Juragan Karta

534 24 2
                                    

Cerita ini sudah ada versi ebooknya.  Link ada di profilku.  Harga ramah di kantong. 
Buruan yang minat ya


Sudah sore, Bapak belum pulang juga.  Aku ndak sabar menunggunya, maksudku menunggu duit yang diusahakan Bapak untuk membeli seragam baruku.  Aku ingin membelinya malam ini, supaya besok bisa kupamerkan pada teman-temanku.  Aku terlanjur menyombongkan diri pada mereka bahwa besok aku akan memakai seragam baru yang keren punya.

Aku memutuskan untuk menyusul Bapak ke tempat kerjanya, ke rumah Juragan Karta.  Rencanaku, dari sana, setelah mendapat uang dari Bapak, aku langsung pergi membeli seragam baru di pusat perbelanjaan.

Sampai di rumah Juragan Karta, aku dicegat oleh centengnya.  Waduh, dulu aku bisa masuk rumah mewah ini dengan leluasa.  Tapi sekarang mungkin ndak banyak yang mengenalku, karena sudah lama ndak main kesini.  Sejak Den Bagas sekolah diluar negeri.

“Mau cari siapa, Neng?” tanya salah seorang centeng berwajah sangar.

“Cari Bapak,” dengusku dingin.

“Bapak yang mana?  Bapak ketemu gede?  Saya mau neng jadi bapak situ,” goda centeng bermata juling yang menatapku mesum.

“Bapakku!  Pak Hasan,” jelasku malas.  Punya bapak buruh tani bukan sesuatu yang membanggakan.

“Wah, ndak nyangka si Hasan punya anak sekinclong ini!”  ucap yang berambut keriting sembari bersiul kurang ajar.

Sori, aku malas meladeni orang-orang kere seperti kalian!  Batinku muak.  

“Biarkan saya masuk, saya kenal Den Bagas dan Juragan Karta,” kataku mencoba menakuti mereka.

“Semua orang kenal mereka, Neng!”

Sial, mereka ndak mau melepasku begitu saja.  Dasar bajingan!

“Juragan Karta!”

Mendadak aku memanggil nama itu, spontan mereka semua mengalihkan pandangan ke tempat jariku menunjuk.

Kesempatan itu kupakai untuk melarikan diri, ke dalam rumah Juragan Karta. 

“Berhenti!” teriak para centeng itu.

Aku semakin mempercepat lariku. 

Duk!  Mendadak aku menabrak seseorang.  Aku terjatuh ke lantai teras dengan posisi mengangkang.  Busyetttt!  Celana dalamku yang kumuh langsung nongol tanpa malu.  Buru-buru kututupi dengan rokku yang kependekan.

Para centeng itu tiba dengan wajah murka.  Namun entah mengapa mereka ndak berani memarahiku.  Mereka mengangguk hormat, lalu mundur perlahan.  Seperti ada yang memberi komando.  Penasaran aku menoleh pada orang yang telah kutabrak.  Wajahku memucat seketika.  Meski lama ndak bertemu, aku masih mengingat wajahnya.   Dia ndak banyak berubah, masih gagah dan perlente.

“Maaf, Juragan.  Saya ndak sengaja menabrak Juragan.  Karena... “ aku menatap takut kearah para centeng yang berjalan menjauhi kami.

Juragan Karta mengulurkan tangan padaku, aku ternganga melihatnya.  Ndak sabar, dia menyambar tanganku dan mengangkatku berdiri.

“Siapa namamu, Genduk ayu?” tanyanya ingin tahu.

“Ma-Mawar,” jawabku gugup. 

Aku jadi jengah mengenali sorot tertarik di mata Juragan Karta.  Ya Gusti, masa dia ndak mengenaliku?  Aku adalah Mawar, teman Den Bagas, anaknya!  Bukan teman, aku adalah adik kelas Den Bagas.  Dulu, sebelum dia pindah ke Inggris.

“Mawar?” dia mengernyitkan dahi sembari menatapku tajam.
“Apa kamu anak Hasan, buruh taniku?”

Aku mengangguk dengan tersenyum kecut.  “Injih, Juragan.”

“Sudah lama ndak berjumpa, kamu semakin cantik toh.  Saya pangling.”

“Terima kasih,” cicitku pelan.  Aku menunduk, karena rikuh diperhatikan olehnya.  Juragan Karta menatapku seakan ingin menelanjangiku. 

“Ada perlu apa kamu kemari?  Mau bertemu Bagas?”

Den Bagas?  Apa dia pulang dari Inggris?  Tapi aku ndak ada keinginan untuk berjumpa si gendut itu.  Malas.

“Boten, Juragan.  Saya mau bertemu Bapak, mau meminta uang buat beli seragam.”

Juragan Karta mengamatiku dengan teliti, dengan lancang tangannya mengelus rambutku.  Aku muak, ingin menepisnya tapi ndak berani.  Dia atasan Bapak, dan dia pria paling berkuasa di desa kami. 

“Sering-seringlah kemari, Nduk.”

“I-injih, sekarang bolehkah saya menemui Bapak sebentar?” cetusku meminta ijin. 

“Kebetulan Bapakmu lagi sibuk, Genduk Ayu.  Tapi..”  Juragan Karta membuka dompetnya.  Mataku membesar melihat ia mengeluarkan uang kertas merah beberapa lembar dan menyodorkan padaku.

“Apa ini cukup?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.

“Cu-cukup, Juragan.  Terima kasih,” jawabku dengan mata berbinar.

Lebih dari cukup, sekilas aku meghitung uang yang diberikannya padaku.  Satu juta!

Juragan Karta mendekatiku dan memeluk bahuku.  Aku risih, tapi aku membiarkannya.  Demi uang sejuta yang baru saja kukantongi. 

“Pergunakan uang itu untuk bersenang-senang, Genduk Ayu,” bisiknya di telingaku.

Aku berjengkit kaget ketika mendadak dia mengecup bahuku.  Astaga, bandot tua ini agresif sekali.  Aku jadi ngeri di dekatnya.  Aku harus segera menjauh darinya!

“Terima kasih, Juragan.  Saya harus segera pergi, khawatirnya toko bajunya keburu tutup,” ucapku beralasan.

“Pergilah, Nduk.  Sampai bertemu lagi, ndak lama lagi!”  Juragan Karta menatapku misterius.
Mendadak bulu kudukku meremang. 

==== >(*~*)< ====

Bersambung..

34. Mawar Berduri (TAMAT)Where stories live. Discover now