertinya itu terdengar mustahil sekarang," balas Hugo tanpa menoleh dari jendela.

"Aku jadi teringat kita punya jadwal press conference peresmian proyek selepas karyawisata ini," sahut Rashad.

"Yeah, aku jadi teringat juga soal itu," kata Hugo. "It make us sound like artists."

Rashad dan Hugo pun tertawa pelan.

Aku tersenyum tipis melihat mereka. Entah apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang. Kepalaku kini memutar adegan kilas balik ketika hari di mana kami berempat pertama kali bertemu. Kami adalah remaja labil yang baru diwisuda dari SMA waktu itu. Bagai sebuah televisi yang menampilkan tayangan film usang, semua momen kebersamaan kami terputar dengan jelas dalam rekaman ingatanku. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di rumah, bertemu dengan Rashad, Hugo, dan Jay bagai sebuah kado terindah yang pernah kuterima. Mereka sudah seperti saudara kandung bagiku.

Melihat Rashad dan Hugo tertawa bersama barusan menyadarkanku pada realita yang ada. Pernahkah ketiga sahabatku ini menduga ada yang tidak beres di balik semua kekacauan yang sudah terjadi? Pernahkah mereka berpikir bahwa di luar sana ada seseorang yang tengah merencanakan bencana besar yang dapat menyebabkan kepunahan massal? Mengancam kelangsungan kehidupan di seluruh dunia? Dan pernahkah mereka menyangka bahwa aku, teman sekamar mereka selama 1 tahun terakhir, merupakan anggota agen rahasia yang tengah berusaha mencegah semua kemungkinan buruk itu terjadi?

"Guys."

Rashad, Hugo, dan Jay serempak menoleh ke arahku. Mereka menatapku lamat-lamat, menunggu kelanjutan ucapanku. Intonasiku terdengar serius, dan itu membuat mereka turut memasang ekspresi serius, seolah tahu bahwa aku tidak akan sekedar berbasa-basi lagi setelah ini.

Aku tersenyum. "Apa pun yang menunggu kita di depan, apa pun yang akan terjadi nanti, aku hanya ingin kalian tahu bahwa aku sangat senang bisa bertemu dengan kalian."

***

"Hei, Hugo, menurutmu Jen kenapa?"

"Entahlah. Dia terlihat sentimental sekali tadi, Rash."

"Nyaris selama aku mengenalnya, aku tidak pernah melihat raut wajah Jen yang seperti tadi. Terkesan ganjil."

"Dia seperti sedang dipenuhi kegelisahan, Jay."

"Iya, betul."

Di depan sebuah gedung opera yang berdiri megah, di tengah antrean menuju pintu masuk, aku bisa mendengar bisik-bisik Rashad, Hugo, dan Jay yang berdiri persis di belakangku. Sebenarnya volume suara mereka termasuk kecil sekali, bahkan nyaris tenggelam di tengah keramaian yang ada di sekitar kami. Tapi entah kenapa telingaku masih dapat mendengarnya. Sepertinya ini menjadi salah satu hasil latihanku selama di markas N.I.A. Memiliki kemampuan pancaindra yang tajam menjadi dasar yang harus dimiliki oleh seorang mata-mata. Aku pernah melatih kemampuan pendengaranku saat masih di masa pelatihan sebelum akhirnya dilantik menjadi anggota tim elite.

Kota Venesia yang cantik.

1 jam yang lalu rombongan kampus akhirnya tiba di salah satu kota yang paling terkenal di Italia ini. Kota yang mendapat julukan sebagai Kota Apung. Kota dengan kanal-kanal yang jernih, gondola-gondola yang berlalu-lalang terapung di atas air, juga arsitektur bangunan-bangunannya yang sangat estetik.

Jadwal pertama kami di Venesia adalah mengunjungi sebuah gedung opera. Setelah menyelesaikan sisa tur di Roma yang berakhir pada pukul 2 siang, berjam-jam berada di gerbong kereta, kami sempat mampir sebentar ke penginapan untuk meletakkan barang-barang, sekaligus berganti pakaian dengan dress code yang lebih formal. Akan terlihat lucu, bukan, jika kalian pergi ke opera tapi mengenakan celana jeans atau t-shirt?
Setelah mengurus tiket dan mengantre cukup lama di pelatarannya, kami akhirnya memasuki gedung tersebut. 4 orang petugas menyambut kami dengan ramah sebelum memasuki area tempat duduk. Mereka menyodorkan sebuah kotak besar ke hadapan rombongan. Isi kotak itu adalah kacamata opera. Kami kembali mengantre untuk mendapatkan kacamata masing-masing.

Aku, Rashad, Hugo, dan Jay mengambil tempat duduk di paling pojok belakang. Pertama, kami sudah tidak seantusias awal untuk mengikuti karyawisata. Kedua, kami sama-sama tidak terlalu tertarik untuk pergi ke opera, jika boleh jujur. Jalan-jalan ke pasar terdengar lebih menyenangkan dibanding hanya duduk diam menonton pertunjukan di ruangan tertutup. Dan ketiga, karena setelan tuxedo hitam yang kami kenakan sekarang. Memakai pakaian seformal ini membuat vibes liburan lenyap seketika.

"HEI, NATHALIE!"

Ah, tidak-tidak. Hugo sepertinya kembali antusias untuk karyawisata ini. Gadis pujaannya baru saja melewati deret bangku tempat kami duduk. Hugo yang melihatnya pun berseru memanggil, melambaikan tangan, menyuruh Nathalie supaya bergabung bersama kami.

"Ayo, Nath, gabung dengan kami saja!" Hugo bangkit dari duduknya. "Jen, kau pindah ke tempat dudukku! Aku mau duduk di sini dengan Nathalie."

Aku menurut tanpa banyak protes. Mau protes pun sepertinya terdengar akan sia-sia. Ini Hugo, dia akan berubah jadi keras kepala jika sudah membuat keputusan. Aku menghempaskan diri ke atas kursi Hugo sebelumnya, bersebelahan dengan Jay. Yeah, lagi-lagi dengan anak ini. Kami sepertinya benar-benar soulmate yang tak dapat dipisahkan.

Nathalie datang dengan Yolanda. Wajah gadis itu langsung cerah begitu netranya melihat Rashad. Yolanda menyapa Rashad dengan girang, dan seperti biasa, Rashad membalasnya dengan setengah minat.

Dan pertunjukan opera pun dimulai.

Aku menatap panggung pertunjukan dengan tatapan kosong. Ragaku memang di sini, tapi pikiranku berkelana ke mana-mana. Lucian belum mengabari lagi. Aku benar-benar gelisah.

Di tengah kegelapan akibat lampu ruangan yang sengaja dipadamkan, saat perasaan gelisah itu terus-terusan menghantui, aku bangkit perlahan tanpa mengeluarkan suara. Semuanya memusatkan atensi mereka pada panggung pertunjukan. Tidak akan ada yang sadar jika aku kabur. Aku hendak keluar, tapi ternyata pergerakanku disadari oleh Jay. Anak itu lebih dulu mencekal pergelangan tanganku.

"Where will you go?" tanya Jay dengan berbisik.

"Get out from here."

"Is everything okay?"

"Yeah. I just ... need my own space."

Dalam gelap Jay menatapku lamat-lamat.

"I promise I'll back as soon as possible."

Jay masih diam. Lebih tepatnya, setelah kejadian kemarin, aku tahu Jay tengah mengkhawatirkanku. Terlebih hanya dia satu-satunya orang yang tahu tentang keadaanku yang sebenarnya babak belur semalam.

"Let me go, Jay."

Jay perlahan melepaskan cekalannya dari pergelangan tanganku.

"Thanks," ucapku sebelum aku benar-benar keluar dari dalam gedung.

***

Ini sudah sejam sejak aksi kaburku dari gedung opera. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Di sinilah aku berada sekarang. Sebuah rooftop dari gedung berarsitektur kuno yang letaknya tidak terlalu jauh dari letak gedung opera. Aku duduk di atas dinding pembatas, menatap gemerlap kota di malam hari dari ketinggian. Dengung keramaian, hiruk-pikuk di atas kanal dan gang-gang sempit, serta kesiur angin yang berembus. Damai sekali suasana di atas sini.

Aku menghela napas pelan.

Buktikan bahwa keputusan kakekmu itu tidak salah, atau kau akan memaksaku untuk beranggapan bahwa kau memang tidak siap untuk ini.

Kalimat itu sangat menggangguku selama beberapa jam terakhir, jika boleh jujur. Kalimat yang diucapkan Lucian lewat sambungan komunikasi sebelum penyerbuan di Koloseum. Sejak pertama kali Lucian mengatakannya, kalimat itu sukses menyentuh titik pertahananku.

Aku mendongak menatap langit malam yang hampa. Andai saja aku bisa menulis ulang takdirku, aku ingin sejak awal aku tidak tahu menahu sedikitpun tentang Kakek dan rahasianya. Karena dari sanalah semua ini dimulai.

Aku tidak ingin tahu soal pekerjaan Kakek, soal N.I.A, soal tim elite, soal misi superpenting. Andai saja waktu itu aku tidak menerima ajakan Kakek untuk 'jalan-jalan', aku tidak akan tahu soal semua itu. Juga soal dilantiknya aku sebagai anggota. Aku tidak pernah berharap akan direkrut Kakek untuk masuk tim elitenya. Aku sama sekali tidak pernah mengharapkan itu.

Juga soal Lucian. Aku tahu, amat sangat tahu. Tanpa Lucian mengatakannya, tanpa perlu aku diberitahu oleh orang lain, aku paham akan adanya kecemburuan pada diri Lucian padaku. Aku bisa diterima sebagai anggota tim elite hanya dengan bermodalkan status 'cucu Tuan Agen' saja, tanpa perlu latihan panjang, tanpa perlu seleksi ketat. Aku bahkan yang paling amatiran dan minim pengalaman di antara semua anggota N.I.A, tapi aku jugalah satu-satunya di antara mereka yang langsung direkrut oleh Kakek untuk masuk tim elite. Aku yakin tidak hanya Lucian, mungkin hampir semua anggota N.I.A, meskipun semua orang selalu ramah padaku, penyakit hati tetaplah penyakit. Aku sama sekali tidak berniat untuk membuat orang-orang iri padaku, membuat mereka beranggapan aku paling dispesialkan.

Bahkan jika boleh aku memilih, aku tidak ingin dilahirkan ke dunia ini. Aku hanya ingin hidup normal seperti yang lainnya, tapi realita berkata sebaliknya. Pekerjaan Ayah yang dulunya seorang anggota gangster membuat aku dan keluargaku sering kali terancam keselamatannya karena musuh yang ingin balas dendam. Pekerjaan Kakek yang seorang kepala agen intelijen paling mematikan sekaligus miliarder ternama di Amerika juga sama mengancamnya untuk keselamatan keluargaku. Teror, percobaan pembunuhan, dan percobaan tindak kriminal lainnya sudah sering aku dan keluargaku terima. Itu sangat jauh sekali dari definisi hidup normal yang aku inginkan.

Aku kembali menghela napas pelan. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksi keluargaku jika mereka tahu aku bergabung dengan agen intelijen paling mematikan di Britania Raya yang dipimpin oleh Kakek. Ayah sudah mati-matian menjaga kami selama ini dari kejahatan yang dilakukan musuh-musuhnya, tapi aku justru berkecimpung di dunia 'kejahatan' itu, membahayakan nyawaku sendiri. Ayah dan Ibu pasti akan marah besar.

"Alijen?"

Lamunanku buyar seketika. Kepalaku menoleh dan mendapati Jane yang berdiri di belakangku dengan ekspresi yang sama terkejutnya denganku. Kami saling pandang selama beberapa saat sebelum akhirnya Jane kembali membuka suara.

"Kenapa kamu ada di sini?"

"Mencari pelarian, begitulah." Aku mengikuti pergerakan Jane yang mengambi posisi duduk di sampingku. Kami duduk bersebelahan di atas dinding pembatas. "Kamu sendiri kenapa ada di sini? Harusnya kamu ada di gedung opera."

"Mencari pelarian, begitulah."

Aku terkekeh karena Jane meniru jawabanku.

Sejenak kami menikmati keheningan di antara kami. Baik aku dan Jane sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya ada dengung keramaian di bawah sana yang terdengar samar dari ketinggian ini.

Aku melirik Jane diam-diam. Aku sudah mengenal gadis ini selama setahun terakhir. Dia adalah sosok deskmate goals. Dan Jane dapat dipercaya.

"Jane."

"Ya?"

"I want to tell you something."

"Tell me then."

"But, at first, you have to promise me not to tell anyone about this."

"Well, it sounds so serious."

"More than serious."

"Okay, okay. So, what is it?"

Aku menatap kedua bola mata Jane dengan sangat lekat.

Well, here we go.

"I know this is totally crazy, but I can't hide this fact alone anymore." Aku mengembuskan napas dalam-dalam.

"Aku adalah anggota dari agen intelijen paling mematikan di Britania Raya, N.I.A."

hellaw it's me fern!

Makasih udah mau baca sampai chapter ini :)

Apa kabar kalian hari ini? Hope u have a nice day >3

Gimana gengs sama chapter ini?

BTW GUYS, MV HOT SAUCE UDAH KELUAR YEAY!!!

(iya tau telat :v)

FINALLY 7DREAM FULL ALBUM! JANGAN LUPA STREAMING LOH YA AKU MAKSA INI, NGEHE :D

Maaf yoo kalo ada kesalahan² gitu. Entah typo, ejaan yang salah, dsb. Aku masih belajar di dunia kepenulisan ini.

Kalo udah mampir, tinggalin jejak sabi kali ya? Biar ada hubungan timbal balik gitu, hehe :'D

Keep reading ROOFTOP FIGHT until the end 💚

Best regards,
Fantuy

Tbc

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

423K 4.4K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
34.2K 7.6K 38
Selama ini Taehyun tidak pernah menyadari jika cowok populer di kelasnya itu berhasil membuat dirinya menjadi seperti orang bodoh karena jatuh cinta...
122K 8.8K 56
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
1.4M 81.1K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...