thn 2000, HAI, REDUP

663 84 30
                                    

Masih dengan perayaan dasawarsa milik Birumaji yang biasa saja. Nabastala mulai diselimuti jingga, tetapi Si Mbah bilang itu bukan senja. Cahayanya tengah ditiup. Kemudian jadilah redup.

Kepala pemuda itu bersandar ke jendela. Bibirnya sibuk mengunyah remahan roti sisa, tampak mengembun netranya. Pikiran terdampar setelah terbawa ombak dan nyaris terkoyak. "Nggak papa Biru nggak tiup lilin, toh udah diwakilin sama angin."

Cahaya yang menyelusup masuk dari ventilasi udara merujuk pada lukisan pemberian Si Mbah. Durja yang tersinggung itu kian indah, tanpa celah. Telinganya mendengar gemerah dari tungkai-tungkai di atas tanah. Kemudian netranya kembali mengarah ke bawah. Para sebayanya tengah membuntuti layang-layang yang sudah kalah. Membuatnya semakin penasaran perihal : bagaimana rasanya ketika ia berhasil memutuskan benang layang-layang milik lawan? Apa akan menyenangkan?

"Kenapa nggak ada yang mau berteman sama Biru?"

Mungkin, beberapa saksi bisu untuk mengadu sudah mulai jemu. Buktinya buku yang berbaris rapih di bufet terjun tanpa malu-malu. Sedangkan angin tampak membawa pergi dedaunan menjauh tanpa ragu.

Raganya berbalik, menjauh dari jendela setelah menutupnya hingga gelap memeluk erat biliknya. Benda yang menghuni turut terkungkung gulita, kecuali lukisan milik Si Mbah yang masih tersorot beberapa rintik cahaya jingga.

Biru tidak bisa mendapatkan teman, tapi dia bisa menciptakan mereka, bukan? Tanpa sadar, Biru menarik sebuah senyuman. Imajinasinya kembali berjalan. Bayangan samar itu seakan-akan turun dari lukisan, kemudian mengulurkan lengan.

"Diajeng Lintang Redup Salukis."

"Sabait Rasi Birumaji."

Biru meraih hasta yang tercipta terlalu sempurna, tanpa berpikir lama. Karena, yang nyata biasanya fana. Yang maya, kadang bisa selamanya.

Derit pintu menyeru, Biru lantas berpura-pura mengusir debu. Kemudian memasang senyum semu kala Pramu menepuk sang bahu.

"Biru, ayo salat magrib dulu."

"Iya, Bu."

• • •

Jejak dinginnya malam masih terlukis di rumput, tak terbiar surut. Biru menatap dengan cemberut, ajakan mengobrol darinya tak pernah disambut. Kini, mereka kian membuat nyalinya hanyut.

"Kenapa kalian nggak mau main sama aku?" tanya Biru di setiap hari baru.

"Kamu aneh, suka ngomong sendiri. Kata Mamah, aku nggak boleh dekat-dekat sama orang aneh."

"Iya ih, Biru kayak orang gila. Ngomong sendiri sukanya."

"Temen-temen, jangan dekat-dekat sama Biru."

Abjad itu sudah biasa berlabuh lantang di telinganya. Jadi baiknya, Biru tak perlu lagi bertanya. Karena itu akan memperburuk luka dan memangkas nyalinya.

Mereka yang tak mau menatap Biru, mengibaratkannya sebagai hantu. Pokoknya, segala tentang Biru, mereka tak mau tahu. Jika Biru bertanya mereka akan bisu, didekati menggerutu, diprotes lempar batu.

Duduk sendirian di kelas jelas membuatnya lebih sering bercengkrama dengan kertas dibanding dengan para mulut buas.

Mengadu pada benda mati, memang selalu memberinya lega hati. Meniup jauh-jauh sang kebiasaan demi mendapat seorang teman adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Meski demikian, Biru tak pernah berpikir untuk menjadikan kebiasaannya sebagai medan pertemanan. Tapi saat pelajaran seni berjalan, dia melihat sosok yang kemarin turun dari lukisan. Duduk, menemani Biru seharian.

Kuncir kuda, dengan pita merah muda. Senyumnya seperti penyakit bahagia. Ah iya semesta, Biru nyaris saja lupa, kalau kini ia punya teman yang cantik jelita.

"Hai, Biru."

• • •

Catatan di punggung pintu :
        Ada yang rindu Biru?
Terima kasih sudah membaca.

;Pinguin

(ME)REDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang