Ending

594 57 4
                                    

"Apa kau siap?" Yoongi mengangguk mantap ketika pertanyaan itu terdengar jelas di telinganya karena dokter yang tengah berdiri tepat di sampingnya.

Yoongi merasakan sengatan kecil di bahunya saat dokter menyuntikkan anastesi lokal di bagian itu. Sesaat setelahnya ia sudah tak merasakan apapun, ia hanya mendengar suara-suara kecil akibat dari pergerakan tangan sang dokter.

Sebenarnya ia penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi, ia terlalu takut. Dokter bilang hanya akan membuat sayatan kecil di bahunya untuk memasukkan sebuah kamera kecil untuk melihat kondisi bahunya.

Setelah melakukan CT scan, dokter masih belum menemukan atau belum bisa menyatakan dengan jelas di bagian mana yang tidak beres dari tubuh Yoongi. Dan tindakan arthroscopic adalah jalan untuk menemukan kerusakan itu.

"Apa kau masih bermain basket?" Yoongi tahu, ia pasti akan mendapat wejangan panjang lagi kali ini. Karena jika diingat, setelah ia mengakui bahwa ia kembali bermain basket, dokternya itu selalu saja menceramahinya saat melakukan kunjungan rutin seperti ini.

"Bulan depan timku akan mengikuti turnamen. Jadi, ya ... aku masih melakukannya sekarang."

Ada helaan napas panjang dari sang lawan bicara. Dokter yang sepertinya lebih tua beberapa tahun dari kakaknya itu menatapnya dengan sendu setelah melepas kacamatanya. Menumpukan kedua tangannya yang bertaut di atas meja.

"Yoon, aku tahu kau sangat mencintai hal itu. Tapi, tidak bisakah kau lebih mencintai dirimu sendiri?"

Merasa tak mendapat jawaban, dokter itu membuka sebuah kertas yang berisi hasil pemeriksaan Yoongi yang dilakukan beberapa saat lalu.

"Labrum Posterior, robekan labrum atau tupang rawan di antara sendi bahumu. Ini sudah masuk ke tahap serius, Yoon."

"Lalu, pengobatan apa yang bisa--"

"Berhenti bermain basket," sahut dokter itu cepat.

"Kau tidak cukup hanya dengan melakukan pengobatan saja jika bahumu masih terus kau paksa untuk melakukan hal yang sudah tak sanggup lagi ia lakukan. Kau seorang kidal, bahu kirimu tak akan pernah bisa beristirahat jika kau terus saja bermain basket."

Ada jeda cukup panjang. Yoongi tak tahu harus berkata apa. Selama ini dia sudah cukup tertekan karena harus selalu mengonsumsi obat-obatan dan melakukan terapi suntik. Hanya dengan bermain basket dan saat bersama dengan Yujin lah yang membuatnya terus bertahan.

Ia jadi berpikir, bagaimana jika ia berhenti sekarang. Apa yang harus ia katakan pada kekasihnya yang sangat antusias menunggu saat turnamen itu tiba. Itu adalah turnamen tingkat nasional pertama Yoongi sebagai kapten tim, tentu akan sangat berarti baginya dan juga sang kekasih.

"Berikan aku kesempatan sedikit lagi. Setelah turnamen itu, aku akan memikirkan untuk berhenti bermain. Berikan saja aku obat dengan dosis yang lebih tinggi."

.
.
.




Yoongi menghempaskan tubuhnya dengan sedikit kasar di atas sofa ruang tamu. Ia terus saja memijat pangkal hidungnya sejak tiba di rumah. Pikirannya berkecamuk, pilihan yang amat sulit berada di hadapannya. Ia sudah kepalang tak bisa hidup berjauhan dengan bola oranye itu. Tapi, di sisi lain, ia juga sedikit takut jika terjadi sesuatu dengan bahunya. Ia tidak mau suatu saat keluarganya mengetahui keadaannya dan merasa khawatir.

Lamunannya terbuyarkan saat ponselnya berbunyi pelan. Ia meraba tas di samping tubuhnya untuk menemukan benda pipih itu. Dilihatnya layar ponsel yang menampilkan sebuah nama.

"Sial! Bagaimana aku bisa lupa?"

Buru-buru ia menggeser ikon hijau di layar itu. Baru saja benda itu menempel di telinganya, suara dari seberang sana seakan hendak mengoyak gendang telinganya.

[ END ] I'LL be FineDonde viven las historias. Descúbrelo ahora