Ketiga, selain muscle memory, kian hari, makin banyak ingatan August dalam cerita yang mengalir memenuhi benaknya, dan ia makin yakin bahwa satu-satunya kemiripan "August" dan "Yoongi" adalah wajah mereka. Kepribadian keduanya cukup bertolak belakang.

Kesuksesan adalah prioritas Suspirium. Inilah mengapa kedua pangeran dan putri mahkota dididik agar menjadi pribadi yang "sempurna" agar dapat mengharumkan nama Suspirium. Tekanan yang diterima August tidak main-main, dan inilah yang membentuknya menjadi pribadi dingin yang tak mengenal kata "kasih" sampai ia bertemu Catrain dan jatuh cinta pada wanita itu.

Didikan merekalah yang membuat August dan Yoongi dua pribadi yang amat berbeda. Keluarga Yoongi memanglah keluarga yang tegas, namun ia selalu dapat mengandalkan kedua orang tuanya dan adik perempuannya untuk menyokongnya meski ia gagal sekalipun. Mengingat keluarganya membuat pria bersurai hitam itu meneteskan air mata. Meski ia sudah menerima kenyataan bahwa ia tidak lagi ada di dunia yang sama dengan mereka, tidak mungkin ia tidak merindukan mereka. Jika ia menutup mata, ia dapat samar-samar mendengar omelan ibunya dan ocehan Yoonji. Jika ia menolehkan kepalanya sedikit saja, ia dapat melihat ayahnya yang dengan sabar memandangi mereka bertiga dengan cinta di mata tuanya yang berbingkai kacamata hitam tebal. August yang saat ini ingin keluarganya terus "hidup" bersamanya, agar kasih mereka tetap tercermin di dirinya yang sekarang.

Ya, ia sudah bertekad. Meski ia membawa memori August bersamanya, ia akan tetap hidup sebagai Yoongi.

Yoongi, yang berbicara dengan ketus dan sangat cuek namun begitu sabar dan pengertian kepada orang-orang yang ia kasihi. Yoongi, yang tak menyukai perhatian dan pendiam, namun diam-diam perhatian. Yoongi, yang tak menginginkan takhta dan menyukai musik.

August menutup buku kulitnya lalu menghembuskan nafas. Ia merasa sedikit lebih ringan. Ya, ia akan menjadi August yang seperti itu. Seperti Yoongi.

Sudah seminggu sejak Yoongi terbangun dalam tubuh August. Selama seminggu itu, sang pangeran menghabiskan waktunya berlatih pedang di pagi hari, membaca di perpustakaan kerajaan pada siang hari—ia memang memiliki memori August, tapi tidak ada salahnya bila ia membaca ulang silsilah dan sejarah kerajaan dan buku-buku tentang advanced magic—dan melatih sihirnya di dalam kamar pada malam hari.

Pada minggu itu pula, ia menjelajahi kerajaan dan menyapa para pelayan, yang jelas terkejut melihat keramahan dan kesopanan sang pangeran kedua yang tidak biasa. Juru masak kerajaan saja sampai terkejut bukan main saat August meminta ijin untuk memasak makan malamnya sendiri.

Selama seminggu itu pula, August tidak pernah melihat baik kedua saudaranya maupun orangtuanya.

"Mereka sibuk, Tuan," jawab Elizabeth, saat ia bertanya. Selama seminggu ini, ia menjadi semakin akrab dengan wanita itu, dan August cukup bahagia melihat sang pelayan kian lama kian nyaman menemaninya berbicara—ia bahkan sudah cukup berani bercanda-gurau dengan sang pangeran. "Yang Mulia Raja dan Ratu harus mengurus urusan penting di Kerajaan Bruma. Tapi Putra Mahkota akan kembali ke kerajaan besok."

Sambil menjawab, wanita berambut cokelat itu tersenyum kecil, seakan heran melihat tuannya yang pelupa.

August tidak memiliki hati ataupun keberanian untuk mengungkapkan bahwa sesungguhnya, ia bukan dari dunia ini. Memori-memori August belum semuanya ia ingat. Ia hanya dapat mengembalikan senyum tersebut. "Ah ya, benar. Saya senang mendengarnya, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan Kakak."

Mendengar kata-kata tersebut, Elizabeth terlihat terkejut. Butuh beberapa detik hingga August sadar apa yang ia katakan—Kakak. August dalam cerita tidak pernah memanggil sosok Aurelius "Kakak", hanya "Putra Mahkota", dengan nada yang mencibir.

"Jangan terlihat terlalu terkejut, Elizabeth. Selama kepergiannya, ada beberapa hal yang saya sadari. Salah satunya adalah bagaimana saya tak seharusnya memiliki hubungan yang renggang dengan keluarga saya sendiri. Cukup memalukan bukan, bagaimana saya dapat mengingat ratusan mantera sihir namun tak mengingat ulang tahun Kakak saya sendiri? Saya mahir bertarung dan menggunakan sihir, namun saya tak tahu apa-apa tentang orang-orang terdekat saya. Bukankah hal itu membuat kemampuan saya sia-sia?"

Keterkejutan yang terukir pada wajah Elizabeth belum juga pudar, namun sebuah senyum tulus terbit di bibirnya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Tuan, tapi Tuan berubah. Saya seolah tak mengenal Tuan lagi."

"Apa hal itu sesuatu yang buruk, Nona Elizabeth?"

Elizabeth menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali. Malah—maaf bila saya melewati batas, Tuan—sekarang sikap Tuan selaras dengan wajah tampan Tuan."

August hanya menatap Elizabeth, terkejut, sebelum tertawa.

Derap kaki kuda membangunkan August dari tidurnya. Esok yang ia tunggu telah datang. Mungkin tampaknya terlalu cepat, namun August ingin sesegera mungkin meluruskan hubungannya dengan Aurelius—dan mungkin ia juga memiliki agendanya sendiri.

Ia dengan cepat melaju ke dalam kamar mandi, mencuci muka, menggosok giginya, mengganti bajunya dan menyisir rambutnya hingga rapi. Dengan langkah panjang, ia berjalan cepat menuju gerbang istana, setiap langkahnya diikuti tundukan kepala para pelayan yang dilewatinya. Pria bersurai hitam itu tersenyum lembut dan menyempatkan diri menyapa mereka satu-satu.

Gerbang istana yang berat dibuka. Kereta kuda menyusuri taman kerajaan, menandakan bahwa Pangeran Aurelius telah pulang dari ekspedisinya. Tak seperti di film-film yang pernah ia tonton, kedatangan sang Putra Mahkota tidak diikuti tiupan terompet atau digelarnya tikar berwarna merah darah. Penyambutan berlangsung dengan tenang, sederhana. Sang pangeran keluar dari kereta kuda, dan kepulangannya setelah sekian lama langsung disambut senyuman merekah para pelayan dan ucapan sambutan "Selamat datang kembali, Putra Mahkota".

Aurelius terlihat sama persis seperti deskripsi Yoonji: "Mukanya persis seperti August, namun dengan kesan dewasa dan karisma yang lebih hangat. Dia tampan, meski August jauh lebih tampan." Harus August akui, mereka berdua memang terlihat seperti saudara—surai sehitam gelapnya malam dan bola mata berwarna cokelat gelap, juga kulit seputih salju. Namun, berbeda dengan August, mata sang kakak lembut dan senyumnya hangat. Terdapat aura seorang raja yang baik, bijaksana, dan merakyat dalam dirinya.

Siapapun yang melihatnya tentu akan berpikir, 'Pantas saja ia dilahirkan sebagai pewaris takhta', pikir August.

Mata sang kakak langsung tertuju padanya. Terdapat suatu keterkejutan terlukis di mukanya yang tampan, sebelum ia memberikan sebuah senyuman kecil kepada adiknya itu. August, secara reflek, membalas senyuman itu. Ia dengan hati-hati menuruni anak tangga yang membatasi mereka berdua.

"Kakak," sapa August, membungkuk hormat. Satu kata itu cukup membuat Aurelius makin terkejut, mata kucingnya membulat seiring ia menatap adiknya tak percaya. Melihat hal ini, August tersenyum lembut, berharap hal tersebut cukup untuk menyampaikan rasa bersalahnya, meskipun bukan ia melainkan August yang lama yang memperlakukan kakaknya dengan amat buruk.

"August," balas sang kakak, matanya berkedip kaget. "Hei."

"Hei," ia menganggukan kepala. "Selamat datang kembali, Kak. Karena Kakak sudah disini, ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada Kakak. Apa Kakak punya waktu?"

📌  / halo, author disini. :) mulai dari bab ini, hingga bab-bab ke depan, "Yoongi" mulai memanggil dirinya "August". semoga hal ini tidak membingungkan, ya. kalo ada kritik atau saran, monggo. terima kasih sudah membaca !!

PLOT TWIST 、taegiOnde histórias criam vida. Descubra agora