2. NOT ME ✔️

Da Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... Altro

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

|CHAPTER 44 | RUMAH GABI

105K 20.6K 6.7K
Da Caaay_

Vote dulu biar nggak lupa.
Ramaikan komentar juga ya.
Makasih buat kalian yang udah spam komen di chapter sebelumnya.

Caay jadi tambah semangat nih. Dan chapter kali ini lumayan panjang.

Happy reading!

————

—————

Moa berjalan dengan langkah cepat, matanya menyorot penuh amarah dan tangan kanannya menggenggam sebuah kain merah.

"La, itu si Moa ke sini," ujar salah seorang teman Galaksi. "Mau nyamperin lo deh kayaknya."

Galaksi menoleh dan ia langsung melihat Moa. Galaksi berjalan meninggalkan temannya, menghampiri Moa.

"Nyariin gue? Kangen sama gue?" tanyanya penuh percaya diri.

Moa tidak menjawab. Tanpa basa-basi, Moa langsung mengatakan tujuan kedatangannya menemui sang mantan.

"Lo yang bakar sepedanya Cakra?" tanyanya.

Galaksi mengangkat sebelah alis. "Lo nuduh gue? Gue sama Cakra kan sekarang temen, Mo."

"Kalo bukan elo, trus ini apa?! Ha?!" Moa melemparkan kain merah itu ke wajah Galaksi.

Kain merah itu biasanya Moa ikat di lengan Galaksi ketika cowok itu akan balapan, sebagai simbol keselamatan. Malam itu Moa menemukan kain merah tersebut tidak jauh dari posisi sepeda Cakrawala terbakar.

Sebenarnya sejak kemarin Moa ingin menemui Galaksi, namun cowok itu menghilang, ralat, bukan menghilang, tapi terlalu sibuk. Pekan depan akan ada turnamen voli tingkat nasional, dan Galaksi sibuk mempersiapkan diri. Ia sibuk latihan sampai-sampai melewatkan waktu nongkrong dan balapan motor bersama Wicak.

Biarpun dari luar kelihatannya blangsakan, tapi Galaksi sangat ambisius. Sudah dibilang, Wicak dan Galaksi bersahabat, tapi Galaksi lebih hebat dalam segala hal.

Event kali ini adalah event besar dan biasanya murid terbaik akan dibidik menjadi seorang atlet. Moa tahu betul, Galaksi sangat ingin menjadi seorang atlet.

"Lo nuduh gue? Gue nggak mungkin ngebakar sepedanya Cakra, kurang kerjaan banget anjir!"

"Kalo lo seminggu putus dari gue udah dapet pacar baru, kenapa ini nggak mungkin?"

"Nggak ada hubungannya, Mo."

"Tujuh tahun kita sahabatan dan satu tahun kita pacaran. Gue ngerti lo itu orangnya kayak gimana. Nggak ada hal yang nggak mungkin buat lo lakuin. Licik!"

"Mo," Galaksi menyentuh pundak Moa. Namun, tangannya ditepis dengan kasar.

"Jangan sok suci di depan gue," ujar Moa penuh penekanan. "Lo mungkin bisa bohongin Cakrawala, tapi lo nggak bisa bohongin gue."

"Gue pikir lo itu beda, ternyata elo sama aja kayak Nadin dan Wicak. Munafik!"

"Lo sebenernya dikasih pelet apa sih sama si Cakra? Ha?" tanya Galaksi, ia sudah tidak tahu lagi mau berkata apa.

"Sadar, Mo! Sadar! Bukan Nadin, Wicak, atau gue yang berubah, tapi elo yang berubah!" Sentak Galaksi.

"Sejak lo deket sama Cakra, elo jadi jauh sama kita. Kita itu sahabat lo."

"Sahabat?" Moa berdecih. "Kalo kalian sahabat gue, kalian kemana aja waktu gue butuh? Ha? Nggak ada kan?"

"Waktu nyokap sama bokap gue berantem terus ujung-ujungnya cerai, gue hancur banget, kalian harusnya ada buat gue!"

"Tapi kenyataannya apa? Nadin sama Wicak sibuk pacaran, dan elo!" Moa menunjuk wajah Galaksi.

"Elo malah mutusin gue trus ngilang gitu aja, parahnya lagi saminggu kemudian lo sama Wanda jadian. Elo nyelingkuhin gue kan? Iya kan? Hebat banget lo."

"Sekarang lo tiba-tiba ngebet minta balikan sama gue, waras lo? Ha? Harga diri lo sebagai cowok ke mana?!"

"Terserah lo mau ngomong apapun tentang gue, yang tahu gue ya diri gue sendiri."

"Halah! Cowok pake segala playing victim."

Galaksi menatap Moa begitu dalam. Ia bisa mengerti Moa marah, Moa kecewa. Tapi ia bisa pastikan bahwa perasaannya untuk Moa selama ini adalah tulus.

Galaksi tahu, mau ia jelaskan seperti apapun Moa juga tidak akan bisa mengerti tentang dirinya, karena Moa adalah seseorang yang tidak akan percaya begitu mudah sebelum melihat kenyataan dengan kedua matanya sendiri.

"Sekarang gue udah ada buat lo, jadi jauhi Cakrawala. Dia itu nggak pantes buat lo. Dia sakit mental. Dia gila!"

Moa menggeleng tidak percaya kalau Galaksi akan berkata begitu.

"Disaat gue lagi bener-bener butuh sahabat-sahabat gue, kalian justru ngilang. Dan Cakrawala, dia cuma orang asing, tapi dia bisa ngerti dan mahamin gue."

"Dia yang selalu gue jatuhin justru ngulurin tangannya buat bantu gue bangun."

"Cakrawala memang sakit mental, tapi sifat dia jauh lebih baik daripada elo."

"Elo yang gila, bukan Cakra!"

"Gue pernah liat Cakra ngomong sendirian! Dia itu udah nggak waras, Mo!" Seru Galaksi.

Waktu Galaksi jalan bersama Wanda beberapa bulan silam, ia pernah memergoki Cakrawala di taman sambil membawa sebungkus roti dan cowok itu tengah berbicara dengan bangku kosong.

"Hai Gabi, kamu sendirian aja," ujar Cakrawala kala itu. Ia lantas duduk di bangku taman tersebut.

Bangkunya masih panjang dan tidak ada yang menempati, tapi Cakrawala justru duduk di paling ujung.

"Kakak habis dari toko roti. Nih, rotinya ada di dalam sini." Cakrawala mengangkat tinggi-tinggi kresek putih itu seraya tersenyum.

Melihat Cakrawala, Galaksi  bertanya-tanya, cowok itu sedang berbicara dengan siapa?

"Gabi mau yang mana? Kak Cakra suapin."

Kening Galaksi mengerut dalam ketika ia melihat Cakrawala bertingkah seperti sedang menyuapkan roti ke mulut seseorang.

Cakrawala benar-benar sangat aneh! Dia gila. Cakrawala berbicara sendirian di tengah keramaian. Bukan cuma Galaksi yang menyaksikan, tapi juga orang-orang yang berada di taman kala itu.

Mereka semua memerhatikan Cakrawala, kemudian berbisik-bisik. Namun, Cakrawala seolah-olah tuli, ia masih sibuk dengan seseorang yang ia sebut sebagai Gabi-Gabi itu.

"Elo buta!" Seru Moa seraya menunjuk Galaksi tepat di depan wajah.

"Gue serius!"

Malas mendengar omong kosong dari Galaksi, Moa memilih untuk pergi.

"Mo, dengerin gue." Galaksi mencoba menghalau Moa supaya Moa tidak pergi. Namun, Moa tetaplah gadis keras kepala.

"AH! Sialan!" Galaksi mengacak rambutnya kesal.

Ketika Moa keluar dari tempat latihan Galaksi, ia melihat Cakrawala sedang berdiri di ujung koridor, cowok itu tersenyum ceria sambil melambai-lambaikan tangan pada Moa.

"Haaiiii Moaaa!" Ujar Cakrawala dengan senyum yang tidak kunjung hilang, serta lambaian telapak tangan. Ah, manis sekali.

Moa terkekeh. Ingin rasanya ia mencubit kedua pipi Cakrawala. Tapi kalau ia cubit, Cakrawala pasti akan mengomel, katanya, tidak boleh dicubit, nanti pipinya bisa kendor seperti kakek-kakek. Haha lucu sekali Cakrawala itu. Moa jadi ingin cium.

Tapi mana mau Cakrawala dicium Moa. Cowok itu sangat suci. Mau Moa nyosor seperti apapun, bahkan sampai sekarang Cakrawala tetap tidak memberikan bibirnya. Cakrawala sangat menjunjung tinggi ucapan bundanya untuk menjaga kesucian bibirnya. Cakrawala juga bilang, ia tidak ingin menambah dosa dan ia tidak ingin mengecewakan Tuhannya, berciuman sebelum menikah tidak diperbolehkan di agama Cakrawala, lagipula mereka juga masih pelajar. Kalau sudah begitu, Moa langsung kicep.

Cakrawala berlari kecil menghampiri Moa, saat berlari, rambut mullet Cakrawala tuing-tuing. Gemas sekali.

"Jangan lari, nanti kamu jatuh."

"Cakra udah biasa jatuh, mungkin kalo Cakra jatuh dari atas gedung tinggi Cakra nggak akan sakit."

"Iya, nggak sakit, tapi kamunya langsung mati."

Moa meraih telapak tangan Cakrawala. "Aku laper nih, makan ke kantin yuk!"

Cakrawala mengangguk-angguk. "Moa memangnya mau makan apa? Nanti biar Cakra yang pesankan, Moa duduk aja. Biar nggak capek."

"Pengen makan yang pedes-pedes, kayaknya seger deh Cak."

"Nggak boleh ih! Moa itu punya mag. Nanti perut Moa sakit."

"Tapi aku pengen banget, Cak. Dikit aja kok."

"Nggak boleh."

Moa cemberut.

"Kalau Moa makan pedes, nanti asam lambung Moa naik, perut Moa jadi sakit. Moa nggak boleh nyakitin diri sendiri. Kalau Moa sakit, nanti Cakra juga ikutan sedih karena Cakra cuma bisa nemenin Moa tapi nggak bisa berbagi rasa sakit sama Moa. Kalau perut Moa sakit kan Moa sendiri yang ngerasain, sakitnya nggak bisa dibagi-bagiin ke perutnya Cakra."

"Kamu itu cerewet banget sih, untung aku sayang. Kalau nggak, udah aku buang kamu ke rawa-rawa, biar dimakan sama buaya."

"Nanti kalo Cakra dimakan buaya beneran, nggak ada yang minjemin Moa pulpen. Terus nggak ada yang ngajarin tugasnya Moa juga. Hayolooh..."

"Iya juga sih ya..." Moa tertawa.

Moa pikir selama ini Cakrawala yang bergantung dengannya, rupanya ialah yang bergantung pada Cakrawala. Moa tidak terbiasa melakukan apa-apa sendiri tanpa bantuan dari Cakrawala. Bahkan untuk memesan makanan di kantin pun, Cakrawala yang melakukannya dan Moa hanya duduk manis, seperti saat ini contohnya.

Lima menit memesan, Cakrawala kembali dengan dua mangkuk bakso. Satu untuk Moa, satu lagi untuk dirinya sendiri.

"Kata Bu Sri, nanti es tehnya di bawain ke sini. Tadi mau Cakra bawa sendiri, tapi nggak bisa bawanya."

"Iya nggak papa. Kamu duduk gih."

Cakrawala mengangguk-angguk. Ia lantas duduk di hadapan Moa. Tidak lama setelahnya Bu Sri menghampiri meja mereka sambil membawa dua gelas es teh.

Moa meminum es teh itu. Sementara Cakrawala memasukan sedikit garam dan sedikit kecap ke dalam mangkuk baksonya. Ia kemudian menukarkan mangkuk baksonya dengan punya Moa.

"Loh?" Moa kaget.

"Moa nggak boleh makan pedes, makan baksonya sama kecap aja, ya? Tadi Cakra juga udah nambahin garam sedikit. Enak kok, cobain deh."

"Nggak enak, Cak." Moa cemberut, ia menatap botol saus yang kini berada di tangan Cakrawala.

"Moa mau minta ini?" Cakrawala mengangkat botol saus itu, Moa mengangguk. "Yaudah deh, tapi sedikit aja ya, jangan banyak-banyak. Sini deh, biar Cakra aja yang tuangin sausnya ke mangkok Moa."

Cakrawala mengguncang-guncangkan botol saus itu ke atas mangkuk bakso Moa. Butuh tenaga ekstra untuk menuangkan saus dari botol kaca ke mangkuk bakso.

"Botol sausnya aja yang kamu guncang, Cak. Badan kamu jangan ikutan terguncang-guncang."

"Hahaha... Iya nih, sausnya nakal, nggak mau keluar-keluar."

Moa tertawa. Ia selalu menyukai perhatian-perhatian sederhana dari Cakrawala.

Moa dan Cakrawala kini menikmati semangkuk bakso. Makan berdua di kantin sekolah dengan Cakrawala selalu menjadi favorit Moa.

"Tadi kamu dipanggil ke kantor sama Bu Ambar disuruh ngapain?" tanya Moa.

"Oh itu, tadi Cakra cuma ditanya-tanyain sama Bu Ambar."

"Ditanyain apa aja sih? Kok lama banget kamu nggak keluar-keluar."

"Banyak banget deh."

Cakrawala juga merasa sedikit aneh, tadi Bu Ambar bertanya banyak sekali tentang dirinya. Meskipun begitu, tetap saja Cakrawala jawab.

Bu Ambar bertanya tentang keseharian Cakrawala, tentang hal-hal yang Cakrawala suka dan tidak suka, tentang Gabi, tentang Bang Mara dan tentang keluarga Cakrawala, tapi untuk hal yang satu ini, Cakrawala hanya mengatakan hal yang baik-baik.

Cakrawala bercerita kepada Bu Ambar bahwa keluarganya sangat sayang kepadanya. Cakrawala mungkin bisa berkata bohong, tapi Bu Ambar tidak dapat dibohongi, ia bisa membaca raut wajah Cakrawala.

"Moa nanti sore kamu jadi ke rumah Gabi kan?"

Moa mengangguk. "Jadi dong."

"Nanti kalau ada apa-apa langsung telpon Cakra ya."

"Iya."

"Cakra jadi nggak enak sama Moa karena nggak bisa nemenin Moa."

"Nggak papa. Kamu nemenin Bang Mara aja."

"Beneran nggak papa? Ah, tapi Cakra yang takut Moa kenapa-napa."

Moa terkekeh. Ia mengusak-usak rambut Cakrawala.

"Beneran nggak papa, sayang..."

Cakrawala menyentuh dadanya. "Aduh, aduh, dipanggil sayang sama Moa... Aduh, jantung Cakra mau lompat nih!"

Moa tertawa lepas. Berpacaran dengan cowok polos seperti Cakrawala ternyata sangat seru. Setiap hari ia selalu dibuat gemas.

"Bantuin Cakra dong, jantungnya Cakra dari tadi jedug-jedug nggak mau berhenti, kenceng banget. Dug-dug-dug-dug-dug. Gitu terus Moa."

"Mana sih mana-mana?"

"Moa kesini deh."

Moa mendekat pada Cakrawala kemudian menempelkan telinganya di dada Cakrawala. Posisi mereka begitu dekat, para murid di kantin bahkan memerhatikan mereka berdua sambil berbisik-bisik.

Moa tertawa. "Iya, kenceng banget bunyinya, kayak kuda lagi lari."

"Tuh kan, bener, Moa. Cakra nggak bohong."

———

Maratungga berdiri di teras rumah sambil menyemprot burung lovebird yang ada di dalam sangkar dengan air. Baru-baru ini, ia suka memelihara burung. Lumayan juga untuk meredakan stress.

Cakrawala berjalan memasuki halaman rumah.

"Bang Mara..." Sapa cowok itu seraya tersenyum ceria.

"Sepeda lo kemana sih? Kok gue sekarang nggak pernah liat."

"Sepedanya lagi masuk bengkel," ujar Cakrawala.

"Burung Bang Mara gede banget. Kayaknya dua minggu lalu nggak segede itu, deh."

"Iyalah, burung gue! Emangnya punya lo, kecil."

Cakrawala mengerutkan kening. "Cakra kan nggak punya burung."

Maratungga berdecak. Percuma ia bikin jokes, otak adiknya itu tetap saja nggak nyampe. Matematika aja kenceng, ginian doang nggak nyambung. Coba kalau sekarang Maratungga sedang berbicara dengan temannya, si Derry, beeeh, pasti langsung nyambung ke mana-mana. Beda dengan Cakrawala. Bukannya tambah asik, malah ada bunyi jangkrik. Krik krik krik.

"Bang Mara tungguin Cakra mandi ya, habis ini kita ke rumah sakit."

Maratungga tidak menanggapi, ia asik menyemprot burungnya yang lincah bergerak kesana-kemari. Oke, tidak papa, lagipula Cakrawala sudah terbiasa diacuhkan seperti ini.

———

Moa berjalan sendirian dengan dua kantong kresek putih di tangan kanan dan kirinya. Di dalam kresek itu ada makanan ringan, minuman kemasan, dan mainan. Moa dengar dari Cakrawala, Gabi sangat suka menggambar, karena itu ia juga bawakan buku gambar dan krayon.

Saat ini Moa sedang di jalan mawar, kata Cakrawala, rumahnya nomor tujuh, yang letaknya paling ujung. Moa menyusuri jalan mawar sampai akhirnya ia tiba di rumah nomor tujuh yang letaknya paling ujung.

Di situ memang ada rumah, tapi rumah itu kosong dan sepertinya sudah sangat lama ditinggalkan. Terlihat dari bangunannya yang sudah tidak terawat.

Halamannya sangat kotor, dindingnya berlumut, catnya mengelupas, kaca jendelanya super duper kotor dan sarang laba-laba menempel dimana-mana.

Di halaman itu juga ada jungkat-jungkit dari kayu, namun karena sudah sangat lama, kayu itu lapuk. Bukan cuma jungkat-jungkit, ada juga ayunan, tapi tali ayunan yang satunya sudah putus dan tempat duduk ayunan itu menggantung di tanah. Halaman rumahnya punya tempat bermain sendiri, terlihat sangat sederhana.

"Lo ngapain di sini?" tanya seorang gadis sambil menepuk pundak Moa.

Saking fokusnya mengamati rumah itu, Moa sampai menjingkat kaget ketika ada yang menepuk pundaknya.

Ternyata gadis itu adalah Kansa, teman satu kelas Moa yang duduk sebangku dengan Nadin.

"Lo juga ngapain di sini?" Moa bertanya balik.

"Rumah gue kan juga di kompleks sini, Mo."

"Kebetulan banget deh, gue mau tanya."

"Apa?"

"Rumahnya Gabi di mana?"

Kansa mengerutkan kening, "Gabi? Siapa?"

"Itu, anak cowok, masih kelas dua SD, anaknya imut, lucu, gemesin, ya kayak gue gini lah," ujar Moa dengan level kepercayaan diri tingkat tinggi.

Tolong, Kansa butuh kantong kresek, dia mau muntah mendengar ucapan Moa barusan.

Sebenarnya Moa juga tidak pernah bertemu dengan Gabi, melihat foto anak itu saja dia belum pernah. Tapi Cakrawala bilang Gabi itu imut dan lucu. Yasudah deh, ia sebutkan saja, mungkin Kansa tahu.

"Nggak ada yang namanya Gabi di komplek ini, Mo."

"Ada," ujar Moa.

Kansa menggertakan giginya, kesal. Namun, ia tetap berusaha untuk sabar karena ia tahu siapa yang sekarang ada di hadapannya. Moa Jatraji, devil yang memegang tahta tertinggi. Kalau Moa mengamuk, habislah sudah.

"Yang tinggal di sini itu gue atau elo?" Ujar Kansa.

"Ya elo parah banget, bisa-bisanya tetangga lo sendiri nggak kenal."

"Tujuh belas tahun gue tinggal di sini dan nggak ada yang namanya Gabi. Kalo lo nggak percaya sama gue yaudah tanya gih ke Pak RT-nya sekalian, nggak ada yang namanya Gabi di komplek sini."

Ucapan Kansa terdengar sangat meyakinkan. Tapi Moa juga sudah bertanya ke Cakrawala berulang kali dan cowok itu memberikan alamat rumah yang sama.

"Rumah nomor tujuh, di jalan mawar, rumahnya yang paling ujung. Itu yang mana?" tanya Moa.

"Yang ini, bener." Kansa menunjuk rumah kosong di hadapannya.

"Gabi tinggal di sini," ujar Moa.

"Ha?" Kansa bingung. "Rumah ini udah sepuluh tahun lebih kosong, Mo."

Moa dan Kansa sama-sama bingung. Moa bingung karena memang itulah alamat yang diberikan oleh Cakrawala, tapi kenapa setelah ia cek justru rumah kosong?

Sementara Kansa bingung karena Moa masih bersikukuh kalau Gabi tinggal di sini dan di rumah kosong itu? Padahal Kansa tahu betul tidak ada yang namanya Gabi di komplek sini dan rumah itu sudah sangat lama ditinggalkan.

"Mo, lo tau ini rumah siapa?" Kansa menunjuk rumah yang sudah tak terurus itu.

Moa menggeleng.

"Ini dulu rumahnya Cakrawala," ujar Kansa.

"Dulu Cakrawala sama Bundanya tinggal di sini, sama ayahnya juga. Tapi waktu ayahnya meninggal dan bundanya nikah lagi. Cakrawala pindah."

Moa masih terkejut. Ia sama sekali tidak tahu menahu. Bahkan tentang Bunda Cakrawala yang menikah lagi dan ayahnya Cakrawala yang meninggal. Ia sama sekali tidak tahu.

Cakrawala memang cerewet, tapi dia tidak pernah cerita apapun tentang masalah keluarganya. Yang Moa tahu Cakrawala sangat bahagia, keluarganya baik dan Cakrawala sangat disayangi oleh Maratungga. Tunggu, tunggu, jadi apakah selama ini Maratungga itu kakak tirinya Cakrawala? Moa sama sekali tidak tahu. Sumpah demi apapun.

"Waktu kecil dulu gue sama Cakrawala tetanggaan," ujar Kansa.

–——

Next nggak nih?

Oh iya, selagi nunggu Not Me update aku buat video sama chat story tentang Cakrawala. Tapi aku postnya di instagram. Kalau kalian mau baca, boleh banget kok.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

12.6M 494K 29
Sudah di terbitkan oleh penerbit Cloudbookpublishing (FOLLOW SEBELUM BACA) TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) Sebagian...
2.4M 214K 52
TERSEDIA DI GRAMEDIA📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak per...
4.3K 458 82
Orang yang menyembunyikan tentang banyak hal dengan senyumannya, entah itu rasa sedih, trumatis atau bahkan depresi. Mereka berusaha merasa baik - ba...
DIA BARA Da Wynaaaaa

Teen Fiction

4.2M 372K 46
Semua akhirnya tercapai, kecuali kamu. :)