You still have all of my heart
***
Badanku pegal-pegal karena dari tadi malam aku terus berkutat di depan laptop untuk menyelesaikan laporan serta mengoreksi penulisan Dani —sekretarisku— tentang pengeboran minyak di Kalimantan. Dani sendiri merupakan fresh graduate dari jurusan dan universitas yang sama denganku. Kebetulan, Prof. Ikhwan, dosen pembimbingku dahulu, menyarankan Dani untuk ikut bekerja denganku karena beliau yakin dengan kemampuannya. Dani sendiri merupakan lulusan cum laude yang sering ikut proyek dengan Prof. Ikhwan. Penulisan Dani sih tidak ada masalah, cuma ya, mungkin karena masih baru jadi terkesan kaku.
Serius. Ini seribu kali lebih sulit dari laporan Hazard Analysis Critical Control Point milik Erlin, saudaraku, yang bekerja sebagai quality assurance di salah satu perusahaan obat-obatan yang pernah aku lihat di tumpukan atas meja di rumah Ibu.
Aku mengusap mataku lalu duduk ditepi tempat tidur. Mataku mengarah pada jam yang menempel pada dinding. Jarumnya berada pada angka 7.28 pagi. Selesai membereskan tempat tidur, aku berangsur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Toaster roti yang ada di dapur tidak mau menyala. Aku mengumpat. Padahal aku udah menaruh 2 tangkup roti. Tidak kehabisan akal, aku memanggang rotinya dengan menggunakan teflon anti lengket yang aku beli setelah melihat Anna memilikinya. Sebenarnya teflon ini udah terkenal di kalangan Instagram, Twitter, TikTok, bahkan Ibu sampai terus-terusan foto teflon barunya dan dibagikan di status WA. Kadang aku tidak habis pikir dengan Ibu.
Ngomong-ngomong soal Ibu, Bapak dan Ibu rupanya sudah terlalu lelah untuk menanyakan tentang kisah cintaku. Aku ingat, tahun 2018 adalah tahun terakhir Bapak berusaha menjodohkanku dengan finance trainee di salah satu perusahaan yang masih berumur sangat belia. Tapi tentu, masih mudaan Anna. Setelah aku melihat fotonya, aku langsung menolak dengan permintaan Bapak itu. Dia cantik, sangat cantik. Namun dari wajahnya terlihat sangat mirip dengan...Lisa. Aku baru tahu jika mereka merupakan saudara jauh.
Perbincangan kemarin dengan Anna, makin membuatku mau untuk melamar Anna setelah wisuda nanti. Anna pernah bilang jika dia tidak ingin cepat-cepat menikah. Namun keinginan orang bisa berubah, bukan? Aku udah beli cincin berlian senilai 16 juta dengan merk Frank & Co.
Tapi bodoh.
Aku masih takut dengan semua ini. Hubunganku dan Anna belum ada satu tahun, namun aku seperti sudah mengenalnya selama sepuluh dekade. Sifatnya sangat berbeda jauh dengan Lisa jika boleh aku bandingkan. Tidak. Aku tidak boleh membandingkannya.
Anna adalah orang yang sangat pure dan ceroboh. Belum lagi aku bicarakan tentang sifatnya yang suka terlalu memikirkan sesuatu dan sangat panikan serta rasa penasarannya yang suka melebihi batas. Tindakannya terkadang diluar batas orang pada umumnya. Namun tidak apa. Aku suka. Aku selalu siap untuk menjaganya. Dengan semua sifatnya itu membuat hubungan kami lebih....'hidup'.
Aku jadi teringat pertama kali aku mulai jatuh hati pada Anna. Kala itu, aku dan dia pergi ke tempat rental DVD untuk menyewa film Goldfinger. Entah mengapa, saat Anna berbicara tentang film Skyfall, aku suka mendengarnya. Namun setelah itu aku terus-terusan berusaha menutupi itu. Bahkan saat sahabatku Martha berkunjung, aku menciumnya tepat dihadapan Anna untuk membuktikan apakah perasaanku terhadap Anna itu benar atau hanya nafsu.
Ding!
Bunyi notifikasi HPku berbunyi.
Anna
Saya semalem gak ngeliat bintang ih Pak.
Aku tersenyum membaca pesan Anna yang aneh itu. Tapi aku suka.
Harry
Maksud kamu?
Anna
Soalnya bintangnya ada di kamar Bapak :3
Harry
Maksud kamu?
Anna
AH BODO AMAT. SAYA MAU TIDUR SAMBIL NUNGGU MAMA PAPA SAYA DATENG. BYE.
Tawaku memenuhi kamar tidurku. Memang terkadang tidak jelas anak itu. Aku masih tidak mengerti maksud dan tujuan WAnya, namun aku yakin dia flirting ke aku.
Aku baru tahu semalam kalau orang tuanya mau berkunjung ke sini setelah Anna memberi tahuku. Berselang lima menit kemudian, Papanya WA aku menyuruhku ikut ke Bandung. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku iyakan saja.
"Dik Harry, saya tahu umur Dik Harry mau kepala 4," kata Papa Anna ditelepon semalam. "Apa Dik Harry tidak punya keinginan sebelum mencapai umur itu?"
Aku menghembuskan nafas sangat pelan, agar Papanya tidak mendengar. "Pak, saya berniat melamar anak Bapak."
Papa Anna tidak tampak terkejut. "Ohya? Saya sudah yakin kamu mau melakukan ini begitu saya dan istri saya tahu. Kita omongkan saat bertemu ya?"
Setidaknya, aku udah memberi tahu terlebih dahulu kepada Papa Anna tentang keseriusanku. Aku udah lelah gagal dalam kisah percintaan. Kali ini tidak boleh gagal.
Bapak dan Ibu saat aku beritahu bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan wanita, tampak begitu terkejut dan senang sekali. Aku bersyukur membuat mereka lega. Aku takut jika mereka mulai menganggapku seorang gay sama seperti Anna dulu saat pertama kali bertemu.
Aku merapihkan laporanku yang tinggal sedikit lagi selesai saat aku mendengar bunyi ketukan pintu di depan kamarku. Saat aku lihat, ternyata itu adalah Papa dan Mama Anna yang sepertinya baru datang dan belum sempat ke kamar Anna karena aku melihat koper sebanyak satu buah dan kantung belanja besar berwarna merah terletak disamping kanan mereka. Wajah mereka tampak lelah, buru-buru aku buka pintu.
"Pak, Bu. Selamat datang." aku mencium punggung tangan Papa dan Mama Anna sebagai tanda hormat dan rasa sopan. Aku melihat Mama Anna tersenyum dibalik wajahnya yang sedang kelelahan itu.
"Dik Harry, akhirnya kita bertemu lagi." sahut Mama Anna.
"Masuk dulu ke kamar saya Pak, Bu." ajakku kepada mereka.
"Tidak usah, Dik. Kami mau langsung ke kamar Anna. Sepertinya Anna masih tertidur, ya?" tanya Papa Anna.
"Iya, sekitar dua jam yang lalu dia memberi tahu saya bahwa sedang kelelahan sehabis membereskan kamar. Jadi dia tertidur lagi."
"Dasar anak itu." ucap Papanya sambil terkekeh pelan.
Aku ikut tersenyum. Aku tidak mengira orang tuanya akan sebaik ini setelah mengetahui hubungan kami. Aku juga belum yakin apakah Mamanya akan langsung setuju karena setahuku, saat pertama kali Papa Anna tahu, Mamanya sangat terkejut dan menolak mentah-mentah hubungan kami. Setelah dibujuk Papa Anna untuk berbicara denganku, akhirnya aku berhasil berbicara dengan kepala dingin dengan Mama Anna.
"Kamu sudah menyiapkan baju untuk ke Bandung, Dik?" tanya Mama Anna.
"Udah Bu." jawabku sambil tersenyum sopan.
"Maaf ya kami memberi tahunya mendadak. Saya tahu kamu orangnya sibuk dengan bisnis kamu dan mengajar. Tapi saya dan istri saya ingin mengenal lebih dalam seperti apa calon mantu kami nanti."
Deg.
Hati aku terenyuh. Barusan Papa Anna menyebutnya dengan panggilan calon mantu. Apakah ini adalah lampu hijau? Karena kemarin lampunya masih berhenti di kuning. Bahkan beberapa hari yang lalu masih merah.
Kami terus-terusan berbincang mengenai Anna hingga akhirnya Anna keluar dari kamarnya dengan baju yang kusut, terlihat seperti bangun tidur.
Aku pamit untuk ke kamarku. Setelah aku meletakan oleh-oleh dari orang tua Anna yang dibawanya dari Iran, aku berjalan menuju kamarku dan berhenti di cermin panjang tempatku biasa mengaca sebelum berangkat mengajar. Aku melepaskan kaca mataku yang aku pakai lalu aku berdiri mematung di depan cermin. Air mataku tidak bisa aku bendung lagi, tangis haruku pecah beberapa detik setelah aku melihat kotak cincin di meja.
***
Hehehe.
Lagi kepingin POV Harry.
x0,
Ariana