Satu Shaf di Belakang Mu [Squ...

By juraganbacil

652K 40.5K 987

"Jika hadirku tidak berarti apa-apa untuk mengubah hatimu untukku maka izinkan aku untuk selalu ada satu shaf... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7 Terbiasa
Chapter 8 QnA
Chapter 9 Hadiah
Chapter 10 Jawaban
Chapter 11 Rumah Singgah
Chapter 12 Acuh
Chapter 13 Perubahan
Part 14 Kebahagiaan
Part 15 Harapan
Part 16 Konflik
Part 17 Prioritas
Part 18 Mencoba
Part 19 Syukuran
Part 20 Fotoshoot
Part 21 - Titik Terendah
Part 22 Mundur
Part 23 Curahan hati
Part 24
Part 25 Terbongkar
Part 26
Part 27 Love letter
Part 28
Part 29 Happiness
Part 30 Remember
Part 31
Part 32 Pulang
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37 Pandangan
Part 38
Part 39- Birthday
Part 40 Kalem
Part 41 Ketidaksukaan
Part 42 Gift
Part 43 Rewel
Part 44
Part 45
Part 46 Berkunjung
Part 47-Asha Tahu
Part 48-Ulang Tahun

Epilog

22.2K 942 32
By juraganbacil

Waktu semakin bergerak cepat, bumi semakin tua tapi manusia semakin terlena dengan indahnya dunia hingga lupa dengan bekal yang harus dibawa untuk akhirat nanti.

Lima tahun sudah Kia lewati, memang benar mengarungi bahtera rumah tangga sama halnya dengan mengarungi dalamnya lautan. Penuh perjuangan, Kia banyak belajar arti dari kehidupan, kebahagiaan dan kesabaran.

Naik turunnya perjalanan tentu tidak mudah, apalagi di awal yang menurut orang-orang awal pernikahan adalah awal yang paling manis namun tidak bermakna bagi Kia. Ya, Kia menikahi seorang lelaki yang hatinya saja masih dipenuhi oleh satu nama yang sepertinya sangat dicintai sampai-sampai tidak ada celah untuk menembusnya. Namun, dengan keyakinan kuat dan pastinya do'a yang terus dipanjatkan akhirnya portal penghalang itu berhasil ditembus hingga sampai di tahun sembilan pernikahannya.

"MAMA...."

Suara yang selalu menyapanya saat siang... ya itu adalah putra sematawayangnya Kia dan Daffa, Putra... bayi mungil yang bisa dibilang menjadi saksi nyata perjuangan Mamahnya.

Kia yang saat itu sedang melihat album pernikahannya langsung tersenyum melihat putranya berlari ke arahnya dan tentunya dengan senyuman lalu dengan antengnya duduk dipangkuan sang Mama.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," ucap Kia sembari menoel hidung mancung putranya.

Putra, bocah berumur enam tahun itu memberikan dereta gigi putihnya lalu berkata, "Assalamu'alaikum Mamah sayang."

Kia tersenyum. "Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Nah gitu, masuk rumah itu ucapin salam bukan teriak-teriak cari Mama."

"Maaf, Kaka Zavier janji deh gak ulang-ulang."

Kia mengusap rambut hitam putranya. "Gimana tadi sekolahnya? Kok lama banget sampenya? Anter pulang uzha sama uzhi dulu sayang?"

Ekspresi Putra seketika berubah dan mengangguk. "Sekolahnya menyenangkan tapi uzha yang gak menyenangkan, uzha terus gangguin Kaka terus Ma...."

"Kakak uzha mau main sama kaka, cuma kaka nya yang terus ngejauh. Ya iya kaka uzha kan emang gitu orangnya." Suara itu berasal dari Daffa yang baru saja masuk dan berjalan kearah dua orang yang sangat dicintainya.

"Kaka Putra kenapa sih gak mau main sama uzha uzhi?" tanya Daffa yang sudah di samping Kia.

"Kaka Zavier no Kaka Putra, Papap!"

Semenjak usianya menginjak lima tahun memang Putra tidak senang dipanggil dengan sebutan 'Putra' alasannya karena nama Putra sudah banyak. Tapi Daffa atau Kia bahkan keluarganya selalu memanggilnya Putra. Tak ayal bocah enam tahun ini merajuk.

"Iya iya Kaka Zavier kenapa gak mau main sama si kembar?" ralat Daffa.

Putra menghembuskan nafasnya dan mengangkat bahunya. "Kaka Zavier kalau ketemu uzha atau uzhi bawaannya kesel aja. Gak tau kenapa, makanya Kaka Zavier suka kabur kalau ada mereka."

"Kaka Zavier gak boleh milih-milih gitu, sayang. Gak baik, berteman dengan siapa aja, biasain ya." Kali ini Kia yang berbicara.

"Tuh dengerin Mamahnya."

"Iya deh iya Kaka Zavier bakalan biasain buat biasa aja."

"Nah bagus, baru kesayangan Mama sama Papap nih! Yuk ganti baju dulu," ucap Kia.

"Ganti bajunya sama Papap aja yuk sayang. Mamahnya kesian," ucap Daffa.

"Ih gak ah, Papap kan harus ganti baju juga. Gak papa sama Mamah aja."

"Nurut apa kata suami. Udah kamu diem aja di sini, ayok Ka...."

Putra mengangguk lalu beranjak dari duduknya. "Kaka Zavier ganti baju dulu ya Mah."

Kia tersenyum dan mengangguk. Setelah itu Putra berlari menuju kamarnya di lantai dua.

Cup

Daffa mengecup kedua pipi gembul istrinya. Semenjak hamil kedua kenaikan berat badan Kia bisa dibilang signifikan dan itu membuat Daffa semakin gemash dengan istrinya. Tak ayal Daffa mengunyel-unyel kedua pipi istrinya atau menarik hidung mungil Kia.

Orang yang mendapat kecupan itu tidak berespon sama sekali, Kia masih kesal dengan larangan suaminya, pasalnya dirinya bosan kesehariannya hanya duduk atau tidur. Ya semenjak hamil, Daffa membatasi kegiatan perempuan cantik ini. Selain karena penyakit yang diidapnya, Daffa juga khawatir karena Kia sebenarnya sudah dua kali keguguran, jadilah kehamilan sekarang sangat membuat Daffa overprotective.

"Jangan cemberut gitu dong, saya kan gak mau kamu kecapean. Saya juga tahu kamu daritadi gak duduk terus, kamu siapin makanan buat makan siang kan? Nah makanya sekarang kamu istirahat. Kesian nanti baby nya kecapean sayang....."

"Gak cemberut! Orang biasa aja. Lagian akutu bosen tahu Kak. Itu gak boleh, ini gak boleh, malah bikin aku jadi stress tahu!"

"Yaudah kamu mau apa, hm?"

Mata Kia langsung berbinar-binar. "Izinin aku buat siapin makan dan urus Putra."

Daffa hanya berdehem. "Ok, tapi hanya makan siang, sarapan sama mbak."

Kia langsung memeluk suaminya. "Oke, deal! Makasih..."

Daffa membalas pelukan itu dan tersenyum. "Apapun asal kamu bahagia, tapi inget kalau cape bilang dan gak usah maksain."

Kia mengangguk.

"PAPAP!!!!"

Suara lengkingan itu membuat Kia melepaskan pelukannya dan segera mengusir suaminya.

*****

Di tempat lain, tepatnya di rumah Alesha terjadi kegaduhan. Pasalnya Uzhi/Jauzhi Putra bungsu dari Alesha dan alm. Afham yang selalu usil dengan kakak kembarannya, seperti sekarang, Uzhi terus menoel pipi bapau Uzha.

"De udah kenapa sih," ucap Aisya yang sedikit terganggu dengan aksi usil adiknya.

Aisya, gadis berusia dua belas tahun itu tumbuh dengan sangat cantik dan tentunya pintar. Gadis yang baru duduk di bangku SMP itu sekarang menjelma menjadi anak yang mandiri, dimana dirinya selalu membantu Bundanya dalam hal apapun.

"Abisnya Kak Uzha cemberut terus kan pipinya jadi tumpah ke bawah."

Aisya duduk di kursi samping Uzha. "Berantem lagi sama Putra de?"

Uzha menggelengkan kepalanya dan kembali menyimpan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan yang menjadi tumpuan nya.

"Terus kenapa?"

"Putranya yang kabur pas Kaka Uzha deketin Kak," adu Uzhi yang mendapat tatapan tajam dari sang Kakak.

"Cewek itu gak boleh terlalu agresif, harus santai aja. Kakak Uzha kenapa lagi deketin putra?"

Kali ini berasal dari Alesha, ibu tiga orang itu ikut dalam pembicaraan di saat makan siang sudah siap.

"Bunda, bunda... Kenapa putra kayak gak mau banget main sama uzha atau uzhi sih?" Jauzha akhirnya bersuara.

Sebenarnya Alesha sendiri tidak tahu, anak dari lelaki yang dulu pernah hinggap di hatinya itu memang tidak akur dengan ke tiga buah hatinya. Setiap ada acara berbarengan pasti Putra tidak akan pernah mau bergabung.

"Bukan gak mau, mungkin Putra lagi cape aja de," jawab Aisya.

"Tapi kok cape nya sering, masa diajak main cape terus," keluh Jauzhi yang memang merasakan itu.

"Nanti Bunda coba ngobrol sama Putra nya ya sayang, sekarang kita makan siang dulu," ucap Alesha lalu menyiapkan makan untuk ketiga buah hatinya.

Jika kalian menanyakan bagaimana sikap Aisya kepada Daffa, Om kesayangannya... Bisa dibilang tidak seintens dulu, sekarang gadis itu berkomunikasi dengan Om Daffa nya itu hanya sebutuhnya tapi Daffa masih menjadi tempat Aisya untuk berkeluh kesah dengan catatan tidak diketahui oleh Putra.

Setelah makanan sudah siap di piring masing-masing, semuanya mulai menyantap dan sesekali Uzhi bercerita tentang keseruannya di sekolah.

*****

Berada di posisi yang sama namun dengan keadaan yang berbeda membuat Kia seolah flashback enam tahun yang lalu dimana dirinya juga sedang berjuang melahirkan buah hatinya. Ya, tadi malam Kia mulai mengeluarkan plek yang diduga tanda-tanda akan melahirkan maka setelah ia memberitahu suaminya, Daffa langsung memboyong istrinya ke rumah sakit tentunya dengan menitipkan Putra ke rumah mertuanya.

Daffa terus saja menemani istrinya yang masih berjuang, berulang kali dirinya menawarkan untuk SC karena sebenarnya walaupun astma dan anemia nya sudah bisa terkendali apalagi selama hamil, penyakitnya tidak kambuh tetap saja ketakutan di hatinya sangat besar. Ia takut kejadian enam tahun yang lalu terulang dimana Kia koma dan mengalami beberapa komplikasi.

Bukan Kia namanya jika tidak keras kepala. Dr Mia, dokter yang sama saat dulu juga menyarankan untuk operasi, namun lagi-lagi Kia menyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Dirinya berjanji jika setelah delapan jam tidak ada perkembangan dan nyerinya terus bertambah dirinya akan menerima prosedur selanjutnya karena jika diteruskan akan beresiko kepada ibu dan janinnya.

Saat sudah hampir berjuang seharian, akhirnya Kia menyerah. Pembukaannya tidak memberikan perkembangan yang signifikan namun nyerinya terus bertambah, apalagi air ketubannya sudah rembes. Maka setelah sholat maghrib, Kia dijadwalkan operasi dengan Daffa yang terus menemani di sampingnya.

Suara tangis melengking itu membuat tangis Kia keluar dengan begitunya, sepasang. Akhirnya dirinya kembali berhasil melahirkan buah hatinya. Makhluk kecil yang masih sangat merah itu sudah berada di perutnya. Kia dan Daffa menyaksikan bagaimana putri kecilnya itu merangkak mencari puting susu Mamahnya. Daffa mengucap syukur apalagi keadaan Kia yang terus stabil, sejak tadi Daffa terus mengajak ngobrol Kia, menjaga agak kesadaran Kia tidak menurun.

"Baby nya saya bersihkan dulu ya Bu," ucap salah satu Bidan yang bertugas saat itu.

Kia hanya tersenyum. Seluruh tubuhnya masih tidak terasa apapun, maka dirinya hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Daffa mengusap kedua mata indah istrinya yang terus mengeluarkan air mata.

"Jangan nangis terus, sayang."

"Aku bahagia, akhirnya aku bisa lihat bayi kita untuk kedua kalinya... Aku kira aku bakal kayak -"

"Stss jangan diteruskan. Makasih... Makasih sudah bertahan, terima kasih sudah selalu ada bahkan selalu sempurna untuk hal apapun. Malaikat kita bertambah sayang, tanggung jawab kita bertambah setelah ini. Saya sangat bersyukur mendapatkan perempuan seperti kamu. I love you... Terus di sisi saya sampai nanti di surga nanti. Aamiin."

Kia juga ikut mengaamiinkan perkataan suaminya. Mudah-mudahan dirinya diberi umur yang berkah untuk menyaksikan perkembangan kedua Putra dan putri nya sampai dewasa nanti.

*****

Pagi sekali, Putra sudah siap untuk ke rumah sakit. Setelah mendapat kabar bahwa adiknya sudah lahir dan dirinya resmi menjadi seorang Kakak, Putra merengek untuk diantar ke rumah sakit menemui Mamah dan adiknya.

"Ibu, adik Kakak Zavier gimana yaa? Mirip sama Kakaa Zavier gak ya? Kayaknya cantik ya Ibu?"

Putra terus mengoceh, selama perjalanan Umi Lala dengan sabar menjawab semua pertanyaan cucunya.

"Kamu seneng dapet adik?" Tanya Kala~ Putra dari Fawwaz dan Syaqila yang sudah lebih dulu mempunyai adik kecil.

"Seneng dong! Akhirnya do'a Zavier dikabul sama Allah."

"Nanti kamu pusing ngadepin tangisannya tahu! Aku aja pusing ngadepin Kila yang nangis terus," ucap Kala yang mulai mengeluhkan adiknya.

Fawwaz yang mendengarkan itu hanya berdehem berbeda dengan Syaqila yang sedang menggendong Kila hanya tersenyum. Pasalnya akhir-akhir ini Kala memang tidak bahagia sepertinya menghadapi Kila padahal yang membuat Kila menangis ya Kala.

"Kata papap kalau nanti adik udah lahir harus di sayang, katanya kalau nangis itu wajar. Kamu aja suka nangis kan?"

"Ayolo Ka, makanya adik Kila nya di sayang jangan dibuat nangis terus," ucap Fawwaz.

Kala, bocah laki-laki itu mengerucutkan bibirnya. Mungkin karena umurnya yang lebih muda maka intensitas rasa cemburu terhadap orang yang membuat perhatian orang tuanya terbagi sangat besar. Berbeda dengan Putra yang memang sudah menanti adik kecil karena teman-teman di sekolahnya mempunyai adik semua.

Saat sampai, Putra memaksa Umi Lala untuk keluar lebih dulu dan cepat-cepat menemui Mama dan adik kecilnya.

"MAMA!!" Teriak Putra saat pintu perawatan Kia terbuka.

Putra dengan kemeja biru langit dan celana jeans selutut itu sangat sumringah, apalagi melihat Mama-nya yang tersenyum ke arahnya.

"Jangan lari sayang," ucap Kia saat melihat anak sulung nya berlari ke arahnya.

Bocah kecil itu berusaha untuk menaiki nakas sang Mama, Daffa yang baru keluar dari kamar mandi langsung sigap membantu Putra untuk duduk di atas nakas perawatan Kia.

Putra langsung mencium kedua punggung tangan orang tuanya. Kia masih terlihat pucat karena memang baru beberapa jam selepas operasi.

"Mamah ada sakit?"

Kia menggelengkan kepalanya. "Enggak, sayang. Cuma Mama masih belum boleh duduk dan bangun jadi harus tiduran gini."

"Kalau Mama sakit bilang Kakak Zavier ya."

Kia tersenyum bangga, putranya sangat amat dewasa bahkan di umur yang baru enam tahun. Pun dengan Daffa, dirinya sangat bangga dengan Putra sulungnya yang selalu ada saja tingkahnya yang membuat dirinya mengucap syukur.

Umi Lala yang saat itu sampai tak lama dari Putra langsung izin untuk menemui cucu barunya yang masih di ruangan observasi bayi.

Suasana di ruang perawatan Kia sangat ramai, ada Kakaknya beserta keluarga juga keluarga dari Daffa yang baru datang tidak lama dari Umi Lala sampai.

"Papap, dedek bayinya kok gak di bawa ke sini? Kakak Zavier kan mau lihat dedeknya."

Sudah berulang kali Putra sulungnya menanyakan keberadaan adik kecilnya, ia sangat tidak sabar melihat dan memfoto nya untuk disebarkan ke teman-teman di sekolah.

"Kaka Zavier mau lihat dedek?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Antila/ Aunty Olla yang sekarang sudah duduk di bangku kuliah.

Putra mengangguk semangat. "Antila mau nemenin Zavier lihat dedek?"

Olla beranjak dari duduknya dan membenarkan kerudung nya yang tadi agak sedikit dilonggarkan karena kepanasan. "Ayok bareng Antila!"

"Mama, Kaka Zavier ke dedek dulu ya," ucap Putra meminta izin.

Kia mengangguk. "Jangan ngerepotin Antila loh ya. Antila titip Putra ya."

"Zavier Ma!"

Kia terpekik dan tersenyum kecil. "Iya iya, titip Zavier ya Antila."

Olla tertawa melihat tingkah keponakannya yang memang bisa dibilang unik. Bocah itu tidak mau disamakan dengan orang banyak, sepertinya Putra ini lebih senang disebut minoritas daripada mayoritas. Aneh-aneh saja.

"Ma, Olla ke ruang bayi dulu ya." Sekarang Olla yang izin ke Annisa~Mamahnya.

"Antila! Mana dedek? Banyak banget bayinya." Mata indah yang diturunkan Kia itu berbinar saat melihat bayi-bayi menggeliat.

Sebenarnya Olla sendiri tidak tahu, dirinya pun baru datang ke sini karena tadi dirinya harus ikut praktek terlebih dahulu. Dengan gaya anggunnya, Olla berjalan ke arah nurse station dan menanyakan bayi dari Abang semata wayangnya.

"Dedek Kaka Zavier yang pake baju merah muda itu, sayang."

"MasyaAllah, dedeknya cantik banget ya Antila!" ucap Putra saat berhasil melihat adiknya walau dari jauh.

Olla mengangguk, bayi itu sangat mungil. "Mirip kaya Kaka Zavier waktu bayi juga tahu."

"Kaka Zavier gitu juga Antila?"

"Iyaa, lucu banget... Bahkan lucunya sampe sekarang."

"Tapi adek Zavier gak boleh diuyel-uyel, Zavier aja. Kesian nanti pipinya sakit Antila...."

Olla yang gemash langsung mencium kedua pipi gembul keponakannya. "Abang yang baik!"

"Antila laper, Kaka Zavier mau temenin Antila cari mam?"

Putra mengangguk. "Tapi kasih Zavier salad ya...."

Olla langsung mengangguk. Keponakannya memang dilatih untuk selalu makan sehat, padahal Olla berniat untuk mencari makanan khas Bandung yaitu seblak namun sepertinya harus dikubur dalam-dalam karena selain mengerti tentang makanan yang sehat, Putra juga diajari oleh kedua orang tuanya terutama Papap nya untuk menegur siapapun yang memakan makanan yang kurang sehat walau dengan cara halus.

Setelah mereka berdiskusi dan sepakat, Olla menggandeng tangan mungil Putra dan mengajaknya ke kantin rumah sakit.

*****

"Zavier...."

Si empunya nama langsung menoleh dan raut wajahnya menjadi biasa saja, padahal tadi dirinya akan ramah.

"Hmmm. Kenapa?"

"Aku boleh duduk di sini?"

Mata Putra mengelilingi seluruh kantin, ternyata penuh. Dirinya lalu mengangguk dan menggeser duduknya.

Jauzhi atau Uzhi langsung sumringah dan mengambil posisi duduk tepat di depan Putra. Tidak lama, Jauzha atau Uzhi datang dengan nampan berisi dua mangkuk somay dan es jeruk.

"Kalian kok makan itu?"

Walau bagaimana pun, Putra tetaplah Putra. Bocah laki-laki yang akan peka dengan sekitarnya.

Uzhi menyatukan kedua alis tebalnya. "Lah memangnya kenapa?"

"Kata mama aku, ini masih pagi kalau minum es nanti sakit perut. Bunda kalian gak siapin bekal makanan emang?"

"Bunda lagi jaga malam. Kata kak aisy pulangnya setelah kita berangkat. Tadinya mau disiapin tapi Kak Uzha gak mau bawa selain makanan bunda." Uzhi menjelaskan kronologis tadi pagi.

Putra langsung beranjak dari duduknya dan kembali dengan dua botol air mineral dan dua kotak susu.

"Ini minum buat kalian. Kata papap kalau udah makan yang gak sehat harus di netralisir pake susu biar perutnya gak sakit."

"Makasih," ucap Uzha dengan malu-malu.

Putra hanya mengangguk sekilas lalu kembali melanjutkan makannya.

Tidak ada pembicaraan layaknya anak kecil yang saling bertukar cerita. Putra si cuek dan kalem itu terus menghabiskan makanan di misting miliknya dan si kembar dengan makanan di hadapannya sampai bel terdengar mereka langsung membereskan semuanya.

"Kamu kok selalu gak suka sama kita berdua? Kata bunda kamu cape ya kalau gitu? Tapi kok tiap hari." Suara itu berasal dari Uzha yang sengaja memelankan jalannya.

"Gak tahu."

"Aku sama kembaran aku bikin salah ya? Kamu bisa baik dan ramah sama orang lain, tapi sama kita berdua kok kamu kayak gak suka?"

"Enggak."

"Hmmm, adik kamu perempuan atau laki-laki?"

"Perempuan."

Uzha mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirinya sebenarnya iri dengan sikap putra yang selalu baik dan ramah dengan siapapun. Tapi saat putra bersamanya, tampang cuek dan benci yang ia perlihatkan. 

"Aku mau ke toilet dulu. Kamu duluan aja," ucap Putra lalu segera menuju toilet.

"Hey! Aku cari ternyata di sini, kenapa? Cemberut terus nanti bilangin bunda loh!"

Uzha berkacak pinggang, mulutnya ia kembungkan. "Aduin aja! Kamu kan emang aduan." Setelah itu Uzha pergi meninggalkan Uzhi yang menggaruk lehernya yang tak gatal.

*****

Yeayyyy.... Gimanaa nih 2,6 K nya? Cukup melepas kangen dengan Daffa's family??

Ini epilog nya yaa... Author gak janji ada extra part apalagi sequelnya. Do'ain supaya author nya ada waktu dan gak malas buat ngetik hehehe...

Tapiii.... Author mau ucapin banyak-banyak terima kasih khususnya buat kalian yang udah mau tinggalin jejak, kasih wejangan ke Kia, atau menumpahkan kekeselan nya ke Daffa... Semuanya dibaca tapi belum sempat author balas.

Biglove pokoknya buat kalian ❤❤❤

Do'ain juga author skripsian nya lancar wkwkk. Pokoknya hutang author buat ada epilog udah ya... Untuk selanjutnya jangan ditungguin. Kalaupun ada extra part itu bakalan dikit dikit, gak kaya ini sampe 2k.

Dadaaaaahhhhhhh
Salam hangat dan cinta dari Daffa's Family
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh🥰💕

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 62 6
10 tahun. Sudah selama itu memendam perasaan pada seorang pria yang bahkan entah merasakan perasaan yang sama atau tidak. Jatuh cinta pada pandang...
352K 19.9K 38
Bagaimana jadinya jika cewek pecicilan, cengeng, ngambekan, ketus, dan paling takut kalo ditanya urusan tajwid. Mengharapkan mendapat suami idaman nu...
603K 44K 45
Spiritual-romance Sequel: ILHAM UNTUK MELLY Muhammad Fathur Al-Kausar-seorang dokter muda sekaligus juga bekerja di perusahaan keluarga. Fathur-soso...
174 37 5
"Pada akhirnya, rencana Tuhan lebih baik dari apa yang kita rencanakan." Derana Azalea Shakayla, gadis keras kepala, egois, ambisius, serta menjabat...