THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP...

Autorstwa q1dzncvt

1K 274 274

⚠ CERITA INI DIBUAT UNTUK MENGHIBUR PEMBACA YA BUKAN UNTUK DICURI! :D ⚠ BAHASA BAKU ⚠ IT'S JUST FANFIC, BE A... Więcej

PROLOG
» 1 • Life as College Student
» 2 • Package
» 3 • Damn Kids
» 4 • New
» 5 • Presentation
» 6 • The Shadow
» 7 • Nice Beginning
» 8 • The Tour and The Call
» 9 • Agent Al
» 10 • Alijen Busy Jefferson
» 11 • Ballroom
» 12 • The First
» 13 • Europe Tour
» 14 • We Young
» 16 • Tell The Truth
» 17 • We Got You, Alijen
» 18 • So, This is Me
» 19 • Bad News
» 20 • Decision
» 21 • The Battle of Ship

» 15 • There's Nothing Here

25 10 4
Autorstwa q1dzncvt

"Huh!"

Aku menoleh ke Jay yang baru saja menghempaskan diri pada kursi empuk di sampingku.

"Jadi ini penerbangan dua jam, bukan?" tanya Jay.

Aku yang baru saja membuka kaca jendela pesawat menjawab singkat, "Ya."

"Hei, Jen, Jay. Kalian mau kue?" Hugo yang duduk di depan kami berdiri di atas kursinya dan memutar badan ke belakang, menyodorkan sekotak kue bolu, tersenyum lebar.

"Dari mana kau dapat kue ini?" tanya Jay.

"Dari restoran hotel. Aku sengaja membungkusnya untuk bekal di pesawat," jawab Hugo enteng.

Aku berdecak mendengarnya. "Kau kira di pesawat tidak ada kue?"

"Biasalah," sahut Rashad dari depan. "Temanmu ini, kan, memang begitu kerjaannya. Kalau tidak mempermalukan dirinya sendiri, ya, mempermalukan kita."

Hugo melotot. "Awas saja kau kalau meminta kue ini padaku nanti!"

"Nyenyenyenye," cibir Rashad dengan bibir yang dimaju-majukan.

Aku dan Jay tertawa pelan melihat pertengkaran kecil mereka.

Baiklah. Seperti yang dikatakan Jay tadi, ini adalah penerbangan 2 jam. Kami akan lepas landas dari tanah Paris dan terbang menuju Roma, Italia.

***

"Titik tujuan anak buah Saduju berikutnya adalah Roma. Bersiaplah, Jen."

"Wait, what?"

"Titik tujuan anak buah Saduju berikutnya adalah Roma. Bersiaplah, Jen."

"Yeah, I know. But ... seriously?"

"Untuk apa aku bercanda?"

"Tapi bukankah itu hanya prediksi awal? Rombongan kampusku ada di Roma sekarang, Lu."

"Nah, that's why I called you."

Aku mengepalkan tangan. "Lucian, I don't want to be joking right now. Aku sedang karyawisata. Aku tidak sendirian di sini. Ada teman-teman dan juga dosenku."

"Tim Elite N.I.A tidak punya waktu untuk mengurus hal itu sekarang."

"Well, tidak bisakah N.I.A membajak berkas karyawisata kampusku? Mengubah tujuan wisatanya menjauh dari titik di mana anak buah Saduju akan melakukan aksinya, misalnya?"

"Itu hanya akan menimbulkan pertanyaan besar, Jen. Anggota rombonganmu sudah mendapat daftar destinasi wisata yang akan mereka kunjungi jauh sebelum kalian memulai tur."

"Itu jauh lebih baik daripada membuat mereka berada di zona berbahaya."

"Jadi kau lebih mengkhawatirkan rombonganmu dibanding miliaran penduduk bumi di luar sana?"

Aku terdiam.

"Listen to me, Agent Al."

Aku membiarkan Lucian melanjutkan ucapannya.

"Tuan Agen memilihmu. Dia melantikmu sebagai anggota tim elite. Aku, tim kita, dan N.I.A membutuhkannya."

Aku masih diam.

"Menjadi anggota tim elite bukanlah main-main. Ada miliaran nyawa yang harus diselamatkan dari rencana  bejat Saduju. Semua yang ada di bawah kepemimpinanku tidak kuperbolehkan untuk ragu-ragu dalam bertindak. Aku tidak menerima anggota dengan mental yang lemah. Dan kau adalah anggotaku, Agen Al, asal kau ingat itu."

Aku terdiam lama sekali kali ini.

"Buktikan bahwa keputusan kakekmu itu tidak salah, atau kau akan memaksaku untuk beranggapan bahwa kau memang tidak siap untuk ini."

***

Koloseum, Roma, Italia.

Ini adalah titik keberadaan kami sekarang. Bangunan kuno berwarna cokelat terang yang menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia. Tempat legendaris yang menjadi ikon Kota Roma.

Koloseum dibangun pada pemerintahan Vespasian pada tahun 72 M dan terselesaikan oleh anaknya pada tahun 80 M. Koloseum didirikan berdekatan dengan sebuah istana megah yang sebelumnya dibangun Nero, Domus Aurea, dan dibangun sesudah kebakaran besar di Roma pada tahun 64 M. Koloseum menjadi salah satu karya terbesar dari arsitektur yang pernah dibangun serta dirancang untuk menampung 50.000 orang penonton. Tempat ini merupakan peninggalan sejarah yang berupa arena gladiator, tempat pertarungan. Lantainya berupa pasir agar darah yang tercipta selama pertarungan tidak mengalir ke mana-mana. Selama ratusan tahun, diperkirakan ribuan orang maupun binatang mati di pertunjukan Koloseum.

Aku memperhatikan penjelasan Mr. Jason dengan seksama. Pengetahuan beliau tentang sejarah dan kegemarannya untuk melancong memang tidak ada tandingannya. Bahkan tanpa adanya tour guide, berbekal kemampuan Mr. Jason, rombongan kami dapat melakukan karyawisata dengan sangat baik sejauh ini.

"Sebenarnya kalau dipikir-pikir seram juga, ya?" Hugo menyeletuk di tengah penjelasan Mr. Jason.

"Seram apanya?" tanya Rashad tak mengerti.

"Ya seram," Hugo membenarkan anak rambutnya yang berantakan akibat angin. "Tempat ini dulunya arena gladiator, tempat pertarungan, bahkan tempat eksekusi. Kau dengar sendiri, kan, penjelasan Mr. Jason tadi kalau tempat ini sudah memakan korban ribuan orang dan hewan buas?"

"Jadi menurutmu tempat ini angker?"

"Begitulah."

Aku tertawa kecil mendengar percakapan mereka. "Berhenti berpikiran yang tidak-tidak, Hugo. Kalaupun tempat ini memang angker, hantunya sudah kabur duluan melihatmu."

"Heh, apa maksudmu?!" Hugo melotot.

Rashad dan Jay tertawa melihat reaksi Hugo.

BUM!

Cepat sekali tawa kami tersumpal oleh sebuah ledakan keras. Suaranya menggelegar sekali, seperti hendak merobek angkasa. Jeritan panik langsung terdengar di mana-mana. Jantungku mencelus. Aku sangat terkejut. Jay juga sama terkejutnya denganku. Wajahnya pias dengan kedua tangan memegang dada. Sementara Rashad dan Hugo yang sudah pucat tiarap.

Aku menyapu pandangan ke seluruh penjuru guna mencari sumber ledakan. Aku tahu. Aku sangat tahu. Hanya soal waktu serangan anak buah Saduju akan meletus di Kota Roma, tapi aku sama sekali tak menduga itu akan terjadi secepat ini, dan sama sekali tidak menduga itu akan terjadi di Koloseum. Ini semua ada di luar dugaanku!

"Astaga! Apa lagi sekarang?" Mr. Jason berseru dari depan, berbicara pada asistennya. "Kemarin salah satu mahasiswi kita hampir saja diculik. Sekarang ledakan.  Eropa sedang ada apa sebenarnya?"

BUM! BUM! BUM!

Ledakan kedua terdengar. Kali ini susul menyusul, tidak hanya sekali. Area rumput tempat rombongan kampus berdiri sekarang dihujani benda seperti bom, lubang tercipta di mana-mana, bongkahan tanah terpental ke sana ke mari.

DOR! DOR! DOR!

Astaga! Serangannya kini bertambah level dengan ditambahnya tembakan. Kerumunan di sekitar Koloseum membubarkan diri, berpencar mencari tempat berlindung, persis seperti laron-laron yang berterbangan tak tentu arah. Tidak sedikit korban yang mulai berjatuhan.

"CARI TEMPAT BERLINDUNG, ANAK-ANAK!" Mr. Jason berteriak.

"Come on, Rashad, Hugo!" Aku membantu Rashad dan Hugo berdiri dari tiarap mereka. Jay memungut isi ransel mereka yang tercecer.

"AAAAA!"

Aku menoleh kala sebuah jeritan terdengar oleh telingaku. Jane dan Scarlett terjebak di antara reruntuhan patung yang roboh akibat ledakan. Kondisi mereka payah dengan wajah cemong oleh debu. Kaki Jane terjepit di antara reruntuhan, sementara Scarlett tak punya cukup tenaga untuk mengangkat reruntuhan besar tersebut.

"Scarlett──"

"Ajak Rashad dan Hugo pergi bersama rombongan, Jay," aku memotong kalimat Jay dengan cepat. "Aku akan mengurus Jane dan Scarlett."

Jay menatapku. Ia mengangguk. Anak itu segera menyeret Rashad dan Hugo yang masih pucat untuk menyelamatkan diri. Sebenarnya, dilihat dari tatapannya, Jay terlihat ragu membiarkanku seorang diri menolong Jane dan Scarlett. Dia jelas ingin membantu, terlebih ini juga tentang gadis pujaannya. Tapi kami harus bergerak cepat.

Aku mengambil langkah seribu. Aku bergerak cepat di tengah dengung kepanikan orang-orang. Aku segera menghampiri kedua gadis itu.

"Oh, thanks, God! So lucky you have been here, Jen. Help me!" Scarlett menghela napas lega melihat kedatanganku.

Aku mengangguk. Aku dan Scarlett bekerja sama mengangkat reruntuhan besar itu. Cukup berat, namun karena dilakukan bersama hal itu terasa ringan. Scarlett membantu Jane meloloskan kakinya sementara aku menahan reruntuhan di udara.

"Aw!" Jane meringis kesakitan.

"Sepertinya kaki Jane terkilir," ujar Scarlett panik.

BUM! BUM! DOR! DOR!

Kami tidak punya waktu untuk mengobati kaki Jane yang terkilir. Suara ledakan dan tembakan itu semakin sering terdengar dan semakin memekakkan telinga. Aku bergerak spontan meletakkan kedua tanganku masing-masing di bawah punggung dan lutut Jane, mengangkatnya ke udara, aku menggendongnya ala bridal style.

"Berpegangan, Jane!" titahku. Jane mengangguk di tengah ringisannya. Kedua tangannya perlahan melingkar di leherku.

Aku dan Scarlett berlari beriringan. Susah payah aku mencoba menjaga tubuh Jane agar tidak terjatuh dari gendonganku. Scarlett juga. Meskipun dia sanggup menyeimbangi kecepatan lariku, tetap saja tenaga laki-laki dan perempuan berbeda. Gadis itu tertatih-tatih.

Ngiiiing

Suara mendesing kencang terdengar dari atas kami. Aku mendongak. Sebuah bom kini tengah menuju ke arah kami. Cepat sekali gerakannya melambung di angkasa.

"TIARAP, SCARLETT!"

BUM!

Aku, Jane, dan Scarlett jatuh terguling di atas area berpaving. Itu menyakitkan. Kami terbanting di atas bidang keras. Aku terguling jauh, menabrak badan mobil yang terpakir. Jane lepas dari gendonganku. Tubuhnya juga terguling jauh dan menabrak batang pohon yang tumbang. Scarlett bernasib serupa dengan kami. Bedanya, gadis itu menabrak tubuh orang yang tergeletak di jalanan. Entah orang itu hidup atau tidak.

Aku bangkit dengan menahan segala rasa sakit akibat terbanting. "Jane, Scarlett, you guys okey?"

Scarlett perlahan duduk. Wajahnya meringis. Gadis itu memberi kode padaku bahwa dia tak apa-apa, lantas menyuruhku untuk mengecek keadaan Jane.

Jane adalah yang terparah di antara kami. Kedua kakinya terkilir. Ada lebam biru di dagunya. Dagunya pasti terantuk keras sekali hingga kulitnya langsung menunjukkan lebam yang sangat jelas. Kedua matanya terpejam. Gadis itu langsung jatuh pingsan begitu badannya terbanting keras ke tanah sesaat setelah terlepas dari gendonganku.

Aku kembali menggendong Jane. Dalam situasi seperti ini kami benar-benar harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Kami lanjut berlari setelah aku memastikan Scarlett masih sanggup melangkah atau tidak. Sebagai seorang laki-laki, aku kagum sekali pada Scarlett yang memiliki fisik yang sangat tangguh untuk ukuran seorang perempuan.

"JEN, JANE, SCARLETT, COME HERE!"

Tak jauh lagi, kami bertiga bisa melihat rombongan kampus kami yang bersembunyi di sebuah toko mainan. Letaknya tidak terlalu jauh dari Koloseum, tapi lebih dari cukup untuk berlindung. Mr. Jason melambaikan tangannya pada kami, mendesak supaya kami lebih cepat. Begitu aku tiba di depan toko, Mr. Jason segera menarik kami masuk ke dalam, pintu ditutup rapat.

Bruk

Aku, Jane, dan Scarlett ambruk ke lantai toko. Tidak ada lagi suara ledakan dan tembakan yang terdengar. Toko ini memakai teknologi kedap suara. Tapi meskipun begitu, kekacauan di luar masih dapat dirasakan melalui getaran yang merambat, membuat lantai yang kami pijak bergetar. Rashad dan Hugo membantuku berdiri. Sementara Jay membantu Scarlett. Kali ini tidak ada protes dari gadis itu. Perasaan syok lebih mendominasinya saat ini.

"Apakah gadis ini pingsan, Jen?" Nathalie jongkok di hadapanku. Ia bersama dengan Yolanda yang juga terlihat panik.

Aku mengangguk. "Tolong rawat gadis itu sampai siuman, Nath. Namanya Jane, dia teman sekelasku." Aku tahu Jane bukanlah tipe social butterfly yang sanggup berkenalan dengan orang banyak. Relasinya hanya seputar anak satu kelas. Wajar jika Nathalie tidak mengenalnya.

Rombongan kampus kini terfokus pada Jane dan Scarlett. Saat semuanya sibuk mengerumuni mereka, aku mengambil kesempatan untuk menyelinap keluar. Suara ledakan dan tembakan kembali terdengar. Serangan itu belum berakhir. Sepertinya itu adalah siasat anak buah Saduju untuk mensterilkan lokasi batu permata terakhir dari kerumunan massa.

Aku menekan benda kecil yang terpasang di telingaku.

"Kid, are you ready?"

"Yes."

"Okey. On your position."

"Alright, copy."

Aku meniti reruntuhan yang berserakan di sepanjang jalan. Hap! Hap! Hap! Aku kini berada di atas pertokoan pusat oleh-oleh. Aku berlari menitip genting-genting. Hap! Aku lompat dan berguling di jalanan. Sekitarku porak-poranda. Kendaraan terparkir sembarang tanpa ada pengemudinya. Aku terus berlari.

Sekitar 5 kilometer aku berlari. Di hadapanku kini terdapat sebuah gedung besar. Aku merogoh saku jaket, mengeluarkan Clase dari dalam sana. Klik! Aku mengaktifkan mode tongkat. Clase-ku memanjang berkali-kali lipat, setara dengan tinggi badanku.

Aku kembali mempraktikkan cara kerja olahraga atletik nomor cabang lompat galah. Clase-ku yang dalam mode tongkat kuletakkan tepat di pertemuan antara tanah dan dinding bangunan di depanku. Clase melengkung, membuatku terangkat dan melambung di udara.

"On your top, Agent Al."

Aku mendongak setelah pesan suara kuterima dari benda kecil di telingaku. Dalam radius kurang dari 200 meter, sebuah kapal terbang berbentuk seperti ikan pari melesat cepat ke arahku. Bagian bawahnya merekah terbuka. Belalai-belalai besi keluar dari dalam sana. Dalam gerakan yang dramatis, dengan posisiku yang masih berada di udara, belalai-belalai itu menyambar tubuhku, melilit pinggangku dengan sangat erat, membawaku masuk ke dalam kapal.

Gelap di sekitarku.

***

Kapal Terbang Induk N.I.A.

Aku sama sekali tak pernah mengira bahwa benda-benda seperti ini sungguhan ada di dunia nyata. Dan aku ada di dalamnya sekarang! Ini sangat menyenangkan. Andai saja situasinya lebih baik, aku ingin sekali berkeliling dan melihat-lihat. Tapi kedatanganku bahkan langsung disambut oleh wajah-wajah serius para awak kapal, terutama Lucian dan Jasmine.

"Lucian, Jas──" aku merutuki mulutku yang salah sebut. "Agen Lu, Agen Orn, aku siap bertugas."

Huft, hampir saja! Aku lupa bahwa jika sedang bertugas kami harus menyebut satu sama lain dengan nama agen kami.

"Ikut aku, Agen Al," titah Lucian. Pemuda itu balik kanan, mulai melangkah. Jasmine persis di belakangnya. Aku menghela napas. Baiklah. Aku ikut melangkah di belakang mereka.

*** 

Tidak banyak yang Lucian bahas, hanya briefing sejenak.

Tim Elite N.I.A Angkatan 07 beserta pasukan tambahan berdiri di mulut pintu masuk kapal. Ini gila. Bahkan anggota tim elite yang bertugas di belakang layar ikut turun tangan. Kami sedang bersiap sementara kapal induk terus membawa kami menuju Koloseum. Ya, situs bersejarah itu menjadi titik terduga batu permata terakhir berada.

"Terjun, ratakan, ambil permatanya, lalu kembali ke kapal," aku bergumam, mengulang kalimat Lucian saat memimpin briefing tadi.

Aku melemaskan otot-otot tubuhku.  Beberapa menit terakhir merangkak sangat menyiksa. Atmosfer tegang sangat pekat menyelimuti seisi kapal. Ini soal hidup dan mati. Melawan pasukan Saduju sama dengan mencoba mengirim diri ke proses eksekusi. Mereka adalah musuh yang paling tangguh dari semua badan intelegensi di seluruh dunia. Mereka  kaum teroris. Berhadapan dengan mereka sama saja berhadapan dengan mimpi buruk.

Aku mengembuskan napas dalam-dalam, entah sudah berapa kali aku mengulang kegiatan ini. Jantungku berdegup begitu kencang. Walaupun sudah mencoba rileks, wajahku sama sekali tidak bisa berbohong bahwa aku sedang sangat tegang sekarang. Semua ini sangat baru bagiku. Entah apa hasil dari misi ini nantinya, sudah tidak ada lagi waktu untuk sekedar meragu, apalagi untuk mundur.

"Everybody, listen!" Lucian berseru memberi titah. Tubuh tegapnya melangkah mantap dan berhenti di hadapan seluruh pasukan N.I.A.

Aku berdiri di samping Jasmine, memperhatikan apa yang hendak Lucian katakan.

"Now or never," Lucian membuka suaranya. "Hanya ada satu kesempatan bagi kita untuk merebut batu permata terakhir. Ini bukanlah perang. Ini adalah suatu kehormatan. Nasib seluruh dunia ada di tangan kita. Sekarang bukan saatnya untuk takut, bukan saatnya untuk mundur. Ini saatnya kita maju membela kebenaran! Pikirkan tentang jiwa-jiwa yang harus kita selamatkan."

Aku terdiam. Dalam benakku terlintas Ayah, Ibu, Yelena, dan sahabat-sahabatku.

"Mari kita bertarung hingga titik darah penghabisan. HAIL N.I.A!" Lucian meninju udara dengan tangan terkepal kuat.

"HAIL N.I.A!" seloroh seisi kapal. Mereka ikut meninju udara dengan semangat membara.

Ini gila. Aku bisa merasakan atmosfer yang sangat luar biasa. Hal itu sukses membuat bulu kudukku meremang. Aku merinding melihat wajah-wajah penuh semangat itu tak gentar oleh rasa takut.

"Everyone in position!"

Suara di langit-langit kapal terdengar. Asalnya dari pengeras suara. Itu adalah pengumuman dari Kapten Kapal.

"Final check."

Kami segera tahu maksudnya. Aku menekan alat di pergelangan tanganku. Dalam sekejap, pakaian karyawisataku berubah menjadi kostum hitam-hitam yang ringkas. Itu adalah pakaian bertempur dengan segala macam teknologi pertahanan. Aku mengeratkan ransel di punggungku. Ransel itu berisi parasut.

Aku menoleh ke samping. Lucian berpakaian tak jauh beda sepertiku. Pemuda itu terlihat berkali-kali lipat lebih berwibawa dengan pakaian tempur tersebut. Juga dengan Jasmine. Gadis itu terlihat sangat badass dengan rambut ikal cokelat tuanya yang dicepol serta senapan berukuran besar di tangannya.

"Freefall time in countdown starting from three ... "

Aku mengembuskan napas dalam-dalam sekali lagi. Aku meneguhkan hati bahwa semua akan berjalan lancar, semua akan baik-baik saja. Jantungku berdegup semakin menggila.

"Two ... "

Mulut kapal perlahan terbuka. Embusan angin yang kencang langsung menampar wajah-wajah kami dari ketinggian ini. Bangunan Koloseum terlihat jelas di bawah sana. Juga dengan keadaan sekitarnya yang kacau-balau.

"One ... "

Aku susah payah menelan saliva. Waktu seakan berhenti. Seisi kapal hening, tak ada satu pun yang bersuara. Hanya ada kesiur angin yang membuat suasana berkali-kali lipat lebih tegang dari sebelumnya.

"NOW!"

Hap!

Aku, Lucian, dan Jasmine memimpin. Kami lompat dalam waktu yang nyaris bersamaan, disusul dengan anggota lain kemudian. Kami bagai kerikil berjatuhan dari langit jika dilihat dari kejauhan. Tubuh kami terseret gaya gravitasi, terus meluncur tajam ke tanah. Jika situasinya lebih baik, aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Ini amat sangat gila! Seumur-umur bahkan aku belum pernah menaiki flying fox yang menjadi permainan udara paling mudah dilakukan karena kita tinggal berayun di relnya saja. Dan sekalinya aku mencoba permainan udara, itu adalah terjun bebas, tanpa latihan.

Tersisa 500 meter dari permukaan tanah. Lucian dan Jasmine melepas parasut mereka. Aku mengikuti walaupun awalnya sedikit kesusahan.

Aku menoleh ke Lucian. Pada saat yang sama pemuda itu juga menatap ke arahku. Ia mengangguk. Tatapannya seolah berkata: Mari kita selesaikan misi ini.

Beberapa saat melayang di udara, kami akhirnya tiba di permukaan tanah. Kami bertiga mendarat persis di depan pintu masuk Koloseum, melepas ransel parasut dari punggung, diikuti anggota lainnya.

"Awesome."

Aku, Lucian, dan Jasmine mendongak. Sesosok pria dewasa dengan tubuh kekar dan tato di sepanjang tangan kirinya muncul dari dalam bangunan. Wajahnya buas, namun seulas senyum terbit di wajahnya, membuatnya terlihat semakin buruk. Di belakangnya diikuti sosok-sosok lain dengan wajah sama buasnya.

"Benedict," gumam Lucian. "Dia kaki-tangan Saduju. Teknik bela dirinya yang paling lengkap di antara semua anggota Black Room," ujarnya kemudian.

Sosok yang muncul dari dalam bangunan itu bertepuk tangan, seolah ada yang patut diberi apresiasi.

"Exactly, Lu. Betapa bahagianya aku kau mengenalku dengan baik, Nephew."

Dahiku terlipat. Nephew? Keponakan? Aku menatap Lucian dan sosok bernama Benedict itu secara bergantian.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Alangkah lamanya kita tidak berjumpa. Apa kau tidak merindukan pamanmu ini, Lu──"

"Shut fucking up!" sergah Lucian dengan penuh penekanan. Wajahnya merah padam menahan murka.

Ini sungguh pemandangan yang membingungkan. Benedict terlihat santai sekali di depan sana, tersenyum lebar walaupun itu justru membuatnya terlihat buruk, seolah sedang menyambut tamu istimewa yang sudah lama ia nantikan. Sangat berbanding terbalik dengan Lucian yang menatap penuh awas.

"Ah, keponakanku sudah besar," Benedict terkekeh pelan. "Cepat sekali kau tumbuh, Nak."

"Jasmine!" Tidak peduli dengan apa yang Benedict ucapkan, Lucian berseru pada Jasmine. Gadis itu mengangguk.

Jasmine melepas senapan sebesar ukuran lengan orang dewasa dari punggungnya. Moncong senjata itu teracung ke depan, ke arah Benedict dan anak buahnya. Kapan pun gadis itu siap menarik pelatuknya.

"Well, kau memilih mengabaikan sambutan pamanmu ini dan memutuskan untuk berperang. Bersiaplah kalau begitu, Nak." Benedict melirik anak buahnya, memberi intruksi melalui kode dari matanya.

Seorang pria bertubuh kekar lainnya yang berdiri di dekat Benedict mengangkat senapannya. Posisinya tegak lurus dengan posisi Jasmine. Keduanya kini saling beradu pandang sengit dari kejauhan.

Saat itulah, pada waktu yang bersamaan, baik Jasmine maupun anak buah Benedict, keduanya serempak menarik pelatuk senapan masing-masing.

BUM!

2 tembakan dahsyat bertemu di udara, menimbulkan suara menggelegar dalam radius 3 kilometer. Persis setelah kedua tembakan tersebut bertemu, pertempuran meletus di pelataran Koloseum. Pasukan N.I.A dan anak buah Saduju saling menyerang.

Bugh

Aku bertemu dengan lawan pertamaku. Dia hanya seorang anggota biasa, tapi aku benar-benar keliru. Black Room adalah akademi teroris. Siapa pun yang bernaung di bawah sana jelas tidak asal dilatih sembarangan. Dan lawanku ini, untuk ukuran seorang anggota, kemampuan bertarungnya patut diacungi jempol.

"Jen, Jasmine, fokuslah untuk masuk ke dalam bangunan. Permata itu pasti ada di dalam sana," ujar Lucian yang berada tidak jauh dariku. Dia baru saja meng-KO 4 orang sekaligus. "Aku akan mengurus Benedict dan anak buahnya dengan pasukan tambahan. Kalian pergilah bersama anggota tim elite. "

Aku dan Jasmine saling tatap. Kami mengangguk. Kami berlari beriringan, mencoba menerobos barikade musuh yang berusaha menutup akses masuk menuju Koloseum. Anggota tim elite bersama dengan kami. Mereka tidak membiarkan satu pun orang berada dalam radius terdekat denganku dan Jasmine.

"Keparat!" umpat Jasmine di sampingku. Kami masih dalam keadaan berlari. Aku paham maksud umpatan Jasmine. Pintu masuk Koloseum diblok total.

Aku mengeluarkan Clase. Dalam gerakan cepat segera kuubah benda itu menjadi wujud tongkat. Tak! Tak! Tak! Aku memukul seorang anggota Black Room yang berhasil mendekatiku dan Jasmine. Bugh! Jasmine menjotosnya keras. Orang itu jatuh tersungkur, tak sadarkan diri.

"Satu-satunya jalan untuk masuk adalah lewat celah-celah dinding itu, Jaz," ucapku. "Kita harus melompat untuk tiba di sana."

"Maka begitu, ayo kita melompat!"

Aku menatap Jasmine, mengangguk. Anggota tim elite segera mengetahui rencana kami. Mereka maju mendahului langkah kami. Anggota Black Room yang berjaga di barikade blok paling depan siap menyambut. Pertempuran di antara kami segera meletus.

Jasmine melemparkan granat pada pasukan yang menghadang langkah kami. Granat itu langsung meledak begitu terbanting di tanah. Skala ledakannya tidak terlalu besar, tapi ekor serangan yang diciptakannya cukup untuk menghambat langkah pasukan tersebut yang hendak mencegat kami. Kami berhasil lolos.

Aku meletakkan ujung tongkatku pada pertemuan antara dinding kokoh Koloseum dan tanah. Aku merengkuh pinggang Jasmine, mendekapnya erat-erat. Saat tongkatku yang semula melengkung bergerak kembali menjadi lurus, tubuh kami berdua terangkat, melambung di udara. Jasmine segera mengeluarkan lasso dari dalam sakunya, menembaknya ke arah depan, sebuah jangkar terjulur keluar melilit salah satu pilar yang ada di celah-celah dinding. Tubuh kami tertarik. Kami berhasil tiba di lantai 3 bangunan.

Kami segera bergerak cepat. Semakin banyak anggota musuh yang menghadang kami. Aku dan Jasmine bahu-membahu saling melindungi dan menghabisi mereka satu persatu. Kami berkejaran dengan waktu. Kami harus segera menemukan permata itu sebelum semakin banyak musuh yang mengetahui bahwa aku dan Jasmine berhasil masuk ke dalam bangunan.

Aku meniti bangku penonton dalam gerakan yang sangat cepat. Jika situasinya lebih baik, aku akan berseru tidak percaya melihat tubuhku bisa melompat jauh dari satu tempat ke tempat lain. Tapi jangankan berseru tidak percaya, untuk sekedar bernapas sejenak saja kami tidak bisa.

Bugh

Aku telak mendapat bogem mentah di rahangku. Tubuhku jatuh terguling di undakan tribun. Kepalaku berdengung akibat benturan keras. Penglihatanku juga kabur, berkunang-kunang. Aku lekas bangkit berdiri. Dengan susah payah menjaga keseimbangan, aku menyipitkan mataku guna melihat siapa yang barusan menyerangku.

"Anggota baru, heh?"

Benedict. Sosok bertubuh kekar dengan tato di sepanjang lengan kiri yang tadi 'menyambut'-ku di pintu masuk kini berhadapan denganku. Wajahnya masih saja buas. Tidak ada senyum di wajahnya. Rupanya wajahnya berkali-kali lipat lebih buruk jika tidak tersenyum. Tapi matanya kini sedang menatapku dengan heran.

Tunggu dulu. Bukankah seharusnya Benedict diurus oleh Lucian? Ke mana dia?

Aku pun mengusap ujung bibirku yang berdarah, enggan menjawab pertanyaannya sebelumnya.

Benedict terkekeh sinis. "Aku benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala Si Berengsek Franklin. Dia sekarang mempekerjakan bocah di dalam misi berbahaya seperti ini?" ucapnya, entah pada siapa dia berbicara.

"Aku bukan bocah!" Aku menatap Benedict tajam. Aku marah sekali. Pertama karena dia mengataiku bocah. Kedua karena dia juga mengatai Kakek (nama asli Kakek adalah Franklin) dengan sebutan berengsek.

"Pulanglah, Nak, kembali ke sekolahmu. Aku tidak mau membuang waktu dengan meladeni bocah ingusan sepertimu," kata Benedict. Pria itu balik kanan, mengacuhkanku.

"Lawanlah aku kalau kau bukanlah seorang pengecut!"

Hap! Aku melakukan lompat harimau, mengambang di udara dan melewati sekitar 5 anak tangga, mendarat persis di punggung Benedict. Aku memitingnya kuat. Kakiku berayun melilit tubuhnya. Dalam sekejap, karena Benedict yang posisinya tidak siap, aku berhasil men-smackdown tubuh kekar itu.

Bugh

BRAK

Benedict menyikut wajahku dengan sangat keras. Darah segar langsung keluar dari dalam hidungku. Tidak cukup sampai di situ, tangan Benedict mencengkeram pergelangan kakiku dan melemparku ke dinding. Punggungku telak menghantam dinding, menimbulkan suara benturan yang kuat, terkulai lemas, aku kembali terguling di undakan tangga.

Aku meringis. Tubuhku terasa remuk. Seumur-umur aku baru pernah merasakan rasanya dilempar. Dilempar dalam artian yang sesungguhnya. Aku perlahan kembali bangkit. Pandanganku kembali buram. Hebat sekali efek 'dilempar' tadi.

Samar, aku melihat 2 orang yang sepertinya merupakan anak buah Benedict mendekat.

"Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini, Bos. Bos Besar Saduju memberi perintah supaya kita kembali ke markas. Koordinat permata terakhir telah ditemukan."

Demi mendengar hal itu, kesadaranku kembali seutuhnya. Aku mendongak menatap kedua orang itu yang sedang menghadap Benedict.

"Dasar bodoh! Bocah itu masih memiliki nyawa, Berengsek!"

Bugh 

Bugh

Aku bisa melihat 2 orang itu langsung tumbang di tempat begitu Benedict melayangkan bogem mentahnya pada mereka. Pria itu kini berubah haluan, menjadikanku target selanjutnya. Wajahnya yang buas menatapku tajam sekali.

Aku berlutut, tak kuasa lagi menahan beban tubuhku. Benturan keras di punggung dan kepala sukses membuat fokusku lenyap seketika.

Bugh

Bugh

Bugh

3 serangan sekaligus kuterima di pelipis, pipi, dan perut. Aku jatuh terguling untuk ke sekian kalinya. Aku kehabisan tenaga. Oksigen seakan menjauh. Aku merasa seperti tercekik. Aku benar-benar butuh pertolongan.

"Susah payah aku mengerahkan banyak pasukan untuk membuat keributan di Roma guna menarik perhatian pasukan N.I.A kemari. Hah, kalian naif sekali. Aku tahu persis kalian terus mengikuti jejak kami beberapa waktu terakhir, dan bodohnya kalian juga meladeni serangan kami di Roma, mengerahkan pasukan penuh, seolah kalian bisa menahan langkah kami untuk mengambil permata terakhir. Bodoh! Dasar bodoh! Kalian terlalu naif untuk sekedar menyadari bahwa ini semua hanyalah jebakan, pengecoh, sementara pasukan kami sekarang mulai berangkat ke titik batu permata terakhir yang sebenarnya. Dan sialnya, keparat, anak buahku sama bodohnya dengan kalian!" Benedict menatapku dengan murka.

Namun sedetik kemudian, wajah buas yang sedang murka itu tersenyum.

"Maka izinkan aku untuk menghilangkan jejak, Nak. Bersiaplah menemui ajalmu."

"ARGH!"

Bugh

"Jangan berani kau menyentuhnya!"

Bugh

"Keparat sialan!"

Bugh

Lucian. Dia datang bersama anak buahnya dan juga Jasmine. Gadis itu menghampiriku dan membantuku beranjak duduk dengan benar.

"Maafkan aku, Jen. Tidak seharusnya aku berpisah denganmu tadi," ujar Jasmine penuh penyesalan. Itu benar. Tadi kami memang memutuskan untuk berpisah karena terdesak.

Sementara di depan sana, Lucian bersiap melayangkan pukulan lagi sebelum akhirnya anggota Black Room menyeret bos mereka untuk segera berdiri dan kabur. Sebuah helikopter terbang rendah di atas kami. Benedict dan anak buahnya segera melarikan diri dengan melompat dan menaiki helikopter tersebut.

"HEI, BERHENTI! MAU LARI KE MANA KALIAN?!" Lucian dan anak buahnya bersiap mengejar helikopter tadi.

"Lucian, stop it!"

Gerakan Lucian dan anak buahnya terhenti. Mereka menoleh ke arahku yang baru saja berseru lemah. Jasmine merangkulku, membantuku untuk tetap duduk tegak.

"Jangan kejar mereka, Lu, tidak usah," ujarku pelan dengan susah payah. Aku tersengal.

"What do you mean?" tanya Lucian tak mengerti. Anak buahnya juga menunjukkan wajah dengan ekspresi serupa; tidak mengerti.

"Akan percuma saja jika kalian mengejar mereka," aku  mengambil napas dalam-dalam. "We are tricked by them. There is nothing here, Lu."

hellaw it's me fern!

Makasih udah mau baca sampai chapter ini :)

Apa kabar kalian hari ini? Hope u have a nice day >3

Gimana gengs sama chapter ini?

MAAF GUYS AKU BEBERAPA HARI GK UPDATE. DARI AWAL AKU NGEPUBLIS CERITA INI AKU CUMA NULIS SAMPE CHAPTER 14 AJA DAN AKU BELUM SEMPET LANJUTIN. HUHU MAAP T_T SEBAGAI GANTINYA CHAPTER 15 INI AKU BUAT LEBIH PANJANG DARI BIASANYA. 4.342 WORDS GUYS! PENUH PERJUANGAN BGT NULIS CHAPTER INI KARENA ADEGAN ACTIONNYA LEBIH MENDOMINASI. SEMOGA SUKA YAAA :D

Maaf yoo kalo ada kesalahan² gitu. Entah typo, ejaan yang salah, dsb. Aku masih belajar di dunia kepenulisan ini.

Kalo udah mampir, tinggalin jejak sabi kali ya? Biar ada hubungan timbal balik gitu, hehe :'D

Keep reading ROOFTOP FIGHT until the end 💚

Best regards,
Fantuy

Tbc

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
127K 9.2K 57
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
240K 36K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
47.7K 3.4K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...