2. NOT ME ✔️

By Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... More

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL

111K 22.1K 4.7K
By Caaay_

Vote dulu, yuk. Biar nggak lupa.
Ramaikan komentar juga yak!

Bacanya sambil play mulmed di atas ya biar makin nyesek.

Happy reading!!!

————

CAKRA ANAK NAKAL

————

"Sa, gue mau liat-liat rumahnya." Moa berjalan mendekati rumah yang dulunya sempat Cakrawala tinggali itu.

Kansa menarik pergelangan tangan Moa. "Eh, gila jangan, Mo!"

"Kenapa sih, lo takut?"

Kansa mengangguk.

Rumah Cakrawala itu terlihat sangat menyeramkan, persis seperti rumah hantu. Apalagi saat malam-malam, sudah tidak ada lampunya, banyak sarang laba-laba, kotor dan lembap, ditambah lagi sepuluh tahun lebih terbengkalai. Sungguh tempat yang sangat sempurna untuk para makhluk halus membentuk koloninya.

Moa tertawa mengejek. "Cemen lo, gini doang takut."

Andaikan Moa tahu seperti apa suasana rumah Cakrawala waktu malam hari. Dan andaikan Moa tahu seperti apa sejarah rumah yang menjadi saksi bisu tangisan Cakrawala kala itu. Kansa jamin, Moa tidak akan mau lagi masuk ke dalam rumah ini.

"Kalo lo mau masuk, yaudah masuk aja sana. Tapi gue nggak mau ikutan," ujar Kansa. Biar Moa melihat sendiri seperti apa kondisi rumah itu.

"Oke!"

Moa melangkah maju. Namun, kemudian Kansa menyusul.

"Tadi bilangnya nggak mau ikutan?" tanya Moa.

Kansa berdecak. "Ya elo hobinya ngerusuh, kalo sampe lo ngerusuh di sini, satu komplek bisa geger, trus gue yang kena."

Alhasil mereka berdua masuk bersama. Kedua tangan Moa masih setia menjunjung dua kresek putih berisi makanan, minuman, mainan, buku gambar serta krayon yang ia bawa untuk Gabi.

Tling!

Baru saja Moa masuk dua langkah, kakinya tidak sengaja menendang sebuah botol kaca berwarna hijau yang tak lain adalah botol bekas minuman keras. Mungkin saat malam banyak anak muda yang mabuk-mabukan di sini, pikir Moa. Tapi siapa orangnya yang akan mabuk-mabukan di rumah terbengkalai seperti ini.

Moa memilih acuh, ia kembali mengambil langkah. Ia menatap jungkat-jungkit kayu serta ayunan yang sudah rusak. Kalau dua permainan itu tidak rusak, siapapun anak kecil yang melihatnya pasti akan senang.

"Jungkat-jungkit sama ayunan ini, dulu yang buat Bundanya Cakra." Kansa mendadak bercerita.

Jarak rumah Kansa dengan rumah Cakrawala tidak begitu jauh. Waktu kecil dulu, ia sering bermain dengan Cakrawala.

Seorang gadis kecil dengan setelan rok cinderella serta sepatu balet, melangkahkan kaki mungilnya memasuki halaman rumah bercat kuning itu. Ia membawa sebuah bola bekel di tangan kanannya. Ia penasaran karena sedari tadi mendengar suara bising ketukan palu.

Saat ia masuk, ia melihat seorang wanita tengah bergelut dengan berbagai macam alat tukang serta balok kayu yang cukup panjang. Seharusnya laki-laki yang melakukan semua pekerjaan itu.

"Nanti biar Bunda aja yang makuin, Cakra nggak usah ikut-ikutan. Cakra duduk di situ aja." Bunda menunjuk kursi plastik yang tergeletak di teras. Ia khawatir jari mungil Cakrawala akan terluka.

"Enggak ah, Cakla mau bantuin Bunda."

Bunda menoleh dan mendapati seorang gadis mungil berdiri mengamatinya.

"Eh, ada Kansa," ujar Bunda seraya tersenyum.

Cakrawala menoleh, ia tersenyum ceria. "Kansaaa!"

"Tuh, ada Kansa. Cakra main sama Kansa dulu sana."

Cakrawala meletakkan palu yang sempat ia bawa, kemudian berlari kecil menghampiri Kansa, meninggalkan Bundanya yang masih sibuk menggergaji balok kayu.

"Aku punya bola bekel, tapi nggak ada temen buat main." Kansa menunjukan bola bekel warna merah di tangan kanannya.

"Kamu mau main sama aku nggak?" tanyanya.

"Maaf ya Kansa, Cakla mau bantuin Bunda dulu. Habis itu kita nanti main sama-sama. Nanti Cakla deh yang nyampelin ke lumahnya Kansa."

"Bunda kamu lagi buat apa?"

"Bunda mau buatin Cakla jungkat-jungkit sama ayunan!" Seru Cakrawala. Ia terlihat sangat ceria dan bersemangat.

"Cakra sama Bundanya dulu emang sedeket itu?" tanya Moa.

"Hahaha... Bunda... Ayo dolong ayunannya kencengan lagi..."

"Oh ini kurang kenceng?"

"Iya Bunda, kulang kenceng! Hahaha..."

"Cakra pegangan yang kuat, Bunda dorong lebih kenceng nih."

Kedua tangan mungil Cakrawala mencengkram kuat pegangan ayunanan. Bundanya kemudian mendorong ayunan itu dengan kencang hingga membuat kaki mungil Cakrawala melayang jauh di atas tanah.

"Hahahaha.... Bunda... Cakla telbang... Hahaha... Wuuuusssh! Cakla telbang!"

Kansa mengangguk. "Deket banget malah. Cakra itu anak Bunda." Kansa terkekeh mengingat masa kecilnya bersama Cakrawala. Cowok itu bahkan sering diledekin sebagai anak bunda oleh teman-temannya.

Sejak TK, SD, SMP, hingga sekarang SMA. Kansa dan Cakrawala satu sekolah, bahkan juga satu kelas. Tidak ada yang mengenal Cakrawala sejauh Kansa.

"Gue nggak bisa bayangin sih gimana jadi Cakra, sejak kecil dia nggak pernah jauh-jauh dari Bundanya. Sampai akhirnya waktu kita kelas 2 SD, gue inget banget. Guru kita ngasih pengumuman di depan kelas, dia bilang, Bundanya Cakra udah nggak ada. Kecelakaan."

Mendadak Moa diserang perasaan sesak. Selama ini ia kira ia telah mengenal Cakrawala, ternyata tidak. Cowok itu tidak pernah menceritakan dukanya kepada Moa. Sedikit pun tidak.

Cakrawala selalu memendam rasa sakitnya sendiri dan tidak pernah membagikannya kepada siapapun. Ia hanya akan membagikan kegembiraan kepada orang-orang, namun tidak dengan penderitaannya.

"Lo yakin mau masuk rumah ini lebih dalam?" tanya Kansa.

Moa mengangguk. Rasanya nanggung, dia sudah sampai sini tapi tidak jadi masuk.

Baru sampai halaman rumahnya Cakrawala saja perasaan Moa sudah sesak bukan main. Matanya juga memerah seperti menahan tangis.

Moa kembali mangambil langkah, namun lagi-lagi ia tidak sengaja menendang botol miras dan tetap ia acuhkan.

Pintu rumah Cakrawala sedikit terbuka sehingga memperlihatkan bagian dalam rumah yang sudah sangat kotor dan berantakan. Beberapa perabot masih dibiarkan berada di dalam rumah, tergeletak dan sebagian tercecer di lantai, rusak begitu saja. Ia juga melihat banyak bungkus bekas rokok bertebaran di lantai.

Ada sebuah sepatu karet mungil yang sudah usang tergeletak di dekat pintu. Karena penasaran, Moa mendekat, kemudian mengambilnya. Sepatu itu panjangnya sama seperti satu telapak tangan Moa. Di bagian pinggir sepatu itu ada tulisan, 'Ini punya Cakrawala.' Moa menatap sepatu mungil tersebut dengan sendu.

Air mata Moa tiba-tiba meluncur. Ia tidak bisa menahan perasaan sesak yang menghimpit dadanya. Kansa menatap Moa dengan tatapan tidak percaya, baru pertama kali ini ia melihat seorang Moa Jatraji menangis. Gadis itu seperti devil, tapi ternyata masih bisa menangis.

Moa meletakan sepatu mungil itu kembali, ia kemudian masuk ke dalam rumah yang sudah lama ditinggalkan itu. Kansa mengikutinya dari belakang.

Baru tiga langkah masuk, Moa mencium bau busuk yang sangat menyengat. Bau busuk itu berasal dari sebuah kresek hitam yang tergeletak di atas meja kayu bulat yang sudah hampir rapuh. Saat Moa melihat, ternyata di dalam kresek itu ada telur dan beras.

Telurnya sudah busuk karena dibiarkan begitu lama, wajar jika baunya sangat menyengat. Dan kemasan beras itu robek di makan serangga sehingga bulir-bulir berasnya tercecer keluar.

"Moa maafin Cakra, Cakra telat." Cakrawala terengah-engah.

"Kamu habis dari mana?"

"Tadi Cakra habis ke rumahnya Gabi, beliin beras sama telur."

Brak!

Dua kresek putih yang berisi makanan, minuman, mainan, serta alat-alat menggambar untuk Gabi yang Moa genggam, jatuh. Ia menangis.

Tolong yakinkan Moa kalau Cakrawala itu masih normal. Tolong yakinkan Moa kalau Gabi itu sebenarnya ada. Tolong...

"Mo," Kansa memegang pundak Moa.

Moa masih menangis, air matanya jatuh semakin deras ketika ia menatap kresek berisi telur yang sudah membusuk itu. Ia ingin percaya kalau Cakrawala itu masih normal, tapi apa yang ia lihat sekarang ini diluar dugaannya.

"Cakrawala itu sakit mental!"

"Cakrawala itu gila!"

"Moa jangan begitu lagi, ya. Aku malu."

"Haai Moa! Aku di sini!" Cakrawala tersenyum ceria seraya melambai-lambaikan telapak tangannya pada Moa.

"Nanti kalau ada apa-apa, Moa langsung telpon aku, ya?"

"Cakrawala itu harusnya di masukin ke rumah sakit jiwa!"

"Cakrawala itu nggak normal!"

"Gue pernah liat Cakra ngomong sendirian!"

Omongan-omongan orang tentang Cakrawala serta senyuman dan tawa ceria Cakrawala, berkeliaran dipikiran Moa, saling bersahut-sahutan.

"Cakra... Cakra... hiks!"

Moa menangis. Air matanya sedari tadi tidak mau berhenti berjatuhan.

"Moa... Mo."

Kansa tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia bingung kenapa cuma melihat telur busuk itu, Moa sampai menangis seperti ini? Apa Moa punya fobia dengan telur busuk? Kansa tidak mengerti.

"Kita keluar aja, yuk." Ajak Kansa.

Moa mengangguk, namun tiba-tiba perhatian Moa teralihkan pada sebuah ruangan yang ada di sudut kanan rumah ini. Ruangan itu pintunya sudah ambruk di lantai sehingga memperlihatkan sebuah poster foto Cakrawala kecil tertempel di dinding.

Moa melangkahkan kakinya ke sana, tidak jadi keluar rumah. Kansa tetap mengikutinya.

Saat Moa dekati, ternyata di atas poster Cakrawala kecil itu ada tulisan dari spidol berwarna hitam.

'Malaikat kecilnya Bunda.'

"Ini dulu kayaknya kamarnya Cakrawala deh, Mo," tutur Kansa.

"Mo, liat."

Kansa menunjuk salah satu sudut dinding yang penuh dengan coretan. Coretan di dinding itu dibuat oleh Cakrawala. Itu bukan coretan biasa. Coretan itu berbentuk garis-garis turus yang memenuhi dinding.

Usai Cakrawala dipukul, ia akan selalu mencoret dinding kamarnya dengan garis turus.


Moa menutup mulut, air matanya kembali meluncur.

"Ke sini kamu!"

Cakrawala menggeleng, tidak mau ikut. Ayahnya saat ini membawa sebuah kayu yang sangat panjang. Tubuh Cakrawala gemetar ketakutan.

"Bunda..."

Bundanya sedang pergi ke pasar dan Cakrawala ditinggal sendirian. Semula ia bermain bola bekel bersama Kansa, namun ia pulang sebentar untuk mengambil minum. Tidak tahunya ternyata di rumah masih ada ayahnya yang sedang mabuk.

"Ayo kesini!"

Cakrawala menggeleng kuat. Ia hendak berlari, tetapi ayahnya sudah terlebih dulu mendekat, mencekal tangan kanan Cakrawala, kemudian menyeretnya.

"Ayaaah... Lepasin Cakla... Ayah..."

"Cakla mau main... Ayah... Cakla mau maaain!"

"Bunda..."

Bruk!

Cakrawala ambruk lantaran di dorong ayahnya.

"KAMU BISANYA CUMA MAIIN TERUS!"

DUG!

Ayahnya mengayunkan kayu panjang yang ia genggam ke tubuh Cakrawala, tidak perduli saat ini anaknya menangis meraung-raung.

"Ayaaah... Ampuuun..."

"Ayaaaaah.... Ampunin Cakla..."

"Ayaaah... Maafin Cakla..."

"Ayaaah... Udaaah... Ayah... Ampun..."

"Cakla nggak akan main lagi... Ayah... Ampun..."

Ayahnya tidak perduli jika tubuh Cakrawala memar-memar.

"Ayah datang sambil bawa pancingan di tangan kanannya."

Moa menggeleng. Kini ia tahu, Cakrawala berbohong.

"Ayah kamu datang nggak bawa pancingan, tapi bawa kayu pukulan." Ujar Moa lirih.

"Terus kamu ikut?" tanya Moa.

Cakrawala tersenyum. "Iya, aku ikut. Rasanya seru."

"Kamu ikut, rasanya nggak seru. Tapi rasanya sakit."

"Kamu dapat ikan?"

"Iya, aku dapat ikan." Cakrawala tertawa.

Moa menggeleng pelan. "Kamu nggak dapat ikan, tapi dapat pukulan."

Moa terisak semakin keras, pun dengan air mata yang kini sudah membanjiri kedua pipinya.

Menyadari kondisi Moa yang sedang tidak baik-baik saja, Kansa memegang pundak Moa, kemudian mengajaknya untuk segera keluar dari rumah masa lalu Cakrawala itu.

Untuk yang pertama kalinya, Kansa melihat seorang Moa Jatraji menangis begitu hebat karena tahu masa lalu Cakrawala. Orang yang dulunya selalu tertawa ketika melihat Cakrawala jatuh, kini malah dia yang jatuh setelah mengetahui masa lalu Cakrawala.

Kansa membawa Moa pulang ke rumahnya. Mereka sekarang duduk di atas sofa berwarna merah, di ruang tamu rumah Kansa. Tangisan Moa masih belum berhenti.

"Hiks! Hiks!"

Isak tangis Moa terdengar semakin keras.

"Cakrawala...," ujar Moa. "Hiks!"

"Manusia sampah kayak lo itu nggak pantes hidup!"

Moa kembali teringat makiannya pada Cakrawala. Sekarang ia sadar, bukan Cakrawala yang sampah, tapi dirinya lah yang sampah. Ia tidak tahu jika dibalik senyuman serta tawa Cakrawala ada luka yang begitu dalam.

Kansa menatap Moa. Ia pikir seorang devil seperti Moa tidak bisa menangis.

"Dulu waktu gue masih kecil, sering lewat di depan rumahnya Cakrawala, terus denger suara berisik kayak orang teriak-teriak sama suara orang lagi nangis."

"Waktu gue tanya sama ibu gue, ibu gue bilang, Bundanya Cakrawala lagi nonton sinetron volumenya kekencengan."

"Tapi kemudian gue sadar, gimana mau nonton sinetron, tivi aja dia nggak punya."

"Bahkan Cakrawala dulu sering main ke rumah gue pagi-pagi cuma buat nonton kartun spongebob kesukaan dia."

Cakrawala memang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayahnya yang suka mabuk-mabukan itu seorang pengangguran, ia dipecat dari pekerjaan karena berkelakuan tidak baik.

Dan Bundanya Cakrawala kerjanya serabutan, apapun ia lakukan mulai dari menjadi buruh cuci, pelayan restoran, bahkan menjadi badut ulangtahun dan maskot di taman kota. Semuanya Bunda lakukan hanya untuk malaikat kecilnya, Cakrawala.

Bunda sungguh tidak beruntung karena menikahi laki-laki seperti ayahnya Cakrawala. Ia benci, sangat benci. Bunda bertekad, ia tidak akan pernah membiarkan Cakrawala tumbuh menjadi seorang laki-laki yang tidak punya hati seperti ayahnya.

Alih-alih membelikan televisi, Bunda justru membelikan Cakrawala banyak buku. Bahkan setiap seminggu sekali, Bunda akan mengajak malaikat kecilnya itu jalan-jalan ke toko buku untuk membeli buku cerita, kumpulan rumus beserta soal-soal, hingga buku ensiklopedia. Padahal usia Cakrawala kala itu masih belum genap enam tahun. Ia juga belum lulus TK, tapi sudah fasih membaca.

"Gue juga denger-denger dari tetangga, katanya, ayahnya Cakrawala meninggal itu gara-gara dibunuh sama Bundanya Cakrawala. Terus karena satu kampung udah resah banget sama kelakuan ayahnya Cakrawala, jadi Bundanya nggak dilaporin ke polisi."

"Waktu itu Cakrawala juga masih kecil, apalagi Bundanya Cakrawala dulu denger-denger juga dari panti asuhan. Jadi dia nggak punya keluarga. Makanya warga disini kayak yaudah... Dibiarin aja gitu. Lagian warga di sini juga udah tau kayak gimana sifat Ayah sama Bundanya Cakrawala. Tapi sebagai gantinya Bundanya Cakrawala diusir dari kompleks sini."

Kansa kembali teringat kaca rumah Cakrawala yang sudah pecah dan hancur berantakan serta kepingan-kepingannya berserakan di lantai karena dilempari batu oleh warga kompleks.

"Tapi gue nggak tau juga sih, itu bener apa enggak. Soalnya udah lama banget, gue dengernya juga dari mulut-mulut tetangga. Lo tau sendiri kan, mulut tetangga kayak gimana. Kalo ngomong pasti ada yang ditambah-tambahi."

Bayangan senyuman serta tawa renyah Cakrawala terlintas dibenak Kansa.

"Dari dulu sampe sekarang, Cakrawala itu nggak pernah berubah. Dia orangnya ceria, suka senyum, suka ketawa. Tapi sebenarnya nggak ada yang tau dia itu kayak gimana."

"Kenapa lo nggak pernah bilang sama gue kalo lo tau tentang Cakrawala? Ha?!" Tanya Moa, ada sedikit rasa amarah di sela-sela tangisnya.

"Gue harus bilang apa sama lo? Emangnya lo pernah peduli sama orang lain? Devil kayak elo mana punya hati."

Kansa benar. Moa tidak pernah peduli dengan orang lain, sampai akhirnya Cakrawala datang mengenalkannya dengan apa yang dinamakan empati dan rasa peduli. Cakrawala telah berhasil mencairkan hati Moa yang telah membeku.

Satu sekolah sudah tahu Cakrawala Agnibrata itu sakit mentalnya, dan Kansa sama sekali tidak terkejut dengan kenyataan tersebut. Ia tumbuh kecil bersama Cakrawala, ia tahu bagaimana lingkungan Cakrawala.

Seorang anak yang sedari kecil hanya mengerti rasanya dipukuli tanpa pernah disayangi, tidak akan mungkin bisa tumbuh dengan baik-baik saja.

Cakrawala bisa pura-pura terlihat bahagia, namun luka akibat masa lalunya masih tetap ada, tersembunyi dibalik senyum dan tawa cerianya.

Sejak SD sampai SMA satu kelas bersama Cakrawala membuat ada perasaan berbeda di hati Kansa. Kansa suka Cakrawala. Bukan, perasaan Kansa itu bukan suka dalam artian jatuh cinta dan ingin memiliki. Tapi hanya sebatas kagum.

"Lo tau, Mo. Setelah gue tau seperti apa masa lalunya Cakrawala, gue pikir, Cakrawala akan tumbuh jadi cowok brandalan, tukang pukul, dan nggak punya hati. Ya... Kayak ayahnya gitu lah. Tapi ternyata dia nggak begitu."

"Bundanya udah nggak ada, tapi dia tetep inget sama bundanya."

"Gue juga inget banget, Bundanya selalu bilang; Cakra nggak boleh nakal. Cakra anak baik kan? anak baik harus selalu inget kata-kata Bunda. Janji sama Bunda, ya, Cakra harus senyum terus. Cakra harus bahagia terus."

Moa memejamkan mata. Terlalu banyak luka yang Cakrawala pendam seorang diri. Dan terlalu banyak tentang Cakrawala yang belum Moa ketahui. Rupanya selain pandai dalam matematika, Cakrawala juga pandai dalam menyembunyikan luka.

Ponsel di saku Moa bergetar, saat ia cek, ada panggilan masuk dari Cakrawala. Moa menarik napas, mencoba meredakan isak tangisnya.

Moa menekan icon telepon berwarna hijau untuk menerima panggilan dari Cakrawala.

"Moa... Moa... Moa di mana? Moa sudah pulang kah? Moa sudah ketemu sama Gabi? Gabi seneng nggak ketemu sama Moa? Cakra udah mau pulang dari rumah sakit nih! Bang Mara udah selesai kontrolnya. Ini Cakra lagi di toilet, nemenin Bang Mara pipis, hehe..."

Panggilan baru tersambung dan Moa sudah dibombardir dengan suara Cakrawala.

"Hiks!"

"Moa...? Moa lagi nangis? Moa..."

"Hiks! Hiks!"

"Moa, Moa bilang sama Cakra, Moa lagi di mana? Cakra ke sana sekarang."

"Hiks! Hiks!"

"Moa... Sssst! Moa jangan nangis lagi. Cakra-Cakra ada buat Moa. Tungguin Cakra, Cakra jemput Moa sekarang."

———

Moa duduk di halte bus seorang diri. Usai menerima panggilan telepon dari Cakrawala tadi, Moa langsung pulang dari rumah Kansa.

Saat Moa termenung, ia kembali teringat dengan ucapan pemilik toko peralatan melukis yang waktu itu ia kunjungi bersama Cakrawala.

"Nanti habis dari sini, kamu langsung pulang, ya, Cak. Jangan mampir kemana-mana, biar nggak dimarahin ayahmu lagi."

Saat Moa tanya tentang ayahnya, Cakrawala selalu bilang; "Ayahku baik, aku sayang banget sama ayah."

Moa tiba-tiba ragu dengan ucapan Cakrawala. Apakah ayah baru Cakrawala itu benar-benar baik? Sampai akhirnya Moa kembali teringat Cakrawala yang hampir sebulan tidak masuk sekolah.

Dan ketika Moa temui, tubuh Cakrawala sudah lebam di mana-mana, kepalanya botak, serta kaki kirinya patah. Meski begitu, Cakrawala tetap tersenyum dan tertawa ceria seolah luka-luka itu sudah biasa dia dapatkan.

Langit yang semula menghitam karena mendung, kini robek dan menjatuhkan rintikan air ke bumi. Hujan. Dan Moa masih berdiri di halte bus seorang diri.

Hujan semakin deras, Moa yang berdiri di halte turut terkena cipratannya. Basah.

Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berkaos kuning polos dengan celana jeans panjang dan sandal jepit, berlari menembus hujan. Laki-laki sederhana itu adalah Cakrawala.

Cakrawala yang sudah basah kuyup, menapakan kakinya tepat di hadapan Moa. Ia sangat khawatir dengan gadis itu.

"Moa... Kamu nggak papa? Moa ada yang luka? Moa maafin Cakra... Maafin Cakra udah ninggalin Moa sendirian. Maaf..."

Moa mendongak, menatap kedua netra Cakrawala. Pakaian cowok itu semuanya basah, pun dengan poni rambut yang menutupi jidatnya.

"Ayah kamu baik sama kamu?" tanya Moa tanpa basa-basi.

Cakrawala masih tidak mengerti dengan pertanyaan Moa yang tiba-tiba melenceng jauh.

"Ayah kamu baik sama kamu?" Tanya Moa sekali lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Cakrawala.

Cakrawala mengangguk-angguk. "Iya, ayah baik. Cakra sayang banget sama ayah."

Moa menatap lekat kedua netra Cakrawala. Ia maju satu langkah lebih dekat pada Cakrawala, menyentuh ujung kaos Cakrawala yang sudah basah, kemudian mengangkatnya.

Seketika bekas luka di perut serta dada Cakrawala terlihat. Moa terpejam. Bekas luka itu sangat mengerikan. Bukan cuma bekas luka pukulan benda tumpul, tapi juga ada bekas cambukan.

"Kalau ayah kamu baik sama kamu, lalu ini apa? Hem?"

"Ini bukti sayangnya ayah ke Cakra."

"Cakra anak nakal, makanya ayah sering marah."

Cakrawala menunduk, menurunkan kaosnya dan menutup kembali perutnya yang penuh bekas luka itu.

"Moa nangis karena kasihan sama Cakra, ya?"


"Kalau iya, Moa jangan nangis lagi, karena Cakra nggak mau dikasihani."

Cakrawala menyentuh puncak kepala Moa, kemudian mengusapnya pelan. Ia tersenyum.

"Kita berteduh, yuk. Cakra nggak mau besok Moa demam sama pilek."

Cakrawala menautkan jari jemarinya ke sela-sela jari Moa. Menggandeng tangan Moa dengan erat, mengajak gadis itu untuk berteduh. Halte bus yang saat ini mereka pijak, atap penutupnya rusak sehingga percuma berdiri di sini, mereka akan tetap basah kehujanan.

Cakrawala mengajak Moa berlari kecil supaya cepat sampai di tempat berteduh. Mereka berdiri di depan toko baju yang sudah tutup, lumayan untuk tempat berteduh dari hujan.

"Cakra pinjem tangan Moa, boleh?"

Moa mengijinkan Cakrawala meraih tangannya. Cakrawala membantu Moa mengusap-usap kedua telapak tangan, kemudian meniupnya.

"Biar Moa nggak kedinginan," ujarnya seraya tersenyum.

Moa menatap Cakrawala dengan teduh. Laki-laki itu selalu penuh dengan kasih sayang.

"Moa, Cakra mau nanya sama Moa."

"Nanya apa?"

"Moa paling deket sama ayahnya Moa kan?" tanyanya.

Moa mengangguk. Dibandingkan dengan Mamanya, Moa memang jauh lebih dekat dengan ayahnya.

"Gimana rasanya bercanda berdua sama ayah?"

"Seru."

"Gimana rasanya dipeluk sama ayah?"

"Hangat."

"Gimana rasanya berangkat sekolah dianterin sama ayah?"

Moa diam seraya menatap lekat Cakrawala.

Cakrawala tertawa, suaranya terdengar sumbang.

"Haha, maaf, ya, Cakra banyak tanya. Cakra cuma pengen tau."

Seorang anak laki-laki memang seharusnya dekat dengan ayahnya, namun tidak dengan Cakrawala.

"Moa tau nggak, Cakra bisanya cuma naik sepeda, itu pun diajarin sama Bunda. Cakra pengen bisa naik motor diajarin sama ayah."

"Haha, tapi kayaknya nggak mungkin deh."

"Maafin Cakra, ya, Moa. Cakra bisanya cuma boncengin Moa pake sepeda, kalau nggak gitu naik bus berdua, kalau nggak gitu ya jalan kaki."

———

Lanjut nggak nih?

Continue Reading

You'll Also Like

12.6M 494K 29
Sudah di terbitkan oleh penerbit Cloudbookpublishing (FOLLOW SEBELUM BACA) TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) Sebagian...
2.8M 34.4K 11
-Karena setiap langkahmu adalah rinduku- Ini adalah kisah tentang Laskar dan Jingga. Bertemu dengan Jingga adalah salah satu momen paling manis yang...
174K 9.1K 42
Terjebak antara cinta segitiga di mana Ara harus merelakan salahsatunya pergi. Namun bukan salah satu tapi mereka berdua pergi begitu saja meninggalk...
19.1M 1.8M 51
Sudah terbit, buku bisa dibeli di shopee. INGAT BELI YANG ORI!! [Follow akun ini dulu, bro. Anda senang, aku juga. Simbiosis mutualisme] Tuhan, mana...