Sexy Bae

By WiwinSetyobekti

36.6K 2.8K 429

Bersahabat dengan Kang Baekho sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan mengangg... More

Kangmas
Ketika cinta datang terlambat
01. Going Home
02. Everything happens for reason
03. Still The Same Person
04. Partner Of Crime
05. Princess Warrior
06. Fight Me
07. Let Me
Mas Bae
08. Rival?
09. Kode
10. I was there
11. You are my compass
12. About you
13. Rejected
14. Get into It
15. Let's get closer
16. Backstreet
17. It Hurts
18. Love is complicated
19. Lea and Me

20. Soulmate (End)

882 91 18
By WiwinSetyobekti

“Kok bisa?” tanyaku lagi. Jemariku gemetar karena ikut panik.

“Lea ada di jam pagi. Tapi setelah istirahat pertama, ia tak muncul di kelas. Dicari di seluruh sekolah juga nggak ada. Sekarang aku sedang meluncur ke sana.” Suara Bae gemetar lagi, membuat diriku semakin khawatir.

“Aku ke sana juga.” Menutup pembicaraan dengan cepat, aku tergesa melangkah.

“Ada apa?” Daniel bertanya sembari mengikuti langkahku.

“Lea hilang dari sekolah,” jawabku cepat. Dan pria itu di sisiku itu tampak syok. “What?”

Kami bergegas menuju lift dengan tak sabarn, menanti benda itu membawa kami ke lantai satu. Setelah pintu terbuka, kami menghambur, berlarian menyusuri koridor menuju lobi. Kami nyaris mencapai pintu keluar ketika panggilan itu terdengar.

“Tante!”

Aku dan Daniel menoleh sambil menghentikan langkah. Dan sekian detik kemudian, kami terbelalak, kaget. Di salah satu kursi ruang lobi, bocah itu berdiri dengan air mata berderaian dan sesenggukan. Seorang pria paruh baya ada di sisinya, menggandeng tangannya dengan sikap protektif.

“Lea!” Aku memekik. Tanpa menunggu lebih lama, aku yang berlari dan menghambur lebih dulu ke arahnya. Tanpa tahu apa yang terjadi padanya, tangis bocah itu melengking.

“Ya Tuhan, kamu kenapa? Kok bisa sampai di sini? Ada apa, Sayang?” Aku memeluknya erat, lalu menatapnya haru dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kamu nggak apa-apa, kan? Ada masalah? Ada yang sakit? Ada yang luka?” tanyaku berturut.

“Tante, tolongin Papiii!” tangis Lea masih meraung.

Aku menelan ludah. Menatap Lea dengan ekspresi cemas. “Papimu kenapa?” Aku nyaris berteriak histeris. Membayangkan hal buruk menimpa lelaki itu.

“Papi nangisin Tante terus. Setiap malam dia nangis sambil ngelihatan poto tante di layar komputer. Tolongin Papi, Tanteee...! Aku nggak mau Papi begitu terus. Kasihaaann....”
Tangis Lea kembali meledak, membuat suaranya terdengar jelas bagi orang-orang yang sedang ada di ruang lobi.

Aku ternganga. Hah?
Menatap sekeliling, tampak orang-orang tengah memperhatikan kami. Daniel nyaris terbahak. Aku sendiri bingung antara mau menangis haru atau tertawa.

“Saya sopir taksi, Mbak. Tadi saya menemukan anak ini menangis sendirian di pinggir trotoar.” Pria yang berdiri di sisi Lea menjawab. “Saya tanya ada apa? Katanya dia ingin ketemu tantenya. Terus minta di antarkan ke sini. Tadi sempat muter-muter lama, Mbak. Dia nggak hafal jalan. Untung dia hafal nama Tantenya dan tempat kerjanya. Akhirnya dibantu teman-teman sopir taksi lain, saya bisa mengantarkan sampai sini.” Ia melanjutkan.

Aku bangkit. “Makasih ya, Pak, sudah mengantarkan keponakan saya sampai di sini.” Aku berucap tulus dengan penuh rasa syukur. Membayangkan andai Lea bertemu orang jahat, entah apa jadinya diriku. 

“Ongkosnya habis berapa, Pak?” Aku mengambil dompet di tas dan mengambil beberapa lembar uang ratusan. Ketika Pak Sopir mengungkapkan besarnya tarif, aku berniat membayarnya dua kali lipat. Sebagai ungkapan terima kasih karena ia telah mengantarkan Lea ke sini sampai selamat. Sayangnya, Pak Sopir menolak dengan sopan. “Nggak apa, Mbak. Yang penting anak ini sudah ketemu keluarganya. Saya lega.”  Ia menolak dengan sopan lalu pamit.

Aku kembali memeluk Lea dengan haru lalu membawanya ke ruanganku. Melihat diriku yang keapayahan, Daniel meraih Lea lalu menggendongnya. “Kamu habis sakit. Biar aku saja yang gendong,” ucapnya.

Dalam perjalanan menuju kantorku, aku mengirimkan pesan pada Bae, memberitahunya bahwa sekarang Lea aman bersamaku.

***

“Jadi bagaimana ceritanya kamu bisa kabur dari sekolah?” tanyaku ketika Lea sudah berhenti menangis, dan dia sudah terlihat tenang. Aku membawanya duduk di sofa, tak lupa memberikan segelas air minum, walau ia menolak.

“Tadi sewaktu memasuki jam istirahat kedua, aku menyelinap lewat pintu gerbang samping, lalu kabur. Terus, nyariin taksi yang bisa nganterin ke sini.” Bocah itu menjawab lirih.

“Untuk apa, Lea?” Aku duduk di sampingnya sembari mengelus kepalanya dengan lembut.

“Tadi pagi mau aku mau nemuin Tante ke rumah, tapi Tante udah berangkat. Akhirnya ya nekat ke sini. Tante, tolongin Papi, ya. Sejak Papi pulang dari jenguk Tante di rumah sakit, Papi kelihatan sedih. Aku jadi ngerasa bersalah.”

Aku dan Daniel beradu lirik. Pria yang duduk di pinggiran mejaku itu mengulum senyum.

Aku berdehem lalu kembali menatap Lea. “Jadi, beneran Papimu nangis terus?”

Bocah itu mengangguk.

“Setiap malem, Papi ngelihatan gambar tante di layar komputer, di layar hp juga ada, lalu Papi nangis. Gitu terus.” Ia menunduk. Gadis itu menautkan jemari-jemarinya dengan canggung.

Aku menarik napas panjang, lalu kembali mengelus kepalanya. “Lea—”

Kalimatku tertahan. Pintu terbuka dan Bae muncul dengan napas terengah. Raut mukanya tampak panik luar biasa.
“Lea!” Ia berlari dan menghambur ke arah Lea. Berlutut di hadapannya lalu memeluknya erat dengan ekspresi lega.
“Kamu dari mana aja? Nggak apa-apa, kan?” Ia meremas bahu Lea pelan sembari menatap bocah itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Apa ada yang jahat sama kamu? Apa ada yang bawa kamu kabur dari sekolah?”

“Dia ke sini sendiri naik taksi.” Aku menyahut. Bae menoleh ke arahku. Dan ketika kami bersitatap, dunia seakan berhenti berputar. Bae terlihat sedikit kurang tidur. Wajahnya bahkan tak bercukur. Bulu-bulu halus memenuhi dagu dan rahang. Astaga, dadaku berdebar.
Betapa aku sangat merindukannya. 

Tatapan kami terputus ketika terdengar Daniel terbatuk kecil. Aku mengerjap untuk mengembalikan akal sehatku, lalu menatap Daniel. Pria itu tersenyum. “Aku pergi dulu, ya. Kalian mengobrolal aja. Take your time.” Ia beranjak.

“Daniel?” panggilku. Ia kembali tersenyum ke arahku sembari mengacungkan jempol. “It’s okay. Lain kali kita makan siang bareng. Bye.” Dan ia keluar dari ruangan.

Ketika pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Tinggal kami bertiga sekarang. Bae kembali sibuk menanyai Lea ini dan itu, sambil tak henti memeriksa tubuhnya dari atas, bawah, samping kanan dan juga kiri. Sementara aku hanya terdiam di sisinya, sambil sesekali membantu Lea menjelaskan kronologi ia bisa sampai di sini ketika bocah itu kesulitan menjelaskan karena gugup. Mungkin karena Bae juga panik, jadi Lea pun ikut begitu.

“Untuk apa, Lea? Untuk apa kamu harus nekat seperti ini? Kamu bikin Papi khawatir. Kalo kamu hilang gimana?” Bae mendesah kesal.

“Aku mau cepet-cepet ketemu sama Tante Zoya buat minta tolong. Papi butuh bantuan, biar nggak sedih lagi, biar nggak nangis terus tiap malam.” Lea kembali menjawab lirih.

Bae mematung seketika. Tatapannya singgah ke arahku dan wajahnya nampak tersipu. Seolah rahasia besarnya baru saja terbongkar. Ia bangkit lalu menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Tiba-tiba tenggorokanku gatal sekarang. Aku terbatuk kecil, lalu membuang pandanganku ke tempat lain. Di antara kami terasa canggung lagi.

Berhari-hari aku memikirkan Bae, menangisi dirinya. Sekarang ketika ia berdiri menjulang di hadapanku, rasanya aku ingin berlari … mendekat.

“Sekarang sudah ketemu Tante Zoya, jangan sedih lagi ya, Pi.” Lea kembali berujar, ada nada bersalah pada ucapannya.

“Papi nggak sedih, Sayang.” Bae bersuara lalu duduk, kali ini di samping Lea.

“Nggak sedih kok nangis,” balas Lea.

“Itu---” Bae menyentuh tengkuknya dengan ekspresi bingung. “Mmm, terkadang orang dewasa juga perlu menangis untuk menyalurkan emosinya. Tapi nggak apa-apa, kok. Ada Lea di sisi Papi, jadi Papi akan kuat. ” Bae menjawab sembari mengelus puncak kepala bocah itu dengan lembut.

“Ajak tante Zoya kalo gitu, biar Papi lebih kuat, biar Papi nggak gampang nangis. Ada Papi, Lea, dan tante Zoya, kita bertiga, jadi keluarga. Kayak yang dibilangin eyang.”

Dan jawaban itu sukses membuatku dan Bae kembali saling pandang. Astaga, anak ini benar-benar sesuatu. Rasa-rasanya aku ingin tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan.

“Lea, wait. Ini maksudnya, kamu … dan Tante ….?” Kalimatku menggantung. Bingung ingin menanyakan yang mana dulu.

Bocah yang sebentar lagi berusia tujuh tahun itu menatapku penuh harap, lalu berkata, “Tante, Papi needs you. And … I do to.” Ia menunduk malu.

Aku menggigit bibir, merasakan perasaanku membuncah tak karuan. Kulihat kedua mata Bae berkaca-kaca. Kami saling tatap dengan Serasa ada ratusan kupu-kupu di perutku.
Beringsut, kupeluk Lea erat. Dan kurasakan lengan kokoh milik Bae memeluk kami.

Ya, restu itu sekarang sudah kami raih.

***

“Jadi kamu beneran berancana nikah sama dia?” Suara Daniel terdengar dari seberang sana. Ia bahkan tak mengucapkan ‘hello’ atau sekadar ‘hai’.

“Sepertinya begitu,” jawabku.

“Jangan undang aku, ya.” Daniel membalas.

Aku ternganga. Perasaan kesal menerjang. “Kok kamu begitu, sih? Kamu itu sahabat spesial. Aku kepengen kamu hadir di momen istimewa tersebut.”

“Gak usah, thanks. Kalo aku datang ke pernikahanmu, aku jadi tergoda untuk membawamu kabur.”

Seketika aku terbahak. “Nggak nyerah juga ternyata,” ucapku.

Pria itu tertawa. “Pantang mundur pokoknya,” jawabnya. “Ya sudah, pokoknya selamat ya. Doa terbaik buat kamu. Sampai ketemu lagi kapan-kapan.” Dan pembicaraan kami akhiri.

“Siapa? Daniel?”

Bae duduk di sisiku, memasukkan sebagain kakinya ke dalam air sama seperti diriku.

Aku mengangguk sembari menaruh ponsel di sisiku. “Dia bilang, kalo kamu macem-macem sama aku, nyakitin aku, dia bakal bawa aku kabur,” godaku.

Rahang Bae mengeras. Tangannya terkepal. “Apa dia nggak tahu kalo calon suamimu ini mantan preman?” ucapnya kesal. Aku beringsut dan bergelayut mesra di lengannya.

Malam itu kami menghabiskan waktu berduaan di kolam belakang rumah. Aku mengungsi di sini karena rumahku sedang ramai.
Ada pertemuan keluarga di sana. Om Hans dan Tante Tricia sedang berkunjung, berbicara serius dengan Papi dan Mami. Membicarakan apa? Tentu saja pernikahan kami.
Lea sudah setuju, jadi apalagi yang ditunggu? Mas Aron juga tak keberatan andaikan aku melangsungkan pernikahan lebih dahulu.

“Jadi, beneran ya tiap malam kamu nangisin aku?” tanyaku kemudian.

Bae menoleh ke arahku, lalu mengulum senyum, tak bersedia menjawab. Toh aku sudah tahu jawabannya.

“Dih, body aja kayak preman, tapi hati kayak Hello Kitty,” olokku.

Dan sebuah cubitan kurasakan di pinggang. Aku mengaduh, lalu memukul dada pria tersebut.

Tatapan Bae menerawang sejenak. “It’s okay for guys to cry. Mau preman, mau Hello Kitty, kalo urusan hati, tetap saja sakit, nyeri. Walau hatimu seluas samudera, cinta adalah satu-satunya hal yang bisa membuatmu tersesak-sesak tak berdaya.” Ia tersenyum kecut. “Sempat takut, andai hubungan kita tetap tak berjalan baik, entah bagaimana aku akan memulihkan luka di hatiku.” Ia melanjutkan.

Kami bertatapan. “Syukurlah sekarang semua baik-baik aja,” balasku. Pria itu tersenyum.

Aku mendekatkan wajahku ke arahnya lalu menyusuri rahangnya dengan jemari. Menikmati bulu halus di seputar rahang dan wajah yang kian terlihat seksi. Kadang tak habis pikir, bisa-bisanya aku melewatkan semua ini selama bertahun-tahun.

“Jangan bercukur,” ucapku.

“Kamu suka?”

“Banget.” Aku menjawab tanpa rasa malu. Ia mengangguk. “Tentu. Apapun yang kamu mau,” jawabanya.

Aku bergerak lebih dulu, mencium bibirnya lembut. Sudah bisa diduga, ciuman itu bersambut. Yang awalnya hanya kecupan ringan, kini berubah panas dan menggairahkan. Bae mengangkat tubuhku dengan ringan lalu mendudukkanku di pangkuannya dengan posisi menghadap dirinya. Dan kegiatan saling merasakan bibir masing-masing berlangsung lagi lebih lama.

“Nggak nyangka banget, ya,” bisikku setelah kami terengah kehabisan oksigen. “I’m getting married my bestfriend.” Aku terkikik lirih.

Bae tersenyum, menyapukan hidungnya ke pucuk hidungku. Lembut ia berbisik, “Sometimes, our soulmate comes along, but we’re too blind to see it.”

“Now, I can see you, clearly,” balasku cepat.

“Thank God, we’re not too late.”

Bae tertawa. Dan kami kembali berciuman, kali ini lebih lembut, tak terburu. Menikmati setiap sesapan, detik demi detik.

Benar, jodoh kadang nggak kemana-mana. Bisa jadi ia dekat dengan kita, hanya saja kita tak menyadarinya.

***

Selesai.

Halo semuanya, terima kasih sudah mengikuti cerita ini sampai selesai. Cerita yang sempat mangkrak bertahun-tahun, akhirnya tuntas juga. Yeaayy...

Cerita ini sedang dalam proses terbit. Akan ada 10 bab ekstra part di versi buku. Yang ingin peluk bukunya, nabung ya. Hehe. 
Yang memutuskan untuk nungguin bukunya, saya ucapkan terima kasih, tapi yang memutuskan mengikuti ceritanya sampai sini, tetap saya ucapkan terima kasih.
Apapun pilihannya, kalian tetap kucinta.

I love You, All.

Continue Reading

You'll Also Like

807K 30K 105
The story is about the little girl who has 7 older brothers, honestly, 7 overprotective brothers!! It's a series by the way!!! πŸ˜‚πŸ’œ my first fanfic...
112K 3.3K 31
"she does not remind me of anything, everything reminds me of her." lando norris x femoc! social media x real life 2023 racing season
316K 9.5K 101
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
1.1M 37.9K 63
π’π“π€π‘π†πˆπ‘π‹ ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ jude bellingham finally manages to shoot...