Jaemin hampir tidak terselamatkan.

Satu kalimat yang cukup membuat jantung mereka seolah berhenti berdetak. Satu kalimat yang terus mengulang di otak mereka.

Tidak ada yang membuka suara setelah itu.

"Can we.. visit?" Tanya Mark memberanikan diri. Taeil menghela nafas. "2 orang, maksimal 2 orang." Balasnya membuat Mark mengangguk lalu menengok ke triple J, Jaehyun, Jeno, Jisung. Ia sadar, yang paling dekat dengan Jaemin adalah ketiganya. Sementara dirinya hanya kakak tiri, yang membantunya pasca Jaemin koma. Bukan orang yang mengetahui Jaemin dengan dekat.

"Kalian kesini sebentar."

Lamunan mereka langsung buyar begitu Yunho membuka suara. Keempatnya tanpa basa basi langsung menghampiri Yunho. "Jangan katakan ke yang lain kalau Jaemin hampir tidak selamat, oke? Katakan kejang saja, hanya drop biasa." Mereka kompak mengangguk tanpa membuka suara. "Jeno Jisung, kalian yang masuk duluan, Jaehyun, Mark, kalian ikut sebentar."

___

"Seneng banget dah lo bikin orang panik. Dari dulu sampe sekarang bukan Jaemin kalo tiap bulan ga bikin panik ya?" Gurau Jeno, sambil memainkan rambut kembarannya itu. Hanya ada dirinya saja di ruangan itu. Jisung menolak masuk dan memilih pulang. Jadi ia sendiri di rumah sakit itu. Jaehyun, Yunho, Mark pergi mengurus sidang besok.

"Besok sidang penentuan ayahnya Hyunjin mau diapain. Sayang banget.. lo engga ikut. Padahal kuncinya ada di lo. Tapi gapapa lah, yang penting kembaran tersayang gue ini sembuh dulu. Ntar gue kasi tau kok hasil sidangnya, ga usah khawatir."

"Gue ga banyak ngomong kemaren, soalnya ada Jisung. Nah, kan gue sendirian nih, gue luapin aja lah ya? Kalo lo denger ya pura pura tuli aja."

Jeno menghela nafas dalam, menatap muka saudaranya yang tersembunyi dibalik masker oksigen itu. Ingin ia melepas itu, mengatakan bahwa Jaemin tidak perlu masker itu. Tapi realitanya, Jaemin sangat butuh masker itu.

"Gue sayang banget sama lo. Maaf gue selama ini tsundere banget. Tapi gue bener bener sayang sama lo. Selama gue lupa ingatan, gue selalu kebayang bayang bayang lo. Otak gue nyoba nginget lo, tapi gue aja yang males kali ya? Nginget hal hal gara gara gue takut sakit. Eh, ternyata waktu udah balik, sama sekali ga sakit."

Jeno menjeda ucapannya, air matanya sudah terkumpul dan bisa kapan saja jatuh. Biar ia menangis kali ini. Dari kemarin memang ia sudah menangis, dan dia sama sekali menghiraukan itu.

"Gue padahal udah janji dulu ga bakal nangis lagi. Tapi kalo sama lo, entah kenapa sekarang malah nangis terus. Lo itu udah kaya bawang bagi gue tau ga?"

"Nono engga nangis?"
"Emangnya kenapa harus nangis?"
"Kan jatuh! Sakit! Masa engga nangis si??"

Jeno hanya tertawa pelan.

"Nono udah janji sama diri sendiri, ga bakal nangis, apalagi didepan Nana."
"Nangis aja gapapa Nonooo. Nana juga sering nangis kok! Kita nangis bareng bareng oke?"

"Lo jangan betah betah disana. Enak banget emangnya? Perasaan gue dulu engga tuh. Inget balik. Jangan tinggalin gue, jujur gue ga bakal pernah siap ditinggalin lo. Maaf gue dulu yang ninggalin lo. Kakak ga becus emang gue, bener kan? Kakak apa yang ngebiarin adiknya sengsara gitu?"

Dan pada akhirnya Jeno tidak dapat membendung air mata itu. Di ruangan yang sunyi itu, ia tumpahkan semua emosinya. Hanya ada suara isakan dan suara dari monitor yang terdengar.

"Nanaaa"
"Apa sih Nonoo, Nana mau belajal!"
"Buat apa?"
"Ya supaya pintel lah! Ga sepelti Nono!"
"Ih Nana gitu! Ntar Nono juga bakal pinter kok!"

"Papa, kenapa Nono sudah bisa bilang huluf 'L' tapi Nana tidak bisa?"
"Ya nanti suatu saat Nana bisa kok. Yang sabar ya."
"Nono kan lebih tua dari Nana! Nana kan masih kecil jadi belum bisa bilang R"
"Nana sudah besal! Nana seumulan sama Nono!"
"Tapi buktinya Nana belum bisa bilang huruf R"
"Ihh!! Nana itu kaya Nono! Sudah besal! Nono itu yang masih kecil tidak tahu 7 tambah 7 belapa!"
"Itu susah!"
"Makanya Nono masih kecil! Nana saja tau kok!"
"Berapa coba?"
"Empat belas!"

Disela sela tangisannya Jeno tersenyum. Ingatan saat keduanya masih kecil akan selamanya menjadi ingatan terbaik yang Jeno punya. Dulu Jaemin dan dirinya selisih 3 cm, sekarang, keduanya sudah sama tingginya. Satu hal yang ia sangat sesali, ia tidak bisa melihat tumbuh kembang Jaemin. Berpisah saat mereka sendiri masih pendek, dan kini keduanya sama sama tinggi.

Jeno yang semula menundukkan kepalanya langsung mendongak kala merasakan sentuhan di pucuk kepalanya. Matanya melebar. Air matanya terus turun tanpa isakan yang terdengar. Sepertinya ia bermimpi, karena saat ini yang ia lihat adalah一

"C-cengeng."

"N-na?!"

Didepannya, Na Jaemin tengah tersenyum lemah, tangannya yang diinfus ia gunakan untuk menyentuh pelan rambut Jeno. Dari rambut, ia beralih ke pipi Jeno, mengusap air mata yang ada.

"G-gue m-masih i-inget j-janji l-lo."

Air mata Jeno masih saja mengalir. Padahal ia pernah merasakan hal ini sebelumnya, ya jika sebelumnya Jaemin menggegerkan satu ruangan karena dirinya kejang, saat ini Jaemin menggegerkan dirinya hanya karena 2 kalimat yang keluar dari bibirnya.

"A-ada yang sakit? B-bentar gue panggilin Taeil hyung dulu."

Tak disangka Jaemin malah menggelengkan kepalanya. "T-temenin g-gue d-dulu. G-ga ada yang sakit, cuma nyeri aja. Gue masih lemes gini mau lo tinggal?" Ujarnya sangat lemah, bahkan hampir tidak terdengar. Beruntung saat itu hanya ada dirinya dan Jeno. Jadi agaknya terdengar jelas.

"J-jangan bilang yang lain dulu.."

Jeno hanya mengangguk pasrah. Dan ia baru sadar suatu hal.

Kan ada tombol dokter di dekat bangsal Jaemin, kenapa dirinya harus repot repot keluar ruangan dan meninggalkan Jaemin?!

"B-bodoh." Ujar Jaemin seakan tahu apa yang dipikirkan Jeno. Oh tentu saja, naluri anak kembar.

___

To Be Continued

Jumeaux • njm ft. ljn ✓Where stories live. Discover now