Part 42: Bang Toyib (Revisi)

Start from the beginning
                                    

Mataku menatap kosong pada Kean yang sudah bangkit dan menarik bahuku untuk menghadapnya. Masih dengan keterkejutan yang jelas di wajahku, Kean mendekat dan menciumku singkat.

"Kenapa kamu begitu terkejut?" tanya Kean saat aku masih menatap Kean dengan mata bulat.

"Karena kamu menarikku tiba-tiba, aku benar-benar tak sadar kalau kamu sudah bangun. Apa lagi aku barusan melihat hantu," jelasku dan memperbaiki posisiku agar lebih nyaman di depan Kean yang seenaknya memutar tubuhku kearahnya.

"Hantu?" tanya Kean dengan nada ragu.

Ah, aku lupa Kean adalah tipe laki-laki yang sangat percaya diri menghadapi preman, geng motor atau makhluk sejenis lainnya. Tapi jika sudah mendengar hal-hal yang spiritual seperti hantu dia akan menggigil, menjerit dan bersembunyi di suatu tempat.

Aku mengangguk membenarkan pertanyaan Kean. Dan dengan wajah polos aku menunjuk pada laptopku yang dengan angkuhnya menunjukan hantu yang ditakuti Kean. Tak butuh waktu lama sebelum Kean menarikku dan menjadikan ku tamengnya.

Dasar bos setan. Bagaimana bisa setan takut dengan hantu? Padahal mereka masih satu spesies yang sama.

Kean masih memelukku. Dengan wajahnya tepat di ceruk leherku. Bersembunyi dari hantu yang telah menghilang entah kemana. Nafas laki-laki itu terasa hangat dan memburu di kulitku. Pertanda jika dia ketakutan dan terkejut. Bos setan ini, memelukku dengan Kuat. Hingga membuatku khawatir jika tulangku akan remuk dan patah karena kuatnya cengkraman Kean.

Aku memandang laptop yang menjadi pelaku utama situasi kami ini. Sambil mendesah tak berdaya aku menarik tanganku dari pelukan Kean.

"Ke, hantunya sudah hilang," kataku dan mengusap badan Kean yang tegang karena takut.

Bukannya mengendurkan pelukannya, dia malah melingkarkan lengannya di perutku dan menarikku ke ujung sofa. Kean yang ada dibelakangku masih menyembunyikan wajahnya di belakang punggungku.

"Benaran sudah hilang?" tanya Kean memastikan.

"Iya," kataku dan akhirnya Kean melepaskanku.

Aku dengan cepat menarik diri, kemudian bergerak kearah laptop dan mematikannya.

"Jadi kamu datang untuk mengajakku keluar?" tanyaku saat Kean masih menatapku yang sedang mengeksekusi tersangka dari kejadian barusan.

"Iya," jawab Kean. Aku menoleh dan menatapnya yang juga sedang menatapku lembut.

"Kita mau pergi kemana? Kamu yakin mau pergi dengan kondisi seperti ini? Bukankah lebih baik kalau kamu istirahat saja?" ucapku dan mendekat kearah Kean.

"Aku sudah sadar sekarang," katanya dan menarik handuk yang sedari tadi masih ada diatas kepalaku.

"Kamu habis keramas?" tanya Kean saat aku hanya diam dan memperhatikannya yang sibuk mengatur rambutku yang masih setengah basah.

Mendegar pertanyaannya aku mengangguk dan menarik handuk yang ada di tangan Kean. Tapi bos setan itu tak melepaskannya dan malah mengusapkannya di rambutku.

"Biar aku bantu," ucapnya dan mengusapkannya dengan lembut di kepalaku.

"Nggak perlu, sebentar lagi juga kering." Kataku dan menangkap tangan Kean yang masih sibuk di kepalaku.

Namun tentu saja, Kean yang keras kepala tak akan mendengarkan ucapanku.

"Ke, cukup," ujarku. Tapi Kean malah menambah kecepatannya mengacak-acak kepalaku dengan handuk ditangannya.

"Kean," tandasku dengan nada sebal. Tapi Kean hanya terkekeh dan menarik kepalaku mendekat padanya.

Belum sempat aku memperhatikan apa yang ada didepanku karena handuk dan rambut yang menghalangi pandangaku, bibir Kean sudah menciumku duluan. Dia menggigit kecil bibir bawahku dan dengan cepat memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Ciumannya lembut dan tak tergesa-gesa seperti terakhir kali kami melakukannya.

Ketika Kean melepaskan bibirku, dia menatapku dengan wajah penuh seringaian. Matanya yang selalu menatap tajam sekarang tersenyum lembut. Dan meskipun aku tak tahu apa maksud tatapan itu, ada nyala api yang terasa panas dari tatapan Kean padaku.

"Kamu membuat rontok rambuku yang juga sudah rapuh," kataku dengan sebal kearah Kean yang masih menatap intens padaku yang menggerutu tak setuju dengannya.

"Sepertinya kamu belum sadar, bahwa reaksimu yang memberontak cenderung memprovokasiku untuk berbuat lebih." Ucapnya, mata Kean menyala dengan aneh. Dan kemudian dia kembali menerkamku dengan mencium bibir, pipi dan mataku yang semakin melotot tajam pada tindakan Kean.

"Kean," bentakku dan mendorongnya.

Tapi bukannya melepaskan dia malah menggelitik pingganku dan menggigit daun telingaku. Hinggak aku memeki karena geli. Setelah perjuangan panjang, akhirnya aku bisa lepas dari cengkraman predator ganas ini.

***

Akhirnya Kean membawaku keluar malam ini. Meskipun aku menolak karena melihat kondisi Kean yang terlihat kuyu, tapi laki-laki itu dengan keras kepala mengajakku untuk ikut dengannya.

"Jadi kita mau kemana?" tanyaku masih penasaran karena Kean tak mengatakan apapun mengenai tujuan kami malam ini.

"Kamu akan tahu nanti," kata Kean dengan senyum misterius di wajahnya.

Aku hanya menatapnya bingung tampa banyak bersuara. Kemudian ponselku tiba-tiba berbunyi. Itu panggilan dari Dimas.

Tapi saat aku ingin mengangkat panggilan itu, Kean merebutnya dan mematikannya. Melihat itu aku menatap sebal pada Kean.

"Kamu milikku malam ini, jadi jangan coba-coba untuk memikirkan laki-laki lain." Katanya tegas, aku hanya menatapnya cemberut.

Tak berapa lama, ponsel Kean juga ikut berbunyi. Masih dari Dimas, aku menatap Kean dan meraih ponselnya. Lalu mematikan ponsel itu dan melemparkannya ke kursi belakang mobil.

"Ini baru adil," kataku dan menatap Kean sinis.

Sedangkan Kean yang memperhatikan tingkahku hanya tersenyum geli.

Namun saat aku ingin memasukan ponselku dalam tas, panggilan dari Dimas kembali masuk. Pasti ada sesuatu yang terjadi, mengingat dia tak pernah meneleponku begitu gigih.

"Ya Dim," jawabku saat Dimas terhubung di seberang line.

"Kenapa lo nggak angkat telepon gue dari tadi?" tandas Dimas dari seberang line.

"Sorry, tadi gue ada sedikit urusan."

"Gue ada di kantor polisi sekarang. Cepatan kesini," katanya dengan nada menggerutu.

"Kok bisa?" tanyaku. Dan Dimas menjelaskannya dengan cepat. Aku hanya diam mendengarkannya memaki dan sebal dari seberang telepon.

Setelah memutuskan panggilan dari Dimas aku menoleh kearah Kean yang sedang fokus menyetir.

"Ke, kita harus ke kantor polisi sekarang." Kataku dan menatap Kean dengan rasa bersalah karena dia harus mengundur rencananya untuk malam ini.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Dimas?" tanya Kean tak suka. Mungkin karena rencananya terancam gagal karena masalah Dimas.

"Dia berantem dan sekarang babak belur di kantor polisi," jelasku dengan nada tak berdaya karena masalah Dimas.

"Apa dia masih hidup?" tanya Kean dengan wajah polos.

Aku mendesah frustasi karena ulah Dimas.

"Aku pikir begitu, aku tidak diminta untuk menghadiri pemakamannya." Kataku dan menoleh kearah Kean.

Kean terkekeh dengan raut wajahku yang tak terlihat khawatir sama sekali dengan Dimas yang tak tahu keadaanya bagaimana.

"Kamu terdengar sedih saat mendengar dia masih hidup," kata Kean. Dan aku mengagguk setuju.

"Dia terlalu sering memintaku untuk datang ke kantor polisi," ucapku sedih.

***

MellifluousWhere stories live. Discover now