Bab 3

1.4K 201 9
                                    

Gadis kurus dengan gaun putih dan ponsel di tangan kanan terlihat berdiri mematung di depan pagar. Ada pohon jambu rindang yang menaunginya dari gemerlap lampu yang berpendar terang di teras. Ia seakan tidak terpengaruh dengan riuh rendah suara pesta di belakangnya. Matanya menatap dan mengukur tinggi pagar besi. Sesekali melirik ke arah kerumunan dan merasa aman karena tidak ada yang memperhatikan. Semua orang sibuk makan dan berbincang.

“Kiki, ada masalah di rumah Oma. Cepat kemari!” Pesan panik dari Nira membuat Kirania kalang kabut.

Di tengah kemeriahan pesta pertunangannya, ia harus pergi untuk menyelesaikan masalah mendadak. Kirania merapikan letak penyangga bra di dada, memastikan benda itu tetap di tempatnya. Jika tidak takut bertemu mamanya dan terkena amukan, ia dengan senang hati akan mengganti gaun dengan celana panjang. Sayang sekali, ia harus kabur dengan penampilan anggun seperti sekarang. Tangannya sedang sibuk menarik ujung gaun hingga ke lutut dan bersiap-siap menaiki pagar saat terdengar suara deheman dari belakangnya.

“Ehm, mau kabur?”

Dengan kaget Kirania menarik kaki dari pagar dan membalikkan badan. Matanya menatap wajah paling tampan yang pernah dilihatnya. Dengan ujung mulut yang sexy seperti berkedut menahan tawa.

“Siapa yang mau kabur? Ada urusan mendadak, nanti juga balik,” jawabnya dengan kikuk.

Gading menaikkan sebelah alisnya, “Oh ya?”

Kirania mengangguk cepat, “Iya, Kak. Nanti aku balik secepatnya. Pokoknya sebelum keluarga yang lain sadar, aku sudah di sini. Janji,” ucapnya sambil mengacungkan dua  jari.

Gading tidak menjawab, mengamati dari atas ke bawah gadis - yang kira-kira setengah jam lalu menjadi tuanngannya - berdiri dalam keremangan.
Sementara Kirania mencoba menenangkan diri, meraba dada yang berdebar. Matanya melirik kuatir ke arah pesta, ponsel dalam genggamannya kembali bergetar.

“Udah ya, Kak. Aku tinggal dulu.”

Tanpa menunggu jawaban Gading, ia berbalik.

“Aku yakin kalau kamu naik ke pagar sekarang, gaunmu pasti robek kesangkut jeruji.”

“Ah ya, kalau gitu aku harus ambil kursi,” ucap Kirania tanpa pikir. Kepalanya berputar dan melihat kursi yang diletakkan di sudut teras.

Tergopoh-gopoh ia mengangkat kursi dan meletakkannya di dekat pagar. Sekali lagi mengangkat ujung gaun dan bersiap-siap untuk naik ke atas kursi.

“Kak, aku pergi dulu, ya?”

“Silakan, perlu aku gendong?”

“Nggak usah, Kak. Terima kasih, aku bisa sendiri kok.”

“Jangan lupa, penyangga dadamu nanti jatuh kalau kamu melompat.”

Tanpa sadar Kirania melirik dada dan memeriksanya. Memastikan jika busa yang dipasang di sana masih aman. Seperti mendengar suara tawa yang tertahan ia mendongak. Mendapati Gading memandangnya dengan tawa di mulut.

“Ups!” Reflek Kirania menutup dadanya. “Bukan aku yang mau, ini Jeng Ana yang memaksaku untuk memakai,” ucapnya membela diri.

“Iya, hebat juga pikirannya. Tahu jika itu … kecil,” jawab Gading.

“Apaa?” Kirania mendelik dengan satu tangan menutupi dada.

“Bayangkan jika kamu melompati pagar sekarang dengan gaun putih, yang aku yakin akan tersangkut di pagar lalu penyangga dadamu akan jatuh. Bagaimana malunya jika ada yang tahu, pengantin lari dengan penyangga dada yang tercecer di tanah.”

Kata-kata Gading membuat Kirania merona malu. Wajahnya terasa memanas. Sungguh sial ia malam ini, saat hendak pergi harus bertemu Gading. Sementara tunangan tampannya menutup mulut dengan buku jari, berusaha menahan tawa.
Sial, dia menertawakanku, runtuk Kirania dalam hati.

“Aku nggak akan lari, kok. Cuma mau keluar bentar.”

“Oh, ya. Terus apa namanya, melompati pagar saat pesta pertunanganmu sedang berlangsung?”

Kirania menggigit bibirnya, tercabik antara niat untuk pergi atau tetap tinggal. Pikirannya bercabang untuk tetap diam atau mengatakan sejujurnya pada Gading. Sementara ponsel di tangannya terus bergetar. Ia menoleh ke arah tunangannya dan meringis kecil.

“Aku harus pergi, Kak. Melakukan hal penting. Sebentaaaaar saja, nanti balik lagi.”

Gading bersedekap. “Kalau gitu, judulnya aku ganti. Pengantin berdada kecil yang lari saat pertunangannya karena hal penting?”

Kirania menggertakkan gigi, merasa dipermainkan oleh Gading. Setelah hampir sepuluh tahun tidak bertemu, Gading yang dulu tidak berubah. Masih sama jahil dan menjengkelkan seperti dulu.

Masih kuat dalam ingatan Kirania, bagaimana dulu dia sering dibuat marah dan menangis oleh laki-laki yang sekarang menjadi tunangannya. Padahal usia mereka terpaut lumayan jauh tapi bagi Kirania kecil, Gading selalu hadir di mana-mana untuk mengganggunya. Semua berhenti takkala keluarga laki-laki itu pindah keluar kota.

“Dadaku memang kecil, dari dulu kamu tahu itu,” ucap Kirania dengan marah. Tangannya mengusap lengannya yang langsing dan berotot. “bahkan lenganku pun kuat seperti laki-laki. Wajahku juga garang seperti laki-laki.”

“Lalu?” tanya Gading malas.

“Lalu, Kakak. Kenapa kita harus bertunangan, sih?”
Terdengar tawa lirih dari mulut tunangannya. Kirania merasa makin gemas. Waktunya bisa terbuang percuma untuk berbicara hal tak penting dengan Gading. Sementara Nira terus menerus meneleponnya dengan tidak sabar.

“Sebelum aku jawab pertanyaanmu, coba kamu angkat ponselmu. Dari tadi bergetar jika aku nggak salah lihat.”

Kirania melirik ponsel yang sedari tadi tidak berhenti bergetar.

“Ayo, angkat,” perintah Gading.

“Hah, berarti Kakak tahu ini penting. Jadi, please. Biarkan aku pergi.”

“Pergi saja, aku nggak nglarang.” Gading mengangkat bahu, seakan tidak peduli.
Tanpa pikir panjang Kirania naik ke atas kursi, sedikit kesusahan karena gaunnya yang panjang.

“Sini, kubantu naik.”

Tangan Gading terulur untuk membantunya. Dengan bantuan laki-laki itu, Kirani naik ke atas kursi.

“Angkat ujung gaunmu lebih tinggi, lalu naik ke atas pagar.”

“Iya, Kak.”

Menuruti perintah Gading, ia mengangkat ujung gaunnya setinggi lutut dan bersiap naik ke pagar.

“Sepertinya aku bisa melihat celana dalammu dari bawah sini, merah ya?”

Kirania merasa tubuhnya oleng. Tanpa sadar kakinya menginjak pinggiran kursi. Seketika kursi miring dan terguling. Untung ada Gading yang menangkap tubuhnya.Tubuh mereka menempel ketat dan Kirania bisa mengedus aroma parfum dari tubuh sang tunangan yang terbalut jas putih. Dada yang bidang dan tubuh maskulin yang memeluknya erat. Dengan dada berdebar ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Gading.

**

Tersedia di google play book

KAWIN GANTUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang