Pelajaran Sejarah Bagian Satu: Proses Jatuh Cinta dengan Sarah Aina

41 9 3
                                    

Ceritanya familiar, seperti film yang ditayangkan berkali-kali sampai nyaris bosan. Latarnya di Bumi Pasundan, siang bolong. Waktu itu matahari sedang terik, tetapi di kejauhan ada awan mendung yang gelap sekali, tanda mau hujan petang nanti. Jaka sedang di kamar, garuk-garuk kepala karena belum ketemu jurnal yang pas untuk melanjutkan skripsinya, dengan Yudhis yang asyik genjrang-genjreng gitar.

Tiba-tiba ada taksi berhenti di depan Wisma Duta, yang notabene isinya penyamun-penyamun dan serigala. Penyamun-penyamun dan serigala ini, yang biasanya memilih untuk naik motor sendiri dan anti angkutan umum kecuali perlu banget, jelas langsung sibuk intip-intip. Kemungkinannya cuma ada dua kalau ada taksi berhenti di Wisma Duta. Satu, tamu keluarga dari penghuni, yang pasti sebelumnya dijarkom di grup kos-kosan. Dua, anak perempuannya bapak Zahran, alias Sarah Aina, bapak kos-kosan Wisma Duta tempat Jaka tidur setiap malamnya di Bandung selama lima tahun dia jadi mahasiswa.

Tunggal, katanya bapak Zahran. Suka tampil di resital piano. Enggak bisa naik motor, karena bapak Zahran terlalu takut untuk mengajari, akhirnya kemana-mana bergantung pada jasa ojek dan taksi.

"Kang, eta cik ajakan si nengnya ngomong ameh turun. Cari saha yah, gitu (Kang, coba itu diajak ngomong nengnya biar turun. Cari siapa ya, gitu)," keluh si Yudhis, yang sibuk intip-intip dari pintu kamar Jaka.

"Lah. Kenapa nggak lo aja?" Protes Jaka.

Yudhis mendecak. "Bisi kabur kalo saya yang ngomong."

"Kumaha gitu?"

"Buruk rupa kan, saya."

Jaka langsung ketawa. "Tolol lo, anying," pisuh Jaka tanpa hati, yang akhirnya kemudian maju ke taksi tersebut.

Waktu jendela taksi turun, Jaka langsung tahan napas. Bagaimana bisa Pak Zahran yang tinggi, perutnya buncit, kumisan kayak Pak Raden, mukanya kayak Raditya Dika, bisa memproduksi anak seindah Sarah Aina?

Masalahnya, Sarah Aina cantik banget. Wajahnya memiliki kesan halus, dan pipinya seperti kue mochi—putih, sedikit penuh, kalau disentuh seperti akan runtuh. Ketika mata sayunya menatap Jaka, langsung ada paduan suara malaikat yang sedang menyanyi. Ketika ada senyum disunggingkan malu-malu, cercahan cahaya dari surga turun dan membuat Jaka mendadak merasa hidup. Lebay banget, memang, tapi Jaka sama sekali enggak sedang bohong atau hiperbola. Atau lagi jadi penyanyi dangdut.

"Akang, di dalem masih ada ayah?" Tanya Sarah.

Jaka buru-buru memanggil jiwanya yang sempat lepas dan terbang-terbang sambil nari hula-hula. "Eh, iya. Tadi ada. Anaknya Pak Zahran, ya?"

Kalau Sarah sadar Jaka sempat hilang sadar, dia enggak memperlihatkannya. Dia malah turun taksi, setelah bicara sebentar sama si supir taksi. Senyum secantik dan setenang bunga teratai. "Boleh minta anter, kang? Mau ngasih rantang."

"Oh iya," sahut Jaka, masih usaha agak nggak kelihatan bengong-bengong amat. "Ayo, masuk?"

Jaka bisa mendengar teman-temannya di belakang langsung berisik kayak sirine ambulans. Mereka semua barengan buka pintu kamar lebar-lebar dan langsung mejeng sok keren.

Sarah Aina Zahran berjalan masuk tanpa sadar efek yang dia buat terhadap penyamun-penyamun Wisma Duta. Yudhis sudah mulai gitaran. Endless Love-nya Lionel sama Diana, si goblok itu.

Tentu saja Sarah berkomentar; "kayak ada suara gitar..."

Dan Jaka otomatis menjawab dengan lugas; "nggak ada. Itu angin, deh, kayaknya."

Sarah kelihatan bingung, melempar ekspresi heran ke Jaka karena jelas-jelas suara gitar Yudhis terdengar, tapi tetap jalan ke rumah utama tempat Pak Zahran biasa kerja.

Jaka ArtaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora