Problem - 9

4.1K 337 2
                                    

Robert Pov

Sekitarku berwarna hijau, rumput yang rapi dan bunga-bunga berhamparan di sekitarku. Tunggu, kenapa aku disini? Seharusnya aku ada di rumah sakit?

"Robert," suara itu memanggil.

"Robert," lagi.

"Robert," dan aku tahu dengan jelas Samanta yang memanggilku. Aku langsung berbalik dan berlari, mengejar suara itu.

Dan disini lah aku berada. Menatap seluruh teman-temanku dan ayahku yang tengah berbicara dengan dokter. Kemudian setelah berunding, Ayah dan Samanta masuk. Tubuh dan wajah ayah terlihat lelah, aku tahu dia baru kembali dari Paris.

"Hei, Robert. Kenapa kau selalu saja membuat masalah? Kenapa tiap aku pulang dari urusan bisnis kau selalu saja berada di rumah sakit? Apa tak ada cara penyambutan yang lebih normal?" Ayah benar. Tiap kali dia pulang dari dinas luar negerinya, aku selalu terbaring di rumah sakit. Kemudian beliau menoleh ke arah Samanta dan gadis itu mengangguk.

"Hei, stubborn! Kenapa kau selalu saja membuatku khawatir sih? Tega sekali membuatku merasa bersalah, kau tahu kan terakhir kali kita berbicara, kita malah bertengkar. Cepat bangun, aku benar-benar mengkhawtirkanmu. Kau bilang aku tak usah khawatir? Kalau begitu jangan tidur terus!

Robert, hari ini aku benar-benar merasa ... sedih. Aku -dan yang lain- harus menerima kenyataan jika, mungkin kau harus melupakan kami." Samanta menarik napas dan aku tahu dia tengah menahan sesak. Aku benar-benar ingin memeluknya. Aku tak ingin dia khawatir.

"Samanta itu ide gila, kau tahu? Aku tak mau melupakan siapa pun!" Dan aku tahu suaraku tak sampai.

"Aku suka padamu. Sayang bahkan aku mencintaimu. Robert, bangun lah. Aku tahu kau kuat, kau tahu aku membutuhkanmu kan? Robert, aku rela jika kemungkinan terburuk itu adalah kau kehilangan memorimu. Aku bahkan rela jika memori yang kau lupakan adalah saat kau ... bersamaku.

Robert, aku rela jika memori pendek tentang kita lah yang kau lupakan. Aku rela kau melupakanku, asal kau bangun. Asal kau sadar. Tak apa jika kau tak mau melihatku. Tak apa jika kau melupakanku. Asal bayarannya adalah kau sadar dan hidup bahagia." Samanta menyentuhku. Tapi semua perkataannya membuatku ingin marah! Dia gila? Dia ingin aku melupakannya?

Aku tak mau! Aku tak mau melupakanmu Samanta, aku tak mau melupakan kita. Atau bahkan janji yang belum aku wujudkan, aku tak mau!

"Dengar Robert Franklin, perjanjiannya adalah aku memberikanmu waktu sampai aku kembali dari tour. Jadi tak apa jika kau melupakanku sekarang asal saat aku kembali ingatanmu telah pulih," dia tersenyum simpul dan kemudian cahaya itu menarikku.

Tapi aku tak mau pergi. Aku takut, jika aku pergi aku akan melupakannya. Aku akan melupakan teman-temanku. Aku akan melupakan keluarga. Aku tak mau! Bahkan jika Samanta yang menyuruh. Karena aku tahu dia tak sekuat itu.

Tapi cahaya itu lebih kuat. Dia terus saja menarikku, terus. Sampai tubuhku merasa berat dan sakit. Rasanya benar-benar sakit.

Mataku terasa berat, jadi aku menggerakkan jari-jariku dan berusaha membuka kelopak mataku. Berhasil. Dan sebuah wajah asing muncul. Siapa dia?

"Kau ... siapa?" Tanyaku terdengar jauh dan serak. Dia membatu, benar-benar tak menolong. Sampai akhirnya dia tersenyum, berdiri dan memencet tombol merah di atas ranjangku. Setelah itu dia menunduk dan mencium keningku dengan hati-hati, "Aku senang kau sadar walau semua ketakutanku harus terwujud."

Aku ingin bertanya. Namun suaraku lagi-lagi tak sampai. Para manusia dengan pakaian putih telah melingkariku, memeriksa ini dan itu. Membuatku pening dan lagi-lagi tertidur. Dalam tidurku, wajah gadis tadi kembali terlihat jelas. Dia tertawa, menangis dan cemas karena seseorang. Aku tak tahu siapa orang itu, bahkan tak tahu siapa gadis itu. Apa aku mengenalnya? Apa dia teman sekelasku? Teman satu sekolahku?

"Robert ... " aku terbangun saat suara itu terdengar. "Ayah?" Tanyaku tak percaya.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanyanga sambil memeriksa.

"Aku buruk. Tapi aku senang melihatmu. Aku heran sejak kapan di Jerman orang-orangnya berbicara bahasa Indonesia?" Aku bertanya, menggunakan bahasa Jerman. Aku bingung. Bukan kah kami berada di Jerman?

"Apa hal terakhir yang kau ingat?" Seorang dokter dengan pengenal bernama Rio bertanya. Mungkin usianya baru memasuki tiga puluhan.

"Aku kecelakaan karena jatuh dari skateboard," jawabku mencoba mengingat. Dan kepalaku terasa sakit.

"Ini tahun berapa, Robert?" Ayah kembali bertanya. Aku mendengus, "Tentu saja 2010 ayah."

Dia tersenyum getir, "Anak bodoh! Ini 2014!"

Aku melongo, tak percaya.

"Masa aku di opname selama itu," aku tak percaya yang benar saja.

"Itu karena kau bodoh. Kalau pintar kau pasti sudah bisa mengingatnya," dia gadis yang semalam. Kenapa dia ada disini?

"Kau nyari ribut ya?" Bisa-bisanya dia mencari ribut dikeadaan seperti ini. Walau pun aku ada di kasur pesakitan bukan berarti tanganku tak dapat mematahkan beberapa tulang.

Dia hanya mendengus, "Kau benar-benar bodoh. Semudah itu kau melupakanku? Sudah lah. Om aku pamit ya, ada rehearsal."

Kenapa sepertinya ayah terlihat mengenalnya? Siapa sih gadis menyebalkan itu? Kenapa sih dia?

"Dia Samanta Pasha," dan dadaku terasa berhenti berdetak. Kenapa? Rasanya dia dekat tapi juga jauh. Aku merasa mengenalnya. Aku merasa dekat dengannya. Siapa dia?

* * *

Hei, hei siapa dia?

Yak, nih langsung dua updatenya!

Jan lupa yak comment dan votenya.

Love youu

Btw, mulmed itu Mr. Franklin

-Ritonella

Good Girl ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang