Seketika panggilan mati secara sepihak.

Jimin menahan emosi yang rasanya ingin meluap sebab pertolongan satu-satunya tak mau membantu. Tangannya terkepal sembari pikirkan cara lain untuk bisa mendapat kabar dari sang kekasih.

"Sayang?"

"Ya, Sayang."

"Sedang bertelepon, dengan siapa?"

"Taehyung."

"Ah, astaga. Bukankah di sana masih dini hari?" Raut tanya sang isteri kini terlihat jelas saat tubuh ramping itu mendekat dengan baju tidur satin berwarna peach dan handuk yang melilit di kepala. Melepaskan lilitan itu dan melempar handuknya sembarang ke sebuah sofa berwarna emas.

"I-iya. Sepertinya dia belum tidur karena bekerja. Kami bercakap sebentar."

Beruntung Jimin menggunakan alasan yang masuk diakal. Pun fakta seperti itu benar pernah terjadi.

"Hmm—masih tak berubah rupanya pria kaku yang satu itu. Kuharap dia segera mendapat jodoh." Yuri tersenyum, manis sekali sembari sekarang berdiri tepat di sebelah suaminya. Memaku pemandangan menara Eiffel yang katanya mampu memberikan sihir cinta dan seketika rasa yang berada di dalam dadanya membuncah.

Perasaan teriris menyempil di antara buncahan itu, menatap Jimin dari sisi samping dan tersenyum miris—lalu menutupi itu dengan tangan yang naik membelai pipi sang suami.

Benarkah Jimin tak akan pernah bisa menatapnya?

Benarkah Jimin tak akan pernah bisa berada terus di sisinya?

Yuri lantas membawa turun tangannya dari pipi Jimin. Bergerak lembut ke belakang—arah punggung, mendekatkan kepalanya ke dada pria Park itu sampai menempel. Mendengarkan debaran jantung dari sosok yang begitu ia puja. Hangat, rasanya begitu hangat.

Ia menyukai ketika mereka berada di Paris. Waktu Jimin sepenuhnya hanya untuknya, berada di sisinya nyaris sepanjang waktu. Sejak bangun tidur hingga akan terlelap kembali. Jimin tak pernah berada di luar jangkauannya.

Mereka nyaris tak pernah bertengkar, berbeda seperti di Seoul dimana mereka sering terlibat konflik meski hanya karena masalah yang begitu kecil. Tentu karena pada perjalanan kali ini gadis itu banyak menekan ego sendiri. Lebih kalem—jauh lebih kalem dan memberi perhatian yang begitu banyak pada Jimin. Menuruti hampir seluruh keinginan lelaki itu. Menanyakan seluruh hal yang bisa ia lakukan sampai hal terkecil bahkan memijit kakinya setelah mereka berdua kembali ke hotel.

Hal yang baru bagi pasangan itu.

Masih dalam posisi yang sama—dimana kepalanya menempel pada dada bidang Jimin, Yuri tersenyum tanpa Jimin bisa melihatnya.

Tadi malam, skenarionya berjalan begitu sempurna. Mereka sedang berhubungan suami istri setelah tipsy sehabis pulang menikmati anggur merah di sebuah bar di kota romantis itu. Dirinya sengaja menyalakan panggilan dari ponsel suaminya ke sebuah nomor asing yang sudah ia tahu jelas siapa pemiliknya. Persis saat Pria Park—suami kesayangannya itu tengah menghentak dan desahan mereka berdua bersahutan, lalu Jimin menyebutkan namanya dan begitu pula sebaliknya. Tentu malam yang begitu panas. Hatinya puas ketika panggilan dimatikan sepihak. Bahkan ia tak kesulitan untuk menghapus panggilan keluar sebab sang suami langsung pulas terlelap dengan tubuh telanjang sehabis menggagahinya.

Di sisi lain, ia teringat pada seseorang yang berhasil memecah fokusnya beberapa saat ke belakang. Kim Taehyung—pria yang ia cium tanpa sebab di malam sebelum kepergiannya ke Paris. Pipinya entah mengapa tiba-tiba panas mengingat kembali pernyataan bahwa pria itu menyukainya sekian lama.

THE CHOICE✔Where stories live. Discover now