2. NOT ME ✔️

By Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... More

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |

110K 20.4K 8.1K
By Caaay_

Sebelum baca, vote dulu yuk. Biar nggak lupa. Ramaikan komentar juga, biar cerita ini cepet update.

Chapter kali ini panjang banget dan ada kejutannya juga.

Happy reading!!

———

—CAKRAWALA AGNIBRATA—

————

Cakrawala menoleh.

"Cakra..."

"Bu Ambar."

Perempuan yang dipanggil Bu Ambar itu membawa dua kantong kresek di tangan kanannya. Ia baru saja belanja kebutuhan di supermarket yang ada di ujung gang, dan kebetulan sekali ia bertemu dengan Cakrawala.

"Tadi itu siapa?" tanya Bu Ambar.

"Oh, maksut Bu Ambar anak laki-laki mungil yang tadi Cakra tolongin?"

Bu Ambar mengangguk kaku.

"Dia namanya Gabi. Temannya Cakra."

"Gabi?"

Cakrawala mengangguk-angguk. "Bu Ambar lihat kan? Gabi lucu banget, imut." Cakrawala tertawa kecil.

"Gabi masih sekolah?" tanyanya.

Cakrawala mengangguk-angguk. Ia kemudian menceritakan tentang teman kecilnya itu pada Bu Ambar dengan riang.

"Iya, masih. Dia kelas dua, sekolahnya di SD Kenanga, nama lengkapnya Gabi Fathan. Cakra sering manggil dia Gabi. Cakra juga beberapa kali nganterin Gabi sekolah. Gabi seneng banget kalo Cakra anterin ke sekolah."

Bu Ambar mengelus puncak kepala Cakrawala dengan lembut seraya tersenyum.

"Bu Ambar, sini biar Cakra bawakan belanjaannya," ujar Cakrawala.

Cakrawala memang murid yang sopan. Selain genius matematika, dia juga good attitude.

"Eh, enggak usah. Belanjaannya ringan kok." Tolak Bu Ambar seraya tersenyum.

Bu Ambar melihat sepeda Cakrawala, rantainya lepas.

"Rumah kamu masih jauh dari sini?" tanya Bu Ambar. "Kalau masih jauh, sepeda kamu mending di bawa ke bengkel aja, kamu pulangnya naik bus, bareng sama ibuk." Sarannya.

Cakrawala menggeleng. "Rumah Cakra deket kok. Cakra mau tuntun sepeda sampai rumah aja."

Suara sebuah motor butut model sembilan puluhan menginterupsi percakapan mereka. Dari kejauhan Pak Haecan datang sambil mengendarai motor butut tersebut, jangan lupakan helm kodok berwarna hitam yang bertengger melindungi kepalanya.

Pak Haecan menghentikan motornya di samping Bu Ambar. Ia tersenyum genit pada Bu Ambar.

"Eh, Bu Ambar! Ayo, naik ke motor saya, saya antar pulang," tutur pria tersebut.

Saking seriusnya sama Bu Ambar, Pak Haecan sampai tidak melihat makhluk seimut Cakrawala yang berdiri di depan Bu Ambar.

"Bu Ambar bareng sama Pak Haecan aja," tutur Cakrawala.

"Lho, ada Cakra juga." Ujar Pak Haecan ketika melihat sosok remaja tersebut.

Cakrawala tersenyum.

Bu Ambar melirik Pak Haecan, ia sebenarnya malas dengan Pak Haecan. Guru itu genit, dia juga selalu mengikutinya ke mana-mana. Kata guru-guru di SMA Elang, Pak Haecan itu naksir sama Bu Ambar.

"Ayo, Buk. Naik." Ucap Pak Haecan. "Mau naik sendiri atau mau saya yang naikin?" lanjutnya.

Cakrawala tertawa. Sementara Bu Ambar memutar bola mata malas.

"Cakra, ibuk duluan, ya."

Cakrawala mengangguk-angguk seraya tersenyum. "Iya, Buk. Hati-hati."

Mau tidak mau Bu Ambar naik ke atas motor butut Pak Haecan. Itung-itung hemat. Naik bus dari halte sampai rumahnya, Bu Ambar bisa mengeluarkan uang lima ribu. Tapi jika nebeng sama Pak Haecan, gratis. Ya, meskipun ia harus tahan dengan suara Pak Haecan yang berisik itu.

"Sudah siap?" tanya Pak Haecan.

"Iya, Pak."

"Pegang pinggang saya dong Buk!"

"Pak Haecan!" Seru Bu Ambar.

"Saya mau ngetril, nanti kalau Bu Ambar tidak pegangan bisa terjungkal."

Cakrawala lagi-lagi tertawa. Gurunya yang satu itu memang benar-benar lawak.

"Kalau gitu ya jangan gaya-gayaan, pake ngetril segala. Ntar encok, nangeees...." Sindir Bu Ambar.

"Motor saya kan sudah butut, di gas dikit langsung ngetril."

"Ini kapan jalannya?" tanya Bu Ambar. Pasalnya dari tadi Pak Haecan tidak kunjung mengegas motor.

Cakrawala tertawa. "Hahaha..."

"Makanya pegang pinggang saya dulu, nanti motornya langsung jalan."

Bu Ambar memutar bola mata malas. Pak Haecan kalau tidak dituruti pasti tidak akan diam, ia pintar sekali mencari alasan. Jadi mau tidak mau Bu Ambar melingkarkan tangannya di pinggang Pak Haecan. Ingat, Bu Ambar terpaksa.

Pak Haecan cengar-cengir. 'Dapet janda anak satu nggak apalah, asal itu Bu Ambar. Cihuuuy!'

"Cakra, kita duluan, yak!" Seru Pak Haecan.

Cakrawala mengangguk. "Iya, Pak. Bu Ambarnya dijagain, biar tidak terjungkal."

Pak Haecan mengacungkan satu jempol pada Cakrawala. Ia kemudian melajukan motornya dan meninggalkan Cakrawala yang harus menuntun sepeda.

Di atas motor bututnya, Pak Haecan tidak henti-hentinya berbicara, memang sudah menjadi sifat asli Pak Haecan. Berisik. Apa tidak capek ngomong terus? Bu Ambar yang mendengar saja capek. Mungkin waktu pembagian mulut, Pak Haecan datangnya keduluan, makanya berisiknya minta ampun.

Alih-alih mendengarkan celotehan Pak Haecan, Bu Ambar justru memilih untuk tetap diam. Pikirannya melayang pada Cakrawala.

"Oh, maksut Bu Ambar anak laki-laki mungil yang tadi Cakra tolongin?"

Sumpah demi Tuhan, tidak ada siapapun di sana. Dan yang membuat Bu Ambar lebih terkejut adalah, ia melihat Cakrawala berguling-guling sendiri di jalan itu sampai tubuhnya lecet-lecet. Cakrawala berteriak seolah-olah ada mobil yang melintas, padahal di sana tidak ada apapun. Jalanan itu kosong, sama sekali tidak ada mobil. Dan Bu Ambar dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Cakrawala tertawa serta berbicara sendirian.

Bu Ambar menghela napas panjang. "Cakra... Kenapa kamu bisa begitu, Nak." Ujar Bu Ambar, prihatin.

Cakrawala masih tujuh belas tahun, anak itu masih terlalu muda. Hati Bu Ambar terasa diremat. Masih teringat jelas di memori otak Bu Ambar bagaimana senyuman manis Cakrawala serta tawa renyah Cakrawala. Anak itu juga genius, murid emasnya SMA Elang yang setiap tahun selalu menorehkan prestasi.

"Dia masih sekolah?" tanya Bu Ambar.

"Iya, masih. Dia kelas dua, sekolahnya di SD Kenanga, nama lengkapnya Gabi Fathan. Cakra sering manggil dia Gabi. Cakra juga beberapa kali nganterin Gabi sekolah. Gabi seneng banget kalo Cakra anterin ke sekolah."

"Pak, tolong anterin saya ke SD Kenanga," pinta Bu Ambar. "Saya ada urusan sebentar."

Pak Haecan menurut. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di SD Kenanga. Bu Ambar segera turun dari boncengan motor Pak Haecan.

"Pak, boleh minta tolong jagain belanjaan saya dulu?"

"Oh, siap! Jangankan belanjaan, Bu Ambar saya jagain aja pasti aman kok."

Bu Ambar tidak menggubris, ia segera melangkah masuk ke dalam lingkungan SD itu. Murid-murid SD sudah pada pulang, beruntungnya masih ada beberapa guru yang belum pulang.

Bu Ambar masuk ke dalam ruang guru dan menemui salah seorang guru SD Kenanga. Namanya, Bu Lani.

Bu Ambar meminta tolong kepada Bu Lani untuk mengecek data para murid. Ia hanya ingin memastikan tentang seorang anak kecil laki-laki yang Cakrawala bilang adalah temannya.

Dalam hatinya yang paling dalam, Bu Ambar sangat berharap bahwa ia salah lihat. Mungkin Cakrawala tadi memang bersama seorang anak kecil, tapi anak itu sudah pergi dan Bu Ambar tidak melihat.

"Di sini tidak ada anak yang namanya Gabi, Buk." Tutur Bu Lani usai mengecek database murid dari laptopnya.

"Coba, Buk. Dicek lagi." Pinta Bu Ambar. "Dia kelas dua. Nama lengkapnya Gabi Fathan."

Bu Lani mengembuskan napas panjang. "Buk, Saya sudah cek tiga kali. Tidak ada murid kelas dua yang namanya Gabi Fathan. Saya juga sudah ngecek dari kelas satu sampai kelas enam, tidak ada satu murid pun di SD Kenanga yang namanya Gabi."

Bu Ambar menyentuh dagunya seraya mengembuskan napas panjang.

"Sebentar-sebentar, Gabi?" Bu Lani mencoba mengingat-ingat.

Sepertinya ia pernah mendengar nama itu disebut oleh seseorang selain Bu Ambar.

"Sebentar, ibuk, guru dari SMA Elang?" Tanya Bu Lani ketika melihat pin nama, jabatan serta logo SMA Elang menempel di kemeja biru Bu Ambar.

Bu Ambar mengangguk.

"Ah, iya, Buk. Saya ingat, saya juga pernah dengar nama Gabi sebelumnya."

Bu Lani mulai bercerita tentang sesuatu yang beberapa kali mengganggu pikirannya, ini juga ada sangkut pautnya dengan SMA Elang. Lebih tepatnya lagi, murid SMA Elang. Pikir Bu Lani, mungkin saja Bu Ambar tahu.

"Ada salah satu murid dari SMA Elang, dia sering datang ke SD Kenanga. Saya tahu dia dari SMA Elang karena dia kalau ke sini pasti datangnya pagi-pagi waktu anak-anak berangkat sekolah, dia juga pakai seragam. Dia biasanya berdiri di depan gerbang SD Kenanga."

"Saya perhatikan, dia lagi ngomong sama nasehatin, kurang lebih seperti ini, 'Belajar yang rajin ya... Kalau ada apa-apa langsung telpon kakak.' Dia juga nyebut-nyebut nama Gabi."

"Waktu saya samperin dan saya tanya dia lagi apa, dia bilang dia lagi nganterin temannya dan dia juga nitipin temannya itu ke saya. Padahal tidak ada siapa-siapa. Saya jadi bingung."

Pikir Bu Lani, apa mungkin anak itu sedang mengerjakan tugas dan apa yang anak itu lakukan adalah salah satu metode pembelajaran di SMA Elang. Bisa saja kan? Apalagi SMA Elang itu bukan SMA sembarangan. SMA Elang adalah sekolah favorit yang setiap tahun ajaran baru pasti selalu menolak banyak murid.

Masalahnya, jika memang benar anak itu sedang mengerjakan tugas, kenapa bukan cuma sekali dua kali anak itu datang ke SD Kenanga, tapi sering. Anehnya lagi, Bu Lani selalu memergoki anak itu tengah berbicara sendirian.

"Murid SMA Elang?" tanya Bu Ambar yang diangguki oleh Bu Lani.

"Dia laki-laki? Pakai sepeda kuning?"

Lagi-lagi Bu Lani mengangguk. "Pakai tas kuning juga, Buk. Anaknya juga suka senyum," lanjutnya.

Mendengar penuturan Bu Lani, seketika membuat bahu Bu Ambar merosot. Tidak salah lagi, anak itu adalah Cakrawala Agnibrata.

———

Tok tok tok

Pintu rumah Moa diketuk oleh seseorang.

"Iya, sebentar!" Teriak Moa.

Moa menuruni anak tangga lalu membukakan pintu. Seorang wanita dengan setelan kasual berdiri di depan pintu sambil membawa dua kresek makanan di kedua tangannya.

"Moa..." Wanita itu tersenyum.

"Mama ngapain ke sini?" tanya Moa, ketus.

Mamanya melangkah masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu.

"Mama bawain martabak manis rasa coklat keju kesukaan kamu."

"Kok rumah sepi, Papa ke mana?"

"Papa pergi. Ngapain juga Mama tanya-tanya soal Papa!"

Mamanya tidak menjawab ucapan Moa. Ia lantas membuka martabak itu dan seketika bau harum martabak menusuk hidung Moa dan menggelitiki perut Moa.

"Waaah... Keliatannya enak. Makan sama Mama, yuk. Mama ambilin piri—"

"Nggak perlu, Ma. Moa udah nggak suka!"

"Mendingan Mama pergi aja..."

Mamanya menghela napas panjang. "Moa masih benci sama Mama?" tanyanya.

Moa diam.

"Bilang sama Mama, Mama harus ngapain supaya Moa sayang lagi sama Mama?"

"Mama kangen sama Moa. Mama pengen peluk Moa."

"Moa tinggal sama Mama yuk?"

Alih-alih menjawab, Moa justru pergi menuju kamar, meninggalkan Mamanya yang masih duduk di sofa ruang tamu dengan martabak kesukaan Moa.

Brak!

Moa menutup pintu kamar dengan keras hingga menimbulkan bunyi debrakan yang bisa di dengar Mamanya.

"Kalo Mama sayang sama Moa, Mama nggak mungkin minta cerai sama Papa. Mama egois!" Cicit Moa. Diam-diam air matanya jatuh.

Moa masih sayang sama Mamanya, tapi ia juga kecewa berat dengan Mamanya. Andai saja Mamanya tidak minta cerai dari Papanya, andai saja Mamanya tidak egois, andai saja Mamanya mau mempertahankan rumah tangganya. Mungkin Moa tidak akan sekecewa ini dengan Mamanya.

Suara langkah kaki terdengar mendekati pintu kamar Moa.

Tuk tuk tuk

"Moa... Nggak papa kalau Moa masih marah sama Mama. Tapi Moa harus tau, Mama sayang sama Moa."

Di dalam kamar yang sengaja ia kunci, Moa menangis.

"Mama pengen peluk Moa, Moa marahnya jangan lama-lama, ya. Moa jangan lupa makan. Mama nggak mau anak kesayangan Mama sakit."

Moa terisak.

"Mama pamit pulang dulu, ya."

Moa tidak menjawab.

"Rumah Mama selalu terbuka buat Moa. Kalau Moa mau datang ke rumah Mama, Moa telpon Mama, ya. Biar Mama jemput. Biar Mama juga bisa masakin makanan kesukaan Moa."

Moa membisu. Dan Mamanya pergi menjauh, pulang ke rumahnya sendiri, meninggalkan Moa yang masih kekeh untuk tinggal bersama papanya.

Sudah dua jam semenjak kedatangan Mamanya, Moa hanya mengurung diri di dalam kamar.

Moa mendesah berat, lama-lama ia bosan juga. Ia meraih ponsel dan menghubungi Galaksi.

"Nggak salah pencet lo? Tumben amat lo yang nelpon gue duluan."

"Jangan banyak bacot deh!"

Dari seberang sana Galaksi tertawa.

"Jadi balapan?" tanya Moa.

"Jadi lah! Ini gue lagi ngecek kondisi motor."

"Ikut."

"Lima belas menit lagi gue sampai rumah lu."

"Kalo sampe nggak dateng, gue penggal pala lo La!"

"Iya elah!"

Moa menutup sambungan telepon. Ia lantas bersiap-siap. Ia mengganti pakaian santainya dengan setelan jaket serta celana jeans hitam. Rambut panjangnya ia kuncir satu ke belakang.

Suara derungan motor ninja milik Galaksi memasuki pelataran rumah Moa. Moa yang sudah selesai bersiap-siap pun keluar dari kamar, menuruni anak tangga, kemudian menghampiri Galaksi.

Galaksi sudah tidak kaget dengan penampilan Moa yang dari luar terlihat sangar itu. Ia tidak sadar, penampilannya juga sama sangarnya dengan Moa. Jaket kulit hitam serta celana jeans sobek-sobek yang Galaksi kenakan semakin menambah aura dark dalam dirinya.

"Bau parfum lo beda, wanginya seger yang biasanya," ujar Galaksi.

"Habis. Lupa belum beli," jawab Moa.

Galaksi sudah empat tahun sahabatan dengan Moa dan satu tahun berpacaran dengan Moa, tak ayal jika bau tubuh gadis itu saja Galaksi tahu.

Moa memakai helm yang disodorkan Galaksi, setelah itu ia naik ke boncengan motor ninja itu.

Di atas boncengan motor Galaksi, Moa mengembuskan napas panjang seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.


"Anjir udah lama banget gue nggak kayak gini!" Serunya seraya tersenyum senang.

Mendengar seruan Moa, Galaksi terkekeh.

———

Di halaman rumah, Cakrawala masih sibuk mengutak-atik rantai sepedanya. Kedua tangannya sampai terkena oli.

"Rantainya lepas lagi?" tanya Maratungga.

Cakrawala mengangguk-angguk. "Iya."

Maratungga tidak habis pikir dengan Cakrawala, sejak pulang sekolah tadi adiknya itu sama sekali belum beristirahat. Yang membuat Maratungga terkejut adalah Cakrawala menuntun sepedanya dari sekolah sampai rumah, padahal jaraknya sangat jauh.

Setelah pulang pun Cakrawala langsung beres-beres rumah, ia mencuci piring, mencuci baju, mengepel, menyapu, bahkan juga sempat-sempatnya memasakan nasi goreng telur untuk Maratungga. Dan sekarang, Cakrawala masih sibuk mengutak-atik sepedanya yang rantainya lepas.

Maratungga menghampiri Cakrawala, kemudian jongkok di sebelahnya.

"Jangan... Biar Cakra aja yang benerin, Bang Mara nggak usah ikut-ikutan!" Ujar Cakrawala ketika Maratungga hendak membantunya.

"Serah lo aja deh!"

Maratungga kembali berdiri dan Cakrawala masih sibuk mengutak-atik sepeda kuningnya.

"Udah lah, buang aja sepeda lu."

Cakrawala menggeleng. "Nggak mau!"

"Sepeda lo itu rusakan mulu, udah berapa kali keluar masuk bengkel? Kalau nggak gitu pasti ya rantainya yang lepas. Udah sih, buang aja. Beli baru, Cak."

Cakrawala lagi-lagi menggeleng.

"Gue beliin."

Cakrawala menatap Maratungga yang berdiri menjulang di sebelahnya.

"Cuma sepeda ini satu-satunya kenang-kenangan dari Bunda yang Cakra punya."

"Mau sepeda sebagus apapun yang Bang Mara belikan buat Cakra, Cakra tetep nggak mau!"

Maratungga berdecak. "Serah lo deh, seraaah!"

Maratungga masuk kembali ke dalam rumah. Sementara Cakrawala masih sibuk mengutak-atik rantai sepedanya, beberapa kali ia mengelap peluh di keningnya dengan punggung tangan. Sepeda kuning itu memang butut dan sering rusak, tapi Cakrawala sangat menyayanginya.

Cakrawala kecil yang masih mengenakan seragam SD dengan semangat memasukan sisa uang sakunya ke dalam celengan ayam. Celengan itu dibelikan Bunda sepulang dari pasar. Di luar celengan itu ada tulisan;

'Ayo Cakra, semangat nabungnya!'

Cakrawala sangat ingin punya sepeda seperti teman-temannya dan Bunda menyuruhnya menabung.

Ketika Cakrawala sedang asyik bermain di teras dengan seekor kucing, Maratungga diam-diam menyelinap ke kamar Cakrawala dan memasukan uangnya ke dalam celengan ayam milik Cakrawala.

Maratungga tahu, Cakrawala sangat ingin punya sepeda. Dan Maratungga juga tahu, Cakrawala tidak seperti dirinya yang tidak harus susah-susah menabung, sudah dibelikan sepeda oleh ayah.

Maratungga kaget ketika ia akan keluar dari kamar Cakrawala, Bunda tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu, menatapnya.

"Sini..." Pinta Bunda pada Maratungga.

Maratungga mendekat dan langsung dihadiahi pelukan dari Bunda.

"Bunda jangan bilang-bilang ke Cakra ya kalau Mara juga ikut-ikutan masukin uang ke kepala celengan ayamnya."

Cakrawala tersenyum ketika rantai sepeda itu berhasil ia perbaiki. Ia kemudian masuk ke rumah untuk membersihkan tangannya yang terkena oli.

Usai membersihkan tangannya, Cakrawala duduk di samping Maratungga.

"Bang Mara marah ya sama Cakra?" tanyanya.

"Enggak."

"Cakra nggak mau beli sepeda baru karena sepeda itu punya banyak kenangan sama Bunda, sama Bang Mara juga."

"Cakra pertama kali bisa naik sepeda diajarin sama Bunda pakai sepeda itu. Cakra pertama kali diboncengin sama Bang Mara dulu juga pakai sepeda itu kan?"

Maratungga ingat, dulu ia sering memboncengkan Cakrawala keliling kompleks pakai sepeda kuning itu. Ia juga sering bermain balap sepeda dengan Cakrawala, ia naik sepeda gunung—sekarang sepedanya sudah dijual—dan Cakrawala dengan sepeda kuningnya.

"Bang Mara udah minum obat?" tanya Cakrawala.

"Nanti."

Cakrawala bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kamar Maratungga untuk mengambil obat-obatan yang ada di atas nakas. Ia juga mengambilkan segelas air untuk Maratungga.

"Ayo, Bang Mara harus minum obat dulu."

Maratungga mengembuskan napas panjang. Ia muak. Setiap hari ia harus selalu menelan butiran obat-obatan itu. Kapan ia akan sembuh? Jika tidak bisa sembuh, kapan ia akan mati?

Rasa ingin menyerah selalu ada di dalam diri Maratungga, tapi ketika melihat senyuman di bibir Cakrawala, keinginan Maratungga untuk menyerah menjadi pudar.

Setiap tegukan obat, Maratungga selalu berpikir,

'Jika ia meninggal, lalu bagaimana dengan Cakrawala?'

'Jika ia meninggal, siapa yang akan menjaga Cakrawala?'

'Jika ia meninggal, siapa yang akan mengobati luka-luka Cakrawala?'

'Jika ia meninggal, siapa yang akan menyelamatkan Cakrawala ketika ayahnya marah?'

'Jika ia meninggal, siapa yang akan memberikan Cakrawala uang saku?'

'Dan jika ia meninggal, siapa yang akan diam-diam memberikan Cakrawala makan saat dia dikurung ayahnya di gudang? '

Dibantu oleh Cakrawala, akhirnya Maratungga mau meminum obat tersebut.

"Pahit banget ya Bang?" tanya Cakrawala.

————

"Eh, siapa nih?" Tanya Nadin pada Moa. "Kayak pernah kenal," tuturnya.

Moa memutar bola mata malas. Ia tidak menanggapi ucapan Nadin. Moa itu, kalau sudah malas sama orang, jangankan berbicara, menatap orang itu saja ia enggan.

Suasana malam di jalanan sangat ramai dengan suara derungan motor dan juga orang-orang yang akan menyaksikan balapan. Mereka bersorak meneriakan jagoan mereka masing-masing.

Malam ini bukan cuma Galaksi saja yang ikut balapan, tapi juga ada Wicak serta murid dari SMA Garuda, namanya Manji.

Sebelum balapan dimulai, Galaksi menghampiri Moa.

"Mo, doain mantan lo," tutur Galaksi.

"Gaya-gayaan pake segala minta di doain."

Moa mengambil slayer merah dari kantung celana jeans kemudian mengikatkan slayer itu di lengan kanan Galaksi. Sudah menjadi kebiasaan Moa ketika Galaksi balapan ia selalu mengikatkan kain merah di lengan cowok itu.

"Gue kira lo udah nggak mau ngikat ginian di lengan gue."

Moa menatap Galaksi. "Kain merah ini itu simbol keselamatan. Setidaknya kalo lo kalah, lo masih bisa selamat dan pulang-pulang nggak cacat."

"Malu gue kalo sampe punya mantan cacat."

Galaksi terkekeh. Ia hendak mengusap puncak kepala Moa, namun dengan cekatan Moa tepis.

"Jangan pegang-pegang!"

Di ujung sana, Nadin juga sedang mengobrol dengan Wicak. Ia menyemangati Wicak sebelum cowok itu memulai aksinya balapan motor.

Lima menit lagi balapan akan dimulai, dan mereka bertiga bersiap menuju motor masing-masing.

Wicak mengeraskan rahang ketika ia bertatapan dengan Manji. Sementara Manji hanya terkekeh, ia memandang remeh seorang Wicaksana Sasena.

"Udah lah, lo nyerah aja, palingan juga lo kalah." Ujar Manji.

"Bacot anjing!"

Masih teringat jelas di memori otak Manji, waktu SMP dulu ia selalu menjadikan Wicak sebagai bahan bullying. Dan siapa sangka sosok yang dulunya selalu dibully itu justru berubah sebagai pelaku bullying ketika ia masuk SMA.

Bagi Wicak, jika ia tidak ingin dibully lagi, maka ia harus membully orang lain. Wicak tidak ingin dipandang lemah oleh orang lain, karena itu ia selalu membully Cakrawala supaya orang lain memandangnya sebagai sosok yang kuat.

Wicak, Manji, dan Galaksi, duduk di atas motor ninja masing-masing.

Brum

Brum

Brum

Mereka bertiga membunyikan motor dan saling menatap tajam satu sama lain.

Seorang wanita dengan baju seksi datang membawa bendera. Ketika wanita itu mengangkat bendera, ketiga cowok itu mengeggas motor lalu secepat kilat motor mereka melaju meninggalkan garis start.

"WWWWWUUUUUU!"

"HUUUUUU!"

Penonton riuh.

Ponsel Moa tiba-tiba berbunyi, saat ia lihat, ternyata itu panggilan masuk dari Cakrawala. Belum sempat Moa mengatakan apapun, Cakrawala sudah bertanya.

"Moa kok rame banget, kamu lagi di mana?"

"Aku lagi nonton balapan motor, Cak."

"Moa kenapa nggak bilang dulu ke Cakra kalau mau nonton balap motor? Moa itu cewek, nanti kalau di sana kenapa-napa gimana?"

"Nggak bakalan kenapa-napa, Cak. Aku di sini sama—"

"Moa di mana? Kasih lokasinya ke Cakra, Cakra ke sana sekarang."

"Cak, jangan. Ini—"

"Moa, cepetan kasih lokasinya ke Cakra!" Sentak cowok itu. "SEKARANG!"

Baru kali ini Moa mendangar Cakrawala berkata keras kepadanya.

"Di jalan merdeka," jawab Moa. "Cak, hallo..."

Ketika Moa cek tampilan ponselnya, ternyata sambungan telpon sudah diakhiri oleh Cakrawala.

——

Cakrawala mengambil jaket kuning di dalam lemari, kemudian memakainya. Cowok itu berjalan cepat keluar rumah.

"Lo mau ke mana?" tanya Maratungga ketika melihat Cakrawala sangat terburu-buru.

Cakrawala tidak mendengar pertanyaan Maratungga, ia membawa keluar sepeda kuningnya, mengayuh sepeda itu dengan sangat cepat.

"Cakra!"

Maratungga menatap Cakrawala yang sosoknya sudah menghilang bersama sepeda kuningnya. Ini sudah malam, mau kemana Cakrawala.

Delapan belas menit setelah mengayuh sepeda dengan sangat cepat, Cakrawala sampai di jalan merdeka. Napasnya terengah-engah, pun dengan keringat yang membanjiri keningnya.

Tin Tin Tin Tin

Di depan Cakrawala, lampu sebuah motor ninja menyorot terang. Cakrawala tidak sadar jika saat ini ia masuk ke dalam jalur balap motor.

Tin Tin Tin Tin

Tiga buah motor ninja melaju sangat kencang ke arah Cakrawala.

BRAAAK!

———

Lanjut nggak nih?

Aku gantung sampai sini dulu...

Buat kalian yang mau gabung di grup chat whatsapp Not Me, boleh banget kok. Klik aja link yang ada di bio wattpadku.

Babay!

Semoga kalian masih betah sama cerita Not Me sampai akhir nanti.

Aduuuh, si Gabi gemesin bangeet. Jadi pengen aku culik! *UP!

Nggak bisa di sentuh, gimana mau nyulik wkwkwk

Continue Reading

You'll Also Like

BIRU By .

Teen Fiction

194K 17.1K 28
Ini mengenai Biru dengan segala ketidakmungkinannya. Sempat ada rasa tidak percaya terhadap perubahan, apalagi soal hati. Itu dulu, dulu sekali sebel...
2.4M 213K 52
TERSEDIA DI GRAMEDIA📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak per...
2.8M 34.4K 11
-Karena setiap langkahmu adalah rinduku- Ini adalah kisah tentang Laskar dan Jingga. Bertemu dengan Jingga adalah salah satu momen paling manis yang...
3. SAVE ME By Caaay

Teen Fiction

562K 117K 37
Moa Jatraji, seorang psikiater yang didatangkan ke boarding school SMA Elang setelah seorang anak bernama Cakrawala Sadawira hampir membunuh teman sa...