Mahasiswa Anjay [✔️SELESAI]

By Rose-Maiden

16.7K 6.8K 4.2K

[ BACA SELAGI PART MASIH LENGKAP!!! ] ⚠️PERINGATAN⚠️ TOXIC DI MANA-MANA! DIHARAPKAN PEMBACA DAPAT MENGAMBIL N... More

Prelude
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Landasan Teori
1.4 Pembatasan Masalah
1.5 Perumusan Masalah
1.6 Metode Penelitian
1.7 Pelaksanaan Penelitian
1.8 Hasil Penelitian
1.9 Orientasi Kancah
Bab II Kerangka Teoritis
2.1 Tinjauan Pustaka
2.2 Studi Penelitian
2.3 Prinsip Teoritis
2.4 Anotasi Bibliografi
SPESIAL PART
2.5 Pengertian Anotasi
2.6 Struktur Umum
2.7 Double Degree
2.8 Reviu Artikel
2.9 Artikel Berbasis Penelitian
Bab III Analisa Pamungkas
3.2 Strategi Penunjang Modul
3.3 Implementasi
3.4 Penunjang Prosedur
3.5 Probabilitas Subjektif
3.6 Prohabilitas Teknis
3.7 Argumentati Gratia
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
4.2 Rekomendasi
EPILOGUE [SPECIAL Promnight]
[END] Special Promnight (Part 2)

3.1 Analisis Sintesis

121 32 6
By Rose-Maiden

Tak ada yang sia-sia sebab manusia adalah makhluk yang tak sempurna. Dan kasih sayang menyempurnakan dua insan yang berbeda.
.

.

.

Sila berspekulasi ....


"Hei bangun! Rinjani bangun!" Maharani menepuk pipi Rinjani.

Kelopak matanya dituntut untuk terbuka. Lamat-lamat Rinjani menatap langit kamar Maharani yang dibalut kelambu berwarna emas. Cahaya kuning dari lampu gantung kristal bersinau-sinau memenuhi retinanya.

"Di mana aku? Apa aku di surga?" Lagi-lagi Rinjani meracau. Nyawanya seratus persen belum pulih membuat Maharani berkacak pinggang seraya geleng kepala.

Maharani menarik paksa selimut tebal yang dipakai Rinjani membungkus tubuhnya. Terlihat raga gadis itu sedang terlelap sambil memeluk guling yang terbungkus sprei putih.

"Bangun! SUDAH SETENGAH DELAPAN!"

"ASTAGA AKU KETINGGALAN BIS!" Rinjani melompat, melempar bantal guling sembarang arah, lantas berlarian mencari kamar mandi.

Maharani memijit pelipis. Sesekali ia berpikir, apa setiap pagi saudara kembarnya selalu seperti ini? Terjaga hingga subuh, bangun kesiangan, dan pontang-panting sampai menabrak dinding.

Ya, kemarin setelah puas diajak Maharani berkeliling di sekitar rumahnya. Rinjani langsung mengunci diri di kamar megah milik Maharani kemudian membuka laptop. Bukannya belajar untuk bahan presentasi dadakan ia malah bermain video game hingga pukul dua dini hari.

Maharani menahan lengan saudarinya. "Rinjani tenanglah!"

"Bagaimana aku bisa tenang, sebentar lagi busnya berangkat, Maharani!"

Kesal dengan sikap saudara kembarnya, Maharani membungkam mulut Rinjani. "Tidak ada bis di sini! Ikut aku! Dan satu hal lagi, kau tidak terlambat. Aku hanya menipumu!"

Rinjani melongo. Matanya melihat ke arah jam besar di sudut ruangan. Pukul 06.30? Yang benar saja bajingan berkelas itu telah ditipu oleh gadis selugu Maharani!

Rinjani memasang wajah datar. "Satu kata buatmu. Jancok."

"Aku cuma takut kamu terlambat, Rinjani!"

***

Setelah setengah jam kemudian, Rinjani keluar bersama penampilannya yang luar biasa. Kemeja merah kotak-kotak yang kampungan itu tergantikan oleh sweater hitam lengan panjang. Hotpants jeans kombinasi ikat pinggang berwarna hitam lengkap dengan rantai sebagai aksesoris. Sungguh penampilan Rinjani jauh berbeda kali ini.

Rinjani melihat ke bawah lalu berputar sejenak. "Maharani, apa tidak terlalu berlebihan?"

"Ayolah Rinjani! Kamu terlihat aesthetic sekali!"

"Aku takut ibumu marah."

"Sudah jangan dipikirkan! Mari sarapan." Maharani membawanya ke ruang makan di lantai satu.

"Maharani tunggu!"

Terlambat. Tubuh Rinjani telah dibawa saudara kembarnya menuruni tangga. Di sana sudah tersedia berbagai macam menu. Selain itu, jajaran butler dan maid menyambut hangat tuan putrinya.

Para maid dan butler itu membungkuk serempak sambil mengucap. "Selamat pagi, Nona. Apa tidurmu nyenyak?"

"Pagi semua!" balas Maharani sembari melambaikan tangannya.

"Maharani, sudah berapa kali mommy bilang? Jangan menyapa mereka!" Rinjani terserentak ketika suara tegas seorang wanita memanggilnya. Dia adalah Fawnia Gayatri Carabella ibu angkat Maharani.

"Bukankah mereka juga manusia 'kan Rinjani?"

Rinjani menganguk kikuk. "I-iya."

Gayatri menunjuk Rinjani. "Hei, kalangan menengah bawah mengapa kau memakai pakaian anakku?"

Sebal melihat kelakuan Gayatri pada saudarinya, Maharani menghentakkan kaki. "Mommy! Dia itu saudariku jadi wajar dong kita berbagi pakaian!"

Rinjani memegang pundak Maharani. "Tak apa Maharani. Ibumu benar, aku akan segera pergi dari sini."

"Aku antar kamu."

Rinjani tersenyum tipis, lantaran menggeleng. "Tidak usah."

"Tapi Rin--" Kalimat Maharani terpotong.

"Saya permisi!" Rinjani membungkuk lalu meninggalkan Gayatri serta pelayan mereka. Tak terima dengan perlakuan Gayatri, Rinjani memilih pergi. Memang dia sudah biasa direndahkan akan tetapi sikap Gayatri tidak mencerminkan karakteristik orang bijak. Dan lebih rendah dari seorang bajingan. "Maharani mulai hari ini jangan antar gue lagi."

"Rinjani tunggu!"

***

"Hai assalamualaikum kalian nungguin aku enggak?" Rinjani melambaikan tangan pada rekannya yang asyik menikmati sarapan.

"Waalaikumsalam," jawab Brian tak acuh.

"Kenal gak?" ketus Jamal.

"Orang mana lo?" imbuh Zeline.

Dora menimpali. "Maba kok sok-sokan banget sih!"

Yang benar saja, mereka sama sekali tak mengenali Rinjani. Cewek itu kesal, dia memberantakkan rambut, berkacak pinggang, lalu memaki. "Cok! Ini gue njirr, Rinjani!"

Gusti terbelalak, seketika Jamal menghentikan gerakan makannya, sedangkan Doran dan Zeline cengo. "SUMPAH?!"

Rinjani mengambil duduk di samping Brian. "Iya ini gue!"

"Mati aja lo!" maki Brian kesal.

Rinjani menatap sinis Brian. "Cok, Yan!"

Dora mangamati Rinjani dari atas hinggga bawah. Dia terheran hanya dengan sweater hitam, celana hotpants dengan aksesoris rantai dan ikat pinggang hitam sosoknya hampir tak dikela orang. "SUMPAH DEMI ALEX RIN! STYLE-MU AESTHETIC BANGET!"

Zeline menyikut Dora. "Alex siapa, Ra?"

"Enggak tau, gue nemu di tiktok."

"Biasalah!" jawab Rinjani enteng.

Gusti mengusap wajah kasar. "Udah berantemnya?! Habis kuliah nanti kita akan buat kejutan di ruang sekre--"

"Jangan sekarang lah woe!" Brian menyela.

Gusti mengerutkan dahi. "Tumben. Napa lo, Yan?"

"Biar Zeline angkat bicara dulu terus menemukan buktinya baru kita gerebek ruang sekre," usulnya.

Zeline membalas. "Iya nih. Beri gue waktu dong buat nyunsun buktinya."

Pandangan Gusti beralih pada Rinjani tengah menghabiskan indomie-nya yang baru saja diantar. Sebelum dia bertemu para rekannya, terlebih dahulu Rinjani memesan makanan. Supaya tidak menunggu lama.

"Gimana Bu Ketu?" tanya Gusti memastikan.

"Gue sih yes. Apapun keputusan kalian selama masih terjaga kepercayaan mengapa tidak?"

"Baiklah sudah diputuskan! Rapat selesai, sekarang kita ke kelas." ujar Jamal.

Mendengar perintah itu tangan Rinjani menghentikan suapan ketiganya. "Lah cok kok gue ditinggal?! Gak setia kawan banget sih!"

"Gue ditelpon dosen, Rin!" Gusti mencari-cari alasan.

"Gue juga harus minta tanda tangannya Bu Fatmah," balas Dora.

"Gue malah disuruh cari narasumber," lanjut Zeline.

Rinjani berdecak sebal kemudian melanjutkan sarapannya. "Terserah."

"Jani," panggil Brian.

"Lah, Yan? Gue kira lo udah ngilang duluan."

Brian tertawa kecil. "Enggak. Btw lo nanti sibuk gak?"

"Sok sibuk aja sih sibuk enggak ngapa-ngapain. Memang kenapa?" Rinjani memasukkan satu sendok mie instan ke dalam mulutnya.

"Main ke Kretek, yuk! Cuma kita berdua. Hanya kau dan aku."

***

Brian dan Rinjani berlarian mengejar angkutan umum. Semua ini salah Rinjani. Cewek itu terlalu lama berlabuh di pedagang kaki lima hanya untuk membeli satu pcs rokok. Angkutan umum berhasil dihentikan. Rinjani menyeka peluh. Dia mengambil tempat di pinggir cendela, diikuti Brian di sampingnya.

"Parah lo, Jani." Bukannya marah atau mencaci makinya, Brian malah terkekeh.

Sementara Rinjani terheran dengan sikap Brian yang berubah seratus delapan puluh derajat. "Lo gak marah atau hina gue gitu?"

"Sore ini beda, Jani."

"Beda apanya?" Rinjani bertatap muka dengan Brian.

Brian menatap Rinjani sambil menampilkan seulas senyum. Senyum begitu tulus yang tak semua orang tahu dikhususkan untuk cewek di sampingnya. "Sebenarnya gue udah lama pen ngajak lo main ke Kretek tapi nunggu waktu yang tepat."

"Kenapa lo enggak sekalian ajak temen-temen yang lain? Dora kan juga suka pantai."

"Hanya ingin berdua bersamamu."

Suasana mendadak canggung. Rinjani terdiam begitu mencerna perkataan Brian barusan. Begitu pula tatapannya langsung beralih ke luar cendela. Di lain sisi Brian memaklumi sifat Rinjani yang mendadak bungkam. Mungkin karena dia terlalu berlebihan sampai membuat bajingan berkelas ini terhanyut dalam suku katanya.

Rasa apa yang terjalin di antara keduanya?

"Kiri, pak!" teriak Brian pada sang sopir.

"U-udah nyampe, Yan?"

Tanpa berkata-kata Brian menarik tangan Rinjani, meninggalkan angkutan umum seraya memberi dua lembar uang lima ribuan kepada sopir. Rinjani masih terdiam melihat angkutan umum makin menjauh.

"Jalan lima belas menit enggak masalah 'kan?" tanya Brian tiba-tiba.

Rinjani menerima tawaran Brian. Tak masalah jika ia berjalan maupun berlari berkilo-kilo meter, toh kakinya sudah terlatih menghadapi situasi seperti ini. "Boleh."

Sesampainya di sana Rinjani memaku. Dia menyesali karena seumur hidupnya tidak mencoba menyatu dengan alam. Pengelihatan Rinjani disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Hamparan samudra yang membentang luas berpadu birunya langit. Bukit-bukit kecil yang mengelilingi lautan jawa serta suara deru ombak menggaung di telinga.

"Suka?"

"Banget!" respon Rinjan bersama bibirnya yang mengembang.

Pandangan Brian tak lepas dari aura ceria yang dipancarkan gadis itu. Ia kemudian bergumam. "Manis bak kembang gula kapas."

Tiba-tiba Rinjani melepas sepatu sneakers-nya. Membiarkan telapak kakinya bersentuhan dengan lembutnya pasir. Gadis itu menatap Brian kemudian menarik tangannya. Dia mengajaknya berlari menuju hilir pantai. Deru ombak mulai terasa di sela-sela kaki. Layaknya anak kecil, Rinjani tertawa lepas sambil mencipratkan air ke segala arah.

Saking senangnya Rinjani tiada berhenti lompat-lompat hingga menimbulkan percikan air. Wajar saja seumur hidupnya Rinjani tidak pernah menyusuri alam. Bahkan ke pantai pun jarang kecuali acara tahunan sekolah. Setelah itu, ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya berlibur. Kadang dia iri dengan teman-temannya yang diajak liburan bersama keluarga.

"Kamu ngapain, Jani?" tanya Brian.

Rinjani tidak menjawab melainkan memercikkan air ke arah Brian dengan gembiranya. Brian tertawa geli melihat tingkah laku Rinjani yang menggemaskan. Kemudian membalas cipratan air dari Rinjani sampai puas.

"Lo ngerjai gue?"

"Enggak suka gelay."

Cakrawala yang cerah, air samudera yang jernih memantulkan cahaya lembayung senja. Burung-burung beterbangan pulang ke sarang. Membawa makanan demi anak mereka yang kelaparan. Setelah lelah bermain air sepanjang sore, kini dua sejoli itu duduk di atas karang sambil menikmati indahnya langit dilatarbelakangi jingganya sinar mentari.

"Capek?" tanya Brian pada Rinjani.

Sementara itu, pandangannya tak lepas dari fatamorgana senja yang seolah mewarnai kehidupan barunya. Bahkan dia terlupa dengan rokok yang dibelinya tadi. "Gue seneng, Yan. Makasih."

"Kembali kasih."

Mendadak sebuah ide mengenai bukti yang disusun Zeline terlintas di kepala Rinjani. Seketika ia menoleh kepada Brian. "Yan, gue ingat suatu ha--" Kalimat Rinjani terpotong.

Seolah mengerti apa yang Rinjani pikirkan, Brian mengambil kesempatan untuk menyela. "Hanya sore ini saja, Jani. Jangan membahas soalan itu lagi."

"Mengapa?" Rinjani bertanya bingung.

Brian menatap wajah Rinjani lamat-lamat. "Sebentar, aku sedang menikmati waktu bersama senja yang kurindu."

Rinjani menahan tawa. "Lo ngomong apa sih, Yan?!"

Lagi-lagi Brian tidak meluapkan amarahnya. Dia menggamit tangan Rinjani. Sungguh sifat yang berbeda dari sebelumnya. "Coba sesekali dimengerti."

"Kalau belum mengerti gimana?"

"Masih 'belum' sebentar lagi kamu akan sadar. Kamu kan cerdas."

Pipi Rinjani bersemu. Ia menelan silvananya. Kemudian memandang mata sendu Brian. Tatapan yang sangat dalam dan tulus, tak menyimpan rasa dendam.

Rinjani menggeleng cepat. Apa dia sudah tahu perasaannya kepada Brian? "Tidak mungkin!"

"Mungkin saja ini faktanya bukan rekayasa belaka."

"Yan ...," desis Rinjani masih dengan wajah memerah.

"Ada apa?" jawab Brian dengan lembutnya.

Kepala Rinjani tertunduk. "Gue gak tahu harus bilang apa."

Brian menggamit tangan Rinjani. "Kamu tau enggak? Momen ini mengingatkanku ketika di puncak gunung Rinjani. Melihat kota di atas awan bersama sang mentari yang memantulkan sinarnya dan berharap dapat menemukan senja yang tiada pernah sirna."

Kalimat yang indah. Tapi mengapa harus terjadi di antara kami? Rinjani menenggelamkan wajahnya. "Eum." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Rinjani.

Brian melepas seutas senyum. Tangannya yang kurus menyentuh ujung kepala Rinjani lalu mengusapnya perlahan. Rasa penatnya terbayar setelah berkecamuk dalam lingkaran kehidupan terlebih lagi kehadiran gadis di depannya membuat hati cowok itu terasa tenang dan nyaman.

Apa yang dikatakan Ilya kala itu memang benar. Cinta tak pandang masa, tak pandang usia, dan tak pandang raga. Mereka saling berkaitan seolah jiwa ini tertanam hukum Newton I yang mana benda tidak akan bergerak jika ada yang menggerakkan. Begitu juga dengan hati.

"Senja yang indah di puncak Rinjani."

***

Keesokan harinya gadis itu sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja merah kotak-kotak yang biasa digunakan. Saat ini dia mencari keberadaan Maharani di roftoop. Tempat pertama dia menemukan teman selain MA.

Dugaannya seratus persen benar. Maharani berdiri di tepi pagar pembatas. Tersenyum indah. Menatap indahnya langit biru membentang luas tanpa penghujung. Maharani menoleh ketika menyadari ada seseorang di sampingnya, Rinjani.

"Rinjani, ini apa?" Saudara kembarnya dikejutkan dengan Rinjani sedang menyodorkan sebuah tas berisi pakaian yang dipinjamnya kemarin.

"Cuma mau balikin baju yang kupinjam kemarin."

Maharani tergelak. "Enggak usah, Rin. Itu buat kamu."

"Gak ah. Gue gak enak ntar dimarahin mamak kau pula."

"It's ok, Rin. Never mind buat kamu itu."

"Yang bener?" Rinjani menyejajarkan tubuhnya dengan Maharani. Tinggi mereka sama, wajah mereka sama persis. Yang membedakan hanya sifat dan warna rambut saja.

"Yoi kita kan saudara. Kamu keluargaku satu-satunya, Rin."

Seketika gawai Rinjani bergetar, memunculkan nama Gusti di layar ponselnya. "Bentar, Maharani. Halo Gus? Apa kangen?"

"Kangen gundulmu! Turun!"

"Sekarang gue lompat?"

"Iya sekarang turun! Bukan loncat anjenk turun!"

Panggilan pun berakhir, Rinjani mengantungi ponselnya. "Maharani sorry banget gue ada urusan penting."

"Ok santuy. Lagian gue nunggu dijemput Merapi kok."

Sesuai perintah Gusti, Rinjani mempercepat langkah menuruni anak tangga. Di bawah sana kelima temannya sudah berjajar menunggu kedatangannya.

Ya meski Brian sekarang di sampingnya, Rinjani bersikap biasa saja dan menyapa layaknya teman biasa bukan dua sejoli yang senantiasa beriringan layaknya sepasang kekasih. Mengenai kepergian mereka ke pantai Kretek kemarin sengaja dirahasiakan. Mungkin saling menjaga privasi ataukah lebih dari sekedar urusan pribadi?

"Siap, Rin?" tanya Zeline memastikan.

"Yoi! Sekarang kita temukan antagonis yang sebenarnya."

***

Coming soon ...

DEAR READERS

TITIPKAN PENGALAMAN MEMBACA KALIAN DI KOLOM KOMENTAR!

Continue Reading

You'll Also Like

47.4K 3.8K 38
[SUDAH TERBIT - EPILOG DIHAPUS SETENGAH] 📌 Sequel RALINE. Bisa dibaca terpisah. Setelah bertahun-tahun Nevan dan Raline tidak bertemu, takdir kembal...
1.1M 119K 38
abis nongkrong bukannya langsung balik, si yogi malah berhenti di deket pohon mangga. alesannya cuma buat ngudud doang. soalnya kalo di rumah dibates...
327K 13.3K 29
[90% isi versi cetak berbeda dengan versi Wattpad] Menjalani hubungan diam-diam itu tidak mudah, apalagi dengan bintang sekolah. Bertambah menyesakka...
4.8K 463 6
Sebuah perasaan akan tumbuh dengan seiring berjalannya waktu, membuka hati yang telah lama membeku dengan kehangatan cinta yang menyapanya setiap wak...