What If [Series]

By tx421cph

3M 290K 464K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

[side story] Dear Dad

59.6K 7.8K 11.4K
By tx421cph

"Papa, kalau capek nggak usah dipaksain. Papa nggak apa-apa... kalau mau istirahat."


ps : wajib banget nyalain multimedianya, atau bisa play di spotify aja. Yiruma - kiss the rain


Happy Reading


"Guan apaan sih!"

"Males banget gue sama lu."

"Lo gak ada tempat lain apa buat makan?!" 

"...gue pengen makan bubur abalone." 

"Sama sekali nggak ada yang perlu dikhawatirin, Guan..."

"Makasih, Guan."

"Guanlin."

"Om Guan!" 

Pria itu mengerjap dengan cepat ketika ada suara nyaring berteriak di sampingnya. Seolah baru saja ditarik ke kenyataan yang menyakitkan, pria bertubuh jangkung itu menoleh ke samping kanannya. 

Dia melotot kaget ketika mendapati anak perempuan dengan tubuh mungil tampak comot sekali karena es krim. Anak perempuan itu terlihat kesal dengan bibir mengerucut mirip bebek. 

"Waduh!" Guanlin tersentak ketika hampir seluruh wajah Jeha kecil kotor karena es krim.

"Dipanggil kenapa enggak noleh-noleh!!" Teriak anak itu. 

"M-maaf maaf..." pria itu berdeham, lalu menarik selembar tisu basah yang dia bawa, "lagian kenapa bisa makan sampe kek gini dah bocah, lu makan apa cuci muka pake es krim." Dia mengomel, sembari mengelap wajah dan pakaian Jeha kecil. 

"Om Guan kenapa ngelamun," anak itu menatap dengan sinis. "Aku itu udah manggil dali tadi tau, thampe capek!" 

"S-siapa sih yang ngelamun, kaga ada!" Guanlin malah terbata, "dah lah cepet abisin es krimnya, abis itu mo kemana?" 

Jeha menggeleng kukuh, menyodorkan cone es krimnya yang isinya sudah mencair total, "enggak mau, aku mau pulang." 

"Lah napa?"

"Kangen papa eno..." Jeha kecil mulai cemberut. Melengkungkan bibirnya ke bawah seperti ingin menangis. 

"Dih, baru aja keluar dua jam!" Guanlin sensi, "ayok maen aja kita, om ajak mandi bola deh abis ini gimana?" 

Anak perempuan itu merengek, "enggak mau kalo enggak ada papa enooo!!!" 

"Terus ngapa tadi minta ikut gue bocah!" Pria itu mulai emosi.

"Mau pulangg... ommm..." Jeha mulai menangis. 

"Bapak lu lagi sibuk!" Guanlin masih berusaha membujuknya, "main dulu kita bentar, abis itu om anter pulang." 

"Huaaa papaaaa.... papaaa..." 

Lai Guanlin mengelus dada, dia harus ekstra sabar untuk menghadapi anak ajaib ini. Kalian tahu, mengasuh Lee Jeha memang semenyusahkan itu, Guanlin jadi penasaran apakah Lee Jeno sekarang sudah terkena mental breakdown. Agaknya, Jeno mungkin sebenarnya tertekan. 

"Iye iye elah! Diem gak lu!" Pria itu mendengus, lalu menggendong Jeha kecil yang masih sesenggukan dengan wajah merah karena menangis. Sesaat setelah digendong olehnya, anak itu langsung terdiam, meski masih terisak pelan. 

Anak ini lucu, tapi kadang menjengkelkan. Pikir Guanlin begitu. 

Lalu, dengan bocah kecil di lengannya, Guanlin berjalan menuju mobilnya yang terparkir di dekat taman. 

"Oi bocah." 

"Eng," anak itu hanya berdengung pelan sembari melingkarkan lengan pendeknya di leher Guanlin. 

"Lu jangan tumbuh deh, segini aja, jangan gede." Katanya tiba-tiba. 

Mendengarnya Jeha kecil mengernyit dengan ekspresi terkejutnya yang lucu, "ih thenapa!"

"Ga bisa gue bayangin lu pas gede nanti," karena Guanlin menggumam, Jeha tak bisa mendengar jawaban itu.

"Apa?"

"Kaga, lu segini aja, lucu, enteng kalo digendong." 

Lee Jeha mendengus, "ih enggak mau! Aku mau cepet gede bial bitha bantu papa eno cuci piling!" 

Guanlin langsung melengos, "bucin banget si sama bapak lu. Kaga emak kaga anak sama aja." 


***


"Papaaaa...!!"

"Jehaaaa..."

"Papakuuu...!!"

"Anakkuuu..."

Anak kecil dengan rambut dikepang dua itu berlari setelah Guanlin menurunkannya dari gendongan. Guanlin ingin berseru agar Lee Jeha tidak berlarian, ngeri anak itu terjatuh dan hidungnya mencium lantai. Bisa-bisa mimisan. 

Lee Jeno datang dari arah belakang, masih dengan apron hitam yang melekat di tubuhnya. Langsung keluar setelah mendengar teriakan anak perempuan kesayangannya. 

Jeha kecil sepertinya tidak berbohong tadi jika dia merindukan ayahnya meski baru beberapa jam keluar, saat melihat sosok ayahnya yang tersenyum dengan sepasang mata mirip bulan sabit, wajah Jeha menjadi lebih cerah. 

Guanlin yang melihat Jeha kecil sebahagia itu ketika melihat Jeno, tersenyum dengan sangat tipis. 

Jeha menubruk tubuh ayahnya yang berlutut untuk menyamakan tinggi, memeluknya erat-erat. 

"Kok bentaran mainnya?" Tanya Jeno kemudian, sembari mencubit pipi kecil yang putih mirip mochi. 

"Kangen papa..." anak itu melengkungkan bibir.

Jeno langsung tergelak, "hahaha... bisa aja kamu."

"Nih." Lai Guanlin tahu-tahu meletakkan satu kantung plastik besar yang berisi belanjaan ke atas sofa. Entah apa saja isinya.

"Abis berapa dia tadi? Biar gue ganti," kata Jeno. 

"Kaga usah."

"Lah kok gitu." 

"Emang lo bisa ganti?" Dengus Guanlin dengan nada ketus seperti biasanya, "dahlah." 

Rupanya belanjaan itu berisi kebutuhan sehari-hari Lee Jeha. Seperti popok bayi, susu formula, bubur bayi, biskuit, bedak bayi, dan— ah entahlah, masih banyak sekali. 

Sebenarnya Jeha sudah tidak menggunakan popok lagi, tapi karena Guanlin tidak tahu, dia membeli nyaris seluruh kebutuhan bayi yang ada di rak supermaket. 

"Tapi... itu banyak banget."

"Gue tau lo belum gajian, dahlah, gue beliin itu buat Si bocah bukan elu."

Akhirnya, Lee Jeno pun hanya terdiam. Melirik belanjaan di atas sofa yang benar-benar... banyak sekali. 

"Kalo gitu gue duluan," ujar Guanlin tiba-tiba. "Mau ke bandara sekarang." 

"Mau kemana lo?" Tanya Jeno. 

"Balik ke Guangzhou," Guanlin acuh, memakai jaket kulit hitamnya yang sejak tadi dia sampirkan ke bahu. Lalu dia mengambil kacamata hitam yang dia gantung di leher kaos putihnya, memakainya. 

"Pulang ke China? Hari ini banget?" Jeno agak terkejut. 

"Iye, ada urusan mendadak." 

"Lama?"

"Kaga tau, kemungkinan gitu." 

Baik, Jeno seharusnya tidak seterkejut itu karena Guanlin memang sangat random. Sehari pria itu bisa tiba-tiba di Amerika, lalu keesokannya tiba-tiba di Jepang, lalu beberapa jam kemudian sudah di Seoul. 

Tapi Guanlin bilang pria itu akan pulang dan kemungkinan cukup lama, mengingat hampir setiap hari pria setinggi tiang listrik itu selalu bertamu ke rumahnya untuk membawa Jeha kecil bermain, rasanya akan sedikit berbeda. 

Tak berapa lama ketika hampir berbalik, Guanlin merasa ada seseorang yang menarik-narik ujung jaketnya dari bawah. Dia menunduk, sosok cilik Lee Jeha sudah melengkungkan bibirnya dengan mata basah.

"Om mau kemana..." 

Diperlihatkan wajah seperti itu, membuat Lai Guanlin tidak tega dan dia ingin menculik anak ini. 

"Mo pulang, napa?" 

"Jangan dulu dong, main dulu kita..." Jeha kecil masih menarik-narik jaket Guanlin. 

"Tadi lu bilang mau pulang, gue pulangin lu ngajak main bocah." Pria jangkung itu mendengus malas. 

"Jeha, Om Guan mau pulang, ayo sini," Jeno mengayuhkan tangannya. 

"Om mau pelgi jauh ya? Mau kemana... di thini aja..." Anak perempuan itu mulai menangis. 

"Waduhhh iye iye kaga lama dah, jangan nangis," Guanlin pada akhirnya membungkukkan badannya dan menggendong anak itu.

Lihat, mana mungkin dia tega jika Lee Jeha sudah memasang wajah seperti itu. 

Lee Jeha selalu tahu bagaimana cara memenangkan hatinya. 

"Om kenapa mau pelgi jauh," ujung hidung anak itu yang bulat sudah memerah, "nanti enggak ada yang ajak aku main lagi kalo papa eno kelja." 

"Urusan orang dewasa, kepo dah lu." 

"Om kok gitu thih!" 

"Ayo sayang, Om Guan mau pulang." Jeno menghampirinya, dan Jeha hanya bisa pasrah saat ayahnya itu mengambilnya dari gendongan Guanlin. "Kapan-kapan lagi mainnya, nanti Jeha main sama Om Jaehyun juga," bujuk Jeno. 

"Nanti Om bawain oleh-oleh dah," sahut Guanlin. 

"Pa, kenapa kita enggak ikut Om Guan aja." 

Jeno langsung keki, "Jeha, kamu... jangan aneh-aneh deh." 

Tapi entah kenapa Lai Guanlin tertawa mendengarnya. Tawanya membahana, terdengar ke seantero rumah, "hahahaaa boleh, tar bapak lu gue buang ke laut." 

"Lo emang anjing," —Jeno. 

"Papaa mulutnya!" Jeha menepuk bibir ayahnya dengan sebal. 


-----oOo-----


Siang itu, Lee Jeno baru saja pulang dari bekerja. Hari ini dia bekerja di konstruksi, tapi sekarang dia telah mengganti pakaiannya ke setelan yang sangat rapi, meski tangannya juga agak lecet di sana sini. 

Kalian tahu Lee Jeno selalu bekerja serabutan, apapun pekerjaan yang dapat dia lakukan, maka dia akan melakukannya. 

Pria itu selalu menjaga kondisinya di depan putri kecil tersayang. Dia akan selalu berpakaian bagus dan rapi, memasang senyum terbaiknya, menunjukkan seolah dia selalu sehat dan baik-baik saja. 

Lee Jeha adalah anak yang cerewet dan selalu ingin tahu, anak itu pernah menangis karena melihat tubuh ayahnya penuh luka akibat pekerjaan dari konstruksi, dan Jeno tidak mau kejadian itu terulang kembali. 

Sampai di depan sekolah anak perempuannya, Jeno tersenyum lebar ketika melihat sosok kecil yang tampak memunggunginya. 

Namun kemudian senyumannya memudar. 

"Kamu nggak punya ibu! Nggak usah main sama kita!" 

"Hahahaa kasian banget nggak punya ibu!!" 

"Sana pergi ih!!" 

Lee Jeha tidak menangis, dia malah mengamuk, "apa thih! Thiapa juga yang mau main thama kalian!!" 

Dia sudah ingin memukul tiga anak yang lebih tinggi darinya itu, namun sebelum Jeha melakukannya, Lee Jeno sudah menarik tubuh kecilnya lebih dulu dari belakang. Menahan kedua tangannya. 

"Tidak punya ibu itu bukan sebuah kesalahan. Jangan hina anakku, jangan mengatakan hal-hal yang membuatnya sedih. Kalian tidak tahu bagaimana rasanya, jangan menjadi anak nakal." 

Itulah yang Lee Jeno katakan pada ketiga anak tersebut, sampai akhirnya mereka lebih memilih untuk berlari karena melihat ayah dari anak yang dirundungnya itu datang. 

Lee Jeha berbalik, menatap wajah ayahnya yang terlihat sangat sedih. Keadaan sepertinya terbalik, Jeha kecil yang mendapatkan kata-kata menyakitkan itu malah tidak terlihat sedih sama sekali. 

"Jeha nggak apa-apa? Mereka nakal ya," Jeno tersenyum sedih, membenarkan rambut anak perempuannya. 

Jeha kecil menggeleng pelan, "papa kenapa thedih? Hng! Meleka bikin papa thedih kan jadinya! Jangan didengelin! Aku enggak thuka meleka!" 

Kata-kata itu sangat lucu, tapi hati Jeno sangat mencelos. Dia pada akhirnya hanya tertawa kecil, lalu mencium kedua pipi anak kesayangannya dengan lembut. "Kenapa papa harus sedih kalo ada kamu di sini?" 

Benar. Jeno tidak berbohong. Lee Jeha adalah satu-satunya alasan yang membuatnya berbahagia dan bertahan di dunia yang menyakitkan itu. 

"Ayo kita pulang, mau gendong apa jalan?" 

"Jalan aja, papa habith kelja pathti capek." 

Lee Jeno tertawa kecil. "Papa nggak capek kok, ayo papa gendong." 

"Enggak, nanti aku enggak tinggi tinggi kalo digendong teluth." Dia tetap menggeleng kukuh. 

Pada akhirnya, pasangan ayah dan anak itu kemudian berjalan bersama. Seorang pria yang menggandeng tangan kecil dan putih, seorang anak mungil yang mengangkut tas sekolah. Keduanya tertawa bersama, mengobrolkan ini dan itu, membicarakan lelucon yang sebenarnya tidak lucu. 

Jeno juga tersadar, ketimbang dirinya yang berjanji akan melindungi anak perempuannya dan menjaganya sebaik mungkin, Jeha-lah yang selalu menghiburnya di kala sedih. Anak itu sangat peka dengan perubahan emosinya meski Jeno tidak menangis, Jeha kecil akan mendekati Jeno saat menyadari perubahan hati ayahnya. Menanyakan mengapa ayahnya merasa sedih, apakah ada yang bisa Jeha lakukan untuk membuat ayahnya merasa senang kembali. 

Perilaku sederhana yang membuat hati Jeno menghangat. 

Kepedulian kecil yang membuat Lee Jeno teringat akan mendiang istrinya. 

"Papaaa."

"Jehaaa." 

Ketika Jeha memanggil ayahnya, Jeno pasti akan menyahutinya seperti itu. 

Anak itu tertawa kecil, lalu Jeno akan ikut tersenyum seiring dengan sepasang matanya ikut tersenyum. "Bental lagi natal!" 

"Iya, papa udah beli pohon natal kok, tadi pas kamu sekolah ada yang nganter ke rumah." 

"Wah! Athik! Nanti kita hiath pohonnya yeiiyyy!!!" 

"Iyaa tadi papa juga udah beli hiasannya kok," Jeno tersenyum manis. 

Siang itu, karena cuaca dingin sehabis hujan salju semalam, Jeno memilih untuk menggendong anak perempuannya meski Jeha kecil sempat menolak. Pasalnya anak itu sesekali tersangkut kakinya di tumpukan salju, lalu tersandung dan wajahnya jatuh lebih dulu. 

"Jeha-ya."

"Eung."

"Ke makam mama, yuk?"


-----oOo-----


Kemudian, hari natal itu tiba. Jeno hanya bisa tertawa ketika melihat anak perempuannya yang heboh sejak malam datang. Memuji betapa cantiknya pohon natal mereka, meski tidak terlalu tinggi dan tidak seindah pohon natal milik orang lain. Bagi Jeha kecil, pohon natal itu tetap cantik karena ia menghiasnya dengan papa. 

Ada foto-foto miliknya dan juga mendiang ibunya yang digantung di pohon itu. Foto saat dia baru lahir, foto papa dan mama saat menikah, foto selfie papa ambil bersama Jeha kecil yang tidur pulas. 

Papanya itu rupanya gemar mengabadikan momen-momen mereka, foto saat papa dan mama masih muda juga cukup banyak.

Malam natal itu tidak ada hadiah yang bertumpuk di bawah pohon seperti keluarga di luar sana, tidak ada keluarga besar maupun saudara. Papa Jeno tetap membuat kukis kesukaan Jeha yang dibentuk lucu-lucu, mereka minum susu bersama, menghabiskan kukis, dan— oh, ayah dan anak itu juga menggunakan piyama couple! Piyama baru yang papa beli beberapa hari lalu, warna merah dengan pattern natal. 

"Papaaa..." 

Jeno menoleh ketika dia sedang membersihkan kertas warna-warni bekas confetti tadi. Dia lihat, anak perempuannya baru turun dari sofa sembari mengucek matanya. Oh, sepertinya Jeha kecil sudah kelelahan. 

"Jeha udah ngantuk?" Papanya tersenyum. 

"Eung."

"Udah pipis belum?" 

"Udaah." 

Setelah menyapu lantai rumahnya sampai bersih, pria itu menghampiri anak perempuannya, mengangkat tubuh kecil itu dengan mudah. Jeha bersandar di bahu ayahnya, terlihat sangat nyaman saat Sang ayah memeluk tubuhnya. 

"Papa," panggilnya lalu.

"Hm?" 

"Engg... aku enggak punya hadiah buat papa," suaranya terdengar sangat sedih.

Mendengarnya, Lee Jeno tergelak pelan. "Nggak apa-apa kok, kan kamu itu hadiah buat papa."

Benar, bahkan di hari natal seperti ini, Lee Jeno tak membutuhkan hadiah apapun. Dia tak membutuhkan perayaan natal yang meriah dan mewah bersama orang-orang terdekat. Asalkan bisa bersama anak perempuannya, Jeno tak akan menginginkan apapun lagi. Hanya itu. 

"Tahun depan aku mau cali uang thendili deh buat beliin papa hadiah!" Katanya, antusias. 

"Hahaha emangnya Jeha mau kerja?" 

"Enggak, nanti minta uang Om Guan aja," jawabnya polos. 

Jeno langsung speechless. Dia hanya bisa... haha...

"Itu namanya kamu bukan cari uang sendiri, tapi minta." Pria itu tertawa hambar. 

"Yang penting kan uangnya enggak dali papa." 

Diam Lee Jeno kemudian, berpikir. "Y-ya... iya sih bener juga..." 

Keduanya masuk ke dalam kamar, Jeha langsung melompat ke atas kasur, membuat Jeno terkejut setengah mati. 

"J-Jeha jangan gitu..." dia nyaris jantungan, sungguh. 

Lee Jeha mana peduli betapa kaget ayahnya saat dia melompat tiba-tiba ke atas ranjang, dia hanya tertawa-tawa dan bergelung masuk ke dalam selimut, bersembunyi di dalam sana. 

Agak bar-bar sih memang... 

Jeno kemudian memilih untuk mengambil sepasang kaus kaki baru dari lemari. Benar-benar baru, masih terbungkus plastik. Lalu dia mengeluarkan kaus kaki itu, duduk di samping anaknya yang sudah menghilang di telan selimut. 

"Ini hadiah dari papa," katanya. 

Mendengar itu, Jeha langsung muncul, kepalanya tampak menyembul keluar. "Waa hadiah!" 

"He'em, tapi... papa cuma beliin ini." 

Itu kaus kaki kembar. Warna merah, dengan bulu putih yang lembut di atasnya. Mata anak itu berbinar, "lucu banget!" 

Baik Lee Jeno dan Lee Jeha, keduanya tak bisa tidur tanpa kaus kaki. Kalian tentu tahu itu. 

"Emmm lembutt bangett," anak itu tertawa kecil, meringis ketika papa memakaikan kaus kaki itu untuknya. "Thini aku pakein punya papa!" 

"Nggak usah sayang papa bisa pake sendiri." 

"Ih thinii!!" 

Jeha keras kepala. Sekali iya, maka iya. Anak itu merebut kaus kaki yang ukurannya lebih besar dari tangan Jeno, lalu dia bersimpuh di dekat kaki ayahnya yang berselonjor. 

Melihat Jeha kecil yang memasangkan kaus kaki itu dengan penuh usaha, Lee Jeno tersenyum. Hanya karena perlakuan sederhana itu, entah mengapa dia merasa sangat sedih. 

Kalian tahu, mungkin keluarga kecil itu terasa begitu sepi karena hanya ayah dan anak tersebut. Namun keduanya adalah pasangan ayah dan anak yang sangat kompak. Tanpa kehadiran istrinya pun, Lee Jeno tak lagi merasa kesepian karena kehadiran anak perempuannya. 

Dia yang tanpa pengalaman sama sekali, ditinggal oleh istrinya, diharuskan merawat bayi kecil yang bahkan ia tak tahu bagaimana cara merawat bayi dengan baik. Hidup berdua dengan putri kecilnya yang kini berusia 4 tahun. Dan selama 4 tahun itu... perjuangan seorang Lee Jeno sama sekali tak main-main. Semua orang tak tahu, sekeras kehidupan yang dia lalui demi membahagiakan anak perempuan kesayangannya. 

"Jeha-ya," panggilnya pelan.

"Eung." 

"Jeha harus janji sama papa ya?" 

"Janji apa?" 

Dia tatap anak itu, sepasang mata bulat yang mirip dengannya. Wajah itu sangat identik dengan istri tercinta, namun Jeha kecil memiliki mata Lee Jeno. Mata yang akan selalu tersenyum dalam keadaan apapun. 

"Janji... kalau Jeha harus sehat selalu, jangan sakit, papa nggak mau lihat Jeha sakit."

Jeha tak menjawab, hanya memandangi papanya sembari mengerjap beberapa kali. 

"Kalau Jeha sakit, papa ikut sakit." Lanjut Jeno. 

Mata Lee Jeha membulat, "iyakah? Benelan?" 

"He'em," pria itu tersenyum mengangguk.

Lalu, anak kecil itu ikut mengangguk kukuh dengan pasti. "Iya! Jeha enggak akan thakit!" 

"Kita berdua harus sehat terus biar mama nggak sedih," ujarnya, tertawa kecil. "Ayo sini bobo," ditariknya selimut tebal yang berantakan.

Jeha kecil masuk ke dalam pelukan ayahnya yang sudah berbaring, menjadikan lengan ayahnya sebagai bantal. Menyelimuti tubuh mereka berdua, saling memeluk satu sama lain. 

Biasanya, setiap malam papa akan mendongeng untuknya. Menceritakan apapun agar membuatnya tertidur, tapi malam ini, anak itu tidak meminta sebuah dongeng.

Jeha kecil bertanya, "papa kangen thama mama?" 

Lee Jeno langsung terdiam mendengar pertanyaan itu.

"Mama itu... thebenelnya kemana ya? Kenapa kita teluth pelgi ke makam? Makam itu apa thih?"

Jeno melihat anak itu mengangkat telapak tangannya ke udara, lalu Jeno mengenggam tangan mungil seputih susu tersebut. Melihat perbandingan ukuran tangannya dengan Sang putri sembari berpikir dengan sendu. 

"Mama udah pergi," jawabnya lalu, "udah... lama." 

"Engg... pelgi?" 

"He'em." 

"Kemana? Kenapa mama pelgi?" 

"Mama udah capek sayang, jadi... papa nggak boleh nahan mama," pria itu tersenyum pilu, dia daratkan satu ciuman ringan di pucuk kepala anak perempuannya. 

"Eung... tapi kan, mama enggak boleh ninggalin papa thendili, kathian papa." Anak itu masih memainkan tangan besar ayahnya. 

Lee Jeno tertawa kecil, "nggak apa-apa kok, kalo papa pergi juga, kamu gimana? Nggak apa-apa, mama sekarang udah nggak capek lagi, mama udah bahagia di tempat yang namanya surga." 

"Thulga? Apa itu?" 

"Itu tempat istirahat buat orang-orang baik." 

"Kalo gitu, ayo kita kethana nanti! Kita pelgi ke thulga juga ketemu mama!" 

Jeha kecil terdengar sangat bersemangat, dan Jeno hanya mencoba untuk tersenyum meski hatinya terasa sakit. 

"Iya, suatu saat nanti... ayo kita pergi ke surga, kita temuin mama." 

"Ayoo ayoo!! Aku kangen mama!" 

"Udah ayo tidur, udah malem banget." Jeno tertawa kecil, "sini deketan, dingin kan?" Pria itu semakin memeluk tubuh anak perempuannya, membiarkan sosok kecil itu menggulung diri dalam pelukan, mencari kehangatan. 

"Papa... dingin." 

"Papa..." 

Gadis itu mengernyit. Keningnya sejak tadi mengernyit dengan gelisah, dia juga terus bergerak tidak nyaman. Tubuhnya meringkuk, dan tangannya bergerak untuk meraba bantal di sampingnya.

Sampai ketika dia merasa bahwa di sampingnya tak ada siapapun, dingin dan kosong, gadis itu membuka sepasang matanya.

Matanya yang membengkak dan memerah karena menangis semalaman. 

"Papa?" 

Lee Jeha bersuara dengan parau, mengernyit ketika tak mendapati siapapun di sana. Dia terduduk, melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang sepi dan kosong, dingin dan mencekam. 

Dia tak menggunakan piyama, tak menggunakan kaos kaki, tak menggunakan selimut. 

Lalu, gadis itu menundukkan kepala ketika sadar bahwa dia baru saja mencari-cari sosok ayahnya yang selalu memeluknya setiap malam. Kebingungannya barusan, kini berganti menjadi sebuah rasa sakit. 

Lee Jeha baru teringat, bahwa tiga hari yang lalu, ayahnya baru saja pergi meninggalkan dunia. 




- fin -





lagi kangen aja sama keluarga kecil ini :')

Continue Reading

You'll Also Like

92.9K 10K 41
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
656K 76.5K 60
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
66.9K 7.3K 25
" kamu ga sendirian angelina Christy " -chk
207K 13.2K 23
Kontrak pernikahan selama satu tahun sampai Jeno benar-benar pulih dari lumpuh nya, akankah pernikahan kontrak itu akan berakhir semestinya atau ada...