2. NOT ME ✔️

By Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... More

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

| CHAPTER 42 | KHAWATIR

94.2K 20.1K 1.4K
By Caaay_

Vote dulu, biar nggak lupa.
Ramaikan kolom komentar juga yaw

Happy reading!!!

————

———

"CAKRA!"

Moa berlari menghampiri Cakrawala yang terduduk di hadapan rangka sepeda yang sudah terbakar sebagian.

Moa terperanjat melihat kerangka sepeda kuning Cakrawala, pun dengan jaket milik Cakrawala yang ikut terbakar.

Tanpa Moa lihat, Cakrawala sedari tadi mati-matian memadamkan api yang menyulut membakar sepeda kenangan-kenangan terakhir dari bundanya.

"Ayok, bangun..." Moa memegang lengan Cakrawala, membantu cowok itu berdiri.

"Cakra... tangan kamu..." Moa meraih kedua telapak tangan Cakrawala yang terluka dan mengelupas.

Cakrawala merintih. "Shh!"

"Tangan kamu kebakar Cakra!"

"Aku nggak papa," ujar Cakrawala dengan tenaga seadanya.

Cakrawala menatap Moa. "Moa, sepedaku masih bisa diperbaiki kan?" tanyanya.

Moa menatap sepeda kuning Cakrawala. Mana bisa diperbaiki, sepeda itu sudah rusak parah. Lebih baik beli yang baru daripada memperbaikinya.

"Moa, ayo cari bengkel. Aku mau memperbaiki sepedaku."

Moa memejamkan mata sejenak, kemudian ia kembali menatap Cakrawala.

"Beli sepeda baru, mau?" tawarnya.

Cakrawala menggeleng lemah. "Nggak ada yang bisa gantiin sepeda itu."

"Sepeda itu kenang-kenangan dari Bunda yang masih aku punya."

Moa mengembuskan napas panjang. Ia mengelus pipi kanan Cakrawala yang kotor, ia tidak tega melihat Cakrawala seperti ini.

"Sini, peluk." Moa melebarkan kedua tangannya dan Cakrawala mendekatkan diri, kemudian memeluk gadis itu dengan sangat erat.

"Moa, aku mau pulang."

Moa mengusap lembut rambut Cakrawala, dia diam-diam menangis.

Moa tahu betul, sepeda kuning itu adalah kesayangannya Cakrawala. Moa bersumpah ia tidak akan membiarkan orang yang melakukan ini pada Cakrawala hidup dengan tenang!

Cakrawala melepas pelukannya dan Moa dapat melihat air mata di pipi Cakrawala.

"Aku itu memang manusia tidak berguna!" Sentak Cakrawala, air matanya terjun.

"Enggak. Jangan bilang gitu." Moa terisak. "Kamu membuatku bahagia."

Moa mengerti, Cakrawala saat ini sedang sakit. Wajar jika cowok itu melantur dan bilang yang bukan-bukan.

"Aku akan selalu ada buat kamu." Moa menatap Cakrawala, air matanya jatuh.

Cakrawala memang masih punya Moa, tapi tetap saja rasanya ia masih kesepian.

"Moa, aku capek..."

Moa tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk Cakrawala. Ia tidak tahu...

"Ayo, kita pulang." Ajak Moa. Ia mengusap air mata di pipi Cakrawala.

Cakrawala mengangguk, ia kemudian mengambil rangka sepedanya.

"Biar aku yang bawa, tangan kamu kan luka." Pinta Moa.

"Kalau aku nggak bisa membuat kamu bahagia, setidaknya jangan biarkan aku menyusahkanmu."

"Tapi nanti tangan kamu tambah sakit."

Cakrawala menggeleng, kemudian tersenyum. Ia berjalan sambil membawa sepeda kuningnya yang terbakar sebagian. Tangannya terasa sakit, tapi sebisa mungkin ia tahan sakitnya.

"Cakra, bilang sama aku, siapa yang ngelakuin ini ke kamu," ujar Moa.

"Tadi gimana balap motornya? Seru?" tanya Cakrawala.

"Ayo, cerita. Aku mau dengar."

"Cakra, jangan mengalihkan pembicaraan."

Cakrawala diam.

"Ayo, bilang. Siapa yang udah bakar sepeda kamu?"

Cakrawala tetap diam.

"Cakra... Kenapa cuma diam? Aku tanya siapa yang udah bakar sepeda kamu. Jawab, jangan diem aja."

"Sudah, biarkan. Aku nggak mau memperpanjang masalah."

Tanpa Cakrawala menyebutkan namanya pun sepertinya Moa sudah tahu siapa pelakunya.

"Besok, biar aku kasih pelajaran si Wicak."

Cakrawala menatap Moa, ia menggeleng kukuh.

"Moa jangan... Sudah biarkan saja. Aku nggak papa."

"Nggak bisa!"

"Aku nggak mau kamu sampai terluka, apalagi jika itu karna aku."

"Selama masih ada kamu, aku nggak akan terluka. Iya kan, Cak?"

Moa tersenyum, senyumannya menular pada Cakrawala.

Lima belas menit berjalan, akhirnya mereka berdua sampai di sebuah bengkel. Untung saja malam-malam begini, masih ada bengkel yang buka.

"Pak, saya mau memperbaiki sepeda saya." Cakrawala menunjukan sepedanya yang sudah terbakar separuh.

Laki-laki pekerja bengkel itu menatap sepeda yang dibawa Cakrawala dengan kening berkerut.

"Aduuh, sepedanya kok udah kayak gini. Ini kalo diperbaiki sama aja harus beli onderdilnya lagi, mahal. Mending beli sepeda baru aja."

Cakrawala menggeleng kukuh.

"Pak, bisa bicara sebentar," pinta Moa.

"Kamu tunggu di sini dulu. Aku mau ngomong sebentar sama bapaknya."

Cakrawala mengangguk.

Moa dan pekerja bengkel itu menjauh sebentar dari Cakrawala. Sementara Cakrawala asik mengamati barang-barang yang ada di bengkel.

"Pak, saya minta tolong sepedanya diperbaiki ya Pak. Di cat, diganti, atau apalah, terserah mau bapak apakan."

"Untuk biayanya, mahal, nggak papa. Yang penting nanti sepedanya masih bisa dipake lagi."

"Beneran nggak papa?" tanya pekerja bengkel itu.

"Iya, nggak papa, Pak. Saya yang bayar."

Moa mengeluarkan sepuluh lembar uang seratus ribuan dari dalam dompet secara diam-diam supaya Cakrawala tidak melihat.

Moa tidak ingin Cakrawala merasa direndahkan dan merasa dirinya lebih tidak berguna lagi. Biarlah Moa melakukannya secara diam-diam, yang ia inginkan saat ini hanyalah kebahagiaan untuk Cakrawala.

"Ini, DP-nya. Jangan bilang-bilang ke pacar saya," tutur Moa.

"Oh... Cowok itu pacar kamu?" Pekerja bengkel itu menatap Moa dan Cakrawala secara bergantian.

Moa mengangguk.

"Kok kebalik?" Gumam si pekerja bengkel. "Lebih sangar ceweknya."

Moa berjalan mendekati Cakrawala. "Liat-liat apa kamu?" tanyanya.

"Moa liat itu, rodanya di gantung di atas, lucu." Cakrawala menunjuk roda yang sudah berhasil mengalihkan perhatiannya.

Moa terkekeh, roda digantung di bengkal kan sudah biasa, apanya yang lucu. Menurut Moa, dibandingkan roda itu, Cakrawala jauh lebih lucu.

"Gimana Pak? Sepeda pacar saya bisa diperbaiki kan?" tanya Moa.

"Oh! Bisa-bisa! Beres ini mah!"

Cakrawala tersenyum senang, matanya kembali berseri-seri.

"Waaa... Moa... Sepedaku bisa normal lagi."

Moa mengangguk-angguk. "Iya... Kamu senang?"

Cakrawala mengangguk-angguk seraya tersenyum.

Melihat senyuman di wajah Cakrawala, Moa merasa lega. Ia ikut senang. Bahagia Cakrawala itu sederhana, meskipun demikian, tidak ada yang mau mencoba membahagiakan Cakrawala sebelum akhirnya cowok itu sakit mentalnya.

"Tapi sepedanya jadinya agak lama, gimana? Soalnya ini banyak banget yang harus diperbaiki."

"Tidak papa, Pak," jawab Cakrawala.

"Pak, saya kasih nomor saya, nanti kalau sepedanya sudah jadi bapak tolong hubungi nomor saya, ya. Biar saya bisa ambil sepedanya."

"Iya-iya."

Bapak itu mengambil sebuah buku catatan usang serta bolpoin kepada Cakrawala. Cakrawala segera menuliskan nomor ponselnya.

"Saya kasih nomor saya juga, Pak." Ujar Moa.

"Eh, kenapa begitu? Nomorku saja sudah cukup, Moa."

"Cakra, kamu sekarang jarang online. Nanti kalau bapaknya ngubungin kamu terus kamunya nggak aktif, sepedamu dijual lagi sama bapaknya. Kamu mau? Ha?"

Cakrawala menggeleng. "Nggak mau."

"Aku jarang online kan karena nggak punya kuota."

Usai mencatatkan nomornya, Moa menyerahkan buku serta bolpoin usang itu kepada pekerja bengkel tersebut.

"Oke Pak, kita tinggal di sini dulu ya sepedanya," ujar Moa.

Moa mengajak Cakrawala segera pergi.

"Ayo, kita ke apotek dulu. Beli obat luka bakar buat tangan kamu."

"Moa aku sudah nggak papa."

"Jangan bawel deh ah! Nggak mau tau, pokoknya luka kamu itu harus diobati. Kamu yang luka, tapi aku yang ikut ngerasain sakitnya."

Cakrawala sudah tidak bisa berdalih apa-apa lagi. Moa itu keras kepala, apapun yang ia minta harus dituruti. Oke, sejak dulu Cakrawala memang sudah terbiasa mengalah.

Cakrawala duduk di bangku panjang yang ada di pinggir jalan, sementara Moa sudah masuk ke dalam apotek. Tidak sampai lima menit menunggu, Moa sudah kembali dengan kresek putih di tangan kanannya. Kebetulan sekali apotek tadi sangat sepi, makanya itu Moa cepat keluar.

Sudah yang kedua kali ini Moa membelikan Cakrawala obat di apotek. Moa sangat ingin melihat Cakrawala baik-baik saja, tetapi kenapa rasanya sangat sulit? Anak itu selalu saja terluka, padahal Moa juga sudah berusaha melindunginya.

Yang Moa mau senyuman bahagia Cakrawala, bukan senyuman untuk menutup luka. Namun, Cakrawala sudah sering tersenyum untuk menutupi sejuta lukanya, sampai pada akhirnya senyuman palsu itu menjadi kebiasaan.

Moa duduk di samping Cakrawala. "Sini, telapak tangannya."

Cakrawala mengangsurkan telapak tangannya yang memerah karena luka bakar. Telapak tangan Cakrawala juga berdebu.

"Ini kalau nggak diobati, bisa infeksi," tutur Moa.

Moa membersihkan debu di telapak tangan Cakrawala dengan menyiramkan air mineral yang tadi sempat ia beli.

Cakrawala merintih merasakan panas serta perih.

"Ssst... Perih banget ya Cak? Sebentar kok, sebentar, Cak."

Usai membersihkan dan mengeringkan telapak tangan Cakrawala, Moa mengoleskan salep luka bakar.

"Cakra, tahan, ya. Ini aku olesinnya pelan-pelan kok." Moa meniup-niup telapak tangan Cakrawala.

Moa lantas membalut kedua telapak tangan Cakrawala dengan perban.

"Moa, telapak tanganku kalau kamu balut semua pakai perban. Aku kayak mau tinju."

Moa tersenyum. "Mau main tinju sama aku nggak?" tanyanya.

Cakrawala menggeleng. "Nggak mau. Aku nggak mau mukul kamu."

"Udah selesai!" Ujar Moa ketika ia telah mengobati luka Cakrawala.

"Simsalabim! Besok sembuh! Fyuuh!" Moa meniup kedua telapak tangan Cakrawala yang sudah terbalut perban.

Cakrawala tertawa.

Ponsel Cakrawala berdenting, ketika ia lihat, ternyata ada notifikasi pesan masuk dari Maratungga.


Baru satu menit Cakrawala tertawa, kenyataan tentang Maratungga yang sakit kembali menghujamnya.

"Moa, aku harus pulang."

"Bang Mara butuh aku."

Cakrawala terlihat sangat khawatir.

"Sebentar, aku pesankan taksi dulu."

Cakrawala mengangguk-angguk. "Jangan lama-lama, Moa. Aku nggak mau Bang Mara kenapa-napa."

Cakrawala menelepon Maratungga.

"Bang Mara tungguin Cakra, ya. Bentar lagi Cakra sampai rumah."

"Gue udah nggak kuat, sakit banget Cak..."

———

Lanjut atau nggak nih?

Continue Reading

You'll Also Like

3. SAVE ME By Caaay

Teen Fiction

564K 117K 37
Moa Jatraji, seorang psikiater yang didatangkan ke boarding school SMA Elang setelah seorang anak bernama Cakrawala Sadawira hampir membunuh teman sa...
175K 9.2K 42
Terjebak antara cinta segitiga di mana Ara harus merelakan salahsatunya pergi. Namun bukan salah satu tapi mereka berdua pergi begitu saja meninggalk...
338 115 8
Langkahmu sudah terlalu jauh dari bahagia. Hidup namun seperti mati. Bernapas tapi sering sesak. Alasan bahagia yang sederhana pun sudah terenggut. ...
4.3K 458 82
Orang yang menyembunyikan tentang banyak hal dengan senyumannya, entah itu rasa sedih, trumatis atau bahkan depresi. Mereka berusaha merasa baik - ba...