Part 37: Penjahat Imut (Revisi)

67 11 1
                                    

Jangan lupa vote and comment nya ya.

Kontribusi pembaca sangat berarti bagi penulis. Semoga suka ceritanya.

Selamat membaca,

Chocomellow

***

Kean berhenti di sebuah apotik. Membeli bermacam obat-obatan untuk luka ku. Aku menatap nanar isi plastik yang diserahkan Kean padaku. Kenapa begitu banyak obat? Aku menoleh padanya.

"Pertolongan pertama," ucap Kean. Lalu dia kembali mengemudikan mobil.

Aku mengeluarkan tisu basah dari dalam tas. Dengan hati-hati menggulung lengan kemejaku hingga bagian siku yang terluka terlihat. Kean memperhatikanku dengan cemas. Dia meringis melihat goresan yang ternyata cukup lebar.

Sambil menyetir dia melirikku yang masih sibuk membersihkan lukaku dengan tisu basah.

"Apakah masih sakit?" tanyanya saat dia tak melihat sedikitpun rauh meringis dari wajahku.

"Sedikit, tapi masih bisa saya tahan." Jawabku dengan jujur.

Setelah menerapkan salaf dan menutupnya dengan plaster anti air. Aku kembali fokus pada suasana kota yang mulai penuh dengan lampu yang kerlap kerlip.

"Kita mau kemana Pak?" tanyaku.

Saat ini Kean dengan cepat mengemudikan mobilnya. Dan ketika kami melewati jalan yang berbeda dengan arah hotel yang kami tempati, aku kembali menoleh pada Kean.

"Oh, ini bukan jalan ke hotel," ucapku. Lalu Kean melirikku dan menatap siku tanganku yang terbungkus plester. Kemeja lengan panjangku sedikit robek dan meninggalkan bekas goresan lantai yang terlihat jelas.

"Kita ke rumah sakit sekarang," jawab Kean, "kamu harus diperiksa." Ujarnya, dan kembali fokus mengemudikan mobil.

"Luka seperti ini nggak perlu dibawa ke rumah sakit pak. Ini hanya luka kecil, di kasih salaf sedikt saja langsung sembuh." Kataku, lalu Kean menoleh dengan kesal. Dia terlihat ingin marah pada seseorang tapi dia tak bisa mengeluarkannya. Sehingga dia menatapku dengan wajah frustasi yang jelas.

"Michael, kamu itu terluka," tandasnya tak suka jika aku masih membantahnya.

"Saya memang terluka, tapi ini hanya lecet ringan pak," tuturku dengan santai. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan.

"Mari kita mencari kedamian dengan makan malam sebelum anda mulai mengamuk," tawarku. Kean menoleh sebal mendengar tawaranku.

"Sebelum itu kita harus ke rumah sakit. Bajumu robek. Tulangmu tergores dan darahnya mengalir deras. Saya rasa sebentar lagi kamu akan mengeluarkan satu liter darah tampa kamu sadari," ucapnya menatap khawatir tanganku yang memang berdarah. Tapi darah itu sudah membeku dan lengket di lengan bajuku.

"Sakitnya sudah hilang, dan darahnya juga sudah beku. Jadi anda tak perlu khawatir lagi. Jika saya kehilangan darah satu liter dan mengobatinya hanya dengan plester anti air, saya rasa tingkat penyembuhan saya sungguh luar biasa. Bukankah begitu? Atau jangan-jangan anda membelikan saya plester super?" candaku mencairkan kemarahan Kean.

Dia tersenyum mendengar godaanku. Lalu menyorot tajam kearahku karena tak berhasil membujukku untuk ke rumah sakit.

"Kalau kamu merasa ada yang salah dari luka ini, kamu harus segera memeriksakannya ke dokter. Saya lihat lutut kamu juga terbentur tadi, pasti akan membiru dalam beberapa hari," ujarnya.

"Baiklah, baiklah. Sekarang bisa kita makan malam, saya lapar." Ajakku karena sedari tadi perutku sudah menggerutu karena lapar.

Kean menatapku yang memasang wajah penuh harap bahwa dia akan membawaku makan secepatnya. Dengan mata menyedihkan aku mengedip memohon padanya. Dia terkekeh lalu mengacak puncak kepalaku. Dan kembali fokus menyetir.

MellifluousWhere stories live. Discover now