What If [Series]

By tx421cph

3.1M 291K 465K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
[side story] Dear Papa
[side story] Ayah dan Anak Bungsu

[side story] Na's Siblings (2)

57.2K 8.3K 16.2K
By tx421cph

Big Bro


The Princess


The third son


Happy Reading~


"Dimana?! Dimana anakku?! DIMANA JUNO!!" 

Pria itu berlarian di koridor rumah sakit, membuat para dokter, perawat, hingga orang-orang di sana terkejut dan sempat ketakutan karena suara menggelegar tersebut. Ju Haknyeon di belakangnya ikut berlari dengan panik. 

Melewati pintu kaca sektor khusus, tubuh Na Jaemin berkeringat dingin ketika dia melihat Kang Daniel berdiri di depan sebuah ruangan dari pintu baja yang tertutup. 

"Profesor—"

"Bagaimana keadaan Juno?!!" 

Kang Daniel menggeleng. 

"APA MAKSUDMU?! ANAKKU MATI?!!!" Bentak Sang Profesor, auranya semakin gelap. 

"ANJIRLAH SAYA INI BELOM JUGA NGOMONG UDAH DIPOTONG DULUAN!" Daniel balas berteriak akhirnya, dia kesal, "maksud saya tuh Juno nggak apa-apa, Jeno yang ngoperasi dia." 

Na Jaemin agak lega, tapi tetap saja dia khawatir. Pria itu memerosotkan bahunya. "Bagaimana mungkin dia sampai di operasi?" keluhnya.

"Apa operasinya sudah selesai?" Haknyeon bertanya. 

"Udah kok, dua jam yang lalu. 

Lalu tak berapa lama, sosok tinggi Na Jeno muncul dari kedua pintu besi yang tergeser otomatis. Jeno dengan jas putih panjang, melepaskan kacamata beningnya. Sempat terkejut melihat kehadiran Sang ayah. 

"Anda yang memberitahu ayah?" Tanyanya pada Daniel. 

"Bagaimana keadaan adikmu?!" Kepala keluarga itu bertanya dengan nada paniknya. "Bagaimana dia bisa seperti itu?! Dengan siapa dia berkelahi?!" 

Jeno menghela, "apakah ayah terbang dari Dubai kemari?" 

"Jawab pertanyaanku!" Jaemin membentak, berteriak marah. 

"Beberapa persendiannya tergeser, dan tempurung lututnya retak. Itu lebih parah dari perkiraanku, jadi aku memutuskan untuk mengoperasinya," jawab Si sulung kemudian dengan nada tenangnya, meski sorot matanya tampak sendu, "dia masih belum sadar, tapi selebihnya... sudah tak ada yang perlu dikhawatirkan." 

Setelah mendengarkan penjelasan itu, Na Jaemin tak melontarkan jawaban apapun. Dia langsung menerobos tubuh anak sulungnya dan masuk ke dalam ruangan dimana Juno terbaring tak sadarkan diri. 

Di dalam ruangan itu, sudah ada Na Jeni yang duduk di samping bangsal, memegangi tangan saudara kembarnya dengan mata basah. 

Jaemin menarik napas, menghampiri anak laki-lakinya. Dia memandangi Na Juno yang wajahnya penuh luka. Tangan kiri dan kakinya di gips cukup tebal. Lalu tangannya pun terulur, mengusap surai pirang anaknya perlahan. 

"Ayah..." Jeni berbisik pelan, dia mulai menangis ketika melihat ayahnya datang. "Ayah, aku minta maaf... Juno seperti ini karena aku..." 

Sang ayah tidak mengerti apa maksud anak perempuannya barusan. Saat di Dubai, dia hanya diberitahu oleh Kang Daniel jika Na Juno masuk rumah sakit dan kondisinya cukup parah, karena itu tanpa meminta penjelasan apapun pria itu langsung kembali ke Seoul. 

Na Jaemin baru ingin bertanya, namun Na Jeno sudah masuk ke dalam ruangan bersama Ju Haknyeon dan Kang Daniel. Hanya Jeno yang mendekati bangsal, Ju Haknyeon berdiri dengan tegap di dekat pintu, Kang Daniel duduk di sofa dengan santai. 

"Ayah, aku minta maaf," kata Jeno tiba-tiba.

Jaemin mendadak pening karena anak-anaknya tiba-tiba meminta maaf. Pria itu memijat pelipis sejenak. "Apa yang sebenarnya terjadi?" 

"Juno berusaha melindungi Jeni, dia bukan berkelahi tanpa alasan," Jeno mempersingkat kronologinya, "kali ini... aku mohon ayah jangan menghukumnya." 

Satu hal. Na Jaemin paling tidak suka anak-anaknya berkelahi. Dia sudah berkali-kali menghukum Juno karena anak nakal itu terus membuat ulah dan menyebabkan dirinya dipanggil ke sekolah. 

"Aku minta maaf, ayah." Jeno melanjutkan, "seharusnya aku yang melindungi adik-adikku." 

Kepala keluarga itu sepertinya terlihat cukup penat karena kesibukannya, mendengar berita ini tentu saja membuatnya agak syok. Na Jaemin hanya menghela napas panjang, lalu dia menepuk pundak anak sulungnya dan merematnya pelan. "Tidak apa-apa, kau sudah melakukan yang terbaik untuk adikmu." 

Jeno terlihat murung, meski wajah murungnya tidak kentara. Dia diam saja sembari memerhatikan adik laki-lakinya yang sudah bonyok dimana-mana. 

"Kamu baik-baik saja, Jeni?" Jaemin menghampiri anak perempuannya yang masih duduk sembari menangis diam-diam. Ketika melihat anak perempuan itu menggeleng, Sang Profesor kemudian memeluknya. "Tidak apa-apa, Juno akan segera sembuh, jangan takut." 

Jeni semakin terisak meski suaranya tidak terdengar. Dia membalas pelukan ayahnya yang sedang berdiri, memeluk pinggang Sang ayah, menenggelamkan wajahnya di perut ayahnya. 

Jeni selalu tegas dan mandiri di depan ibunya, tapi di depan ayahnya dia sebenarnya sangat manja. 

"Kembalilah ayah ke Dubai, aku yang akan menjaga Juno," suara Si sulung kemudian membuat Jaemin yang masih mengelus rambut Jeni kemudian menoleh. "Ayah memiliki jadwal yang sangat penting, dahulukan itu." 

"Tidak ada yang lebih penting daripada keluargaku," balas Sang Profesor. 

"Ju Haknyeon," panggil Jeno, "jam berapa pertemuan dengan Raja Arab itu?" 

"Jam 8 malam, tuan muda." Haknyeon menjawabnya dengan sopan. 

"Masih sangat sempat, pergilah sekarang, ayah." Datar Jeno lagi.

Jaemin, "Anakku sedang terluka sekarang."

Jeno menyambarnya dengan cepat, "apa ayah baru saja mengatakan jika aku tidak mampu untuk menjaga Juno? Aku berhasil mengoperasinya dan aku bisa merawatnya dengan baik." 

Pria yang lebih tua terdiam, sadar jika anak sulungnya mulai emosi. Karena tak mau membuat suasana menjadi tegang, Na Jaemin akhirnya menghela pasrah. "Kau tahu, Na Jeno, ayah selalu percaya padamu. Sejak dulu... dan sampai kapanpun." 

Si sulung langsung terdiam. Melihat pandangan ayahnya yang penuh arti, pria itu memalingkan matanya, menatap Juno. Sebisa mungkin, dia mencoba untuk menghindari kontak mata ayahnya. 

Hanya... agak canggung. 

Jeno tidak tahu sejak kapan kecanggungan antara ia dan ayahnya semakin membesar. 

"Apa bunda sudah diberitahu?" Tanya Sang ayah kemudian. 

"Tidak, jangan memberitahunya." Sahut Jeno.

"Bagaimanapun dia akan tahu." 

"Tidak sekarang, bunda akan sangat khawatir." 

"Ayah pulang sebentar untuk bicara dengan bundamu, besok ayah akan kemari lagi," Jaemin melepaskan pelukan pada putrinya, menepuk pucuk kepala Jeni sebanyak dua kali. "Kapan perkiraan Juno akan sadar?" 

"Besok, paling cepat tengah malam nanti." Jeno menjawabnya. 


***


"Iya, maaf aku ga bisa pulang dulu. Kasian ini bocah-bocah kaga ada yang jagain." 

"...."

"He'em, Si tuyul udah tidur belom?" 

"...."

"Iyaa besok pagi-pagi banget dah pulang, Profesor Na kan lagi ke Dubai. Kasian mondar-mandir udah kek setrika." 

"...." 

"Iyeee, met malem istriku, awas ntar tidur ada yang ngelonin awokwokowkowk...!"

Kang Daniel tertawa terbahak-bahak, lalu segera mematikan sambungan teleponnya sebelum istri galaknya itu berteriak. 

Barusan adalah Seulgi, wanita itu bertanya kenapa Daniel belum juga pulang ke rumah. 

Keluarga ini agak lucu sebenarnya. Memangnya kalian bisa membayangkan seorang Kang Daniel berumah tangga? Apalagi istrinya adalah Kang Seulgi, seorang wanita perfeksionis dan telaten. 

Mengantongi ponselnya kembali, Kang Daniel masih tersenyum lebar seperti orang gila. Barusan bukan pertama kalinya dia menggoda Seulgi seperti itu, istrinya itu mungkin sudah sangat sabar menghadapi tingkah gilanya. 

Daniel memasuki ruangan. Hanya ada Na Jeno yang berdiri di samping bangsal. Memeriksa keadaan adiknya. Menghitung dosis anestesi, memeriksa detak jantung Juno di layar monitor. Terakhir, Jeno kemudian membenarkan selimut adiknya, menariknya hingga sebatas dada anak itu.

Jeno menyadari kehadiran Kang Daniel, lalu dia berbalik, mendapati Dokter bermarga Kang itu duduk berselonjor di atas sofa tanpa melepas sepatunya. Rebahan. 

"Gue kepo deh," celetuknya tiba-tiba.

Na Jeno diam saja, lalu duduk di sofa tunggal dan menyentuh beberapa tombol virtual di atas meja kaca hingga memunculkan segelas kopi panas dari laser yang baru saja memindai barusan. 

"Kejadian kemaren ada cctvnya kaga ya? Asli gue pengen tau kok bisa si bocah kalah? Biasanya menang mulu kalo kelahi." Daniel menjadikan kedua lengannya sebagai bantal, menatap langit-langit ruangan. 

Menyesap kopi panasnya sedikit, Si sulung berujar, "anda mengajarkan yang tidak-tidak pada adikku," desisnya tajam. 

Mendengarnya, Daniel malah tertawa. "Hahahaha!! Emang dia mah udah cetakannya gitu, gue cuma ngembangin bakatnya doang. Dia kan mirip emak lu, rada kaga bener otaknya."

Kening Jeno mengernyit, memandang Daniel semakin tajam dan menusuk. 

Tapi Kang Daniel sama sekali tidak terpengaruh. Dia sudah kebal dengan Keluarga Na yang... begitulah. 

"Juno menjadi berandalan, apa kata semua orang jika mengetahui putra Profesor Na Jaemin tingkahnya seperti itu?" Acuh Jeno, "meresahkan." 

"Padahal bapak lu aja juga meresahkan." —Kang Daniel. 

Jeno merotasikan bola matanya dengan malas.

"Kaga apa-apa, Juno itu jago— maksudnya... kaga usah terlalu khawatirin dia. Tuh bocah bukan anak yang gampang nyerah, kaga bakal ada kapok-kapoknya. Itu kelebihannya." 

Na Jeno terdiam. Mendengarkan kalimat Kang Daniel barusan, itu agak... 

Putra sulung Keluarga Na itu menundukkan kepalanya. "Aku hanya tidak mau... dia terluka, itu saja." 

Kang Daniel menggeser netranya, memerhatikan Na Jeno yang memaku pandangan ke arah dua tangannya yang tertaut. 

"Dia terus saja berkelahi, minum alkohol, melakukan hal-hal berbahaya lainnya," Jeno masih melanjutkan. "Juno belum dewasa, dia tidak tahu mana yang baik dan buruk untuknya. Bagiku, dia hanyalah seorang adik kecil, aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padanya."

Na Jeno entah mengapa, menjadi begitu emosional di malam itu. Pertanyaan dari Kang Daniel memancing perasaan tidak nyaman dalam hatinya, dan membuatnya melontarkan kegelisahan itu pada akhirnya. 

Daniel tertawa renyah dengan kalem, "dia tau mana yang baik, itu terbukti dari apa yang dia lakuin tadi di sekolah." 

"Itu salahku," Jeno mengusap wajahnya pasrah, "aku seharusnya menjaga mereka berdua dan tidak boleh membiarkan ini terjadi." 

Si pendengar kemudian diam, masih memerhatikan. 

"Anda tahu Dokter Kang, aku sudah melalui banyak hal sulit sejak kecil, jadi aku tidak mau... kedua adikku merasakan apa yang telah ku alami di masa lalu."

Na Jeno adalah seorang kakak yang baik. 

Daniel tahu bagaimana perangai Si sulung Na itu dengan baik. Jeno sangat dingin dan angkuh, kata-katanya tajam, bahkan lebih dari Profesor Na sendiri. Tapi hatinya sangat hangat, dia sensitif, dan begitu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. 

Oh, mungkin anak itu benar-benar trauma dengan masa kecilnya. 

"Em, tau kok," Daniel mengangkat kedua alis, menyamankan posisi rebahannya. "Juno mirip emak lu tau, jadi jangan—"

"Justru karena dia begitu mirip dengan bunda," Jeno menyahutnya dengan cepat, "sangat ceroboh, membuat orang lain khawatir." 

Tanpa mereka sadari, Na Juno yang sudah sadar sejak tadi, mendengarkan dengan seksama. 


-----oOo-----


"JUNO-YAAA!!!!" 


Brugkhh!!


"B-Bunda sakitt!!!" 

Wanita itu menangis. Benar-benar menangis tersedu-sedu sembari memeluk anak lelakinya yang terduduk di atas bangsal. Juno kaget setengah mati, apalagi bundanya itu baru saja menyenggol lengannya agak keras. 

"KENAPA KAMU BISA JADI KAYAK GINI!! SIAPA YANG MUKULIN KAMU!" Wanita itu berteriak histeris, menangkup pipi Juno sembari berderai air mata.

Na Jaemin di belakangnya menyusul masuk. Semalam dia menceritakan semuanya pada Sang istri yang sudah khawatir kenapa di antara ketiga anaknya hanya Jeni yang pulang. 

Saat diberi tahu jika Juno masuk rumah sakit dan mengalami cedera yang cukup parah, wanita itu sampai pingsan. Jaemin seketika menyesal kenapa dia memberitahu istrinya. 

"Bunda hati-hati," Jeno memegangi lengan ibunya, menariknya pelan. "Dia baru saja selesai operasi."

"Aku nggak apa-apa bun," Juno tersenyum menghela ketika ibunya itu duduk di kursi dekat bangsalnya. 

"APANYA YANG NGGAK APA-APA?!" Jeha membentak anaknya, membuat Juno tersentak, "KAMU SAMPE DIOPERASI APANYA YANG NGGAK APA-APA?!!" 

Bukan hanya Juno yang terkejut. Jaemin, Jeno, dan Jeni juga terkejut setengah mati. Teriakkan bundanya benar-benar memekakkan telinga. 

"Bunda, dia sudah baik-baik saja, jangan berisik," Jeno mulai lelah melihat tingkah berlebihan ibunya. 

Yah, namanya juga seorang ibu. 

"Kamu tuh...! Duhhh..." Jeha masih menangis, "jangan berantem-berantem lagi deh, bunda takut tau!!" 

Juno diam sejenak, mengulum bibirnya, "he'em..."

Anak itu menyadari kehadiran ayahnya, lalu dia meneguk ludah. Melirik dengan takut-takut. Ayahnya yang masih tak berekspresi itu terlihat... ughh... 

Perasaan Juno tidak enak. 

"Ayah, Juno minta maaf," cicitnya pelan. 

Na Jaemin masih tak berekspresi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Berdiri di ujung bangsal. 

Anak laki-laki itu gelisah, "asli deh Juno gak bakal ulangin lagi, janji... kemaren tuh— kemaren aku..."

"Pilih salah satu, ku lemparkan ke penjara bawah tanah Phsynch atau ku bedah isi kepalamu?" 

Tawaran dari ayahnya barusan membuatnya terkejut setengah mati, dia mendelik, menatap Sang kepala keluarga dengan horror. Wajah Juno sudah terlihat seperti ingin menangis. 

"Bun... ayah jahat," rintihnya, pelan sekali. 

"N-Na! Bukannya kamu udah janji ga bakal hukum dia?!" Jeha kemudian memprotes. 

"Ayah," Jeno menghela napas. 

"Ayo pilih," pria itu mendesak. 

Juno merengek, "iihh ayah apasiii!!"

Na Jeni yang duduk di samping bangsal Juno, menatap ayahnya kesal, "ayah berhenti," anak perempuan itu mendengus. 

"Atau aku perlu menendangmu keluar dari Keluarga Na? Bukankah kamu bilang ingin menjadi anak Kang Daniel?" Jaemin mengangkat sebelah alisnya. 

"Haduuu itu cuma becanda ayah!! Mana mungkin!! Jangan hukum aku! Ayah serius mau hukum aku yang lagi sakit gini?! Gak kasian apa sama anaknya?!" Si bungsu mendengus keras-keras. 

"Memangnya kau anakku?" Sela Jaemin, "aku masih menyimpan surat medisnya." 

"AYAH NI SOLIMI BANGET SI!" Juno sudah ingin menangis lagi. 

Jeni tertawa kecil. Jeno menarik sisi bibirnya samar sekali, menahan diri untuk tidak tertawa. 

Kemudian, Sang kepala keluarga tergelak, "ayah bercanda," dia mengusak rambut pirang Juno dengan hangat. "Kamu anak nakal ayah." 

Na Juno masih kesal, dia mendengus dan melengos malas. Sungguh, ayahnya memiliki selera humor yang sangat rendah. Candaannya sama sekali tidak lucu. 

"Lain kali, jangan berbuat seperti itu," suara Jeni yang halus namun terdengar khawatir, menyadarkannya. 

"Hng, mau gimana lagi, masa aku diem aja kamu digituin?" 

"Bagaimanapun kamu tidak mungkin melawan mereka semua sendirian, jangan ceroboh." Lalu perlahan suaranya memelan, dan genggamannya di tangan Juno mengerat, "aku bahkan tidak bisa membantu." 

Juno memerhatikannya. Diam sesaat. Dia jarang sekali melihat Jeni yang seperti ini, atau mungkin... tidak pernah. "Eiyy, nggak apa-apa. Lagian kamu juga harus hati-hati, kamu cantik, banyak yang suka." 

"Beruntung kakak kalian datang," Sang ayah menyahut. 

"Oh ya, aku kaget ternyata Kak Jeno bisa berantem." Dia menoleh dengan cepat ke arah kakaknya, penasaran akan hal itu. "Kak Jen, kok bisa? Gimana? Kak Jeno kan nggak pernah berantem, nggak pernah latihan bela diri sama sekali juga." 

Itu benar. Setahu Juno, kakaknya selalu sibuk akan kuliah dan juga beberapa pekerjaan di Phsynch. 

Na Jeha yang mendengarnya hanya tertawa kecil. Na Jaemin dan Na Jeno saling pandang kemudian. Si sulung membuang muka, Sang ayah mendengus geli. 

Siapa bilang? 

Sejak kecil, Na Jeno menguasai bela diri systema. Dan sejak kecil hingga sekarang, dia tak pernah berhenti berlatih. Selama ini, setiap tengah malam secara diam-diam, dan ayahnya berlatih bersama di ruang olahrga. Jadi tak ada yang tahu. 

Kecuali Na Jeha yang seringkali memperingatkan mereka berdua agar segera kembali ke kamar dan tidur.

Tentu saja Na Jeno memang orang yang cukup bersih. Ayahnya selalu berpesan untuk jangan menggunakan bela dirinya dengan sembarangan. Jika bisa menghindari perkelahian, kenapa tidak? 

Na Jaemin hanya tidak mau, anak-anaknya menjalani hidup penuh pertumpahan darah dan hal-hal kekerasan lainnya seperti dirinya sendiri saat masih kecil. Dia berjuang untuk hidup dan sampai di titik ini dengan cara yang tidak mudah. Jadi, di masa kejayaannya, dia hanya ingin hidup dengan tenang bersama istri dan anak-anaknya tercinta. 

Tapi kalian tahu, ajaran seorang Na Jaemin tidak pernah main-main. Meski menjadi bagian dari Keluarga Na akan menjamin hidup dan masa depanmu, Jaemin tidak pernah membesarkan anak-anaknya dengan manja dan hedonisme. Didikannya cukup keras, dia menerapkan 368 peraturan mutlak di rumahnya, dan dia tidak akan tanggung-tanggung untuk menghukum anak-anaknya sendiri jika mereka berbuat kesalahan. Hukumannya pun tidak akan tanggung-tanggung. 

Ah ya, kalian pasti tahu Na Juno pernah dijebloskan ke penjara bawah tanah Phsynch karena ketahuan merokok saat SMP. Na Jeno pun juga pernah mendapatkan hukuman ketika SMA, Si sulung itu pernah tidak sengaja menggunakan nada tinggi di depan ibunya. Lalu Jaemin tanpa ragu menghajar anak pertamanya itu, nyaris mematahkan kakinya jika Jeha tidak menangis meminta suaminya untuk berhenti. 

Na Jeni tidak pernah dihukum, untungnya. Anak perempuan itu sangat patuh dan tidak pernah melanggar peraturan rumah. 

Pria itu tersenyum tipis. Samar sekali. Memerhatikan keluarga kecilnya yang tampak mengobrol dengan hangat. Na Juno yang cerewet, Na Jeha yang mengomel, Na Jeni yang menasehati kembarannya dengan beberapa kata, Na Jeno yang bungkam seribu bahasa. 

"Yaudah, kalo kamu ngerasa bersalah, cium aku dong." Juno memajukan wajahnya, membuat Jeni merotasikan matanya dengan malas. 

Juno suka skinship. Suka sekali. Dia kadang iseng mencium pipi dan kening seluruh orang rumah. 

Jeno pernah melempar adiknya itu dengan asbak kaca di atas meja ketika Juno tiba-tiba mencium pipinya. 

Na Jeno benci skinship. 

Mengenai permintaan Juno barusan, Jeni akhirnya hanya menurut, dia mencium kening saudaranya dan mengusak rambut pirang itu beberapa kali. "Cepat sembuh," datarnya. 

Si bungsu itu tersenyum lebar hingga matanya nyaris menghilang.

"Bunda cium aku juga!" 

Jaemin langsung melotot. "Hei!"

"Ettt ayah aku pasien!" Juno mengangkat tangannya yang sehat. "Peraturan rumah Keluarga Na nomer 198, harus mendahulukan kepentingan anggota keluarga yang sakit." 

Sang ayah langsung berhenti di tempat, seperti menahan umpatan, namun pada akhirnya dia mendengus kesal. Bagaimana dia lupa dengan salah satu peraturan itu? 

Oh, sepertinya dia harus mencoret peraturan itu setelah ini. Jika Juno yang sakit itu akan berbahaya, anak itu akan mengambil Jeha darinya. 

Jeha hanya tertawa, dia mencium kening dan kedua pipi anak laki-lakinya dengan lembut, "cepat sembuh anakku." 

Na Jeno yang perasaannya mulai tidak enak, berdiri dari duduknya, berencana untuk segera keluar dari ruangan itu. 

Sayang sekali Juno memergokinya dengan cepat, "Kak Jeno mau kemana?" 

Si sulung berbalik, terlihat kaku ketika berbicara, "bertelepon dengan... Leo, ya." 

"Cium aku dulu." 

"Juno-ya." Jeno mulai stress. 

"Kak Jeno nggak adil, Jeni mulu yang dicium. Apa aku beneran gak dianggep adik?" Anak laki-laki itu cemberut. 

Sekarang, Jeno sangat menaruh dendam pada ayahnya kenapa membuat peraturan rumah seperti itu. Sayangnya, peraturan tersebut benar-benar tidak boleh dibantah. 

Na Jeno pusing bukan kepalang. Dia sempat menggeram frustrasi diam-diam, lalu melangkah mendekati adiknya yang sudah tersenyum sumringah seperti orang bodoh. 

Pria itu mendaratkan satu ciuman yang singkat dan cepat di pucuk kepala Juno, sempat mengusap kepala belakangnya perlahan. "Cepat sembuh," katanya, datar dan dingin. 

Juno meringis, "aku sayang Kak Jeno."

Jeno melemparkan pandangannya ke arah lain, "ya."

"Ya apa?"

"Aku juga." 

"Juga apa dih."

Kakak tertua mengalihkan pandangannya ke arah Sang adik, melemparkan tatapan tajam sekaligus kesal. "Aku juga menyayangimu, bodoh." 

Na Jaemin tertawa. Sangat jarang sebenarnya melihat pria itu tertawa selepas ini. Tapi pertengkaran anak-anaknya sangat menggelikan dan seperti hiburan tersendiri baginya. 

"Kalian seperti kucing dan anjing, hentikan itu." Dia mendekat ke arah Juno, lalu mencium pelipis anak bungsunya, "ini dari ayah, jangan protes lagi. Aku dan kakakmu wajar bersikap seperti ini pada Jeni karena dia anak perempuan, kamu ini laki-laki." 

Jeno mendengus diam-diam. Menyetujui kalimat ayahnya. Bukankah 'agak lucu' jika Juno yang sudah sebesar itu masih meminta ciuman darinya? Jika mereka masih di Geon Ford sih tidak masalah. 

Memerhatikan interaksi ayahnya dengan adik bungsunya, Jeno tersadar jika ayahnya balas menatapnya. Si sulung mengerjap sekali. 

Lalu Jaemin sembari mengedikkan alis, berkata padanya, "apa? Kau mau cium juga?" 

Wajah Jeno berubah horor. 

"Apa sih." 

Lalu pria itu segera pergi dari ruangan itu, meninggalkan keluarga gilanya. 




- fin -





yeayyy udah yaaa (∗•̀◡•́∗)

Continue Reading

You'll Also Like

91.5K 6.9K 47
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
161K 7.9K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
51.9K 3K 26
Jarang tersenyum, sedikit berbicara. seakan Ia hanya menggunakan tatapan matanya sebagai sarana untuk menyampaikan semuanya. namun terkadang melempar...
70.5K 578 11
MINOR DNI!! BOYPUSSY, LOCAL PORN TOLONG YA JANGAN SALAH LAPAK, DISINI TEMPAT KAPAL NCT