HIDDENVIEW

By Hinabina

145K 6.5K 249

(Dewasa) Ayaka, seorang streamer cantik terjebak dalam permainan mengerikan "Rumble Arena" yang diselenggarak... More

WARNING
1
2
3
4
5
6
TIM 23
7
9
10
11
12
13
14
15 (END)
SEASON 2
2 - 1
2 - 2
2 - 3
2 - 4
2 - 5
2 - 6
2 - 7
2 - 8
2 - 9
2 - 10
2 - 11
2 - 12
2 - 13
2 - 14
2 - 15
SEASON 3
3 - 1
3 - 2
3 - 3
3 - 4
3 - 5
3 - 6
3 - 7
3 - 8
3 - 9
3 - 10
3 - 11
3 - 12
3 - 13
3 - 14
Part 4
4 - 1
4 - 2
4 - 3
4 - 4
4 - 5
4 - 6
4 - 7
4 - 8
4 - 9
4 - 10
4 - 11
4 - 12
4 -13
4 - 14
4 - 15
Epilogue

8

3.3K 106 2
By Hinabina

"Ughh..." Ayaka memegang perut. Hari sudah semakin larut. Matahari sudah bergantian dengan Bulan untuk berkuasa di langit. Benar ucapan Andrew. Tak ada listrik untuk membuat lampu membantu menerangi. Keadaan remang-remang, hanya bersumber cahaya redup dari Bulan dan bintang. Ayaka lantas mengangkat wajah, menatap cctv yang tentunya juga ada terpasang di rumah kumuh tempatnya bersembunyi saat ini. Jika tak ada listrik yang mengalir, lantas apakah cctv itu masih bekerja?

Ayaka kemudian berdiri mendatangi kamera itu untuk melihat dari dekat, dan mendapati kalau ada setitik cahaya menyala di sana. Hal itu memberi tahu Ayaka kalau pergerakannya masih diawasi, dan juga, mengingatkan Ayaka akan kamera di kamarnya yang diretas BlackJack sehingga ia terpaksa sampai terjerumus ke sini. "Ughhh..." Sekali lagi Ayaka memegang perutnya yang terus bergejolak meminta makan.

Memang sepertinya, rasa lapar ini mampu ia tahan sampai paling tidak esok hari. Tapi setelahnya, Ayaka tak tahu apakah ia masih memiliki tenaga yang tersisa untuk bergerak jika tuntutan ini tidak dipenuh. Dan... Bukan hanya itu masalah mahasiswi cantik itu saat ini. Hari sudah gelap, Ayaka tak tahu ini pukul berapa. Memang insitingnya mengatakan kalau tengah malam masih beberapa jam lagi, tapi, tetap saja bahaya kalau misalkan ia terlambat untuk pergi. Ia taku mau mati konyol. Mau tak mau, ia harus segera pergi kembali ke bagian tengah kota segera.

Ayaka melihat ke kiri dan ke kanan, memantau sekitar. Aman. Tim yang tadi sempat ia lihat berpatroli juga tak terlihat. Langkah pun lanjut diambil, menyusuri jalan di sela-sela rumah kumuh. Ayaka tak mau mengambil risiko untuk dengan polos dan bodoh berjalan di jalan utama. Itu sangat terbuka dan menarik perhatian. Berjalan di antara sela-sela rumah kumuh ini memang pilihan terbaik dan teraman, karena ia bisa bersembunyi kalau ada sesuatu yang terjadi.

"Sial! Di mana dia!?" Dan tindakannya terbukti tepat. Ayaka langsung berhenti melangkah lalu menengok di antara sela-sela rumah ke arah seruan suara tadi. Hari sudah gelap, membuat pandangan jadi semakin sulit. Tapi, Ayaka perlahan bisa mengenali kalau yang tadi menyeru adalah dua orang pria yang tadi ia lihat berpatroli. Mereka masih di sini!? Gumam Ayaka yang kemudian menelan ludahnya.

"Aaaghhh!" Tapi, berbeda dengan tadi siang, dua orang itu tampak kebingungan dan sedikit gusar. Melihatnya, Ayaka tahu pasti ada yang terjadi. "Woi bangsat! Keluar kau!" Mata Ayaka pun terbelalak dan wajahnya yang mengintip itu langsung pucat panik menarik diri bersembunyi.

"H- huh!? Ti- tidak mungkin! Apa mereka tahu keberadaanku!?" Ayaka yang bersembunyi menutup mulut menyamarkan suara nafas yang makin jelas terdengar di malam yang sepi. Tidak... Ayaka yakin ia tidak ketahuan. Daritadi, ia tidak pernah pindah dari rumah kayu itu. Seandainya ia ketahuan, sudah daritadi ia disergap. Aku mengerti... Bukan. Bukan Ayaka yang diteriaki pria itu. Pasti, tim mereka sudah bertemu tim lain dan terjadi perkelahian sehingga ekspresi mereka seperti itu.

Tapi, hal itu justru menandakan, jalan Ayaka akan semakin sulit menuju bagian tengah karena ia harus berhadapan dengan dua tim sekaligus! Siaaaal! Gerutu Ayaka yang tak bisa bergerak maju lagi, terjebak di antara sela rumah untuk bersembunyi. Apa yang harus kulakukan!? Apa aku menunggu lagi sampai salah satu dari mereka yang berkelahi itu tereleminasi lalu kabur? Atau memanfaatkan kelengahan mereka saat berkelahi dan kemudian kabur!? Apa pun rencana Ayaka, yang pertama harus ia lakukan sekarang adalah menunggu.

Perlahan, dua pria yang tadi ia lihat itu mulai pergi kembali mencari di rumah-rumah lain. Hah... Nafas Ayaka pun terhembus lega, sekali lagi lolos dari mereka. Namun, "Eh?" Di saat ia menghembuskan nafas lega dan berniat masuk ke dalam rumah untuk bersembunyi lebih lanjut, di depannya ada seorang perempuan paruh baya yang tepat sekali saling pandang dengannya. "A- A-!" Ayaka yang bingung terbata-bata, begitu juga dengan perempuan paruh baya itu. Mereka sama-sama kaget akan pertemuan yang tak diduga-duga ini.

"HEI! AKU MENEMUKAN SESEORANG!" Teriak perempuan paruh baya itu tiba-tiba. Ayaka langsung bergerak cepat, kabur dari sana. Tapi, perempuan paruh baya itu juga langsung ikut mengejar tanpa jead. "WOI! ADA ORANG DI SINI!" Daritadi perempuan paruh baya itu berteriak nyaring, nampaknya memanggil rekan timnya yang lain. Kecurigaan Ayaka jatuh pada dua orang pria yang tadi sebelumnya ia lihat karena memang merekalah yang paling dekat. "WOI! TUNGGU!"

"Uugghh!" Ayaka lelah seharian ini terus berlari. Rasa lapar yang belum tuntas tak memulihkan energinya. Kakinya pun jadi lambat sampai-sampai perempuan paruh baya itu mulai menyusul. "Sial!" Ayaka mengintip ke belakang. Perempuan paruh baya itu meski mengejar, juga terlihat pucat, sedikit takut. Perempuan itu juga terlihat tidak membawa senjata apa-apa. Hal ini membuat Ayaka berpikir rencana lain. Apa ia bisa menghadapi perempuan ini!? Daripada berlari dan dipaksa masuk kembali ke bagian luar kota, ia sudah tak punya waktu! Ia harus pergi ke bagian tengah sekarang sebelum bom meledak!

"Uughh!" Ayaka pun menantapkan pilihan. Ia sesama perempuan, dan terlebih perempuan itu tampak lebih tua sehingga kesempatan Ayaka menang tinggi. Jika ia bisa menumbangkan perempuan paruh baya ini di sini, ia bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk segera kabur ke bagian tengah kota. Ayaka lantas balik badan, membuat perempuan paruh baya yang mengejarnya itu terkejut kaget. "Haaaah!" Ayaka balik menerjang.

"Uughh!" Perempuan paruh baya itu kaget dan tak sempat bereaksi. Buk! Sebuah pukulan mentah dilancarkan Ayaka tepat mengenai wajah keriput itu. Perasaan Ayaka langsung bercampur aduk. Ia merasa sedikit bersalah memukul perempuan itu, tapi, jika ia tidak melakukannya, keselamatan dirinyalah taruhannya.

"Ma- maaf!" Ayaka yang berhasil memukul jatuh perempuan paruh baya itu balik badan, berniat lanjut untuk kabur. Tapi, Bzzz! "Aaaakkhhh!" Tanpa diduga Ayaka, ternyata perempuan paruh baya itu membawa sebuah senjata tersembunyi di balik punggungnya. Stun gun itu ditembakkan mengenai kaki Ayaka yang lengah, "Uughhh!" Bruk! Ayaka pun langsung terjatuh lumpuh. Sekujur tubuhnya kejang-kejang dan tak satu pun anggota badannya merespon perintah otaknya. "A- A-!" Mulutnya juga terbata-bata tak mampu bersuara.

"Kuh!" Perempuan paruh baya itu berdiri sambil menyapu darah yang keluar dari hidung akibat pukulan Ayaka. Ia lalu menelentangkan tubuh Ayaka dan mendudukinya. "Nnnghhh! Aku pasti akan bertahan hidup!" Seru perempuan paruh baya itu mulai mencekik Ayaka yang sama sekali tak bisa bergerak terkena efek stun gun. "Nnghhhh!"

Pandangan Ayaka mulai menghitam. Nafas yang ia tarik tak mampu masuk ke dalam tubuh. Tenaganya makin hilang. Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak mau mati sekarang! Tidaaaaaaaak! Siapa saja! Toloooong! Ayaka yang tak mampu bersuara berteriak di dalam batin dengan harapan seseorang hadir menjawabnya. Lalu, dari belakang muncul seorang pria yang dengan sigap memeluk perempuan paruh baya yang sedang mencekik Ayaka itu.

"Nnnghhh! Ohok! Ohok! K- Kaaaauu! Nnnghh!" Perempuan paruh baya itu dibawa berdiri sambil dicekik dari belakang. Tangannya yang terlepas dari leher Ayaka membuat Ayaka bisa kembali bernafas mengambil udara dan mengembalikan pandangannya. "Tidaaaak! Jaaaaangaaaaan! Aku tidak mau mat-!" Krak! Tanpa basa-basi, leher perempuan paruh baya itu dipatahkan dengan bunyi remukan yang terdengar Ayaka. Bruk! Mayat perempuan paruh baya itu pun jatuh ke sebelah Ayaka, memberi ruang kepada Ayaka untuk melihat siapa sosok yang telah membunuh perempuan paruh baya itu. Dia adalah Macaroni.

"Loh? Kok Nona di sini?" Macaroni terkekeh melihat Ayaka terlentang lumpuh di atas tanah sana. Ayaka tak sanggup bergerak. Ia juga masih tak sanggup merangkai kata. Semua syaraf tubuhnya masih kaget dan lumpuh. Melihat Macaroni, seandainya tubuhnya bisa bergerak, Ayaka pasti langsung berdiri menjaga jara dengan pria brengsek ini. "Hm?" Lalu, Macaroni memalingkan wajah ke belakang. Kelihatannya pria itu mendengar rekan tim perempuan baruh baya yang baru ia bunuh itu mendekat. Ayaka juga sayup-sayup mampu mendengarnya. "Kelihatannya mereka mau ke sini. Bagaimana denganmu, Nona? Kalau mereka menemukanmu terbaring lumpuh di sana pasti merepotkan." Macaroni tersenyum licik. Ayaka sampai hafal akan bentuk senyuman licik itu, karena sudah dilihatnya berkali-kali selama dua minggu bersama.

"Hmh! Benar-benar anggota tim tidak berguna. Seandainya bisa lolos sendirian, aku tidak akan mau repot-repot begini." Macaroni, mesti menggrutu, pria kekar itu mengangkat tubuh Ayaka dan membawa Ayaka yang lumpuh bersama. Macaroni tidak serta merta membawa kabur Ayaka langsung ke bagian tengah Kota, walau tanah kosong perbatasan sudah terlihat di depan sana. Macaroni, entah karena alasan apa, memilih untuk masuk ke rumah kumuh yang masih bisa mengamati mayat perempuan paruh baya yang barusan ia bunuh. Apa yang dilakukan pria brengsek ini!? Apa dia lupa kalau ada bom yang bakal meledak!? Kita harus memanfaatkan kesempatan ini untuk segera kabur ke bagian tengah! Andai Ayaka bisa berbicara, ia pasti sudah menggebu-gebu menyeru.

Ayaka yang masih lumpuh lantas direbahkan di lantai, sedangkan Macaroni mengintip di antara lubang kayu. "Sial! Bagaimana keadaannya!?" Terlihat dua pria yang tadi dilihat Ayaka ternyata memang benar rekan satu tim perempuan paruh baya yang baru saja dibunuh Macaroni.
"Dia... Sudah mati." Salah satu dari mereka memeriksa denyut nadi perempuan itu dan mengkonfirmasi kematiannya.
"Tch! Bangsaaat!" Lalu, salah satunya lagi tampak emosi menampar dinding kayu di dekatnya. "Sekarang bagaimana!?"

Dua lelaki itu saling pandang. "Inilah akibatnya kalau satu tim dengan orang tua seperti itu! Yang istri tidak berguna, yang suami sok pintar tapi malah menyesatkan!" Gerutuan itu terdengar jelas di malam yang sepi, masuk ke telinga Ayaka.
"Apa boleh buat! Selama kita dan suami si bodoh ini masih hidup, setidaknya tim kita masih selamat! Apa pun itu, kita harus segera pergi dari sini karena sudah mau tengah malam!"

"Bagaimana dengan si brengsek yang membunuh dia!?" Tunjuk salah satu dari mereka ke mayat perempuan paruh baya yang nyawanya telah direnggut Macaroni.
"Firasatku mengatakan, pembunuhnya adalah orang yang sama dengan yang menyerang suami si bodoh ini. Kurasa, karena waktu semakin mepet, dia pasti juga sedang pergi ke bagian tengah." Mereka berdua lantas pergi menuju sebuah rumah kayu, di mana di sana ia menjemput seorang pria paruh baya yang tampak seumuran dengan mayat perempuan yang barusan dibunuh Macaroni.

"TIDAAAAAAK!" Dan pria itu berteriak histeris. Pantas saja. Mayat Sang Istri sudah terbaring tak bernyawa dengan leher patah di tengah jalan. "TIDAAAAAAK! JAAANEEE!"
"Hei pak tua! Sudah! Istrimu itu sudah mati! Kalau kita tidak segera pergi dari sini, kita juga ikutan mati!" Rekan setimnya itu pun menyeret pria yang sedang histeris itu menjauh. "Aku tidak mau mati konyol hanya karena satu tim dengan orang tua tidak berguna seperti kalian!"

"TIDAAAAK! JANEEE!" Pria yang histeris itu tak bisa berbuat banyak. Ia ingin berontak dan berlari menghampiri mayat Sang Istri untuk terakhir kali. Bahkan sepertinya, ia sudah menyerah. Ia ingin ada di sana saja dan mati bersama. Mengakhiri event gila ini bersama Sang Istri. Tapi, kaki pria paruh baya itu pincang. Lengannya juga tampak patah.
"Hmh..." Macaroni tersenyum. Dialah pelakunya. Dialah yang sudah menyerang pria paruh baya seumuran Lasagna itu sampai tangan dan kaki pria itu patah. Lalu, karena kondisinya, rekan timnya yang lain itu lantas berpatroli menjaga serangan Macaroni berikutnya.

Istrinya tadi keluar sejenak berniat memanggil dua rekan timnya itu untuk mengajak mereka melanjutkan perjalanan saja menuju bagian tengah. Namun di tengah jalan, ia malah bertemu Ayaka dan mengejar Ayaka hingga akhinya, nasibnya tewas seperti itu.

"Nnghhh..." Ayaka mulai bisa menggerakkan lidah. Namun, tubuhnya masih kebas. Jemari-jemari tangan dan kakinya masih tidak merespon sepenuhnya. Hanya bisa bergerak sedikit-sedikit tanpa bisa mengepal. "Nnghh..." Usaha Ayaka yang berniat bangkit berdiri karena takut tengah malam tiba membuat Macaroni berpaling ke arahnya. Pria itu memang sudah selesai mengintip tim tadi, yang sudah pergi ke perbatasan lebih dulu.

Hah... Hah... Hah... Dengan nafas menggebu-gebu sisa efek stun gun, Ayaka bertatapan dengan Macaroni. "Di mana si kacamata sok pintar? Kenapa kalian terpisah?" Tanya Macaroni yang duduk di sebelah Ayaka dan mulai menyalakan rokok.
"A...ku, tidak... Tahu..." Jawab Ayaka yang masih belum lancar. "Kami... terpisah karena... diserang. Dia dan... Lasagna... Sudah pergi duluan ke... bagian dalam... Nngghh!" Ayaka sungguh kesal karena tubuhnya tak bisa bergerak leluasa. Ia ingin bangkit! "B...om... Bom... Pergi... Kita harus... pergi." Karena masih tak berada, Ayaka pun hanya bisa bersuara seadanya memperingatkan Macaroni yang hanya terkekeh santai menanggapinya.

"Bom? Tenang. Masih ada waktu sebelum tengah malam. Lagipula, kalau aku mau pergi ya tinggal pergi. Bagaimana dengan dirimu? Perlu waktu beberapa jam agar pulih sepenuhnya dari efek stun gun, dan kurasa menunggu kau pulih sepenuhnya tidak akan sempat. Hehe..." Macaroni terkekeh-kekeh. Tangan busuknya itu lantas menyingkap bikini Ayaka hingga dada mahasiswi cantik itu terbuka. Ayaka yang masih lumpuh sama sekali tak bisa bergerak meskipun ia sangat ingin mengangkat tangan menghentikan itu.

"Nnghhh! Nnngghhh!" Ayaka hanya bisa menggerutu dan mengerang. Ia terus memaksa agar syaraf tubuhnya kembali pulih, tapi itu justru membuatnya sadar kalau ucapan Macaroni benar. Meski ia perlahan merasakan kekuatannya kembali, tapi, butuh waktu yang tidak sebentar. Tidak akan sempat jika ia menunggu sampai pulih! Bom keburu meledak!

"Kalau sudah begini, hanya ada satu cara agar kau bisa selamat, bukan?" Ayaka benci mengakuinya tapi memang itulah kenyataan. Satu-satunya cara agar ia bisa pergi ke bagian tengah kota dan selamat hanyalah, "Bergantung padaku." Fuh... Macaroni menghembuskan asap rokok. "Kalau kau minta tolong padaku baik-baik, aku mungkin akan membantu. Tapi tentu saja, itu berarti kau berhutang nyawa padaku. Hahaha!" Rokoknya yang habis dibuangnya sembarangan. Macaroni pun diam, hanya menatap Ayaka yang terlentang dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Hmh!" Pria itu lantas mendengus dan berdiri. "Ya sudah kalau tidak mau. Lagipula, kehilangan satu anggota tim sebenarnya juga tidak masalah." Dengan santai, Macaroni berjalan meninggalkan Ayaka sambil menghidupkan sebatang rokok lagi.

Ayaka mengutuk dirinya yang tak berdaya dan tak bisa apa-apa. Apa dia harus menerima tawaran Macaroni itu? Tapi memang, hanya itulah pilihannya agar bisa selamat. Ia yang sekarang saja belum bisa mengepalkan tangan, apalagi berjalan dan berlari! Bip! Bip! Lalu, mata Ayaka dibuat terbelalak ketika di tengah sayupnya malam, ia bisa mendengar bunyi alarm. "Hm? Bomnya sudah mulai menghitung mundur huh?" Disusul dengan itu, ada sebuah timer muncul di gelang Ayaka. 10 menit yang terus terhitung mundur, menuju tengah malam.

"T- tunggu!" Seru Ayaka sekencang yang ia bisa, mencegah Macaroni pergi lebih jauh lagi. Pria itu pun berbalik menatap Ayaka, "To...long. A- aku... Kumohon..." Mendengarnya, Macaroni langsung terkekeh-kekeh. Ia pun menjemput Ayaka lalu mengangkat tubuh ringan Ayaka.
"Hehehe," tawa berbau rokok itu terhembus ke wajah Ayaka. Sungguh, Ayaka rasanya tidak sudi digendong dan mendapat bantuan Macaroni seperti ini. Seandainya bukan nyawa taruhannya, Ayaka tak akan memohon seperti tadi.

Mereka berdua lalu melewati tanah kosong dan tiba di bagian tengah kota Polka. Beberapa saat setelah Ayaka direbahkan di lantai salah satu rumah di bagian tengah kota, DUAR! DUAR! DUAR! Ledakan demi ledakan bersahutan, menghancurkan semua rumah kayu di bagian luar. Tanah kosong yang menjadi pembatas rupanya sebagai ruang agar api tidak merambat. Malam langsung terang karena adanya api yang berkobar. Seandainya Ayaka telat beberapa menit saja, dia pasti sudah mati terbakar di antara rumah-rumah kumuh itu.

Continue Reading

You'll Also Like

213K 7.7K 70
Suatu hari seorang gadis yang sedang tidur pada malam hari, ia bertemu dengan sosok yang ia rindukan muncul dalam mimpi nya. Yaitu ayah nya beliau me...
55K 4.6K 73
Tokyo Noir Familia salah satu keluarga Mafia di kota TokyoVerse.Dipimpin oleh Rion Kenzo yang dipanggil dengan Papi dan Caine Chana yang selalu dipan...
49.6K 7.8K 25
[A SASUSAKU FANFICTION] Sampai saat ini, kejadian itu kerap hadir dalam mimpinya seperti alarm yang diatur otomatis. Terlalu sulit menekan rasa bersa...
78.6K 7K 21
Sakura terluka sangat dalam oleh pria yang sangat ia cintai. Dan Sasuke akan selalu menyesali perbuatannya. Akan kah takdir cinta mereka menyatu lagi...