Sexy Bae

By WiwinSetyobekti

36.6K 2.8K 429

Bersahabat dengan Kang Baekho sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan mengangg... More

Kangmas
Ketika cinta datang terlambat
01. Going Home
02. Everything happens for reason
03. Still The Same Person
04. Partner Of Crime
05. Princess Warrior
06. Fight Me
07. Let Me
Mas Bae
08. Rival?
09. Kode
10. I was there
11. You are my compass
12. About you
13. Rejected
14. Get into It
15. Let's get closer
17. It Hurts
18. Love is complicated
19. Lea and Me
20. Soulmate (End)

16. Backstreet

553 59 2
By WiwinSetyobekti

Elsa masuk ke ruanganku beberapa menit setelah aku dan Bae mampu mengendalikan diri. Pria itu mundur beberapa langkah sembari berdehem, sementara aku pun begitu.

Elsa menatap kecanggungan kami dengan mulut ternganga. Ketika tatapannya singgah padaku, ia nampak syok. Mungkin karena lipstikku yang belepotan dan rambutku yang tadinya kusanggul rapi kini sudah berjuntaian ke mana-mana. Aku baru tahu bahwa Bae juga ahli memporakporandakan tampilan seseorang.

Ketika tatapan Elsa berpindah ke Bae, ia makin melotot kaget. Penampilan Bae tak kalah mencengangkan. Dua kancing kemeja bagian atas sudah terbuka hingga dada dan separoh tatonya terlihat. Aku mendelik. Tunggu, tangan jahil siapa yang sudah berhasil melepaskan kancing kemeja itu?
Tanganku?!

“Saya mengganggu, ya?" Elsa menyeringai canggung seraya kembali menatap kami secara bergantian.

Ketika aku dan Bae saling lirik, Elsa terbatuk kecil. "Anu, silahkan dilanjutkan lagi ya, Mas, Mbak. Saya yang akan berjaga di luar.” Gadis itu berujar sambil buru-buru berlalu. Menutup pintu dan menguncinya dari luar.

Aku dan Bae beradu pandang. Menatap keadaan kami masing-masing, tawa akhirnya meledak.

Bae melangkah mendekatiku. Tangannya terulur, merapikan rambutku yang berjuntaian.
"Sorry for messing your hair," ucapnya. "And ...." Kali ini jemarinya menyapu bibirku. "Your lipstick." Dan aku tahu jemarinya sengaja berlama-lama di sana.

Aku tersenyum, mengecup jemari itu ringan. "And sorry for messing your shirt." Tatapanku singgah di kancing baju Bae.

Pria itu menunduk sejenak, lalu terkekeh. "Wow," ucapnya takjub.
Aku ikut terkekeh lalu mengulurkan tangan untuk mengancingkan baju tersebut.

"Sudah kuduga kalo tanganmu begitu mahir." Pria itu menggoda.

Aku tertawa lirih seraya memukul dadanya pelan.
Tatapan kami kembali beradu dalam hening. Sadar bahwa sesuatu hal mulai mengganjal.

"Uhm, Lea ...."

"Soal Lea ...."

Kamis berucap bersamaan, menyebut nama yang sepertinya memang sama-sama kami pikirkan.

Aku memasukkan tanganku ke saku celana. Sedikit ragu, akhirnya aku memilih bersuara lebih dulu. "Dia pernah bilang kalo dia nggak mau mami baru."

"Aku tahu," jawab Bae.
Aku menatapnya kaget.
"Kamu tahu? Bahwa Lea nggak pengen punya mami baru?"

Menyugar rambutnya yang tebal, pria itu mengangguk.

"Karena bagi dirinya, Sisca memang ibu yang tak tergantikan. Lea loves her mom so much." Bae menjawab dengan suara berat.

Aku menelan ludah. Ini sesuatu hal yang tak menyenangkan untuk didengar.

"Sejujurnya, aku sudah beberapa kali membicarakan ini dengan Lea. Waktu itu ketika memutuskan untuk pulang ke sini dan tahu bahwa kamu masih single, aku berandai-andai, bagaimana jika aku ingin memulai segalanya dari awal denganmu? Memberimu banyak kode bahwa selama ini aku selalu memikirkanmu. Atau mungkin, terang-terangan mendekatimu, mengingat kode yang bertahun-tahun lalu kutunjukkan ternyata tak mempan." Pria itu tersenyum getir.

"Akhirnya aku bilang pada Lea tentang kemungkinan bahwa papinya akan menikah lagi agar dia punya mami baru. Dan ...."

"Dan ...."

Bae menggigit bibir sejenak. "Dan dia bilang dia nggak mau."

Oh, okay.

Aku manggut-manggut.

Atmosfer di antara kami tiba-tiba saja berubah dingin. Padahal baru beberapa waktu lalu tubuh kami sama-sama panas membara.

Mungkin Bae menyadari ekspresi wajahku yang berubah suntuk hingga akhirnya ia bergerak, melingkarkan tangannya di pinggangku lalu menarik diriku ke dekapannya.

"Ayo kita takhlukkan dia bareng-bareng," bisiknya.

Dan seolah mendapat suntikan energi, aku mengangguk.

Ya, ayo kita buat si kecil itu merestui kita. Lirih aku merapal doa.

"Uhm, bisa kamu bilang pada gadis itu untuk membuka pintu? Aku harus bekerja. Atau jika kelamaan di ruangan ini, aku takut kita akan melakukan lebih dari ini," ucap Bae kemudian.

Aku tergelak. Dan ketika aku berteriak pada Elsa untuk membuka pintu, Bae melepaskan pelukannya.

°°°

"El, yang tadi nggak usah cerita ke Mas Aron, ya?" Aku berucap sesaat setelah Elsa masuk dan Bae sudah pergi meninggalkan ruangan ini. Melanjutkan perjalanan ke tempat kerjanya.

“Yang mana, Mbak? Yang sosor-sosoran tadi?” Ia berucap enteng.

Uhuk. “Elsaaa!” jeritku.

Gadis itu menyeringai. “Habisnya, kayak muantep banget gitu,” ujarnya lagi. "Emang kenapa, Mbak? Apa Mbak nggak direstui sampai-sampai Mas Aron nggak boleh tau?" Ia meletakkan cangkir kopi yang uapnya masih mengepul. Entah sudah ke berapa kali ia membuat kopi baru agar ia bisa menghidangkannya padaku dalam keadaan masih panas. 

“Panjang ceritanya, El. Intinya, kami belum bisa terang-terangan menunjukkan hubungan kami karena---” Kalimatku terhenti. Ragu apa aku harus menceritakan ini pada Elsa atau tidak.

“Karena pria tadi suami orang?”

Aku menepuk jidat mendengar ucapan Elsa. Anak ini ya Gusti. Nggak kebayang kalo kelak ia bakal jadi ipar.
“Bukan gitu, Elsa….”

“Lha terus?”

“Karena pria tadi adalah tetanggaku, dia sahabat sejak kecil, dan sekarang ia duda beranak satu.” Aku menjawab singkat, padat, dan jelas.

Elsa ternganga. “Duda?!” Ia menggumam. Aku mengangguk.

“Nggak apa-apa, deh. Duda jaman sekarang juga keren-keren, kok.” Ia kembali berujar. “Jadi, Mbak Zoya serius nih sama yang ini?”

“Ya iyalah.”

“Lha terus, Mas Daniel gimana?”

Seketika aku kicep. Seolah baru saja teringat akan sosok itu. Sosok pria kaya raya yang baik, yang gentle, yang cakep, yang sudah memperkenalkan diriku pada orang tuanya.

“Mas Daniel yang kasihan ….” Terdengar Elsa bergumam lagi, membuat diriku makin didera rasa bersalah. Beringsut, aku menjatuhkan tubuhku di sofa dengan lunglai.

“Dipikirin bener-bener ya, Mbak. Jangan sampai salah pilih.” Elsa seolah kembali mengingatkan.

Aku bergeming. Mengabaikan aroma kopi di hadapanku. Nanti, sepertinya aku harus bicara serius dengan Daniel.

***

Aku melirik ke arah halaman rumah Om Hans. Mobil Bae belum ada, jadi bisa dipastikan pria itu belum pulang. Setelah memarkir mobil, aku melangkah ringan ke dalam rumah. Baru saja hendak mencapai anak tangga, aku mendengar obrolan Mami, Papi dan Mas Aron di ruang tengah. Aku memutar tubuh dan bergerak ke sana. Tampak raut muka mereka serius.

“Ada apaan, sih?” Aku menyambar gelas di meja, mengisi dengan air, lalu menenggaknya pelan sambil duduk di sisi Mas Aron.

“Nih, Masmu bilang mau kawin,” jawab Mami.

Aku nyaris saja menyemburkan air dari mulut. “Jangan bilang kalo Mas bakal nikah sama Elsa?” tebakku.

“Ya sama dialah, sama siapa lagi. Hubungan kami tuh serius. Makanya aku pengen cepet-cepet nikah.” Mas Aron menjawab sambil menggebu-gebu. Aku melongo. Kok Elsa nggak cerita kalo hubungan mereka berkembang secepat ini?

“Tapi Elsa masil kecil, Mas. Apa nggak terlalu cepet?”

Mas Aron menggeleng. “Aku sudah diskusiin ini sama Elsa. Dan dia setuju, kok. Masalahnya, bapaknya yang nggak mau.”

Hah? Aku melotot. “Bapaknya yang nggak mau? Nggak mau nikah sama Mas, gitu? Memang Mas mau nikah sama Elsa apa sama bapaknya?” teriakku.

Sebuah toyoran kuterima di kening. “Buset deh, bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu. Maksudnya, bapaknya Elsa nggak mau aku nikah terlalu cepet sama dia. Katanya Elsa masih terlalu kecil. Suruh nunggu lima atau enam tahun gitu. Kan aku keburu tua,” jelas Mas Aron. “Makanya ini aku diskusi sama Papi, sama Mami. Kira-kira enaknya gimana gitu.” Ia melanjutkan.

Papi dan Mami berpandangan. Terlihat lumayan bingung. Mereka pasti ingin Mas Aron cepat menikah. Tapi kalau dari keluarga si perempuan belum mau, mau bagaimana lagi.
Di tengah keheningan kami memikirkan masalah tentang Mas Aron, ekor mataku menangkap sebuah mobil masuk ke teras rumah Bae. Ah, pria itu baru pulang ternyata.

“Aku juga mau kawin,” ceplosku kemudian.

“Apa?!” Papi, Mami dan Mas Aron ternganga. “Serius? Emang udah punya calon? Yang jemput kamu beberapa waktu lalu?”

Nyaris saja aku berteriak ‘Aku mau kawin sama Bae!’
Untungnya aku bisa mengendalikan diri. Tergagap, buru-buru aku menggeleng. “Belum punya calon, Mami. Tapi kan ya tetep, ntar aku mau kawin,” balasku sambil terkekeh. “Ya udah, semoga segera dapat solusi yang terbaik ya, Mas. Pokoknya, apapun itu, aku akan tetap mendukungmu.”
Bergegas aku melangkahkan kakiku ke kamar, meninggalkan Papi dan Mami melanjutkan diskusi mereka. Bukan berarti aku tak acuh, tapi untuk masalah ini, hanya para orang tua yang sanggup menyelesaikannya.

***

Pukul sepuluh lebih lima menit pesan singkat itu kuterima. Dari Bae.

[Kolam renang]

Aku terkekeh. Astaga, ini mirip ketika kami masih jadi Partner of Crime dimana kami akan memberi kode, mengirim pesan singkat untuk ketemuan secara diam-diam, selanjutnya melakukan dosa-dosa kecil seperti; bolos sekolah, masuk ke club malam, atau menonton konser musik di jam-jam pelajaran.

Tanpa membalas pesan tersebut, aku segera bergegas, melewati pintu samping untuk selanjutnya menemui Bae di halaman belakang rumahnya.

***

Senyum pria itu merekah manakala menyaksikan kedatanganku. Ia mengulurkan tangan, menyambutku. Dan dalam sekejab, aku sudah bergabung dengannya. Duduk di pinggiran kolam dengan kaki di dalam air.

“Lea?” tanyaku.

“Ada, di dalam. Kayaknya udah tidur sama eyangnya. Tadi kami baru aja selesai main-main bareng.” Ia menjawab.

Kami berpandangan, lalu sama-sama tersenyum. Setelah apa yang kami alami tadi pagi, rasa-rasanya ini masih aneh.

“Kok kita nggak kayak gini dari dulu, ya? Pasti asyik kalo aku bisa ke sini kapan aja dan kamu bisa ke kamarku kapanpun kamu mau tanpa ada yang curiga kita bakal macem-macem.” Aku tertekeh.

Sebuah cubitan lembut kuterima di pucuk hidung. “Aku pengennya gitu, kamunya aja yang nggak peka,” ucap Bae. Lalu kami kembali tertawa.

“Jadi ….”

“Jadi ….”

Astaga, sejak kapan hubungan kami jadi sedikit canggung begini.

“Beberapa hari ke depan, biar aku yang menjemput Lea, okay?”

Mendengar ucapanku, raut muka Bae terlihat ragu. “Well, itu ….”

“Aku harus lebih dekat dengannya, Bae. Aku akan makin sering mengobrol dengannya, aku akan makin sering bermain dengannya agar dia terbiasa dengan keberadaanku di sisinya.” Aku berucap mantap.
Bae terdiam sejenak, tapi sejurus kemudian ia manggut-manggut. “Dan aku akan sering-sering maen ke rumahmu, bantuin mamimu mengurusi tanamannya, nemenin papimu maen catur, atau ….”

“Ngapain? Kan selama ini kamu emang sering begitu?”

“Sekarang harus lebih sering. Kan aku calon mantu.” Ia tersenyum lebar. Membuat dadaku ikut berdebar.

“Baiklah, ayo kita laksanakan rencana kita.”

Bae mengangguk pasti.

“Jadi, untuk sementara kita diam-diam kayak gini dulu? Atau aku perlu bilang ke mamimu kalo mulai detik ini kita resmi punya hubungan spesial?”

Ucapan Bae buru-buru kujawab dengan gelengan. “Diem-diem dulu aja. Ntar kalo restu Lea udah kita dapetin, baru deh ….” Kalimatku menggantung. Bae menatapku dalam. Wajah kami bahkan terlalu dekat. Atau memang selama ini jaraknya memang segini ketika kami mengobrol? Kok aku baru sadar.

Nyaris saja bibir kami bertemu ketika tiba-tiba saja Tante Tricia datang membawa kue kering.
“Zoya, aku bikin resep baru, nih. Cobain ya,” ucapnya.
“Siap, Tante,” jawabku semangat.

Ketika Tante Tricia sudah pergi, kami terkikik bersama-sama. “Kita harus cari tempat lain kalo mau pacaran,” bisik Bae.

“Sepakat.” Aku menjawab lirih. “Aku mau renang,” ceplosku tiba-tiba sembari menarik ujung kaosku ke atas.

“Wait!” Tiba-tiba saja Bae menahan lenganku. “Please, don’t.”

Aku menatapnya bingung. “Kenapa, sih?”

Bae menarik ujung kaosku ke bawah. “Please, untuk sementara ini, jangan  buka baju di depanku dan jangan berenang di sini.”

Aku makin bingung. “Why?” 

Bae menelan ludah. “Aku takut nggak mampu mengendalikan diri, Zoya. I mean, gimana ya. Aku lelaki normal, sudah lama menduda, dan sekarang punya … kamu. Jadi, begitulah … hormon testosteronku rasanya … gak terkendali. Jadi ….”

Kami bersitatap. Mendengar Bae yang gelagapan seperti ini, aku tak tahan untuk tak tergelak. Aku mendekatkan wajahku ke arahnya. "Aku tahu kamu bakal jadi pria nakal dan ... mesum," bisikku. Dengan gerakan menggoda, jemariku menelusuri dada Bae yang berotot. “Kita lihat, apakah si Daddy ini … benar-benar sexy. Atau ….”

Bae menggiti bibir. Sedetik kemudian ia mengerang. “Cari perkara kamu.”
Ia menarik pinggangku lalu membawaku terjun ke dalam air.

Dan kami berciuman di dalam sana.

*** 
 
Sudah beberapa hari ini aku sengaja menjemput Lea. Mengesampingkan tatapan sinis dari ibu-ibu yang pernah ribut denganku beberapa waktu lalu, aku pantang mundur. Terlihat jelas bahwa mereka masih menaruh dendam. Bodo amat.
Aku tak keberatan masuk ruang BK lagi kalau mereka gangguin Lea.

“Apa papi sibuk lagi?” Lea bertanya beberapa saat sebelum masuk ke mobil. Seolah mempertanyakan kenapa diriku lagi yang menjemputnya.

“Iya, nih. Papimu masih ada rapat, jadi dia minta tolong pada tante untuk jemput kamu. Yuk,” ucapku berbohong. Karena sebetulnya, aku dan Bae sudah merencanakan diriku.

“Padahal tadi papi sudah janji mau jemput.” Lea berujar lagi. Tapi gadis kecil itu tetap patuh untuk duduk di kursi penumpang.
“Sudah makan?” tanyaku dari balik kemudi.
Lea mengangguk. Tak dapat dipungkiri, raut kecewa terlihat jelas di wajahnya yang mungil.

“Mau es krim lagi?” tawarku.
Biasanya setelah menjemput, aku sering mengajaknya makan dan beli es krim. Beberapa waktu lalu gadis itu antusias mengiyakan. Tapi sudah dua hari ini ia menolak.

“Tante, apa Papi nggak bisa jemput karena sibuk dengan tante Maya?”

Aku nyaris tersedak. Tak menyangka bahwa Lea akan menanyakan tentang hal tersebut.
“Uhm, bisa jadi. Kenapa emang?”

“Aku nggak suka.” Lea terdengar ketus.

“Tante Maya itu cuma teman papimu, Sayang. Nggak lebih, kok.”

“Bagaimana kalo tiba-tiba mereka mau nikah?”

“Enggak, Sayang. Mereka nggak akan menikah.”

“Tante yakin?”

“Yakin,” jawabku mantap.

Lea terdiam lagi. Dan akhirnya aku iseng untuk bertanya, “Emang kenapa kalo papimu nikah lagi?”

“Sama tante Maya?”

“Bukan. Gimana kalo nikahnya sama Tante?”

Lea menatapku. Dan sumpah, jantungku rasanya sudah mau melompat keluar.

“Nggak mau.” Dan jawaban Lea yang singkat rasanya begitu menohok.

“Kenapa?”

“Tante, I love you. But, I don’t want new mom.” Lalu ia terdiam, lama.

Sambil terus fokus pada kemudi, aku menelan ludah. Air mataku rasanya nyaris merebak.

Tidak apa-apa. Baru satu kali mencoba. Semoga esok gadis kecil ini berubah pikiran.

***

To be continued

Continue Reading

You'll Also Like

161K 5.7K 42
❝ if I knew that i'd end up with you then I would've been pretended we were together. ❞ She stares at me, all the air in my lungs stuck in my throat...
599K 12.8K 43
i should've known that i'm not a princess, this ain't a fairytale mattheo riddle x fem oc social media x real life lowercase intended started: 08.27...
96.2K 3.2K 52
"𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡, 𝐝𝐚𝐫𝐞, 𝐬𝐩𝐢𝐧 𝐛𝐨𝐭𝐭𝐥𝐞𝐬 𝐘𝐨𝐮 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐡𝐨𝐰 𝐭𝐨 𝐛𝐚𝐥𝐥, 𝐈 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐀𝐫𝐢𝐬𝐭𝐨𝐭𝐥𝐞" 𝐈𝐍 𝐖𝐇𝐈𝐂𝐇 Caitlin Clark fa...
105K 9.3K 111
"You think I'm golden?" "Brighter than the sun, but don't tell Apollo" Dante hates Rome's golden boy. Jason doesn't even remember him. Right person w...