Kekacauan dan Keputusan

2.3K 524 127
                                    

...

Rasanya sedikit canggung,
Labi selalu merutuk dan menyesali hari itu, kala ia mungkin menyebabkan kesalahan pahaman,

Memang tak banyak yang dikatakan Afidah, istri Lukman,
Wanita itu bahkan mungkin tak mengatakan apapun, tapi ekspresinya dan bagaimana tetangga melihat ia membuatnya paham sedikit duduk perkara,

Biasanya memang ia tak pernah lagi dibonceng atau pergi bersama Lukman, ya..
Alasannya sudah jelas, tak ingin menimbulkan fitnah,

Hanya kemarin itu kebetulan saja, sungguh, Lukman sudah seperti kakaknya sendiri, mereka tumbuh bersama dan rasanya agak aneh jika orang orang curiga dengan hubungan mereka,

Lukman pun mengerti akan hal itu,
Ia lebih lebih lagi mereka tak nyaman, sungkan dan canggung juga pada labi, gadis itu jadi dibicarakan dimana mana karna dirinya.

"Makanya jangan asal bonceng perempuan! Kasian anak kyai jadi digosipin macem macem!"

Bu kades datang siang itu saat Lukman kembali kerumah masih dengan misi 'membujuk istri'
Lalu yang terjadi ia disemprot habis habisan atas sikap yang dianggap terlalu genit.

Kemudian Afidah yang masih berang tambah menekuk alisnya dengan gerutuan sesekali,
Ia berkata banyak hal semalam, dan Lukman harus mengelus dada dengan kata yang mungkin terdengar kurang mengenakkan, ia harus paham jika istrinya ini suka kelewatan batas saat marah.

"Maaf buk, tapi labi udah kayak Adek Lukman sendiri, semua orang juga tau-"

"Tapi dia perempuan dewasa! Mungkin kamu atau labi nganggep iya! Cuman kayak saudara, orang lain? Adek kakak kandung aja bisa nikah kok apalagi yang gak ada hubungan sedarah"

Lukman menghela nafas, berusaha sebisa mungkin untuk tak terdengar, ia menggapai tangan sang istri dibawah meja untuk dirangkul, tapi Afidah melepasnya dan beranjak ke dapur,

Kemudian Bu kades seolah memaklumi perasaan cemburu itu.

"Kamu ini, berantem terus, gak ada akurnya! Kenapa? Udah mulai ngerasa bosen? Kamu juga jarang pulang kerumah"

"Ya Allah ngga Bu, Lukman jarang pulang juga karna pesantren sibuk akhir akhir ini, tapi gak pernah gak pulang sama sekali seminggu itu, dua atau tiga kali suka pulang Bu"

"Lukman.. sebenernya apasi yang kamu harepin dari pesantren hah? Saya tau, semua orang tau, kyai berjasa besar untuk kamu, tapi.. kamu mau hidup begini aja? Gak mau kerja kantoran? Punya rumah lebih besar lagi, punya mobil?"

Ia menunduk dan mengangguk kecil, lantas kembali menyeruak secercah rasa rendah diri,
Sebagai suami ia memang miskin, terlihat kuno dengan motor tuanya, rumah meski diatas tanah sendiri tak seberapa dibanding rumah rumah orang sukses di kampung ini, apalagi gaji, tapi selama ini ia merasa cukup, pun pekerjaan tambahan suka ia lakukan demi uang lebih jika sang istri mulai merengek macam macam.

"Jangan keras kepala Lukman! Itu juga buat kamu, buat menaikkan derajat keluarga kalian! Kalau kalian punya anak nanti, kamu mau anak kamu susah? Apa apa gak punya?"

Iya..
Jangan kira tak ada fikiran itu dikepala Lukman, hanya saja sisi lain yang orang tak tau adalah sifat posesifnya, Lukman enggan pergi tanpa sang istri, sedang sang istri enggan beranjak dari kampung ikut bersamanya,

Ada hal lain juga, pertimbangan ini dan itu semuanya seolah menghambat Lukman, tapi ia tau itu salah, agaknya ia memang kolot, tentu hanya dengan rumah dan tabungan beberapa juta saja tak cukup mensejahterakan keluarga.

📌 MAKMUM TERBAIKWhere stories live. Discover now